"Crokkk!" Perampok itu roboh dan mati seketika karena pinggangnya hampir putus!
Mulailah para perampok itu menerjang dengan golok mereka dan dua orang dara perkasa itu menggerakkan pedang mengamuk. Biarpun para perampok itu rata-rata pandai mainkan golok, namun menghadapi Liang Bi dan Cui Leng, sebentar saja enam orang roboh tak dapat bangun kembali sedangkan beberapa orang lagi terlempar kena tendangan dan merangkak bangun lagi sambil mengaduh-aduh.
Kacau-balaulah keadaan para pengeroyok, namun mereka masih mengeroyok penuh semangat karena kini dua orang pimpinan mereka maju sendiri dan ikut mengeroyok. Perampok mata merah melawan Liang Bi dibantu belasan orang anak buahnya, sedangkan perampok bertahi lalat, sutenya menghadapi Cui Leng juga dibantu belasan orang.
Pertandingan hebat dan mati-matian terjadi dan ternyata bahwa dua orang kepala rampok itu memiliki kepandaian yang lumayan, terutama sekali cambuk mereka yang melecut-lecut di atas kepala lawan membuat kedua orang gadis itu harus bersilat dengan hati-hati.
Selain kelihaian cambuk mereka, juga senjata golok kedua orang kepala rampok ini berat sekali, ditambah tenaga mereka yang seperti gajah membuat dua orang pendekar wanita Siauw-lim-pai mempergunakan gin-kang untuk mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan pedang merobohkan lagi beberapa orang anak buah perampok. Darah mulai muncrat ke sana-sini membasahi rumput dan dua orang dara perkasa itu mengamuk dengan hebat, tidak mau berhenti sebelum membasmi semua perampok itu.
Setelah mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita yang tadinya hendak mereka tangkap hidup-hidup itu amat lihai, nafsu berahi kedua orang kepala rampok berubah menjadi kemarahan meluap-luap dan kini mereka menyerang untuk membunuh.
Namun, Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan amat berbahaya karena setiap orang pengeroyok yang berani terlalu dekat tentu akan roboh disambar pedang. Pengepungan menjadi mengendur dan mereka hanya berani menyerang dari jauh, bahkan tidak berani menyerang secara langsung dari depan. Kecuali dua orang kepala rampok yang memutar-mutar cambuk mengeluarkan angin yang berbunyi nyaring bercuitan.
Tiba-tiba dua orang dara perkasa itu menjerit dan terhuyung. Paha kiri Lian Bi dan pundak kanan Cui Leng terkena senjata rahasia yang berupa jarum dengan ronce merah. Mereka tidak tahu siapa yang melepas senjata rahasia secara demikian lihai, datangnya dari atas dan tak tersangka-sangka sehingga mereka yang datang menghadapi pengeroyokan itu tidak dapat mengelak lagi.
Liang Bi yang terluka pahanya, kini melawan sambil agak terpincang-pincang sedangkan Cui Leng terpaksa memindahkan pedang ke tangan kiri karena lengan kanannya terasa panas dan kaku! Para perampok tidak melihat datangnya senjata rahasia itu, mengira bahwa dua orang gadis itu menjadi lelah. Mereka mengepung semakin ketat sambil berteriak-teriak.
"Tangkap mereka hidup-hidup!" teriak kedua orang kepala perampok sambil mendesak terus.
Liang Bi, dan Cui Leng kini menjadi repot. Kalau pihak perampok dapat melepas senjata rahasia demikian lihainya, berarti mereka akan celaka. Untuk mencegah dua orang kepala rampok itu menyerang dengan senjata rahasia lagi, mereka memaksa diri bergerak cepat meloncat ke sana-sini di antara para pengeroyok sehingga membahayakan penyerangan senjata rahasia mengenai kawan sendiri.
Biarpun sudah terluka, namun mereka masih sempat merobohkan masing-masing dua orang anak buah perampok lagi, namun keadaan mereka makin payah karena luka jarum itu benar-benar menimbulkan rasa panas yang terus menjalar ke seluruh tubuh mereka, sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, dapat menduga bahwa tentu saja senjata rahasia itu mengandung racun berbahaya, maka tentu saja mereka mulai merasa khawatir sekali.
Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suling dengan lagu yang amat aneh, makin lama makin keras. Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan disusul robohnya beberapa orang anggauta perampok.
"Ular....! Ular....!"
Dua orang kepala rampok itu membelalakkan mata dan terkejut bukan main ketika melihat puluhan ekor ular berbisa telah berada di situ dan dengan ganas menyerang anak buah mereka!
Ketika mereka memandang, tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda tampan yang dengan tenangnya meniup sebatang suling yang bentuknya aneh. Mengertilah mereka bahwa laki-laki muda itulah yang menggerakkan ular-ular itu dengan suara sulingnya. Sambil berseru marah keduanya meloncat ke arah laki-laki itu dengan cambuk dan golok di tangan.
"Tar! Tar!"
Dua batang cambuk menghantam kepala laki-laki itu, namun dengan tenang laki-laki itu mengulur tangan kiri, menangkap kedua ujung cambuk dan sekali renggut kedua batang cambuk itu putus tengahnya!
Dua orang kepala rampok makin marah, golok mereka membacok, namun pemuda itu hanya menggeser kaki dan dua batang golok itu luput, lalu tiba-tiba tampak sinar berkelebat dua kali dan robohlah dua orang kepala rampok dengan dada terbuka mengucurkan darah, sedangkan pemuda yang melakukan semua itu dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan tetap memegang suling yang ditiup, kini dengan tenangnya menyimpan kembali pedang yang tadi ia pergunakan membunuh dua orang kepala rampok itu.
Liang Bi dan Cui Leng melihat bahwa peniup suling itu bukan lain adalah Si Pemuda Tampan yang telah mengaku sahabat mereka! Cui Leng berseru girang, akan tetapi Liang Bi mengerutkan alisnya. Betapapun juga, kedua orang dara perkasa ini mengamuk lebih hebat sehingga dalam waktu sebentar saja, robohlah semua gerombolan perampok, tidak ada seorang pun yang dapat lolos, sebagian roboh oleh pedang kedua pendekar wanita ini, sebagian lagi oleh sebagian ular-ular yang mengamuk.
Pemuda yang bukan lain adalah Suma Hoat itu, menghentikan "lagu" sulingnya dan meniup suling dengan suara meninggi dan pendek-pendek. Ular-ular itu merayap pergi seolah-olah diusir oleh bunyi pendek-pendek ini dan sebentar saja tidak tampak seekor pun ular di situ.
Adapun Liang Bi, dan Cui Leng, cepat-cepat menjauhkan diri ke tempat yang bersih, duduk bersila dan mengerahkan sin-kang untuk melawan racun yang menjalar ke tubuh mereka melalui luka di tubuh yang terkena senjata rahasia.,
"Syukur bahwa Ji-wi selamat. Memang perampok-perampok disini amat berbahaya," terdengar Suma Hoat berkata.
Liang Bi dan Cui Lang membuka mata, yang pertama memandang dengan alis berkerut, yang kedua dengan mata berseri.
"Kalau tidak cepat engkau datang bersama barisan ularmu yang hebat, tentu kami telah tewas, sobat baik!" kata Cui Leng tersenyum lalu menggigit bibir menahan rasa sakit.
Liang Bi makin tak senang, akan tetapi ia pun cepat berkata,
"Terima kasih atas pertolongan Kongcu."
Suma Hoat tentu saja melihat perbedaan sambutan ini dan ia tersenyum, senyum yang khas dipelajarinya untuk menundukkan hati wanita-wanita muda. Ia melihat sinar kagum dan gembira di mata Cui Leng, akan tetapi Liang Bi tetap memandang dingin.
"Perampok-perampok ini mempunyai sarang di dalam hutan, tak jauh dari sini. Marilah Ji-wi beristirahat di sana."
Cui Leng sudah hendak menjawab, akan tetapi Liang Bi mendahuluinya,
"Terima kasih, tidak usahlah. Kami akan beristirahat di sini dan menyembuhkan luka...."
"Aih Mhh....! Ji-wi terluka....? Aduh celaka....! Itu adalah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)! Berbahaya sekali!" tiba-tiba Suma Hoat berseru.
Liang Bi menjawab dingin,
"Tidak mengapa, Kongcu Kami sanggup mengobatinya dengan sin-kang...."
"Wah, mana bisa? Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan! Racun Ang-tok-ciam amat lihai. Biarpun dapat dilawan dengan sin-kang dan tidak sampai merampas nyawa, namun akibatnya akan membuat muka menjadi bopeng dengan totol merah yang tidak dapat diobati lagi. Coba Ji-wi rasakan, benar tidak. Bukankah di tempat yang terkena luka itu terasa gatal-gatal dan di sekitar kelilingnya kaku dan rasa panas menjalar naik perlahan dari situ dan pertama-tama rasa panas itu menjalar naik? Bagi orang yang tidak mempunyai sin-kang, tentu akan tewas dalam waktu dua belas jam. Bagi Ji-wi yang memiliki sin-kang tinggi, akan dapat menyelamatkan nyawa, akan tetapi hawa panas yang naik ke atas itu akan keluar dari lubang-lubang kulit muka dan menimbulkan totol-totol merah! Marilah ikut bersamaku ke sarang perampok dan aku akan mengobati Ji-wi."
"Suci...."
Cui Leng memandang sucinya dengan wajah membayangkan kengerian mendengar betapa racun jarum beronce merah itu akan membuat wajahnya yang cantik menjadi bopeng dengan totol-totol merah!
Akan tetapi, dengan sikap dingin Liang Bi menggeleng kepala dan berkata kepada Suma Hoat,
"Terima kasih atas kebaikanmu, Kongcu. Akan tetapi kami, akan beristirahat di sini saja dan mengobati sendiri luka-luka kami."
Suma Hoat menarik napas panjang, menggerakkan kedua pundak dan berkata,
"Agaknya Ji-wi Li-hiap merasa curiga kepadaku dan menerima salah maksud baikku. Maafkan kalau aku telah berlaku lancang dengan melakukan pembayaran dan membelikan kuda yang tidak ada artinya dan yang kumaksudkan hanya untuk bersahabat itu. Tentu saja aku tidak dapat memaksa, akan tetapi.... aku akan menanti di dalam hutan, di bekas rumah perampok kalau-kalau Ji-wi Lihiap berubah pikiran dan suka kuobati agar racun itu tidak mengakibatkan cacad pada muka Ji-wi. Selamat berpisah."
Ia lalu membalikkan tubuh dan meninggalkan kedua orang gadis itu. Sebentar saja ia sudah lenyap karena cuaca mulai gelap, bayangannya menyelinap ke dalam hutan tak jauh di depan.
"Suci, engkau sungguh keterlaluan! Orang berniat baik akan tetapi engkau selalu menolak. Bagaimana kalau muka kita menjadi bopeng?" Cui Leng segera menegur kakak seperguruannya setelah bayangan pemuda itu lenyap.
Liang Bi menoleh ke arah adiknya.
"Cui Leng-sumoi, apa artinya muka bopeng bagi seorang gagah? Kalau hanya bopeng mukanya, tidak mengapa, asal jangan bopeng dan cacad hatinya. Aku masih tidak percaya kepada orang itu, Sinar matanya mengandung kepalsuan."
"Suci, aku....!"
"Cukup, Sumoi! Mengapa sejak bertemu dengan laki-laki itu engkau selalu membantah kata-kataku? Kita harus cepat bersamadhi menghimpun hawa murni dan mempergunakan sin-kang untuk melawan racun!"
Setelah berkata demikian, Liang Bi sudah melanjutkan samadhinya dan memejamkan kedua mata, sebentar saja dia sudah tenggelam ke alam samadhi, napasnya panjang-panjang teratur seperti napas orang tidur nyenyak.
Cui Leng berusaha untuk meniru sucinya, namun ia selalu gelisah dan tak dapat tenang. Sukar baginya untuk mengumpulkan panca indera memusatkan kemauan dan segala perasaan untuk menghimpun hawa murni. Bayangan wajah tampan Suma Hoat selalu tampak, terutama sekali ucapannya tentang cacad bopeng yang mengancam mukanya dan penawaran pemuda itu untuk mengobatinya sehingga dia akan terbebas dari ancaman mengerikan itu selalu terngiang di telinganya.
Sejam kemudian, setelah merasa yakin bahwa sucinya telah "pulas" dalam samadhi, Cui Leng tak dapat menahan diri dari ancaman bahaya bopeng, maka diam-diam ia meninggalkan sucinya memasuki hutan dengan maksud menjelang pagi sebelum sucinya sadar kembali dari samadhi, dia akan kembali ke situ sehingga kepergiannya tidak diketahui sucinya.
Mudah saja bagi Cui Leng untuk mendapatkan rumah bekas tempat tinggal kepala rampok itu karena rumah itu cukup megah di tengah hutan dan tampak cahaya penerangan dari rumah itu! Dengan jantung berdebar dia meloncat ke depan pintu yang segera terbuka dan muncullah pemuda itu sambil tersenyum amat tampannya.
"Ah, selamat malam, Nona. Syukur bahwa Li-hiap suka datang...."
Berhadapan dengan pemuda itu, tiba-tiba Cui Leng merasa kikuk dan malu-malu.
"Aku.... aku hendak minta obat.... aku tidak mau menjadi bopeng...."
"Tentu saja! Sayang sekali kalau Li-hiap sampai menjadi bopeng. Eh, mana sucimu, mengapa tidak datang?"
"Dia.... dia tidak mau, dia.... sedang siu-lian, kutinggalkan di sana. Harap kau suka menolongku dan aku akan berterima kasih sekali, kemudian aku akan segera kembali agar dia tidak tahu bahwa aku melanggar perintahnya. Dia galak sekali."
"Masuklah Li-hiap. Aku akan mengobatimu, jangan khawatir. Rumah ini kosong, beberapa orang sisa perampok telah kuusir pergi."
Mulailah para perampok itu menerjang dengan golok mereka dan dua orang dara perkasa itu menggerakkan pedang mengamuk. Biarpun para perampok itu rata-rata pandai mainkan golok, namun menghadapi Liang Bi dan Cui Leng, sebentar saja enam orang roboh tak dapat bangun kembali sedangkan beberapa orang lagi terlempar kena tendangan dan merangkak bangun lagi sambil mengaduh-aduh.
Kacau-balaulah keadaan para pengeroyok, namun mereka masih mengeroyok penuh semangat karena kini dua orang pimpinan mereka maju sendiri dan ikut mengeroyok. Perampok mata merah melawan Liang Bi dibantu belasan orang anak buahnya, sedangkan perampok bertahi lalat, sutenya menghadapi Cui Leng juga dibantu belasan orang.
Pertandingan hebat dan mati-matian terjadi dan ternyata bahwa dua orang kepala rampok itu memiliki kepandaian yang lumayan, terutama sekali cambuk mereka yang melecut-lecut di atas kepala lawan membuat kedua orang gadis itu harus bersilat dengan hati-hati.
Selain kelihaian cambuk mereka, juga senjata golok kedua orang kepala rampok ini berat sekali, ditambah tenaga mereka yang seperti gajah membuat dua orang pendekar wanita Siauw-lim-pai mempergunakan gin-kang untuk mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan pedang merobohkan lagi beberapa orang anak buah perampok. Darah mulai muncrat ke sana-sini membasahi rumput dan dua orang dara perkasa itu mengamuk dengan hebat, tidak mau berhenti sebelum membasmi semua perampok itu.
Setelah mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita yang tadinya hendak mereka tangkap hidup-hidup itu amat lihai, nafsu berahi kedua orang kepala rampok berubah menjadi kemarahan meluap-luap dan kini mereka menyerang untuk membunuh.
Namun, Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan amat berbahaya karena setiap orang pengeroyok yang berani terlalu dekat tentu akan roboh disambar pedang. Pengepungan menjadi mengendur dan mereka hanya berani menyerang dari jauh, bahkan tidak berani menyerang secara langsung dari depan. Kecuali dua orang kepala rampok yang memutar-mutar cambuk mengeluarkan angin yang berbunyi nyaring bercuitan.
Tiba-tiba dua orang dara perkasa itu menjerit dan terhuyung. Paha kiri Lian Bi dan pundak kanan Cui Leng terkena senjata rahasia yang berupa jarum dengan ronce merah. Mereka tidak tahu siapa yang melepas senjata rahasia secara demikian lihai, datangnya dari atas dan tak tersangka-sangka sehingga mereka yang datang menghadapi pengeroyokan itu tidak dapat mengelak lagi.
Liang Bi yang terluka pahanya, kini melawan sambil agak terpincang-pincang sedangkan Cui Leng terpaksa memindahkan pedang ke tangan kiri karena lengan kanannya terasa panas dan kaku! Para perampok tidak melihat datangnya senjata rahasia itu, mengira bahwa dua orang gadis itu menjadi lelah. Mereka mengepung semakin ketat sambil berteriak-teriak.
"Tangkap mereka hidup-hidup!" teriak kedua orang kepala perampok sambil mendesak terus.
Liang Bi, dan Cui Leng kini menjadi repot. Kalau pihak perampok dapat melepas senjata rahasia demikian lihainya, berarti mereka akan celaka. Untuk mencegah dua orang kepala rampok itu menyerang dengan senjata rahasia lagi, mereka memaksa diri bergerak cepat meloncat ke sana-sini di antara para pengeroyok sehingga membahayakan penyerangan senjata rahasia mengenai kawan sendiri.
Biarpun sudah terluka, namun mereka masih sempat merobohkan masing-masing dua orang anak buah perampok lagi, namun keadaan mereka makin payah karena luka jarum itu benar-benar menimbulkan rasa panas yang terus menjalar ke seluruh tubuh mereka, sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, dapat menduga bahwa tentu saja senjata rahasia itu mengandung racun berbahaya, maka tentu saja mereka mulai merasa khawatir sekali.
Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suling dengan lagu yang amat aneh, makin lama makin keras. Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan disusul robohnya beberapa orang anggauta perampok.
"Ular....! Ular....!"
Dua orang kepala rampok itu membelalakkan mata dan terkejut bukan main ketika melihat puluhan ekor ular berbisa telah berada di situ dan dengan ganas menyerang anak buah mereka!
Ketika mereka memandang, tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda tampan yang dengan tenangnya meniup sebatang suling yang bentuknya aneh. Mengertilah mereka bahwa laki-laki muda itulah yang menggerakkan ular-ular itu dengan suara sulingnya. Sambil berseru marah keduanya meloncat ke arah laki-laki itu dengan cambuk dan golok di tangan.
"Tar! Tar!"
Dua batang cambuk menghantam kepala laki-laki itu, namun dengan tenang laki-laki itu mengulur tangan kiri, menangkap kedua ujung cambuk dan sekali renggut kedua batang cambuk itu putus tengahnya!
Dua orang kepala rampok makin marah, golok mereka membacok, namun pemuda itu hanya menggeser kaki dan dua batang golok itu luput, lalu tiba-tiba tampak sinar berkelebat dua kali dan robohlah dua orang kepala rampok dengan dada terbuka mengucurkan darah, sedangkan pemuda yang melakukan semua itu dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan tetap memegang suling yang ditiup, kini dengan tenangnya menyimpan kembali pedang yang tadi ia pergunakan membunuh dua orang kepala rampok itu.
Liang Bi dan Cui Leng melihat bahwa peniup suling itu bukan lain adalah Si Pemuda Tampan yang telah mengaku sahabat mereka! Cui Leng berseru girang, akan tetapi Liang Bi mengerutkan alisnya. Betapapun juga, kedua orang dara perkasa ini mengamuk lebih hebat sehingga dalam waktu sebentar saja, robohlah semua gerombolan perampok, tidak ada seorang pun yang dapat lolos, sebagian roboh oleh pedang kedua pendekar wanita ini, sebagian lagi oleh sebagian ular-ular yang mengamuk.
Pemuda yang bukan lain adalah Suma Hoat itu, menghentikan "lagu" sulingnya dan meniup suling dengan suara meninggi dan pendek-pendek. Ular-ular itu merayap pergi seolah-olah diusir oleh bunyi pendek-pendek ini dan sebentar saja tidak tampak seekor pun ular di situ.
Adapun Liang Bi, dan Cui Leng, cepat-cepat menjauhkan diri ke tempat yang bersih, duduk bersila dan mengerahkan sin-kang untuk melawan racun yang menjalar ke tubuh mereka melalui luka di tubuh yang terkena senjata rahasia.,
"Syukur bahwa Ji-wi selamat. Memang perampok-perampok disini amat berbahaya," terdengar Suma Hoat berkata.
Liang Bi dan Cui Lang membuka mata, yang pertama memandang dengan alis berkerut, yang kedua dengan mata berseri.
"Kalau tidak cepat engkau datang bersama barisan ularmu yang hebat, tentu kami telah tewas, sobat baik!" kata Cui Leng tersenyum lalu menggigit bibir menahan rasa sakit.
Liang Bi makin tak senang, akan tetapi ia pun cepat berkata,
"Terima kasih atas pertolongan Kongcu."
Suma Hoat tentu saja melihat perbedaan sambutan ini dan ia tersenyum, senyum yang khas dipelajarinya untuk menundukkan hati wanita-wanita muda. Ia melihat sinar kagum dan gembira di mata Cui Leng, akan tetapi Liang Bi tetap memandang dingin.
"Perampok-perampok ini mempunyai sarang di dalam hutan, tak jauh dari sini. Marilah Ji-wi beristirahat di sana."
Cui Leng sudah hendak menjawab, akan tetapi Liang Bi mendahuluinya,
"Terima kasih, tidak usahlah. Kami akan beristirahat di sini dan menyembuhkan luka...."
"Aih Mhh....! Ji-wi terluka....? Aduh celaka....! Itu adalah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)! Berbahaya sekali!" tiba-tiba Suma Hoat berseru.
Liang Bi menjawab dingin,
"Tidak mengapa, Kongcu Kami sanggup mengobatinya dengan sin-kang...."
"Wah, mana bisa? Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan! Racun Ang-tok-ciam amat lihai. Biarpun dapat dilawan dengan sin-kang dan tidak sampai merampas nyawa, namun akibatnya akan membuat muka menjadi bopeng dengan totol merah yang tidak dapat diobati lagi. Coba Ji-wi rasakan, benar tidak. Bukankah di tempat yang terkena luka itu terasa gatal-gatal dan di sekitar kelilingnya kaku dan rasa panas menjalar naik perlahan dari situ dan pertama-tama rasa panas itu menjalar naik? Bagi orang yang tidak mempunyai sin-kang, tentu akan tewas dalam waktu dua belas jam. Bagi Ji-wi yang memiliki sin-kang tinggi, akan dapat menyelamatkan nyawa, akan tetapi hawa panas yang naik ke atas itu akan keluar dari lubang-lubang kulit muka dan menimbulkan totol-totol merah! Marilah ikut bersamaku ke sarang perampok dan aku akan mengobati Ji-wi."
"Suci...."
Cui Leng memandang sucinya dengan wajah membayangkan kengerian mendengar betapa racun jarum beronce merah itu akan membuat wajahnya yang cantik menjadi bopeng dengan totol-totol merah!
Akan tetapi, dengan sikap dingin Liang Bi menggeleng kepala dan berkata kepada Suma Hoat,
"Terima kasih atas kebaikanmu, Kongcu. Akan tetapi kami, akan beristirahat di sini saja dan mengobati sendiri luka-luka kami."
Suma Hoat menarik napas panjang, menggerakkan kedua pundak dan berkata,
"Agaknya Ji-wi Li-hiap merasa curiga kepadaku dan menerima salah maksud baikku. Maafkan kalau aku telah berlaku lancang dengan melakukan pembayaran dan membelikan kuda yang tidak ada artinya dan yang kumaksudkan hanya untuk bersahabat itu. Tentu saja aku tidak dapat memaksa, akan tetapi.... aku akan menanti di dalam hutan, di bekas rumah perampok kalau-kalau Ji-wi Lihiap berubah pikiran dan suka kuobati agar racun itu tidak mengakibatkan cacad pada muka Ji-wi. Selamat berpisah."
Ia lalu membalikkan tubuh dan meninggalkan kedua orang gadis itu. Sebentar saja ia sudah lenyap karena cuaca mulai gelap, bayangannya menyelinap ke dalam hutan tak jauh di depan.
"Suci, engkau sungguh keterlaluan! Orang berniat baik akan tetapi engkau selalu menolak. Bagaimana kalau muka kita menjadi bopeng?" Cui Leng segera menegur kakak seperguruannya setelah bayangan pemuda itu lenyap.
Liang Bi menoleh ke arah adiknya.
"Cui Leng-sumoi, apa artinya muka bopeng bagi seorang gagah? Kalau hanya bopeng mukanya, tidak mengapa, asal jangan bopeng dan cacad hatinya. Aku masih tidak percaya kepada orang itu, Sinar matanya mengandung kepalsuan."
"Suci, aku....!"
"Cukup, Sumoi! Mengapa sejak bertemu dengan laki-laki itu engkau selalu membantah kata-kataku? Kita harus cepat bersamadhi menghimpun hawa murni dan mempergunakan sin-kang untuk melawan racun!"
Setelah berkata demikian, Liang Bi sudah melanjutkan samadhinya dan memejamkan kedua mata, sebentar saja dia sudah tenggelam ke alam samadhi, napasnya panjang-panjang teratur seperti napas orang tidur nyenyak.
Cui Leng berusaha untuk meniru sucinya, namun ia selalu gelisah dan tak dapat tenang. Sukar baginya untuk mengumpulkan panca indera memusatkan kemauan dan segala perasaan untuk menghimpun hawa murni. Bayangan wajah tampan Suma Hoat selalu tampak, terutama sekali ucapannya tentang cacad bopeng yang mengancam mukanya dan penawaran pemuda itu untuk mengobatinya sehingga dia akan terbebas dari ancaman mengerikan itu selalu terngiang di telinganya.
Sejam kemudian, setelah merasa yakin bahwa sucinya telah "pulas" dalam samadhi, Cui Leng tak dapat menahan diri dari ancaman bahaya bopeng, maka diam-diam ia meninggalkan sucinya memasuki hutan dengan maksud menjelang pagi sebelum sucinya sadar kembali dari samadhi, dia akan kembali ke situ sehingga kepergiannya tidak diketahui sucinya.
Mudah saja bagi Cui Leng untuk mendapatkan rumah bekas tempat tinggal kepala rampok itu karena rumah itu cukup megah di tengah hutan dan tampak cahaya penerangan dari rumah itu! Dengan jantung berdebar dia meloncat ke depan pintu yang segera terbuka dan muncullah pemuda itu sambil tersenyum amat tampannya.
"Ah, selamat malam, Nona. Syukur bahwa Li-hiap suka datang...."
Berhadapan dengan pemuda itu, tiba-tiba Cui Leng merasa kikuk dan malu-malu.
"Aku.... aku hendak minta obat.... aku tidak mau menjadi bopeng...."
"Tentu saja! Sayang sekali kalau Li-hiap sampai menjadi bopeng. Eh, mana sucimu, mengapa tidak datang?"
"Dia.... dia tidak mau, dia.... sedang siu-lian, kutinggalkan di sana. Harap kau suka menolongku dan aku akan berterima kasih sekali, kemudian aku akan segera kembali agar dia tidak tahu bahwa aku melanggar perintahnya. Dia galak sekali."
"Masuklah Li-hiap. Aku akan mengobatimu, jangan khawatir. Rumah ini kosong, beberapa orang sisa perampok telah kuusir pergi."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar