Ads

Minggu, 03 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 101

Cui Leng memasuki rumah itu yang ternyata cukup bersih dengan perabot rumah lengkap. Dia dipersilakan duduk di atas bangku dan Suma Hoat berkata,

"Li-hiap, orang yang terkena jarum Ang-tok-ciam harus cepat diberi obat dan jarum itu dicabut keluar, kemudian lukanya harus disedot agar racun yang mengeram di bawah kulit dapat dibersihkan. Engkau terluka di manakah?"

Wajah Cui Leng mendadak menjadi merah sekali.
"Di.... sedot....? Akan tetapi aku.... aku terluka disini...." dia menuding ke arah dada kanan, sedikit di bawah pundak, kemudian menyambung cepat, "Biarlah kucabut dan kusedot sendiri lukanya, baru kau obati."

Suma Hoat memandang ke arah dada itu dan tersenyum.
"Li-hiap, mana mungkin engkau menyedot luka di tempat itu? Mulutmu tidak akan dapat mencapainya dan.... ah, sungguh aku orang yang tidak beruntung, selalu dicurigai. Agaknya Li-hiap juga masih tidak percaya kepadaku. Dalam keadaan seperti ini, perlukah menggunakan rasa sungkan-sungkan lagi? Ingat bahwa aku hanya mengobati, tidak mempunyai niat buruk yang lain. Terserah kepada Li-hiap, kalau tidak mau, aku pun tentu saja tidak berani memaksa."

Pemuda itu membalikkan tubuh dan membelakangi Cui Leng dan menambah kayu di tempat perapian sehingga tempat itu menjadi makin terang dan hawanya menjadi hangat. Memang dia sengaja memberi kesempatan kepada Cui Leng untuk mengambil keputusan.

Ia mendengar gadis itu menghela napas panjang berulang-ulang, kemudian terdengar suaranya lirih agak gemetar,

"Baiklah.... Kongcu.... biar engkau yang menyedot dan mengobatinya. Apa boleh buat, aku tidak sudi menjadi bopeng."

Suma Hoat tersenyum, senyum penuh kemenangan, akan tetapi ketika ia membalikkan muka menghadapi Cui Leng, wajahnya tampak tenang dan biasa saja, bahkan dia berkata,

"Engkau tidak usah khawatir, Li-hiap. Dengan kepandaianmu yang tinggi, aku bisa berbuat apakah terhadapmu? Aku hanya seorang pelajar yang mengerti sedikit ilmu pengobatan dan yang mengandung maksud baik."

Ia lalu menghampiri buntalan pakaiannya, mengambil seguci arak dan cawannya. Sambil menuangkan arak dia berkata dengan sembarangan,

"Harap kau suka membuka bagian yang terluka. Setelah minum obat penawar racun ini, baru akan kucabut jarum dan kusedot darahnya yang terkena racun."

Ia menanti sampai Cui Leng dengan jari-jari gemetar membuka bajunya, melepaskan kancing tiga buah dari bagian atas, kemudian menguak baju dalamnya yang juga berwarna merah sehingga tampaklah dada bagian atasnya yang berkulit putih kemerahan dan di bawah pundak kanan itu tampak ujung gagang jarum yang beronce merah, terhujam dalam-dalam di kulit dan daging.

"Aku sudah siap, Kongcu," kata gadis itu perlahan.

"Baik, sekarang minumlah dulu obat ini."

Suma Hoat menyerahkan cawan yang penuh arak obat kepada gadis itu yang segera menerima dan menenggaknya.

Gadis itu terbatuk.
"Ughh-ughh....! Aihhh, obat ini rasanya harum dan manis akan tetapi keras sekali seperti arak yang sudah amat tua!" serunya sambil memandang arak dalam cawan yang berwarna merah.

"Memang obat itu dicampur dengan arak. Akan tetapi bukanlah obat sembarangan, Li-hiap. Sudah disimpan puluhan tahun lamanya, namun khasiatnya amat hebat. Jangan ragu-ragu minumlah!"

Cul Leng duduk di atas bangku pendek dan Suma Hoat berlutut. Pemuda ini menggunakan kuku jari tangan yang agak panjang terpelihara seperti kuku sastrawan, menjepit ujung gagang jarum di antara kedua kukunya dan dengan gerakan tiba-tiba ia mencabut jarum itu.

"Aihhh!" Cui Leng merintih karena luka itu terasa perih dan nyeri.






"Sakit sedikit, Li-hiap. Sekarang aku akan menyedot lukanya. Engkau tidak keberatan bukan?"

Sambil bertanya demikian, Suma Hoat mengangkat muka, memandang dan Cui Leng menunduk sehingga mereka berpandangan dengan muka terpisah tidak jauh. Wajah itu demikian tampan, sepasang mata itu demikian bagus dan bibir itu tersenyum amat ramah sehingga Cui Leng menjadi percaya sepenuhnya. Lenyaplah semua kecurigaan dan keraguan dan jantungnya berdebar. Dia merasa sesuatu yang amat aneh yang membuat jantungnya berdebar keras. Mengapa wajah pemuda ini sekarang luar biasa tampannya? Mengapa dia merasa amat senang berdekatan dengannya?

Ia tersenyum malu-malu dan mengangguk,
"Lakukanlah...."

Seluruh bulu dan rambut di tubuh Cui Leng seperti berdiri ketika ia merasa betapa bibir yang basah hangat itu menempel di kulit dada bagian atas. Jantungnya berdebar makin keras ketika bibir itu menyedot luka di dadanya. Ia merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dialaminya, perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, campur baur penuh rasa senang, gembira, malu, nikmat dan membuat ia ingin menjatuhkan kepalanya di atas pundak pemuda itu. Tubuhnya seperti tak bertulang lagi, lemas dan lenyap seluruh kemauan, adanya hanya rasa cinta kasih yang menggelora terhadap pemuda itu.

Suma Hoat meludahkan darah yang disedotnya, kemudian menyedot lagi, meludah lagi. Setelah ia menyedot tiga kali, Cui Leng tak dapat menahan lagi amukan perasaan yang menggelora di hatinya, tubuhnya gemetar dan kedua matanya setengah terpejam, mulutnya agak terbuka, terengah memberi jalan keluar pada hawa yang mendesak dan menyesakkan dadanya yang bergelombang.

Melihat tanda ini, diam-diam Suma Hoat tersenyum. "Arak obat" yang diberikannya tadi sudah bekerja baik. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman matang, dia maklum bahwa arak yang sebetulnya adalah obat perangsang itu mempunyai daya melumpuhkan semua pertahanan susila dihati wanita dan tentu saja seperti obat-obat perangsang lain, hanya akan manjur terhadap wanita yang memang sudah mengandung hati tertarik kepadanya. Maka kini perlahan-lahan bibirnya bergeser, bukan lagi luka itu yang dikecupnya, melainkan naik ke leher.

Cui Leng merasakan hal ini, dan ia terkejut sekali, namun apa daya, semua kemauannya telah lenyap, bahkan dia merasa dirinya seperti terapung di angkasa, demikian menyenangkan. Dia hanya dapat mengeluh panjang, napasnya makin terengah dan kini kedua matanya bahkan dipejamkan sama sekali.

Tak lama kemudian, ketika pemuda itu merangkul dan menciumi pipi dan bibirnya, dia merintih dan kedua lengannya merangkul leher pemuda itu tanpa disadarinya. Cui Leng telah lupa dan mabok. Perasaannya terhadap pemuda itu hanya bahwa pemuda itu amat baik, amat tampan, amat gagah perkasa dan sepatutnya menjadi jodohnya!

Seperti dalam mimpi ia menyerah, menurut dan memenuhi apa saja yang dikehendaki pemuda itu dan satu-satunya. percakapan diantara mereka adalah pertanyaan Si Pemuda.

"Kekasihku, siapakah namamu?"

Pertanyaan yang aneh. Belum juga mengenal nama, sudah menyerahkan segalanya! Namun pada saat itu, Cui Leng yang sudah mabok dan lupa daratan itu tidak merasai keanehan ini dan menjawab lirih,

" Namaku Kim Cui Leng.... dan kau, Koko....?"

"Panggil saja aku Hoat."

"Hoat-ko.... aku cinta padamu...."

Dengan ucapan ini, Cui Leng kehilangan segala-galanya. Ia telah serahkan jiwa raganya kepada seorang pria yang sama sekali tidak diketahui riwayat dan keadaannya! Bahkan namanya pun hanya diketahui dengan sebuah huruf "Hoat" saja! Dia seorang gadis yang tidak mempunyai pengalaman sama sekali, masih hijau, dan yang mempermainkannya adalah seorang "Jai-hwa-sian" yang pandai merayu, tentu saja Cui Leng benar-benar jatuh!

Barulah pada keesokan harinya, ketika sadar dari tidurnya yang nyenyak berbantal lengan dan dada Suma Hoat, Cui Leng menjerit, teringat akan segala yang terjadi dan ia menangis tersedu-sedu. Suma Hoat memeluknya.

"Ah, Leng-moi, kekasihku, dewi pujaan hatiku. Kenapa menangis? Apakah engkau menyesal mempunyai kekasih seperti aku?"

"Tidak....! Tidak....! Aku cinta padamu, Koko, akan tetapi...."

Suma Hoat menciuminya.
"Mengapa menangis?"

"Aku takut! Kalau Suci tahu, celakalah aku. Aku tentu akan dibunuhnya! Ini merupakan pelanggaran kami!"

Suma Hoat tertawa,
"Ha-ha-ha! Mengapa takut kepadanya? Jangankan baru dia, biar seluruh tokoh Siauw-lim-pai datang, jangan takut. Ada aku di sini, Leng-moi. Percayalah, aku tidaklah selemah yang kau kira. Lihat ini!"

Suma Hoat menggerakkan tangan kiri dengan jari terbuka ke arah lantai. Terdengar suara "plak! Plak!" dan Cui Leng memandang lantai dengan mata terbelalak melihat betapa telapak tangan pemuda itu membuat bekas yang amat dalam dan begitu jelas sehingga tampak garis telapak tangannya.

"Eh.... itu.... Tiat-ciang-kang (Telapak Tangan Besi)!" serunya kagum.

"Dan lihat ini!"

Kembali tangannya didorongkan ke depan, ke arah guci arak di atas meja dan.... "wuuuuttt!" guci arak itu terbang melayang ke arah tangannya, disambut dan pemuda itu menenggak araknya!

"Wah, Koko....! Sin-kangmu hebat bukan main!"

"Nah, masih takutkah engkau? Biar sucimu datang, dia tidak akan dapat mengganggumu, apalagi membunuhmu."

"Akan tetapi, namaku akan ternoda! Koko, bagaimana baiknya....?" Wajah gadis itu menjadi pucat.

"Karena ketahuan Sucimu? Ha-ha, Leng-moi, kekasihku. Jalan satu-satunya hanyalah mengusahakan agar sucimu mau bermain cinta denganku, mau melayaniku. Dengan demikian, engkau mempunyai teman dan dapat saling menyimpan rahasia!"

"Kau....!"

Tangan Cui Leng menyambar hendak menampar muka Suma Hoat, akan tetapi pemuda itu menangkap tangan itu sambil tertawa-tawa dan betapa pun Cui Leng meronta sambil mengerahkan tenaga, tetap saja dia tidak mampu melepaskan tangannya.

"Leng-moi, jangan begitu. Ingatkah kita melakukan permainan cinta atas dasar suka sama suka, bukan? Tidak ada yang memaksa! Aku adalah, seorang laki-laki yang takkan menolak cinta kasih wanita mana pun. Aku mengusulkan agar sucimu suka bermain cinta denganku semata-mata untuk menolongmu, yaitu agar rahasiamu tetap aman tersimpan. Bagaimana?"

Cui Leng terisak.
"Kau.... kau.... mata keranjang!"

"Ha-ha-ha!" Suma Hoat tertawa. "Laki-laki mana di dunia ini yang tidak mata keranjang? Asal diberi kesempatan tidak akan ada laki-laki yang menolak kasih sayang wanita cantik! Dan sucimu juga cantik jelita, sungguhpun tidak sepanas engkau. Bagaimana?”

Cui Leng memang merasa menyesal dan khawatir. Kalau sampai diketahui sucinya bahwa dia telah menyerahkan kehormatannya kepada pria itu, tentu dia akan celaka dan selama hidupnya takkan merasa aman. Akan tetapi, kalau sucinya juga "terjun" dan ikut basah, sama-sama basah seperti dia, tentu saja mereka berdua akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing.

"Jadi kau.... kau tidak akan memperisteri aku?"

"Moi-moi? Jangan bodoh! Hubungan kita bukanlah hubungan suami isteri, kita melakukannya karena suka sama suka, bukan? Kita sama-santa menikmatinya, bukan? Tadinya pun aku tidak pernah berjanji untuk mengambilmu sebagai isteri."

"Mengapa?" Dalam suara Cui Leng terkandung putus harapan.

"Mengapa? Karena aku sudah bersumpah selamanya tidak akan beristeri! Itulah! Sekarang bagaimana, maukah engkau membiarkan aku membujuk sucimu agar keadaannya sama denganmu ataukah harus kutinggalkan engkau begini saja?"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar