Ads

Minggu, 03 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 102

"Tidak, jangan tinggalkan aku. Baiklah, lakukan apa yang kau kehendaki kepada suci kalau.... kalau.... itu merupakan satu-satunya jalan...."

Melihat betapa wajah yang cantik dan biasanya berseri itu kini berkerut tanda susah. Suma Hoat tertawa, merangkul dan memondong Cui Leng.

"Leng-moi, hidup satu kali mengapa berduka dan berkhawatir? Tidak pantas wajahmu yang cantik berduka. Mari kita bergembira!"

Dia membawa Cui Leng lari keluar rumah itu menuju ke sebuah sungai. Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah tertawa-tawa, mandi bertelanjang bulat di dalam sungai itu, saling menyirami air, berkejaran penuh kegembiraan, saling mencurahkan cinta kasih secara bebas seperti sepasang angsa. Cui Leng kembali menjadi gembira, lupa sama sekali akan kekhawatirannya tadi, terbuai mabok dalam rayuan Suma Hoat yang amat pandai menguasai hati dan tubuhnya.

"Sumoi....!"

Bentakan Liang Bi mengejutkan Cui Leng dan ia menengok dengan wajah pucat ke arah sumoinya yang sudah berdiri di tepi sungai, sedangkan Suma Hoat malah tersenyum-senyum. Kekagetan Cui Leng tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan rasa kaget yang memukul hati Lian Bi ketika ia mencari sumoinya dan mendapatkan sumoinya sedang mandi bersama pemuda penolong mereka dalam keadaan telanjang bulat seperti itu.

"Ha-ha, kebetulan sekali engkau datang Li-hiap. Marilah ikut bersama kami, disini segar dan nyaman. Tanggalkan pakaianmu!" kata Suma Hoat.

Saking bingung dan takutnya melihat sucinya penuh kemarahan, Cui Leng berkata di luar kesadarannya,

"Benar suci! Mari kita mandi bersama Hoat-koko....!"

"Sumoi, engkau murid yang murtad! Tidak malu melakukan perbuatan terkutuk" dengan kemarahan meluap Liang Bi mencabut pedangnya. "Manusia-manusia macam kalian harus kubunuh!"

"Suci....!"

"Tenanglah, Leng-moi, biar aku yang menundukkannya!"

Setelah berkata demikian sekali melompat tubuh Suma Hoat yang telanjang bulat melayang ke darat, ke depan Liang Bi.

Selama hidupnya yang dua puluh tahun lamanya, dalam mimpi pun belum pernah Liang Bi melihat seorang laki-laki dewasa telanjang. Kini ada seorang laki-laki, dewasa bertelanjang bulat berdiri di depannya, tentu saja hal ini merupakan pengalaman yang amat hebat, yang membuat seluruh tubuhnya menggigil dan ia hampir pingsan saking malunya. Akan tetapi kemarahannya mengatasi segala perasaan lain. Dengan teriakan ganas ia menerjang dengan pedangnya, membacok laki-laki itu penuh kebencian.

Akan tetapi, selain tingkat ilmu kepandaian Suma Hoat sudah amat tinggi, juga menghadapi seorang pria yang telanjang bulat itu membuat Liang Bi merasa ngeri sehingga gerakannya terganggu dan dengan mudah Suma Hoat menghindarkan diri dari serangan pedang yang bertubi-tubi.

"Ah, Nona yang manis, mengapa engkau hendak membunuhku yang tidak berdosa? Sumoimu dan aku sama-sama menikmati cinta kasih dan marilah engkau ikut pula menikmatinya. Tegakah engkau membunuh aku yang tidak berdosa?" Sambil mengelak dengan mempergunakan gin-kangnya yang tinggi, Suma Hoat membujuk.

"Manusia hina! Terkutuk! Mampuslah!"

Liang Bi menerjang lagi dengan mata setengah terpejam karena dia tidak tahan menyaksikan tubuh yang telanjang bulat begitu dekat dengannya itu.

Kembali Suma Hoat mengelak.
"Aihh, betapa tega hatimu, Nona. Akan tetapi aku tidak tega untuk mencelakaimu. Aku cinta padamu, manis!"

Ucapan merayu ini seperti minyak disiramkan pada api, membuat kemarahan Lian Bi makin berkobar. Kalau pria ini mencinta sumoinya, bagaimana sekarang di depan sumoinya berani mengeluarkan kata-kata mencintanya?






"Keparat biadab!"

Liang Bi memaki makin marah, pedangnya diputar cepat sekali menjadi segulung sinar menyilaukan yang menyambar-nyambar.

"Aduh, cantik dan gagah sekali engkau!"

Suma Hoat kembali memuji dan cepat ia mengelak. Tiba-tiba Liang Bi menendang dan paha kiri Suma Hoat yang mengelak masih diserempet ujung sepatu. Suma Hoat terguling!

"Mampuslah engkau!"

Liang Bi menubruk dan menusuk, Suma Hoat menggulingkan tubuhnya mengelak dari tusukan yang bertubi-tubi.

"Suci....!"

Cui Leng yang sudah naik ke darat dan mengenakan pakaian menjerit namun Liang Bi tidak peduli terus mengejar dan menusuk ke arah tubuh yang bergulingan itu. Makin panas hatinya karena tusukannya tidak pernah mengenai orang yang dibencinya.

Tiba-tiba Suma Hoat tertawa dan ketika kembali Liang Bi menusuk, ia berguling dan tiba-tiba, pada saat ujung pedang Liang Bi menyentuh tanah, tubuh Suma Hoat mencelat ke atas dan tahu-tahu ia telah memeluk tubuh Liang Bi, meringkus tubuh itu dengan melingkarkan kedua lengan menelikung lengan gadis itu.

Liang Bi menjerit ngeri ketika merasa betapa tubuh yang telanjang bulat itu memeluknya begitu erat. Ia menggigil dan merasa seluruh tubuh lemas maka ia pun roboh terguling bersama Suma Hoat. Mereka roboh di atas tanah berumput, pedang terlepas dari tangan Liang Bi dan gadis ini hampir pingsan ketika merasa betapa lehernya, pipinya dan bibirnya dicium oleh pemuda yang telanjang bulat itu!

"Aku cinta padamu, Nona. Aihh, betapa cantik manis engkau....!" Suma Hoat berbisik-bisik.

"Bunuh aku....! Bunuh saja aku.... !"

Liang Bi merintih dan akhirnya ia tak ingat diri, pingsan oleh rasa jijik dan ngeri ketika merasa betapa tangan pemuda itu menggerayangi tubuhnya.

Kalau saja Suma Hoat tidak ingat bahwa Liang Bi adalah murid Siauw-lim-pai, dan terutama sekali tidak ingat atau menjaga nama Cui Leng, tentu dia akan memperkosa atau membunuh Liang Bi di saat dan di tempat itu juga.

Akan tetapi dia tidak ingin menyusahkan Cui Leng yang sudah bersikap baik kepadanya! Kalau dia memperkosa Liang Bi, gadis yang keras hati ini akhirnya tentu akan membunuh diri dan nama baik Cui Leng akan ternoda. Dia harus mencari akal untuk menguasai hati dan tubuh Liang Bi tanpa paksaan sehingga gadis itu akan berada dalam keadaan yang sama dengan sumoinya sehingga mereka akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing. Kalau sudah demikian, dia akan dapat meninggalkan mereka berdua sebagai seorang sahabat dan bekas kekasih! Dan dia tidak perlu bermusuhan dengan pihak Siauw-lim-pai yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan!

Melihat Liang Bi pingsan, Suma Hoat melepaskannya, mengenakan pakaiannya dan berkata kepada Cui Leng yang tadi menonton dengan penuh kekhawatiran.

"Sucimu keras hati, akan tetapi aku harus menundukkannya, demi menjaga nama baikmu. Aku akan membuat dia suka melayaniku, akan tetapi engkau harus membantuku. Semua ini kita lakukan demi kebaikanmu."

Cui Leng tak dapat berkata lain kecuali menarik napas panjang dan mengangguk. Diam-diam ia menyesali perbuatannya, akan tetapi betapapun juga harus dia akui bahwa belum pernah selama hidupnya ia merasakan kebahagiaan dan kesenangan seperti sekarang, dan pula dia pun mengerti bahwa kalau sucinya sudah terjun pula seperti yang telah dia lakukan, rahasianya tentu akan tertutup dan ia aman.

Ketika siuman dari pingsannya, Liang Bi mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah rumah yang cukup bersih dan megah, terikat pada dipan kayu, terbelenggu kaki tangannya. Suma Hoat yang berpakaian rapi, bersisir dan kelihatan tampan sekali duduk di pinggir pembaringan, Cui Leng tidak tampak dan pemuda itu tersenyum memandangnya ketika ia membuka mata.

"Jahanam....!"

Kata-kata yang pertama keluar dari mulut Liang Bi adalah makian, namun hatinya agak lega bahwa ia masih tetap berpakaian dan dirinya belum ternoda.

Suma Hoat tersenyum.
"Bi-moi, engkau sungguh cantik sesuai dengan namamu. Aku cinta padamu, Bi-moi,"

Suma Hoat merayu dan mengusap dagu yang halus itu. Liang Bi membuang muka dengan gerakan kasar.

"Jangan sentuh aku! Lebih baik kau bunuh saja!" teriaknya dan dua butir air mata meloncat keluar dari sepasang matanya.

"Aihh, sayang sekali kalau dibunuh. Aku tidak akan membunuhmu, tidak akan mencelakakanmu. Aku cinta padamu. Mengapa engkau berkeras kepala? Aku hanya ingin engkau membalas cintaku! Bukankah sudah cocok sekali kalau seorang gadis jelita seperti engkau dan seorang pemuda tampan seperti aku saling mencinta?" .

"Phuih! Manusia terkutuk! Jangan mengira bahwa semua wanita akan semudah itu kau permainkan! Aku lebih baik mati daripada melakukan perbuatan terkutuk!"

Akan tetapi Suma Hoat tertawa dan dengan gerakan mesra mulailah ia membelai dan menciumi. Liang Bi meronta-ronta, memaki-maki dan menangis. Melihat betapa gadis itu sama sekali tidak bergerak hatinya oleh cumbu rayunya, Suma Hoat menghentikan perbuatannya.

"Hemm, engkau benar keras hati dan keras kepala. Hendak kulihat sampai di mana kekerasanmu!" Pemuda yang kalau berhadapan dengan wanita menjadi keji dan ganas seperti iblis itu lalu mengambil secawan arak, yaitu obat perangsang yang sudah dipersiapkan. "Kau minumlah arak obat ini, manis!"

"Tidak sudi! Engkau telah menipu, menjatuhkan hati Sumoi yang lemah dengan tipuanmu. Jarum itu sama sekali tidak mengandung racun berbahaya. Tanpa pengobatan pun akan lenyap sendiri rasa gatal dan panas, namun engkau membohongi Sumoi. Engkau katakan bahwa racun itu akan membuat muka menjadi bopeng, buktinya aku tidak apa-apa! Aku tidak sudi minum obatmu yang terkutuk!" Liang Bi membuang muka ke samping.

Akan tetapi sambil tertawa Suma Hoat menggunakan tangan kiri memegang dagu, dengan jari-jari tangannya yang kuat ia memaksa mulut Liang Bi terbuka dan ia menuangkan isi cawan ke dalam mulut dara itu. Liang Bi gelagapan terpaksa menelan arak obat itu sampai habis. Ia terbatuk-batuk dan memaki-maki.

"Binatang! Iblis! Aku bersumpah untuk membunuhmu! Engkau telah menghina murid-murid Siauw-lim-pai!" ia meronta-ronta dan memandang Suma Hoat yang tertawa-tawa penuh kebencian.

Suma Hoat hanya duduk dan memandang sambil tersenyum. Tak lama kemudian obat itu mulai bekerja. Liang Bi menjadi gelisah. Seluruh tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup kencang, pandang matanya kabur, kepalanya pening. Makin lama makin panas rasanya sehingga ia mengira bahwa tubuhnya telah kemasukan racun dan ia akan mati.

Akan tetapi ia tidak peduli. Yang amat mengganggu hatinya adalah perasaan aneh yang mendorong-dorongnya, menimbulkan rangsangan birahi, membuat ia seolah-olah dipaksa dari dalam untuk menyerah, untuk menerima pemuda itu yang kelihatan amat tampan dan menggairahkan. Namun, karena pada dasarnya dia tidak sudi melakukan perbuatan yang dianggapnya terkutuk itu, dia dapat melawan perasaan aneh ini dan dia memejamkan mata agar tidak melihat wajah yang tampan dan senyum manis itu.

"Suci, mengapa Suci tidak mau menurut! Hoat-koko orangnya amat baik, Suci. Aku.... aku cinta padanya dan kalau Suci menurut, Suci pun akan jatuh cinta padanya.!"

Mendengar suara sumoinya ini, Liang Bi membuka mata dan menoleh.
"Perempuan hina! Perempuan rendah! Orang macam engkau ini seribu kali lebih baik membunuh diri saja, tidak ada harganya untuk hidup!" .

Muka Cui Leng menjadi merah, akan tetapi Suma Hoat sudah memeluknya sambil tertawa,

"Leng-moi, sucimu lebih suka mati, lebih suka menderita. Biarlah, kita berdua lebih senang untuk memilih hidup dan bersenang, ha-ha-ha!"

Suma Hoat lalu menarik tangan Cui Leng ke atas pembaringan dimana Liang Bi terbelenggu, kemudian ia mulai membelai Cui Leng. Tanpa malu-malu, di depan mata Liang Bi dia mengajak Cui Leng bermain cinta!

Biarpun Cui Leng merasa sungkan dan malu sekali, akan tetapi karena dia maklum bahwa perbuatan ini dilakukan oleh kekasihnya untuk menggerakkan hati sucinya dan dia amat memerlukan sucinya ikut terjun dalam permainan itu yang akan menyelamatkan rahasianya, maka ia pun menurut saja.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar