Ads

Minggu, 03 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 103

Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa hati Liang Bi yang dipaksa menyaksikan adegan yang dianggap terkutuk itu berlangsung di depan matanya! Dia memejamkan mata dan membuang muka, namun telinganya masih mendengar. Ia tersiksa sekali karena rangsangan didalam tubuhnya makin menghebat, nafsu berahinya menggelora dengan disuguhkannya adegan yang amat dekat itu, dan ia memaksa batinnya sekuat tenaga untuk melawan godaan yang datangnya dari dalam.

Di luar kehendaknya, karena rangsangan yang amat hebat, beberapa kali ia menoleh, membuang mata dan memandang mereka. Kalau sudah tidak kuat, ia mengeluh dan memaksa kedua matanya untuk dipejamkan. Ia merintih-rintih dan berkali-kali bersambat,

"Bunuhlah aku.... bunuhlah.... ahhh, terkutuk kalian.... bunuhlah aku....!" Kemudian diakhiri dengan tangis terisak-isak dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya.

Suma Hoat yang melakukan perbuatan tak tahu malu itu dengan niat untuk menggerakkan hati Liang Bi, turun dari pembaringan, menghampiri Liang Bi dan menciumnya, mengusap air matanya.

"Bimoi.... aku pun mencintamu seperti aku mencinta Leng-moi...., kau menurutlah sayang dan kita bertiga hidup bahagia...."

Jari tangannya membelai dan hampir saja Liang Bi tidak kuat menahan, hampir runtuh batinnya. Namun dia menggigit bibir dan menggeleng kepala dengan mata dipejamkan, tak kuasa menjawab.

Suma Hoat menjadi jengkel. Belum pernah ia menjumpai seorang gadis yang begini keras pertahanan hatinya. Arak obatnya tidak mempan, juga adegan yang ia pamerkan tidak!

"Hemmm, kau berkeras, ya? Kau lebih senang tersiksa? Baiklah!"

Ia lalu menotok tubuh Liang Bi, melepaskan belenggunya dan memondong tubuhnya keluar dari rumah itu.

"Hoat-ko....!"

Cui Leng cepat mengejar, khawatir karena menyangka bahwa pemuda itu hendak membunuh sucinya.

"Marilah, Leng-moi. Aku ingin melihat sampai dimana keteguhan dan kekerasan hatinya!"

Pemuda itu membawa tubuh Liang Bi ke belakang rumah dan meletakkannya di atas rumput. Kemudian ia mengeluarkan sulingnya dan meniup suling aneh itu. Cui Leng memandang penuh perhatian dengan mata terbelalak. Terdengarlah bunyi lengking yang aneh, disusul bunyi berkerasakan di antara rumpun alang-alang dan rumput. Tak lama kemudian, muncullah tiga ekor ular hijau yang beracun, merayap mendekati Liang Bi!

"Hoat-ko....!" Cui Leng menjerit.

Akan tetapi Suma Hoat memandang kepadanya sambil menggeleng kepala dan melanjutkan tiupan sulingnya. Mengertilah Cui Leng bahwa kekasihnya hanya hendak menakut-nakuti Liang Bi.

Yang menyiksa dan mengkhawatirkan hati Cui Leng adalah bahwa sucinya itu paling jijik dan takut melihat ular. Kini ada tiga ekor ular merayap mendekatinya, tentu saja sucinya menjadi takut setengah mati. Mata Liang Bi terbelalak, melirik ke arah ular-ular itu dan wajahnya pucat sekali.

Suma Hoat menghentikan tiupan sulingnya dan dengan sulingnya ia mencegah ular-ular itu datang terlalu dekat.

"Bagaimana, Bi-moi? Kalau kau tidak mau menyerah, ular-ular ini akan menggigitmu dan sekali gigit saja tubuhmu akan bengkak-bengkak!"






Liang-Bi sudah tertotok, tubuhnya lemas dan lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat berkata ketus,

"Bunuhlah aku! Aku tidak sudi!"

Suma Hoat makin panasaran, ditiupnya lagi sulingnya dan kini tiga ekor ular itu mendekati tubuh Liang Bi yang menjadi makin ketakutan. Lidah-lidah ular yang merah dan bergerak-gerak keluar masuk itu, taring yang putih mengkilap dan melengkung ke dalam, mata yang merah dan liar, benar-benar membuat ia hampir pingsan saking takutnya.

Betapa mudahnya untuk mengucapkan kata-kata menyerah dan ia akan terbebas dari ancaman ular-ular ini! Dia menikmati cinta kasih seperti yang dilihatnya tadi dinikmati sumoinya. Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, bertekad lebih baik mati daripada menyerah dan terperosok ke dalam pecomberan yang berupa perbuatan melanggar susila yang terkutuk dan menjijikkan. Tidak, dia tidak akan menyerah. Bagi seorang gagah, kehormatan seribu kali lebih berharga daripada nyawa! Seribu kali lebih baik mati sebagai seorang pendekar wanita yang bersih daripada hidup sebagai seorang perempuan ternoda!

"Bunuhlah! Aku tidak takut mati!" Ia berteriak.

Sinar yang buas terpancar keluar dari pandang mata Suma Hoat. Dia mulai marah dan dia lupa akan janjinya kepada Cui Leng, maka kini dia meniup sulingnya dengan nada makin tinggi. Tiga ekor ular itu mendesis-desis, siap menerjang dan menggigit tubuh wanita yang terbujur di atas tanah.

"Crat-crat-crat!"

Sinar putih menyilaukan mata itu lenyap dan disitu telah berdiri dua orang wanita dengan pedang di tangan dan tiga ekor ular tadi telah putus kepalanya, tinggal tubuhnya yang menggeliat-geliat dalam sekarat.

Cui Leng dan Suma Hoat terkejut sekali, akan tetapi dengan tenang Suma Hoat mengangkat kepala memandang. Yang muncul dan membunuh tiga ekor ular dengan pedang itu adalah dua orang wanita yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun, keduanya bersikap gagah perkasa dan masih nampak cantik. Melihat persamaan wajah mereka, mudah diduga bahwa mereka ini tentulah kakak beradik. Kini wanita yang lebih tua menudingkan pedangnya kepada Suma Hoat dan membentak,

"Penjahat keji, perbuatanmu melampaui batas perikemanusiaan. Sekarang, setelah kami datang bersiaplah untuk mati!"

Setelah berkata demikian, tubuhnya mencelat ke depan menyerang Suma Hoat yang cepat menggunakan sulingnya menangkis.

"Dan engkau wanita kejam patut mampus, juga!"

Teriak wanita ke dua yang juga cepat sekali gerakannya menerjang Cui Leng. Terpaksa gadis, ini mencabut pedang menangkis.

"Cringgg...., tranggg....!"

Pertemuan pedang kedua orang wanita gagah itu dengan suling Suma Hoat dan pedang Cui Leng menimbulkan bunga api yang muncrat menyilaukan mata. Wanita yang lebih tua terkejut bukan main karena tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, tanda bahwa pemuda tampan yang memegang suling itu memiliki sin-kang yang amat kuat. Adapun wanita ke dua juga merasa bahwa dara cantik yang menjadi teman pemuda itu pun memiliki gerakan yang tangkas dan kuat. Namun keduanya tidak gentar dan cepat menyerang dengan "dahsyat.

Namun, Suma Hoat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dapat mengimbangi permainan pedang lawan sehingga mereka telah bertanding dengan seru. Diam-diam ia kagum karena ternyata wanita baju hijau yang usianya sekitar empat puluh tahun ini memiliki kepandaian yang luar biasa. Maka dia pun cepat melolos pedangnya dan balas menyerang.

Di lain pihak, Cui Leng kewalahan menghadapi lawannya yang lihai. Terpaksa Cui Leng mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya memainkan ilmu pedang Siauw-lim-pai yang mempunyai daya tahan kokoh kuat.

"Tahan....!"

Tiba-tiba wanita yang melawan Cui Leng berteriak dan melompat mundur diikuti encinya. Wanita ini memandang Cui Leng dan bertanya,

"Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai? Ilmu pedangmu adalah ilmu pedang Siauw-lim-pai!"

Cui Leng menjadi bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Kalau tidak dalam keadaan seperti sekarang, tentu tanpa ragu-ragu ia akan mengaku. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ingin ia menyembunyikan kenyataan bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi Suma Hoat sudah mendahuluinya, tertawa sambil memandang kedua wanita itu.

"Tidak salah dugaan Ji-wi Toanio yang cantik dan gagah! Dia dan sucinya itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai, dan aku adalah sahabatnya. Kami bertiga sedang main-main, mengapa Ji-wi membunuh ular-ularku dan menyerang kami?"

Kedua orang wanita itu saling pandang, kelihatan terkejut sekali dan terheran. Tanpa mempedulikan ucapan Suma Hoat yang main-main, Juga panggilan dengan embel-embel "yang cantik dan gagah" yang pada saat lain tentu akan menimbulkan kemarahan mereka, kini wanita tertua menghadapi Cui Leng dan bertanya.

"Engkau.... dan sucimu.... apakah wakil-wakil dari Siauw-lim-pai untuk bertemu dengan Beng-kauw?"

Cui Leng menjadi makin bingung. Dia tidak tahu siapa kedua orang wanita itu, akan tetapi dia menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Beng-kauw, maka dia menjadi makin bingung.

"Aku.... aku...." Sukar sekali dia melanjutkan kata-katanya.

"Kembali Ji-wi Toanio benar. Adik Kim Cui Leng dan adik Liang Bi ini adalah wakil Siauw-lim-pai. Ji-wi siapakah? Biarlah aku mewakili kedua adikku tercinta ini untuk berunding. Mari kita ke rumah kami." Suma Hoat berkata dan senyumnya amat menarik.

"Aihhh...., bagaimana ini?" Wanita yang lebih muda, berpakaian biru berkata dan kelihatan bingung






Tidak ada komentar:

Posting Komentar