Ads

Minggu, 03 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 104

"Hui-moi, mari kita pergi"

Kata wanita baju hijau yang lebih tua. Adiknya mengangguk dan keduanya berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.

Cui Leng membanting-bantingkan kakinya.
"Celaka, Koko. Kenapa Koko mengaku bahwa kami berdua adalah orang-orang Siauw-lim-pai? Kita tidak tahu mereka itu siapa!"

Suma Hoat tertawa,
"Takut apa, Moi moi? Ada aku disini, mengapa takut?"

Cui Leng memandang sucinya yang masih rebah telentang, dan ternyata sucinya telah pingsan saking ngerinya tadi ketika akan digigit ular-ular itu.

"Wah, bagaimana ini? Kau belum juga berhasil dengan suci, dan sekarang ada dua orang wanita itu. Rahasia tentu akan terbongkar....!"

"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Sucimu takut ular, aku masih ada jalan lain."

Setelah berkata demikian, Suma Hoat memondong tubuh Liang Bi dan kembali ke dalam rumah diikuti oleh Cui Leng yang amat gelisah hatinya dan menduga-duga siapa gerangan kedua orang wanita yang lihai itu. Mereka itu lihai dan kalau mereka bertempur terus, belum tentu dia dan Suma Hoat akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi mengapa mereka berdua tadi terus lari pergi setelah mendengar bahwa dia adalah murid dan wakil Siauw-lim-pai? Siapakah mereka?

Ya, siapakah mereka? Dua orang wanita itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang selama belasan tahun bersembunyi di Ta-liang-san. Mereka adalah cucu dari pendiri Beng-kauw yang selama hampir dua puluh tahun bersembunyi di Ta-liang-san, menggembleng diri dengan ilmu silat di bawah pimpinan paman kakek mereka, yaitu Kauw Bian Cinjin seorang tokoh besar Beng-kauw.

Kakak beradik ini bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dan mereka ini bukan lain adalah kedua orang kakak dari Kam Han Ki! Mereka adalah puteri dari Kam Bu Sin adik tiri Suling Emas, sedangkan ibu mereka adalah Liu Hwe, keturunan ketua Beng-kauw (baca cerita MUTIARA HITAM)!

Kedua orang kakak beradik ini tadinya sudah menikah dengan dua orang pendekar ternama di selatan, akan tetapi kedua suami mereka telah gugur ketika berjuang melawan musuh-musuh Beng-kauw.

Mereka belum mempunyai keturunan dan selama ini hidup sebagai janda-janda yang tekun melatih diri di puncak Ta-liang-san dan menanti kesempatan untuk membangun kembali Beng-kauw yang sudah hancur. Mereka merasa prihatin sekali ketika anak buah Beng-kauw kini jatuh ke dalam cengkeraman seorang pendeta dari Tibet yang amat lihai dan yang membangun sarang di Pegunungan Heng-toan di lembah Sungai Ci-sha.

Pendeta Tibet ini berjuluk Hoat Bhok Lama, seorang pendeta berjubah merah yang amat lihai dan yang melanjutkan perkumpulan Agama Beng-kauw dan memaksa bekas anak buah Beng-kauw menjadi anak buahnya. Akan tetapi, dengan pimpinan di tangannya, Beng-kauw diselewengkan dan dia tidak segan melakukan perbuatan yang jahat.

Namun karena lihainya, segala usaha keturunan pendiri Beng-kauw mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yaitu kedua orang wanita she Kam itu, selalu gagal. Bahkan suami mereka pun tewas di tangan Hoat Bhok Lama! Juga Kauw Bian Cinjin yang sudah amat tua, paman kakek dan juga mereka, tewas di tangan Hoat Bhok Lama!






Demikianlah, dalam usaha mereka untuk menentang, Hoat Bhok Lama, bukan semata-mata membalas dendam kematian suami dan keluarga mereka, melainkan dalam usaha mereka untuk merampas kembali Beng-kauw dan membersihkan perkumpulan itu dari penyelewengan, Kam Sian Kui dan Kam Siang Hui menghubungi Siauw-lim-pai untuk mohon pertolongan Ketua Siauw-lim-pai.

Tentu saja mereka segera turun tangan ketika menyaksikan seorang gadis disiksa dan akan dibunuh dengan ular-ular beracun. Akan tetapi ketika mendengar bahwa gadis-gadis itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang katanya akan dikirim oleh Ketua Siauw-lim-pai sebagai wakil dan yang kini malah membantu pemuda tampan itu, kedua orang kakak beradik ini menjadi segan mencampuri. Mereka mengharapkan bantuan Siauw-lim-pai, kalau mereka kini bentrok dengan murid Siauw-lim-pai, apa jadinya? Maka mereka bergegas pergi mencari Ketua Siauw-lim-pai untuk melaporkan peristiwa yang mereka lihat di hutan itu.

Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengar akan nasib buruk yang menimpa keluarga keturunan Suling Emas, pek-hu (uwa) mereka. Akan tetapi mereka hanya dapat menangis mendengar akan kematian Raja Talibu, Mutiara Hitam dan Kam Liong yang menjadi saudara-saudara misan mereka.

Mereka tidak berdaya berbuat sesuatu karena mereka sendiri pun mengalami nasib yang tidak baik. Suami mereka gugur, Beng-kauw dirampas orang dan diselewengkan. Mereka tidak dapat mengharapkan bantuan saudara-saudara lain karena mereka menganggap bahwa adik mereka, Kam Han Ki, telah tewas. Mereka tidak tahu bahwa adik mereka itu masih hidup. Maka satu-satunya harapan mereka adalah Siauw-lim-pai yang mereka tahu memiliki banyak orang pandai dan yang selalu siap membela kebenaran. Apalagi karena perampas Beng-kauw adalah seorang pendeta, sedikit banyak hal ini akan mencemarkan pula nama Siauw-lim-pai yang menjunjung tinggi Agama Buddha.

Demikianlah, mereka bergegas mencari ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, untuk melaporkan dan sekalian untuk berunding dengan ketua itu sendiri mengenai urusan mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang amat lihai. Kebetulan sekali bahwa pada waktu itu, Kian Ti Hosiang berada di kota Cun-ek, di kaki Pegunungan Ciung-lai, tidak jauh dari situ di dalam sebuah kuil cabang Siauw-lim-pai.

Kian Ti Hosiang menerima kedatangan mereka dan dengan sabar dan tenang mendengarkan penuturan mereka. Biarpun di dalam hatinya hwesio yang berwajah tenang ini terkejut sekali mendengar akan keadaan kedua orang muridnya, namun dengan sikap tenang ia berkata,

"Omitohud...., Ji-wi Toanio telah bertindak tepat dengan memberitahukan kepada pinceng. Mereka masih muda dan belum berpengalaman. Pinceng tak dapat menduga apakah yang terjadi dan siapa laki-laki muda itu. Biarlah pinceng sendiri yang akan menengok mereka."

"Sebaiknya begitu Locianpwe. Mari kami antarkan Locianpwe mengunjungi tempat itu,"

Kata Kam Siang Kui yang merasa tidak enak sekali karena dia menduga bahwa tentu dua orang murid Siauw-lim-pai itu jatuh ke tangan seorang yang amat jahat dan keji, penjahat berwajah tampan dan bersikap ramah yang lihai itu.

Biarpun Kian Ti Hosiang sudah tua, namun betapapun dua orang tokoh Bengkauw itu menggunakan seluruh kepandaian berlari cepat, hwesio yang kelihatan melangkah seenaknya itu selalu berada di samping mereka. Hal ini menimbulkan rasa hormat dan kagum dalam hati mereka dan diam-diam mereka harus mengakui bahwa dalam hal ilmu lari cepat, biar mendiang Kauw Bian Cinjin guru dan paman kakek mereka sendiri tidak akan dapat menandingi Ketua Siauw-lim-pai ini.

Di dalam perjalanan ini, kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu menceritakan keadaan Beng-kauw dan kembali mereka mengajukan permohonan agar Ketua Siauw-lim-pai itu suka membantu mereka untuk menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Kian Ti Hosiang mendengarkan dengan penuh kesabaran, kemudian menjawab bahwa urusan itu akan mereka bicarakan setelah perkara kedua muridnya selesai dan akan dirundingkan dengan para pemimpin Siauw-lim-pai.

"Saya rasa bahwa Locianpwe seorang saja yang akan mampu menolong kami," Kam Siang Kui berkata penuh permohonan. "Lama itu lihai bukan main, dan kiranya hanya Locianpwe seorang di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya."

Ketua Siauw-lim-pai itu menghela napas panjang.
"Kita lihat sajalah nanti, Toanio. Pinceng sudah lama menghentikan pendirian bahwa kejahatan harus diakhiri dengan kekerasan dan pernbunuhan. Pinceng tidak tahu siapakah yang lebih jahat antara penjahat yang dibunuh dengan orang yang membunuhnya!"

Mendengar ucapan ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui saling pandang penuh keheranan dan tidak berani lagi bicara tentang permohonan bantuan sebelum hwesio ini selesai menolong murid-muridnya.

Perjalanan dilakukan dengan cepat dan sunyi, seolah-olah mereka bertiga tenggelam dalam lamunan masing-masing yang dibangkitkan oleh ucapan terakhir hwesio itu.

**** 104 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar