Ads

Minggu, 03 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 105

Liang Bi terikat kaki tangannya pada sebatang tiang di ruangan rumah bekas kepala rampok. Ia memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Suma Hoat dan Kim Cui Leng. Dilihatnya Suma Hoat yang tersenyum-senyum meloncat pergi meninggalkannya setelah selesai mengikat tubuhnya dan menotok jalan darah di pundaknya sehingga tubuhnya menjadi lemas dan tidak mampu menggunakan sin-kang untuk melepaskan diri.

Cui Leng memandang kepada sucinya dengan sinar mata penuh penyesalan dan kekhawatiran. Kemudian ia melangkah maju, membujuk,

"Suci, mengapa engkau berkeras? Suci, Hoat-koko benar-benar mencinta kita, dia tidak bermaksud jahat. Dia mencinta kita dan dia baik sekali. Suci, di dunia ini sukarlah berternu dengan seorang pria seperti dia. Tampan, berilmu tinggi, menarik hati dan.... dan.... engkau tentu akan merasa bahagia sekali kalau suka melayani dan membalas cinta kasihnya. Suci, ke mana-mana kita berdua, kita mengalami suka-duka berdua, mengalami bahaya maut berdua. Sekarang...., aku menikmati kebahagiaan, aku pun ingin agar kita menikmatinya berdua...."

"Cihh! Perempuan rendah! Cui Leng, tidak malukah engkau? Apakah sudah hilang harga dirimu? Engkau menyeret nama dan kehormatanmu ke pecomberan! Aihhh, bagaimana engkau sampai dapat terperosok serendah ini?"

"Suci, apakah artinya malu? Kalau kita suka melakukan suatu perbuatan tanpa merugikan orang lain, mengapa mesti malu? Pula, malu kepada siapakah? Tidak ada orang lain yang akan mengetahuinya! Suci, kau sambutlah Hoat-koko, dan kita bertiga akan hidup bahagia dan dengan kita bertiga menjadi satu, kita takut kepada siapakah? Hoat-koko amat lihai, aku sudah membuktikan betapa ia memiliki sin-kang yang amat kuat, memiliki pukulan-pukulan lihai seperti Tiat-ciang-kang dan memiliki ilmu aneh-aneh. Kalau kita berbaik kepadanya kita dapat belajar ilmu dari dia, alangkah senangnya!"

"Sumoi! Aku masih dapat memaafkan engkau karena kau telah terbujuk. Kau lepaskan aku, mari kita pergi dari tempat terkutuk ini, Sumoi. Marilah, selagi dia tidak ada. Engkau belum tersesat terlalu jauh...."

Akan tetapi Cui Leng menggeleng kepala.
"Tidak mungkin, Suci. Aku tidak dapat mundur lagi. Kalau engkau suka melayaninya seperti yang telah kulakukan dan kita menikmati kebahagiaan bersama, setelah itu.... tentu Hoat-koko tidak akan mengganggumu lagi dan kita dapat hidup bersama dia atau meninggalkannya dengan hati aman...."

Liang Bi membelalakkan matanya. Gadis ini tidak mengerti mengapa sumoinya bersikeras minta agar dia melayani niat keji pemuda itu! Senja telah mendatang ketika dari jauh terdengar suara suling yang membuat bulu tengkuk Liang Bi berdiri meremang. Dia merasa ngeri karena teringat bahwa suara itu adalah suara suling Si Pemuda yang pandai menguasai ular dengan sulingnya.

Padahal, diantara segala mahluk di dunia ini, ular adalah binatang yang paling ia takuti. Sejak kecil ia merasa jijik dan takut kepada ular sehingga biarpun kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang lihai, tetap saja dia merasa jijik dan ngeri kalau melihat ular. Wajahnya menjadi pucat dan napasnya terengah. Cui Leng juga mendengar suara ini dan ia melangkah mundur, memandang dengan sinar mata aneh dan bibirnya tersenyum.

"Engkau mencari sengsara sendiri, Suci. Ingin aku melihat apakah engkau mampu melawan Hoat-koko!"

Makin pucat wajah Liang Bi ketika ia melihat Suma Hoat datang berjalan perlahan sambil meniup sulingnya dan.... di depan pemuda itu tampak seekor ular besar dan panjang merayap maju mengerikan! Ular ini lebih dari dua meter panjangnya, sebesar betis orang, kulitnya mengkilap berwarna hijau kekuningan, matanya merah. Setelah tiba di ruangan itu, Suma Hoat menghentikan tiupannya dan ular itu pun berhenti, mengangkat kepala menoleh ke kanan kiri seperti bingung mengapa suara suling itu lenyap.

"Bi-moi, bagaimana? Apakah engkau masih keras kepala? Sekali lagi kuminta engkau suka menerima cintaku seperti yang dilakukan sumoimu, dan kita bertiga hidup bahagia."

"Tidak sudi. Lebih baik mati!"

"Begitukah? Hemm.... biarlah ularku yang akan menjawab pertanyaanmu ini. Kalau engkau sudah merasa cukup dan tidak keras kepala lagi, katakan saja bahwa engkau menyerah. Akan tetapi kalau engkau lebih suka memilih mati, engkau akan mati dengan nyawa masih penuh rasa takut dan jijik sehingga rohmu akan berkeliaran dikejar ketakutan hebat!"

Suma Hoat lalu meniup sulingnya. Terdengarlah suara melengking aneh dan ular itu mengangkat tubuh atas tinggi-tinggi, kemudian berlenggak-lenggok seperti menari dan perlahan-lahan merayap mendekati kaki Liang Bi dengan lidah bergerak-gerak keluar masuk mulutnya yang merah.






Liang Bi memandang ular itu dengan wajah pucat dan mata terbelalak, bibirnya menggigil dan dadanya bergelombang. Rasa jijik dan takut hampir membuat ia menjerit. Ia berusaha menguatkan hatinya, akan tetapi ketika ular itu mulai merayap dari kakinya terus ke atas melalui betisnya, pahanya, perutnya.... Liang Bi hampir pingsan. Dia hanya mengharapkan ular itu menggigitnya agar dia lekas mati. Bagi seorang gagah seperti dia kematian bukan apa-apa dan akan dihadapinya dengan mata terbuka. Akan tetapi, bukan kematian yang membuat ia takut kepada ular, melainkan rasa geli dan jijik.

Namun celaka baginya, Suma Hoat meniup sulingnya terus dan ular itu sama sekali tidak menggigitnya, melainkan melingkari tubuhnya dengan kuat. Liang Bi merasa betapa tubuh ular itu berdenyut-denyut dingin sekali, licin dan menggelikan, menjijikkan, kemudian kepala ular itu bergerak-gerak di depan mukanya, lidahnya keluar dan menjilat-jilat! Liang Bi memejamkan mata, membuang muka akan tetapi ia masih merasa betapa lidah ular itu menjilat-jilat mukanya, pipinya, bibirnya, lehernya. Ia bergidik. Ular itu seolah-olah sedang menciumnya penuh nafsu! Ia muak, jijik dan seluruh tubuhnya menggigil.

"Bunuh aku.... iihhhh.... bunuh aku.... uhu-hu-huu.... suruh dia pergi....!" Akhirnya ia merintih.

Akan tetapi Suma Hoat tidak menghentikan tiupan sulingnya dan si ular terus menggerayangi muka dan leher Lian Bi dengan moncongnya yang menjijikkan. Liang Bi menggeliat-geliat, hampir pingsan. Kalau dia pingsan atau mati seperti yang ia harapkan dia akan terbebas.

Akan tetapi celaka, dia masih sadar dan harus merasakan penderitaan yang amat menyiksa hatinya. Kalau dia disiksa dengan rasa nyeri, disayat sedikit demi sedikit kulit dagingnya, dia akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi perasaan jijik ini benar-benar hampir tidak kuat ia menahannya.

"Suci, menyerahlah....!"

Terdengar suara Cui Leng membujuk. Gadis ini berdiri di dekat meja tinggi, menaruh lengan kiri di atas meja, lengan kanan bertolak pinggang, menonton pertunjukan itu dengan hati ngeri dan iba kepada sucinya.

Akan tetapi, karena ia maklum bahwa sebelum sucinya menyerah dia takkan pernah merasa aman hatinya, maka ia menguatkan hatinya. Dia pun tidak menjadi benci kepada Suma Hoat yang menyiksa sucinya seperti itu, karena dia menganggap bahwa Suma Hoat melakukan itu untuk membujuk sucinya agar suka menerima cintanya, dan Si Pemuda ini terpaksa melakukan hal ini atas permintaannya, dengan maksud untuk menyelamatkannya!

Yah, apa saja yang takkan dilakukan oleh mahluk yang disebut manusia kalau dia sudah tercengkeram oleh nafsu! Sikap yang diperlihatkan Cui Leng hanyalah sebuah di antara sikap-sikap keji yang banyak dilakukan wanita yang sudah mabok oleh nafsu berahi dan didasari rasa iba diri, diselimuti oleh rasa ingin mendapatkan kawan kalau dirinya sendiri terperosok! Sifat buruk ini, sebuah di antara banyak sekali sifat buruk lain yang timbul dari sayang diri dan iba diri, hampir mencengkeram watak semua manusia, merupakan semacam penyakit yang sukar diobati, yaitu sifat yang selalu ingin minta kawan dalam derita!

Dari anak-anak pun sudah mulai tampak gejala sifat buruk ini. Seorang anak kecil yang jatuh dan menangis, akan berhenti tangisnya, bahkan bisa tertawa kalau kita pura-pura jatuh pula di dekatnya dan mengeluh kesakitan! Menyaksikan penderitaan orang lain yang lebih besar merupakan semacam "hiburan" bagi seorang yang sedang menderita. Memang amatlah buruk sekali sifat ini, namun tanpa disadarinya, "penyakit" ini telah diderita oleh banyak sekali manusia di dunia ini.

Perbuatan Suma Hoat amat keji. Tentu saja hal ini tidak terasa olehnya sendiri. Perbuatan-perbuatannya terhadap wanita timbul dari rasa bencinya terhadap wanita, dan dia hendak melampiaskan rasa bencinya itu dengan menggunakan nafsu berahinya untuk merusak wanita sebanyak mungkin!

Karena bencinya timbul sifat kejam dan dia merasa gembira melihat korbannya tersiksa, terutama sekali tersiksa batinnya! Dia menganggap bahwa batinnya sendiri sudah hancur lebur karena wanita! Bahkan, melihat wanita tersiksa seperti yang dialami Liang Bi sekarang ini membuat nafsu berahinya berkobar! Makin hebat seorang wanita tersiksa, makin menggairahkan bagi Jai-hwa-sian, Si Dewa Pemetik Bunga ini!

Tubuh Liang Bi yang menggeliat-geliat menjadi makin lemah dan ketika suara suling melengking makin tinggi, tiba-tiba ular itu berubah gerakannya kini kepalanya mulai menyusup-nyusup dan menyelinap di balik baju bagian dada Liang Bi!

"Iihhhh.... ouhhhh...." Liang Bi merintih-rintih dan seluruh tubuhnya menggigil ketika kepala ular itu menyusup makin dalam. "Aduuuuhhhh.... tolongggg.... ihhhh.... ambil dia.... ambil binatang ini.... uhu-hu-huuuu....!"

"Engkau menyerah?" Suma Hoat bertanya.

Dengan tubuh menggigil, air mata bercucuran dan mata dipejamkan Liang Bi mengangguk lemah.

"....aku menyerah.... hu-hu-huuuuhh...."

Suma Hoat melompat mendekat, sekali sambar ia mengambil ular itu dan melemparkannya jauh ke luar, ke kebun dimana ular yang ketakutan itu cepat menyusup diantara rumput. Sambil tersenyum-senyum Suma Hoat melepaskan belenggu kaki tangan Liang Bi, membebaskan totokannya. Akan tetapi Liang Bi tidak kuat berdiri, tubuhnya menggigil dan ia tentu roboh kalau tidak cepat dipondong oleh Suma Hoat. Liang Bi menangis ketika Suma Hoat memondongnya masuk ke dalam kamar.

Cui Leng berdiri dengan wajah agak pucat. Ia merasa ngeri juga menyaksikan penderitaan Liang Bi tadi. Akan tetapi kini hatinya lega dan ia berdiri tak bergerak, mendengarkan isak tangis Liang Bi yang terdengar dari dalam kamar. Cui Leng menarik napas panjang. Sukar dia mengatakan apakah tarikan napas itu saking lega hatinya ataukah karena menyesal membayangkan betapa pria yang dicintanya itu kini direbut lain wanita!

Perlahan ia melangkah memasuki kamarnya sendiri dan semalam itu ia mendengar isak tangis Liang Bi yang tidak pernah berhenti. Sambil mendengarkan isak tangis itu, Cui Leng rebah telentang, matanya menatap langit-langit dan tanpa disadarinya, dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Hatinya lega, karena sekarang dia mendapat kawan! Sekarang rahasianya yang mencemaskan hati akan terlindung dan aman. Akan tetapi senangkah dia? Pertanyaan yang takkan dapat ia jawab karena dua butir air matanya menjadi bukti akan kebimbangan hatinya.

Mereka bertiga berjalan-jalan di antara bunga-bunga yang tumbuh di belakang rumah, Suma Hoat tersenyum-senyum, lengan kiri melingkari pinggang Liang Bi, lengan kanan melingkari pinggang Cui Leng. Sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau ia menoleh ke kanan kiri untuk mencium pipi kedua orang kekasihnya.

Cui Leng juga berseri wajahnya dan pipinya kemerahan. Akan tetapi Liang Bi tidak tampak berseri. Wajahnya pucat rambutnya kusut dan pandang matanya redup, sayu merenung ke depan seolah-olah dia hidup di alam mimpi.

Suma Hoat mengajak dua orang wanita itu duduk diantara bunga-bunga. Dipetiknya dua kuntum bunga dan dengan mesra dipasangkan bunga-bunga itu di rambut Liang Bi dan Cui Leng.

"Ahh, kalian benar-benar cantik jelita!"

Katanya sambil mencium bibir Liang Bi, kemudian Cui Leng. Liang Bi mandah saja, tidak seperti Cui Leng yang membalas ciuman itu dengan mesra.

"Koko, sekarang tentu hatimu amat berbahagia, bukan?" Tiba-tiba Cui Leng bertanya, tangannya dengan mesra membelai dagu pemuda itu.

Wajah Suma Hoat yang berseri itu tiba-tiba lenyap sinarnya. Ia merenung dan bibirnya bergerak perlahan.

"Bahagia? Aku berbahagia....?"

Ia menghela napas dan mengeluarkan sulingnya dari pinggang. Melihat ini, wajah Liang Bi menjadi makin pucat.

"Jangan....! Jangan panggil ular...." Ia merintih.

Suma Hoat merangkulnya, mencubit dagunya.
"Bi-moi, kekasihku tercinta. Jangan takut, masa aku mau menakutkan engkau lagi?"

Dia lalu meniup sulingnya dan terdengarlah tiupan lagu yang merayu-rayu, lagu yang membuat kedua orang gadis itu terpesona dan perlahan-lahan bertitiklah air mata dari sepasang mata mereka.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar