Ads

Kamis, 07 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 121

“Aiihhh...., semua tempat kacau-balau oleh perang. Dalam keadaan sekacau ini, mana mungkin mencari orang? Ahhh, Suheng.... di manakah engkau....?"

Siauw Bwee menghela napas berulang-ulang sambil duduk termenung menghadapi api unggun yang dinyalakannya di tengah hutan sunyi itu. Berbulan-bulan lamanya ia melakukan perjalanan tanpa arah tertentu dalam usahanya mencari dua orang dengan perasaan hati yang berlawanan.

Yang seorang dicarinya dengan hati penuh rindu dan kasih, yang ke dua dicarinya dengan dendam dan benci. Namun, sudah banyak kota dijelajahi, hutan-hutan dimasuki dan bukit-bukit didaki, sudah banyak ia menyaksikan perang dan kekacauan, belum juga dia dapat menemukan orang-orang yang dicarinya, yaitu Kam Han Ki suhengnya dan Suma Kiat musuh besarnya.

Tersorot cahaya api unggun yang kemerahan itu, Siauw Bwee kelihatan amat cantik jelita. Rambutnya yang panjang dan mawut itu mengkilap, kedua pipinya kemerahan tersentuh sinar api, matanya yang merenung itu kadang-kadang berkilat. Dara jelita yang memiliki ilmu kesaktian tinggi itu duduk bertopang dagu. Kudanya menggerogoti rumput kurus tak jauh di depannya.

Di dalam perantauannya semenjak meninggalkan Pulau Es Siauw Bwee yang telah mengalami banyak hal hebat, telah pula mematangkan ilmu-ilmunya dan telah menerima ilmu-ilmu baru yang tinggi. Terutama sekali ilmu yang diterimanya dari kakek Lu Gak, yaitu gerakan kaki tangan kilat, benar-benar membuat Siauw Bwee menjadi seorang dara sakti yang akan sukar dikalahkan lawan.

Namun, dara yang berilmu tinggi dan yang cantik jelita seperti bidadari ini ternyata tidak berbahagia seperti yang disangka semua orang yang melihatnya. Tidak sama sekali, dia kini duduk termenung penuh penasaran, kekecewaan dan kedukaan.

Kewaspadaan seorang ahli silat tinggi setingkat Siauw Bwee amat luar biasa sehingga seolah-olah penglihatan, pendengaran dan perasaannya menjadi satu dan selalu siap menjaga diri. Namun, segala kewaspadaan akan hilang apabila manusia dikuasai perasaan duka yang membuat semangat tenggelam.

Siauw Bwee benar-benar sedang tenggelam di lautan duka sehingga perlahan-lahan matanya berkilau basah, berkumpul di pelupuk membentuk dua butir mutiara yang turun bergantung pada bulu matanya yang panjang lentik. Kalau ia teringat akan nasibnya, ayahnya sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia harus menerima kematian sebagai seorang pemberontak, ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan merana berduka, kemudian ia terpaksa harus berpisah dari sucinya Maya dengan kandungan dendam di dalam hati, harus berpisah dari suhengnya dengan kandungan rindu dan kasih tak sampai di hatinya. Siapa yang takkan berduka?

Sementara itu, semua ketidak senangan hatinya yang hendak ia tumpahkan dalam pembalasan dendam terhadap diri Suma Kiat tak juga dapat terlaksana karena dia belum berhasil menemukan musuh besarnya itu.

Ada didengarnya bahwa Suma Kiat memimpin pasukan besar melakukan perang terhadap barisan Mancu, akan tetapi setiap kali ia mengejarnya, dia selalu kecelik atau tidak berkesempatan turun tangan. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk nekat menyerbu barisan yang laksaan orang banyaknya untuk mencari musuh besarnya itu. Hal ini akan berarti pemberontakan dan sebagai puteri tunggal Panglima Khu Tek San yang berjiwa pahlawan, dia tidak mau menambah cemar nama ayahnya dengan melawan pasukan pemerintah yang berarti pemberontakan!

Biarpun ayahnya tewas di tangan para pengawal Sung, namun yang ia persalahkan dalam hal ini hanyalah Suma Kiat karena orang itulah yang menjadi biang keladinya. Dalam keadaan melamun tak berketentuan arah pikiran dan perasaan hati itu teringatlah Siauw Bwee akan bunyi sajak yang pernah dibacakan ayahnya, seorang ahli silat dan juga penggemar sastra. Sejak keluhan sastrawan yang kesunyian, seperti dirinya di saat itu.

".... kosong melengang...."
pikiran melayang
mengejar kenangan
dihimpit kesunyian....

seperti iblis mentertawakan
bunyi daun berkelisik
kerik jengkerik
kerok katak
kokok burung hantu
di luar bising....

namun betapa sunyi melengang
terasa di dalam
seribu suara malam
menambah rasa kesepian...."






Teringat akan sajak ini, dua butir mutiara air mata menyusul dua yang pertama, menitik ke atas pipi. Siauw Bwee menarik napas panjang dan memandang kudanya yang makan rumput kurus. Terhibur sedikit hatinya. Dia tidak sendirian sama sekali. Masih ada kudanya. Terdorong oleh perasaan senasib sependeritaan, Siauw Bwee bangkit berdiri, mendekati kuda itu dan mengelus bulu leher binatang itu.

"Aihh, kudaku yang setia. Sesungguhnyalah, seperti dikatakan sastrawan yang kesepian itu, sunyi timbul dari dalam hati, bukan dari keadaan di luar tubuh. Kalau tidak begini besar rinduku kepada Suheng, dendamku kepada si keparat Suma Kiat, kedukaanku karena kematian Ibu, agaknya malam ini akan terasa lain sekali, sama sekali tidak sunyi lagi. Aihhhh...."

Betapapun tinggi ilmu kepandaian silat yang dimiliki Siauw Bwee, namun dia hanyalah seorang dara remaja yang belum matang batinnya. Kepandaian yang dimilikinya hanyalah kepandaian lahiriah. Kalau setinggi itu pengertian batinnya, tentu dia akan tahu bahwa yang membuat orang merasa merana dalam kesunyian adalah karena dia belum dapat menyatukan diri dengan keadaan sekelilingnya.

Melihat kudanya, dia menemukan hiburan karena ada rasa persatuan di dalam hatinya terhadap binatang itu. Kalau dia memiliki perasaan persatuan yang sama terhadap sekelilingnya, terhadap suara binatang-binatang kecil yang tak tampak, terhadap berkelisiknya daun, terhadap angin, terhadap kegelapan malam, menyatukan diri dengan alam dan seisinya, tentu tidak ada lagi penderitaan batin yang merana karena kesepian itu.

Hanya manusia yang dapat menyatukan diri dengan alam dan seisinya, baik yang tampak maupun yang tidak, dialah yang akan dapat merasakan betapa bahagia hidup ini, betapa kecil artinya hal-hal yang menimpa dirinya dan yang dianggapnya tidak menyenangkan. Persatuan dengan alam dan seisinya, termasuk manusia dan segala makhluk, membuka rasa kasih yang akan menerangi hidup dan akan musnah segala perbandingan, segala perbedaan, segala iri hati, segala dendam dan kebencian! Betapa sulitnya! Sulit? Tidak, sama sekali tidak bagi yang sadar dan yang sudah dapat mengenal diri pribadi, dapat menyaksikan dengan mata batinnya akan segala nafsu dan kekotoran yang menyelubungi dirinya. Karena manusia selalu menunjukkan pandangan matanya keluar, tidak pernah KE DALAM, maka dia tidak akan melihat semua itu dan tidak dapat menjadi sadar.

Perasaan sengsara yang menekan batin Siauw Bwee membuat dara ini lengah dan kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu bahwa semenjak tadi, ada sepasang mata yang mengintainya, sepasang mata seorang pemuda tampan yang duduk di atas cabang pohon tinggi. Pemuda itu telah berada di atas cabang pohon ketika Siauw Bwee datang ke tempat itu dan membuat api unggun. Semenjak tadi, pemuda ini memandang dengan mata penuh kagum terpesona oleh kecantikan dara remaja itu.

Pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan ini adalah seorang pendekar muda yang belum lama keluar untuk merantau meluaskan pengalaman. Dia belum terkenal di dunia kang-ouw, karena wataknya yang halus, sesuai dengan pendidikan ayah bundanya, membuat dia tidak pernah bentrok dengan orang lain, padahal pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

Dia bernama Yu Goan. Ayahnya adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi bernama Yu Siang Ki, putera ketua perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang yang terkenal (baca cerita Mutiara Hitam). Adapun ibunya adalah seorang yang berilmu tinggi pula, tidak hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi terutama sekali dalam hal ilmu pengobatan karena ibunya itu puteri dari Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin (Kakek Gunung Ahli Obat)!

Ayah dan bundanya kini membuka toko obat dan dari kedua orang tuanya, Yu Goan mewarisi ilmu silat asli dari Khong-sim Kai-pang dan ilmu pengobatan dari raja obat Yok-san-jin Song Hai. Dengan bekal ilmu kepandaian yang tinggi ini orang tuanya, juga kakeknya, memperkenankan pemuda ini merantau untuk meluaskan pengalaman.

Malam itu, kebetulan sekali Yu Goan bermalam di dalam hutan itu, duduk di atas cabang pohon dengan aman sampai munculnya Siauw Bwee yang membuat ia bengong terlongong dan memandang penuh kagum. Hatinya ikut merasa terharu ketika melihat dara itu termenung dan berduka seorang diri. Menurutkan dorongan hatinya, ingin sekali ia meloncat turun dan berkenalan, namun pendidikannya sebagai seorang pemuda terpelajar dan sopan membuat ia menahan hatinya dan tidak berani turun, bahkan tidak berani berkutik, khawatir kalau-kalau ketahuan dan disangka seorang pengintai kurang ajar. Dia hanya berdoa dalam hatinya mudah-mudahan dara itu tidak melakukan hal yang tidak-tidak, misalnya berganti pakaian, melepas sepatu dan lain perbuatan yang akan membuat dia tersudut dan menjadi makin kurang ajar tampaknya.

Tiba-tiba pemuda itu terkejut dan matanya terbelalak memandang jauh. Apakah benda-benda mencorong yang muncul di belakang gadis itu? Seperti mata harimau! Ada tiga pasang banyaknya! Otomatis tangan pemuda ini meraba ke pinggang dimana disimpannya beberapa buah senjata rahasia, siap melindungi dara itu kalau betul ada tiga ekor harimau merunduknya!

Siauw Bwee tiba-tiba meloncat dan membalik.
"Srattt!" Sinar kilat tampak ketika ia mencabut pedangnya.

Yu Goan memandang makin kagum. Bukan main, pikirnya. Gerakan dara itu sedemikian gesit dan ringannya dan cara mencabut pedang tadi pun menunjukkan gerakan seorang ahli!

Karena terhibur oleh kehadiran kudanya, kewaspadaan Siauw Bwee timbul kembali dan telinganya dapat menangkap gerakan di belakangnya. Ketika ia membalik dan melihat tiga pasang benda mencorong di balik semak-semak, ia terkejut dan juga menduga bahwa tentulah itu tiga pasang mata binatang buas, entah harimau entah apa.

Akan tetapi begitu ia membalik dan mencabut pedangnya, tiba-tiba tiga pasang benda mencorong itu pun lenyap, seolah-olah api yang ditiup padam. Dia menjadi penasaran. Tidak ada manusia atau binatang yang boleh mengintainya kemudian melenyapkan diri begitu saja sebelum dia tahu benar apa dan siapa mereka itu! Tubuhnya berkelebat dan sekali melesat bayangannya lenyap dari pandang mata Yu Goan yang melongo terheran-heran penuh kekaguman.

Dengan gerakan kilat, gerakan yang kini jauh melebihi kecepatannya ketika sebelum ia mempelajari ilmu gerakan kaki tangan kilat, Siauw Bwee berloncatan ke sana-sini, mencari-cari.

Akan tetapi tidak menemukan seorang pun manusia atau seekor pun hewan! Terpaksa ia kembali ke dekat api unggun memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan diam-diam ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Apakah benda-benda mencorong yang dilihatnya tadi? Apakah pandang matanya keliru? Ah, tidak mungkin! Jelas ia melihat enam buah benda mencorong, tiga pasang dan melihat jaraknya tentulah merupakaan tiga pasang mata. Akan tetapi, mata apa? Andaikata binatang, atau manusia, tentu dapat ia kejar. Akan tetapi benda-benda itu lenyap begitu saja tanpa meninggalkan suara apa-apa!

Seluruh urat saraf di tubuh Siauw Bwee menegang dan dia berdiri dengan sikap waspada, menanti munculnya benda-benda aneh itu, pedang masih di tangan. Hampir setengah jam ia berdiri tanpa bergerak seperti itu, tidak tahu bahwa ada dua buah mata, sepasang mata yang tidak mencorong, mata manusia, mengintainya jauh di atas dengan melongo penuh kagum.

Api unggun bergoyang-goyang mengecil dan hal ini menyadarkan Siauw Bwee bahwa tidak ada apa-apa yang mengancamnya. Apapun juga adanya tiga pasang benda mencorong tadi, yang pasti mereka itu tidak ada lagi sekarang. Ia menghampiri api tinggun, menambah kayu dan api unggun menyala lagi, apinya makan kayu kering dengan lahapnya.

Kini Siauw Bwee sudah duduk lagi, akan tetapi bukan duduk melamun seperti tadi, melainkan duduk sambil menanti dengan penuh kesiap-siagaan. Kini semua ketajaman pendengarannya dipasang dan suara yang tidak wajar sedikit saja tentu akan dapat ditangkapnya. Dia mengambil keputusan untuk bergerak secepatnya dan tidak akan membiarkan mahluk itu sempat melenyapkan diri kalau berani muncul lagi.

Yu Goan yang berada di atas pohon dan tadi juga melihat tiga pasang benda mencorong itu, tidak kalah tegangnya. Tegangnya dua kali lipat, karena selain tegang memikirkan benda-benda aneh itu, juga tegang menyaksikan sikap dara jelita yang ternyata dapat bergerak seperti menghilang itu. Dia pun memasang mata penuh perhatian dan karena dia berada di tempat tinggi, dia lebih awas daripada Siauw Bwee yang pandangan matanya terhalang oleh pohon-pohon dan tetumbuhan lain.

Tiba-tiba Yu Goan bergerak, hampir lupa dan hampir berseru ketika ia melihat lagi benda-benda mencorong, tidak lagi hanya tiga pasang, melainkan banyak sekali, muncul di sekitar tempat itu! Untung baginya bahwa Siauw Bwee juga melihat sehingga gadis itu tidak mendengar gerakannya di atas dan kini tubuh Siauw Bwee telah lenyap ketika dara ini berkelebat meloncat dengan pedang di tangan. Siauw Bwee berseru heran karena tiba-tiba begitu ia bergerak, benda-benda mencorong itu "padam" dan lenyap, juga sekali ini dia tidak berhasil menemukan sesuatu biarpun dia sudah berloncatan ke sana ke mari di sekeliling tempat itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar