Ads

Kamis, 07 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 125

"Bebaskan dia, kalau tidak, aku akan membunuh kalian semua!"

Bentaknya dan bagaikan seekor burung garuda menyambar, tubuhnya sudah melayang kearah Si Sastrawan, didahului sinar pedangnya yang menyambar. Sastrawan itu cepat mengelak, akan tetapi, "brettt!" kedua helai pita rambut sastrawan itu yang panjang terbabat putus!

"Kalau tidak kau lepaskan dia, lehermu yang akan putus!" Siauw Bwee yang sudah marah sekali itu membentak.

Tiba-tiba sastrawan itu menggulingkan tubuhnya, bergulingan dan tahu-tahu ia sudah berada di dekat Yu Goan yang sudah terbelenggu seluruh tubuhnya oleh jala dan tak dapat bergerak itu.

"Bergeraklah dan sahabatmu ini akan kubunuh lebih dulu!"

Si Sastrawan berseru sambil menodongkan pedang Yu Goan ke punggung pemuda yang rebah miring itu.

Siauw Bwee terkejut, terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa Si Sastrawan itu ternyata amat cerdik dan licik. Pada saat dia terkejut dan berdiri termangu itu, tiba-tiba sebuah jala melayang dari atas dan tahu-tahu tubuhnya sudah tertutup jala.

Siauw Bwee kaget dan cepat ia mencelat ke atas. Jala itu terbawa melayang ke atas dan ketika kedua orang pemegangnya menggerakkan tangan, jala itu terputar-putar dengan tubuh Siauw Bwee di dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dara perkasa itu berseru keras dan tubuhnya dalam jala meluncur dengan kekuatan yang luar biasa sehingga dua orang pemegang jala di kanan kiri itu tidak dapat bertahan dan mereka ikut tertarik, roboh terseret ke depan!

Para pengeroyok, dan juga Si Sastrawan yang meninggalkan Yu Goan untuk membantu teman-temannya menundukkan dara yang amat lihai itu, datang menyerbu kearah tubuh Siauw Bwee yang sudah mulai tergulung jala. Akan tetapi, biarpun tubuhnya sudah dibelit-belit jala, Siauw Bwee masih memegang pedangnya dan begitu tubuhnya mencelat ke depan, robohlah tiga orang pengeroyok termasuk Si Sastrawan yang kena ditendang dadanya, seorang dipukul kepalanya dan seorang lagi hampir putus pahanya terkena pedang dara perkasa itu yang meluncur keluar dari dalam jala!

"Tahan....!"

Tiba-tiba terdengar seruan halus dan mendengar seruan ini para pengeroyok seketika menghentikan sernua gerakan mereka dan menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, kecuali Si Sastrawan yang berdiri dengan muka tunduk ke arah kakek yang tiba-tiba muncul di tempat itu.

"Lepaskan mereka berdua! Buka jala-jala itu!"

Kembali kakek itu berseru halus dan para pengeroyok tadi kini sibuk membuka jala dari kanan kiri dan melepaskan belitan-belitan yang amat kuat itu.

Yu Goan yang sudah terbebas dari dalam jala, menyambar pedang dan sarung pedangnya yang dilempar di atas tanah oleh Si Sastrawan, kemudian pemuda itu berdiri dekat Siauw Bwee yang sudah bebas lebih dulu. Mereka berdiri memandang kakek yang datang itu dan siap menghadapi segala kemungklnan tanpa mengeluarkan suara.

Ketika mereka mengerling kiranya di situ sudah berkumpul banyak sekali orang-orang liar itu. Adapun kakek yang muncul itu agaknya adalah ketua mereka, melihat dari sikap hormat dan takut semua orang liar, kecuali Si Sastrawan yang kelihatannya bersikap takut hormat buatan, sikapnya palsu dan hal ini diam-diam tidak terlepas dari pandang mata Yu Goan dan Siauw Bwee.

Kakek itu sudah tua sekali, jenggot dan rambutnya yang tidak terpelihara baik-baik itu sudah putih, matanya yang cekung dan tubuhnya yang jangkung itu amat kurus, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh, lebih mencorong daripada mata orang-orang liar itu! Pakaiannya juga sederhana sekali sehingga tampak jelas betapa bedanya dengan pakaian Si Sastrawan.

"Jala-jala itu kubikin untuk menangkap binatang buas, untuk memenuhi kebutuhan perut kita. Mengapa sekarang kalian pergunakan untuk menangkap manusia-manusia? Bukankah aku sudah melarang kalian bertanding dengan orang luar?"

Para pengeroyok tadi tidak ada yang menjawab, hanya berlutut dan menundukkan muka, akan tetapi beberapa orang diantara mereka melirik ke arah Si Sastrawan, seolah-olah menyerahkan jawabannya kepada sastrawan itu.






Kakek itu dapat menangkap sikap anak buahnya ini, maka dia menoleh ke arah sastrawan itu dan berkata,

"Ang-siucai, engkau adalah tamu terhormat disini, mengapa membawa anak buah kami untuk mengeroyok dua orang muda ini?"

Sastrawan itu menjura dan menjawab dengan suara tenang,
"Harap Pangcu (Ketua) suka memaafkan saya. Karena dua orang ini melanggar wilayah Pangcu dan sikap mereka mencurigakan, maka saya mengusulkan kepada kawan-kawan untuk menangkap mereka dan membawa mereka ke depan Pangcu untuk diadili. Akan tetapi mereka berdua tidak mau menyerah, bahkan melawan sehingga terjadilah pertempuran."

Kakek itu mengerutkan keningnya.
"Hemmm, tidak pernah aku memerintahkan untuk mengganggu orang yang lewat, asal mereka tidak mengganggu kami. Biarlah sekali ini aku tidak akan menghukum anak buahku. Dan kuharap Ang-siucai suka ingat agar tidak melakukan hal seperti ini pula, karena kalau demikian, terpaksa aku tidak akan dapat menganggap engkau sebagai tamu terhormat dan sahabat baik lagi. Nah, harap kalian semua kembali lebih dulu!"

Anak buah orang-orang liar itu bersama Si Sastrawan lalu bangkit dan pergi dari situ dengan kepala menunduk. Mereka itu semua kelihatan patuh dan sama sekali tidak memperlihatkan muka penasaran, akan tetapi dengan kerling matanya Siauw Bwee dapat menangkap ketidak-puasan membayang di wajah sastrawan itu, bahkan mulut sastrawan itu membayangkan senyum mengejek. Hemm, orang itu bukan seorang baik-baik, pikir Siauw Bwee, akan tetapi karena urusan orang-orang itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dia, maka dia pun diam saja dan hanya memandang kakek yang masih berdiri di depannya.

Kakek itu sejenak memandang kepada Yu Goan, kemudian memandang lebih lama dan penuh perhatian kepada Siauw Bwee, kemudian membungkuk dan berkata,

"Harap Ji-wi suka memaafkan kekerasan anak buahku yang tidak berpendidikan. Melihat gerakan-gerakan Lihiap tadi, aku percaya bahwa Lihiap tentulah seorang pendekar muda yang menjadi murid seorang sakti."

Siauw Bwee tersenyum. Biarpun sederhana keadaannya, kakek ini tidaklah sebodoh orang-orang kasar tadi, maka dia pun mengangkat kedua tangan memberi horrnat seperti yang dilakukan Yu Goan lalu berkata,

"Kami berdua hanya kebetulan lewat saja lewat di hutan sana akan tetapi malam tadi anak buahmu mengintai kami. Kami menjadi curiga dan mengikuti jejak mereka sampai disini dan tiba-tiba kami dikeroyok. Pangcu siapakah dan perkumpulan apakah yang Pangcu pimpin, dan di bawah tebing sana itu.... apakah ada hubungannya dengan Pangcu?"

Tiba-tiba wajah kakek itu berubah agak pucat dan ia cepat menggeleng kepala sambil berkata,

"Harap Lihiap tidak bertanya-tanya lebih banyak lagi. Aku sudah mohon maaf atas kelancangan anak buahku. Sudahlah, aku minta dengan hormat sukalah Ji-wi meninggalkan tempat ini dan harap jangan menceritakan orang lain akan keadaan kami dan jangan pula kembali ke tempat ini. Percayalah, aku seorang tua yang bicara demi kebaikan Ji-wi sendiri."

Tiba-tiba kakek itu mengerutkan keningnya, menyentuh dahi dengan tangan kanan, mukanya berubah pucat membiru, matanya dipejamkan, mulutnya menyeringai dan seluruh tubuh tergetar menggigil seperti orang kedinginan hebat. Giginya saling beradu dan akhirnya kakek itu menjatuhkan diri di atas tanah, mengeluh dan mengerang kedinginan, mukanya makin membiru.

"Pangcu...."

"Sssttt....!"

Yu Goan mencegah Siauw Bwee dan ketika nona ini memandang temannya, pemuda itu mendekati ketua itu dan memandang penuh perhatian dengan alis berkerut.

Kini wajah kakek itu mulai putih kembali, dari biru menjadi putih dan tubuhnya tidak menggigil lagi. Dia dapat duduk bersila tenang dan wajahnya yang pucat itu mulai kemerahan. Akan tetapi betapa terkejut hati Siauw Bwee ketika melihat bahwa muka itu makin lama makin merah dan tubuh kakek itu seolah-olah mengeluarkan hawa panas yang sampai terasa olehnya. Kakek itu kembali tersiksa, kini seperti seekor cacing terkena abu panas, bergulingan di atas tanah!

"Pangcu...." Kembali Siauw Bwee melangkah maju.

"Jangan, biarkan saja. Dia sedang terancam jiwanya oleh penyakit yang amat berat, aku sedang mempelajari penyakitnya."

Seperti tadi Yu Goan mendekat dan memandang penuh perhatian. Siauw Bwee merasa heran dan juga kagum. Kiranya pernuda itu, yang sudah ia saksikan ilmu silatnya yang sungguh tak boleh dikatakan masih rendah tingkatnya, bahkan amat tinggi mutunya, memiliki pula ilmu kepandaian pengobatan! Pemuda yang aneh dan mengagumkan!

Kurang lebih satu jam lamanya kakek itu menderita, akhirnya keadaannya tenang kembali. Dia membuka mata, mengeluh dan meloncat bangun, menghapus keringat dari dahi dan lehernya, memandang kepada dua orang muda itu dan berkata perlahan.

"Maafkan.... ah, aku telah membuat Ji-wi kaget saja. Sedikit gangguan kesehatanku...."

"Gangguan kesehatan? Aihh, Pangcu tidak tahukah pangcu bahwa yang Pangcu ceritakan ini bukan sekedar gangguan kesehatan, melainkan ancaman jiwa Pangcu? Pangcu telah menderita keracunan hebat sekali, racun yang menimbulkan hawa meresap ke dalam pusar dan mempengaruhi seluruh tubuh Pangcu!"

Kakek itu menjadi pucat wajahnya.
"Bagaimana Sicu bisa tahu?"

"Sedikit-sedikit aku tahu akan ilmu pengobatan, Pangcu. Bolehkah aku memeriksanya?"

Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian duduk bersila dan Yu Goan mempersilakan dia membuka bajunya. Dengan gerakan tangan tetap pemuda itu lalu memeriksa denyut nadi, kemudian menempelkan telapak tangan ke pusar dan ke atas kedua dada kakek itu. Keningnya berkerut tanda bahwa pemuda itu memusatkan pikiran, kemudian berkata,

"Benar seperti dugaanku. Pangcu terkena racun yang amat hebat. Bukankah kadang-kadang hawa sin-kang di tubuh Pangcu tak dapat dikendalikan, di pusar terasa sakit seperti ditusuk, dada sesak dan kadang-kadang terasa amat dingin adakalanya amat panas hampir tak tertahankan? Pandangan mata menjadi berkunang telinga terdengar bunyi melengking?"

Kakek itu terbelalak.
"Sicu benar! Ahh, kiranya Sicu seorang ahli yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru Sicu?"

"Aku mendapat ilmu pengobatan dari kakekku sendiri yang berjuluk Yok-sanjin."

"Ahh, kiranya Si Raja Obat Song Hai?" kakek itu berseru girang, lalu merangkap kedua tangannya. "Mohon pertolongan Sicu untuk mengobati dan menolong nyawaku."

"Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya yang menderita, Pangcu. Akan tetapi mengobati Pangcu tidaklah mudah, membutuhkan tenaga sin-kang yang amat besar dan pula bukan disini tempatnya."

"Ahh, aku berlaku kurang hormat. Marilah, silakan Ji-wi datang ke tempat kami!"

Yu Goan mengangguk dan Siauw Bwee memandang kepadanya dengan penuh rasa kagum. Mereka berdua mengikuti kakek itu pergi meninggalkan tebing menuju ke dalam hutan. Di tengah jalan Siauw Bwee berkata,

"Wah, kiranya engkau seorang ahli pengobatan yang lihai, Yu-twako."

"Ahh, pengertianku hanya dangkal saja, Lihiap. Pula, aku merasa sangsi apakah aku akan cukup kuat untuk menyembuhkan orang tua ini."

"Harap Sicu jangan khawatir. Berhasil atau tidak bukanlah soal bagiku. Aku tetap berterima kasih kepada Sicu yang telah sudi melimpahkan budi dan berusaha menolong aku, padahal tadi anak buahku telah mengganggu Ji-wi. Bolehkah aku mengetahui Ji-wi yang gagah? Aku sendiri bernama Ouw Teng dan sudah belasan tahun menjadi ketua disini."

Siauw Bwee dan Yu Goan menjura dan pemuda itu berkata,
"Lihiap ini adalah Khu Siauw Bwee, dan aku bernama Yu Goan."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar