Ads

Selasa, 12 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 148

Siauw Bwee menarik napas panjang.
"Agaknya aku dapat menduga apa artinya, Supek. Koksu Negara Yucen itu tentu melakukan penyelidikan dan mencari bantuan orang-orang pandai, mengingat akan pesatnya gerakan kerajaan itu menyerbu ke selatan. Tadi dia mengajak aku membantunya ketika mendengar bahwa aku menewaskan Panglima Sung, tentu dia mengira aku memusuhi Sung dan Mancu. Dan melihat sikap sutemu tadi, aku tidak akan meragukan kalau dia termasuk diantara orang-orang gagah yang kena terbujuk untuk bersekutu dengannya."

Coa Leng Bu mengangguk-angguk.
"Hemm, agaknya begitulah. Aku bertemu dengan dia di Sian-yang dan akulah yang minta dia mencarimu dan memberi tahu bahwa aku menanti di pintu gerbang selatan. Aku tidak mencampuri urusan pribadinya, namun aku sebagai suhengnya berhak untuk mengingatkannya bahwa tidaklah baik membantu bangsa asing memerangi bangsa sendiri."

Siauw Bwee teringat akan sucinya, Maya. Mengapa sucinya itu juga membantu pasukan Mancu? Maka dia lalu berkata,

"Dalam keadaan negara kacau seperti ini, memang banyak orang merasa serba salah, Supek. Kerajaan Sung makin merosot pamornya, banyak pembesar yang buruk dan jahat. Timbullah Kerajaan bangsa Yucen dan bangsa Mancu, membuat banyak orang menjadi ragu-ragu dan timbul harapan baru untuk melihat munculnya kerajaan baru yang akan dapat mengamankan negara dan memakmurkan kehidupan rakyat. Betapapun juga, tentu saja aku tidak setuju kalau orang mengharapkan kemakmuran dari penjajahan bangsa asing!"

"Cocok, Khu-lihiap! Demikian pula pendapatku, maka kalau aku bertemu dengan dia, akan kuperingatkan dia."

"Supek, siapakah nama sutemu itu? Aku mendengar tadi disebut Suma-sicu oleh Koksu Yucen."

"Memang dia she Suma, namanya Hoat."

"Suma Hoat....?"

Siauw Bwee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat karena dia seperti pernah mendengar nama itu.

"Apakah engkau sudah mengenal namanya pula?"

Siauw Bwee mengangguk.
"Nama itu tidak asing bagiku.... akan tetapi aku lupa lagi...."

Dia benar-benar tidak ingat lagi, akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda tampan itu masih ada hubungan dengan Panglima Suma Kiat, musuh besar yang telah menjadi biang keladi tewasnya ayahnya dan Menteri Kam Liong! Ketika hal ini terjadi, dia masih terlalu muda dan memang dia tidak pernah memperhatikan atau mendengar keadaan keluarga Suma Kiat sehingga dia tidak tahu bahwa pemuda berusia tiga puluh tahun yang telah menolongnya itu bukan lain adalah putera tunggal musuh besarnya itu!

Mereka melanjutkan perjalanan dan bermalam di sebuah kota kecil.
"Kita menanti Sute disini. Aku ingin sekali mendengar apakah betul dia menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen."

Siauw Bwee mengangguk setuju. Dia pun ingin sekali menyelidiki, apakah hubungan sute dari supeknya itu, yang mengingat akan kedudukannya terhitung masih susioknya (paman gurunya) sendiri, dengan musuh besarnya, Suma Kiat!

Sementara itu, setelah menyadarkan pemilik warung dan mengganti semua kerusakan dengan hadiah banyak, rombongan Pek-mau Seng-jin mengajak Suma Hoat keluar dari dusun karena mereka tidak mau menarik perhatian penduduk yang sudah panik dengan adanya pertandingan di dalam warung tadi. Di dalam hutan di luar dusun itu, mereka bercakap-cakap.

Memang benarlah dugaan Siauw Bwee, Suma Hoat telah menjadi kaki tangan Koksu dari Yucen. Seperti telah klta ketahui, pemuda yang merasa amat menyesal dan berduka karena dia telah membikin lumpuh Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau melawannya, kemudian makin menyesal karena dia telah menghina kedua orang bibinya sendiri, yaitu Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui, bersama Im-yang Seng-cu menyerbu markas besar Hoat Bhok Lama di Pegunungan Heng-toan-san di lembah Sungai Cin-sha. Dia melihat kedua orang wanita itu tewas dan dia bertemu dengan Bu-tek Lo-jin yang kemudian mengajaknya membunuh Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, kemudian mengangkatnya sebagai murid.






Hati Dewa Pemetik Bunga ini penuh dengan penyesalan akan semua perbuatannya yang lalu, penyesalan yang timbul setelah dia membuat lumpuh kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Ti Hosiang. Penyesalan ini membuat dia mengasingkan diri dan tekun berlatih ilmu silat yang ia peroleh dari Bu-tek Lo-jin yang hanya beberapa bulan saja mengajarkan ilmu-ilmu silat dan Jit-goat-sin-kang kepadanya, kemudian kakek aneh itu pergi lagi meninggalkannya.

Dengan tekun sekali Suma Hoat menggembleng diri dengan ilmu-ilmu itu sambil berusaha melupakan kesenangannya, yaitu bermain asmara dengan wanita-wanita cantik yang membuatnya dijuluki Jai-hwa-sian. Gurunya menceritakan kepadanya bahwa dia mempunyai tiga orang suheng yang tinggal di tebing Lembah Kaum Kusta.

Ketika dia mengunjungi mereka kesana, dia hanya bertemu dengan Coa Leng Bu, suhengnya yang kedua, dan dia enggan menjumpai twa-suhengnya dan sam-suhengnya ketika mendengar dari ji-suheng ini bahwa mereka itu menjadi ketua dari kaum liar dan kaum penderita kusta. Apalagi karena ia mendapat kenyataan bahwa biarpun disebut ji-suheng, kepandaian Coa Leng Bu tidaklah lebih tinggi daripadanya.

Setelah meninggalkan ji-suhengnya, Suma Hoat lalu teringat kepada ayahnya. Benar bahwa dia telah disakiti hatinya, telah diusir tanpa salah, karena bukankah permainan asmara dengan Bu Ci Goat adalah karena rayuan ibu tirinya itu? Betapapun juga, dia adalah anak tunggal, dia harus menghadap ayahnya yang sudah tua. Dia harus membantu ayahnya setelah kini dia memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Teringat akan ayahnya, Suma Hoat merasa dirinya makin berdosa dan semua ini adalah gara-gara wanita! Gara-gara Ciok Kim Hwa! Kalau dia tidak patah hati karena Ciok Kim Hwa membunuh diri, tentu dia tidak sampai bentrok dan diusir ayahnya sehingga kemudian dia membalas dendamnya kepada para wanita dan menjadi seorang pemerkosa dengan Julukan Jai-hwa-sian!

Bahkan kemudian membuat dia melakukan hal yang amat keji, yaitu membuat Ketua Siauw-lim-pai yang sakti dan berbudi mulia itu menjadi cacad, lumpuh kedua kakinya. Dia harus menebus semua dosanya itu, dengan jalan berbakti kepada ayahnya, berbakti kepada negara, dan berbakti kepada kemanusiaan.

Dengan pikiran inilah Suma Hoat mencari ayahnya, menahan nafsu berahinya yang kadang-kadang bergejolak setiap ia melihat wanita cantik, dan akhirnya dia berhasil bertemu dengan ayahnya, Suma Kiat di kota raja.

Akan tetapi, biarpun dia girang sekali mendapat sambutan gembira dari ayahnya dan ibu tirinya, Bu Ci Goat, di dalam hatinya dia terkejut karena ayahnya segera memberi tahu bahwa ayahnya diam-diam telah membuat persekutuan dengan Kerajaan Yucen dan membuat persiapan untuk membantu Kerajaan Yucen dari dalam untuk menjatuhkan pemerintah lama!

Biarpun di dalam hatinya terasa panas dan tidak setuju, namun dia tidak mau mengecewakan ayahnya dan akhirnya dia menjalankan tugas yang diperintahkan ayahnya untuk menemui Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang sedang melakukan penyelidikan tentang gerakan tentara Mancu.

Dengan membawa surat ayahnya, Suma Hoat berhasil bertemu dengan Pek-mau Seng-jin kemudian dia malah menerima tugas penyelundupan ke dalam kota Sian-yang untuk menghubungi kaki tangan Pek-mau Seng-jin dan menyelidiki keadaan pasukan Mancu yang menduduki kota itu.

Telah ada kata sepakat antara Suma Kiat dan Pek-mau Seng-jin untuk membiarkan pasukan-pasukan Sung berperang melawan pasukan-pasukan Mancu sehingga kedua pihak itu akhirnya menjadi lemah dan mudah dihancurkan oleh pasukan Yucen.

Demikianlah, ketika ia menyelundup ke Sian-yang, Suma Hoat bertemu dengan ji-suhengnya, Coa Leng Bu, dan la disuruh membantu dan memberitahukan jalan keluar kepada nona yang menjadi murid keponakan ji-suhengnya. Suma Hoat berhasil membantu Siauw Bwee dan begitu bertemu dengan dara itu, jantung Suma Hoat berdebar keras, sekaligus dia tertarik seperti sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani!

Ketangkasan dan kelihaian gadis itu, kecantikannya, bentuk tubuhnya, suaranya, segala-galanya membuat jantung Suma Hoat seperti akan dicopot. Dia telah banyak berjumpa dengan wanita cantik, telah banyak mempermainkan wanita, namun belum pernah dia mengalami getaran jantung seperti ketika bertemu dengan Siauw Bwee, padahal baru dia lihat sebentar saja di malam itu, di antara sinar obor.

Seolah-olah dia bertemu dengan Ciok Kim Hwa, bahkan lebih lagi karena dalam pandang matanya, Siauw Bwee jauh melampaui daya tarik Kim Hwa! Dia telah jatuh cinta, bukan cinta berahi seperti kalau dia bertemu wanita-wanita cantik yang dipermainkan dan diperkosanya, melainkan cinta kasih yang membuat dia ingin selamanya berdampingan dan hidup berdua dengan gadis itu, menghentikan semua petualangan asmaranya!

Di dalam hutan kecil, Pek-mau Seng-jin dan kaki tangannya berunding.
"Biarkan pasukan Mancu yang kuat itu menyerbu terus ke selatan," antara lain Pek-mau Seng-jin berkata, "setelah pasukan-pasukan Mancu jauh meninggalkan induknya, dan tentara Sung mengalami pukulan hebat, baru kita mengerahkan bala bantuan untuk memotong jalan, menghancurkan tentara Mancu dan menyerbu terus ke kota raja Sung Selatan. Suma-sicu, gadis tadi memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Sungguh aku merasa heran sekali mengapa murid keponakanmu dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebat. Siapakah dia sebenarnya?"

"Saya sendiri belum mengenalnya, Seng-jin," jawab Suma Hoat sejujurnya. "Ji-suheng hanya mengatakan bahwa gadis itu adalah anak angkat dari Sam-suheng karena itulah maka menyebut Ji-suheng sebagai supeknya."

"Hemm, kalau saja dia dapat kita tarik menjadi pembantu, akan menguntungkan sekali. Suma-sicu, dapatkah kau membujuknya untuk berpihak kepada kita?"

"Akan saya coba, Seng-jin."

"Baik, kalau begitu harap kau suka menyusulnya. Biarkan dia memilih, langsung membantuku atau membantu ayahmu. Dengan tenaga-tenaga lihai seperti dia, perjuangan kita akan makin berhasil. Kami akan kembali dan mempersiapkan pasukan untuk memberi pukulan-pukulan terakhir setelah Mancu dan Sung berhantam sendiri di selatan."

Mereka berpisah dan Suma Hoat cepat pergi mengejar Ji-suhengnya dan gadis jelita yang telah memikat hatinya. Mendengar betapa dara itu dipuji-puji Pek-mau Seng-jin, dia menjadi makin tertarik. Benar-benar seorang dara pilihan, pikirnya. Dahulu, dia tergila-gila kepada Ciok Kim Hwa, seorang gadis lemah. Sekarang dara yang datang bersama ji-suhengnya itu, selain memiliki daya tarik lebih hebat daripada Ciok Kim Hwa juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Pantas menjadi kawan hidupnya. Untuk mendapatkan gadis seperti itu sebagai isterinya, dia siap meninggalkan cara hidupnya yang lalu, yang penuh petualangan dan dosa!

Demikianlah, dapat dibayangkan betapa girang hati Suma Hoat ketika dia bertemu dengan Coa Leng Bu dan Khu Siauw Bwee yang memang menantinya di kota kecil itu. Kedua orang itu sedang makan pagi di sebuah warung ketika Suma Hoat datang.

"Ahhh, Ji-suheng! Untung sekali aku dapat menyusul kalian disini!" katanya sambil menatap wajah Siauw Bwee dengan jantung berdebar.

Bukan main! Pagi ini gadis itu tampak makin cantik mempesonakan. Biarpun mulut Suma Hoat mengeluarkan kata-kata gembira seperti itu, namun dia berdiri terpesona memandang Siauw Bwee, seolah-olah kedua kakinya tidak kuat menaiki anak tangga rumah makan itu!

Menyaksikan sikap pemuda itu, Siauw Bwee mengerutkan alisnya dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah. Pandang mata pemuda itu dengan jelasnya memancarkan isi hatinya kepadanya! Siauw Bwee tidak mampu melawan pandang mata seperti itu lebih lama lagi dan ia menunduk. Sedangkan Coa Leng Bu yang melihat sikap sutenya ini lalu menegur,

"Sute, mari duduklah. Kenapa berdiri saja disitu?"

Suma Hoat sadar, kedua pipinya menjadi merah, jantungnya berdenyut aneh dan ia merasa heran sekali. Dia yang sudah bermain cinta dengan banyak gadis cantik dari segala golongan, kenapa sekarang sama sekali tidak berdaya menghadapi gadis ini? Ia lalu menaiki anak tangga, dan duduk di atas bangku berhadapan dengan Siauw Bwee, di sebelah kiri suhengnya.

"Ji-suheng, aku mendengar bahwa kau terluka pundakmu. Bagaimana lukamu? Apakah sudah sembuh?"

"Hanya luka daging, tidak berbahaya, Sute."

"Suheng, Nona ini adalah yang kau suruh aku bantu di Sian-yang tempo hari. Siapakah dia? Harap Suheng memperkenalkan."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar