Ads

Selasa, 12 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 149

Siauw Bwee mengangkat muka dan kini dia menatap wajah orang muda itu penuh perhatian. Wajah yang tampan, pikirnya, dan sikap yang gagah sekali. Dia sudah hampir lupa lagi bagaimana wajah Panglima Suma Kiat, akan tetapi dia mendengar bahwa panglima tua itu pun dahulunya seorang yang tampan. Orang muda di depannya ini memiliki sikap yang gagah perkasa, agaknya tidak patut menjadi seorang jahat, akan tetapi pandang matanya begitu tajam, seolah-olah pandang mata itu menjenguk ke dalam hatinya, bahkan seolah-olah pandang mata itu menelanjanginya! Diam-diam Siauw Bwee bergidik. Laki-laki yang jantan dan berbahaya sekali! Kalau saja cinta kasih di hatinya tidak sebulatnya tertuju kepada suhengnya, pria di depannya ini memiliki daya tarik luar biasa dan tidak anehlah kalau dia tertarik!

Mendengar ucapan sutenya, Coa Leng Bu tertawa,
"Ahhh, aku sampai lupa memperkenalkan. Sute, Khu-lihiap ini adalah puteri angkat dari mendiang Ouw-sute, jadi masih terhitung murid keponakanmu sendiri. Khu-lihiap, ini adalah Suma-sute, masih susiokmu sendiri."

Siauw Bwee bangkit berdiri dan memberi hormat.
"Susiok....!" katanya perlahan dan sederhana.

Suma Hoat cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan dara itu sambil berkata,
"Aihh, Nona. Harap jangan menyebut Susiok kepadaku. Kepandaian Nona begitu tinggi, kalau menyebut Susiok kepadaku hanya membuat aku menjadi malu saja. Nona, namaku adalah Suma Hoat dan kuharap Nona tidak menyebut Susiok, sebut saja Twako karena kita telah menjadi sahabat, bukan?"

Ucapan dan sikap Suma Hoat demikian ramah dan wajar, sama sekali tidak memperlihatkan sikap kurang ajar sehingga Siauw Bwee tersenyum. Senyum yang membuat Suma Hoat hampir terjengkang saking kagum dan girangnya.

"Baiklah, Suma-twako."

Mereka duduk kembali dan Leng Bu cepat memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah hidangan dan minuman.

"Nona, engkau she Khu akan tetapi belum memperkenalkan diri."

Sambil tersenyum memandang orang muda yang polos itu, Siauw Bwee menjawab,.
"Namaku Khu Siauw Bwee."

Berkata demikian, ia memandang tajam untuk melihat apakah orang muda she Suma itu mengenal namanya. Kalau dia keluarga Suma Kiat, tentu akan mengenal bahwa dia adalah puteri mendiang Panglima Khu Tek San! Akan tetapi tidak tampak perubahan sesuatu pada wajah yang tampan itu dan memang sesungguhnya Suma Hoat tidak mengenal nama ini. Peristiwa yang menimpa Khu Tek San dan Menteri Kam Liong terjadi ketika dia sudah meninggalkan kota raja.

Sambil makan minum mereka bercakap-cakap. Beberapa kali Suma Hoat memancing untuk mengetahui keadaan Khu Siauw Bwee, namun gadis itu seolah-olah hendak menyembunyikan keadaannya.

"Nona, kepandaianmu begitu hebat. Siapakah sebetulnya gurumu?" Akhirnya dia bertanya secara langsung.

"Aku sendiri tidak tahu dan tidak dapat memberi tahu tentang itu, Suma-twako. Aku hanya belajar sedikit-sedikit disana-sini, dan mula-mula aku belajar di bawah bimbingan suheng dan suciku sendiri." Siauw Bwee tetap saja mengelak.

"Ahh, kalau begitu, suheng dan sucimu tentu sakti bukan main! Bolehkah aku mengenal mereka?"

"Maaf, Twako. Suheng dan suci merahasiakan diri mereka sehingga aku tidak boleh menyebut nama mereka. Harap kau suka memaklumi watak orang-orang aneh seperti mereka itu."

Suma Hoat kecewa akan tetapi dia mengangguk. Heran sekali gadis ini sikapnya penuh rahasia, akan tetapi biarpun kecewa, dia tidak merasa menyesal! Padahal biasanya dia merasa paling benci kalau menghadapi gadis yang angkuh.

"Aku mengerti, Nona, dan maafkan kelancanganku bertanya tadi. Bukan maksudku untuk mengetahui rahasia orang lain, akan tetapi.... aku kagum sekali kepadamu, maka timbul keinginanku untuk mengenalmu lebih baik dengan mengetahui riwayatmu. Maafkan aku."






"Tidak apa, Twako, akulah yang minta maaf,"

Kata Siauw Bwee, tidak enak juga hatinya menyaksikan sikap yang amat ramah, sopan dan baik dari orang muda itu.

"Sute, sekarang aku ingin sekali bertanya kepadamu. Sesungguhnya karena hal inilah maka aku menantimu disini. Bagaimana engkau dapat mengenal Koksu Negara Yucen dan rombongannya?"

Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini mengejutkan hati Suma Hoat. Tak disangkanya bahwa suhengnya tahu akan hal itu. Suhengnya sudah lama mengasingkan diri, tak mungkin mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai Koksu Kerajaan Yucen. Tak salah lagi, tentulah Khu Siauw Bwee yang mengenal kakek berambut putih itu, maka dia menjadi makin kagum dan heran. Dara ini selain berilmu tinggi, juga agaknya berpemandangan luas dan berpengalaman dalam dunia kang-ouw.

"Jadi Suheng sudah mengenal Koksu Yucen? Terus terang saja, Suheng. Aku bekerja sama dengan Kerajaan Yucen dan bersekutu dengan Pek-mau Seng-jin."

Diam-diam Coa Leng Bu kagum akan ketepatan pandangan Siauw Bwee. Dia melirik gadis itu yang bersikap tidak mengacuhkan, kemudian berkata,

"Sute, aku tidak bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi selagi negara dalam keadaan terancam mengadakan persekutuan dengan bangsa lain, bukankah hal itu dipantang oleh orang-orang gagah?"

Suma Hoat tersenyum.
"Untuk memberi pandangan tentang perjuangan bangsa, harus lebih dulu mengetahui keadaan sesungguhnya. Suheng melihat sendiri betapa kerajaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu yang kuat sekali. Biarpun semua orang gagah membantu Kerajaan Sung, kiranya kerajaan itu takkan dapat dipertahankan lagi. Jalan satu-satunya yang tepat adalah mengharapkan bantuan bala tentara Yucen dengan maksud menghadapi Mancu, bukankah hal itu demi keselamatan negara kita?"

Diam-diam Siauw Bwee dapat mengerti kebenaran ini, dan Coa Leng Bu hanya menarik napas panjang.

"Aku tidak tahu tentang politik negara, Sute, hanya kuharap Sute tidak akan menyimpang daripada garis yang dilalui orang-orang gagah, jangan sampai kelak dikenal sebagai seorang pengkhianat bangsa."

"Tidak mungkin, Suheng. Sampai mati pun aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Kalau sekarang aku berbaik dengan Koksu Negara Yucen, hal itu semata-mata untuk menarik pihak Yucen menolong Kerajaan Sung yang terancam oleh pihak Mancu."

Keterangan ini memuaskan hati Leng Bu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Hoat untuk mengajak mereka mencontoh sikapnya.

"Kuharap Suheng dan Nona Khu dapat melihat kenyataan itu dan marilah kalian ikut bersamaku membantu kerajaan dengan bekerja sama dengan Koksu Yucen. Dengan jalan ini kita akan dapat menyelamatkan negara dari ancaman Mancu."

"Aku tidak mempunyai hasrat untuk melibatkan diri dengan perang, Sute," jawab Leng Bu dengan suara dingin.

"Dan bagaimana dengan pendapatmu, Nona?"

"Aku juga tidak suka mencampuri urusan negara, aku benci akan perang! Dan selain itu, aku mempunyai urusan pribadi yang lebih penting. Biarlah kita mengambil jalan kita masing-masing, Suma-twako. Supek, marilah kita melanjutkan perjalanan ke selatan."

Siauw Bwee ingin sekali segera dapat bertemu dengan Kam Han Ki dan Leng Bu yang maklum akan hal hati dara itu berkata,

"Sebaiknya besok pagi-pagi saja kita berangkat. Kota Sian-tan merupakan benteng kuat dan menjadi pertahanan pasukan Sung, kurasa ke sanalah kita harus menuju. Akan tetapi, mengingat akan peristiwa di Sian-yang, kita harus berhati-hati memasuki kota itu."

Siauw Bwee maklum bahwa setelah mereka berdua mengacau di Sian-yang sebelum pasukan Mancu tiba disana, tentu mereka akan dimusuhi oleh tentara Sung, dan akan ditangkap oleh Bu-koksu karena dia telah membunuh panglima dampit. Maka ia mengangguk dan menyatakan setuju.

"Suheng dan Nona Khu. Aku telah mendengar akan sepak terjang kalian di Sian-yang. Bukankah engkau yang telah membunuh panglima dampit dan menimbulkan kekacauan disana? Kalau benar demikian, amat berbahaya kalau kalian memasuki kota Siang-tan. Pula, bolehkah aku bertanya apa tujuan Nona pergi kesana?"

"Aku ingin mencari seseorang, urusan pribadi, Twako. Maaf, aku tidak dapat memberi penjelasan kepadamu."

Suma Hoat mengangguk, kembali merasa kecewa akan tetapi tidak menyesal. Bahkan dia ingin sekali membantu Nona ini karena dia dapat merasa bahwa tentu ada rahasia yang mengganggu hati nona ini. Dia akan diam-diam menyelidiki dan kalau perlu melindungi dan membantu Nona yang telah menjatuhkan hatinya ini.

"Kalau begitu aku setuju dengan pendapat Ji-suheng. Lebih baik berangkat besok pagi, dan sedapat mungkin memasuki kota di waktu malam, menyelinap diantara kaum pengungsi sehingga tidak akan mudah dikenal."

Siauw Bwee makin suka kepada pemuda ini. Seorang yang jujur, ramah, sopan dan tahu diri sehingga tidak terus bertekad mengetahui rahasia orang bahkan dapat menghargai dan memaklumi rahasia orang.

"Suma-twako, aku pernah mendengar nama besar seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat. Tidak tahu apakah persamaan she antara Twako dan dia berarti ada hubungan keluarga?"

Kembali Suma Hoat terkejut, akan tetapi dia dapat menekan hatinya dan tidak memperlihatkan pada wajahnya. Dia tersenyum dan berkata,

"Kebetulan sekali aku adalah puteranya, Nona."

"Ohhh....!"

Siauw Bwee tak dapat menyembunyikan kekagetannya. Untung dia dapat menahan kemarahannya dengan pendapat bahwa pemuda ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perbuatan Suma Kiat. Buktinya, pemuda ini tidak mengenalnya dan agaknya tidak tahu menahu tentang perbuatan jahat ayahnya yang telah mengakibatkan kematian Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Betapapun juga, sukar baginya untuk dapat duduk semeja lagi dengan putera musuh besarnya, maka ia lalu bangkit dan berkata,

"Supek, aku ingin mengaso dulu. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan."

Kepada Suma Hoat dia hanya menjura tanpa memandang wajahnya, kemudian meninggalkan mereka dan pergi memasuki kamarnya dimana dia duduk dan mengatur pernapasan untuk menekan hatinya yang menggelora karena marah. Dia dapat menyabarkan hatinya ketika mengingat betapa Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang baik, tidak seperti ayahnya. Dia tidak akan mencontoh sucinya, yang membawa-bawa dendam kepada seluruh keluarga, bahkan bangsa! Tidak, dendamnya hanya tertuju kepada Suma Kiat, dia tidak akan memusuhi Suma Hoat yang sedikit banyak telah menarik hatinya.

Suma Hoat merasa heran akan sikap gadis itu, akan tetapi dia tidak menduga sama sekali akan isi hati Siauw Bwee. Dia melanjutkan bercakap-cakap dengan suhengnya, dan di pihak Coa Leng Bu, dia sama sekali tidak mengenal siapa adanya sutenya ini.

Puluhan tahun dia menyembunyikan diri, mengasingkan diri dan tidak pernah tahu akan keadaan dunia ramai. Tentu saja dia tidak tahu akan sepak terjang Suma Kiat, bahkan dia tidak tahu bahwa sutenya ini adalah Jai-hwa-sian, karena nama Jai-hwa-sian pun belum pernah didengarnya. Dia hanya merasa kagum kepada sutenya yang selain memiliki kepandaian lebih tinggi daripadanya, juga ternyata putera seorang Panglima Sung! Dia malah merasa malu sendiri bahwa tadi dia telah menegur sutenya, siapa kira sutenya adalah putera panglima yang tentu saja lebih tahu akan keadaan negara.

Karena Suma Hoat juga hendak melanjutkan perjalanan besok, maka pemuda ini menyewa kamar di rumah penginapan yang didiami Leng Bu dan Siauw Bwee. Melihat Siauw Bwee tidak pernah keluar lagi dari kamarnya, Suma Hoat juga siang-siang sudah memasuki kamar, berusaha melupakan Siauw Bwee namun tak berhasil.

Makin dilupa, wajah gadis itu makin jelas kelihatan di depan mata. Setiap gerak-gerik gadis itu, lirikan mata, gerak bibirnya kalau bicara, kejapan matanya, senyum dikulum, aihh, dia benar tergila-gila! Harus kunyatakan sekarang, pikirnya. Tidak akan ada kesempatan lagi. Berhasil atau gagal, sekarang, malam ini!

Malam ini amat sunyi. Suara penduduk kota kecil yang biasanya memecahkan kesunyian, malam itu tidak terdengar lagi. Dan sudah beberapa malam yang lalu, semenjak pasukan-pasukan Mancu menyerbu ke selatan, kota kecil ini menjadi sunyi sekali di waktu malam.

Sebagian besar penduduknya sudah mengungsi ke selatan, mencari tempat yang jauh dari kemungkinan dilanda perang, dan sebagian kecil yang tertinggal, sore-sore sudah masuk tidur, tidur yang tidak pulas karena sedikit suara saja cukup membuat mereka terbangun dan bersiap-siap melarikan diri jika ada bahaya perang mengancam.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar