Ads

Selasa, 12 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 150

Bulan sepotong yang menciptakan keindahan ajaib, pemandangan remang-remang antara terang dan gelap, seakan-akan menambah kesunyian karena tiada yang menikmati dan mengaguminya. Hanya belalang, jengkerik, kutu-kutu dan burung malam yang dapat menikmati malam sunyi itu.

Makin sunyi, makin menyenangkan bagi mereka. Mereka dapat bebas mengeluarkan suara, mungkin suara rindu si jantan mengundang si betina, suara untuk melindungi telur atau anak-anak mereka dari bahaya, namun bagi telinga manusia, suara binatang-binatang itu seolah-olah bernyanyi. Aneh akan tetapi demikianlah kenyataannya bahwa suara-suara berirama ini bahkan menambah rasa sunyi dan hening sang malam yang menciptakan rasa takut dalam hati manusia-manusia yang sudah gelisah oleh bayangan mereka sendiri itu.

Kesunyian terasa benar oleh Siauw Bwee yang berada di dalam kamarnya. Dia rebah sambil termenung, gelisah memikirkan suhengnya. Bagaimanakah kalau benar pendapat Coa Leng Bu bahwa suhengnya menjadi korban racun perampas semangat? Bagaimana kalau sampai tak dapat disembuhkan? Ngeri dia memikirkan bahwa suhengnya takkan dapat mengenal selamanya!

Berkali-kali Siauw Bwee menarik napas panjang dan dia merasa kesunyian, perasaan yang selalu menggoda hatinya semenjak dia meninggalkan Pulau Es. Kegelisahan dan kesunyian hatinya membuat dia dapat mendengarkan suara binatang malam dengan jelas dan dalam pendengarannya, suara malam itu seperti keluh-kesah yang menggema dari lubuk hatinya.

Tiba-tiba dia bangun duduk di atas pembaringannya. Suara binatang malam terhenti ketika terdengar suara tiupan suling melengking. Mula-mula suara suling itu rendah seperti keluhan seekor binatang yang terluka, kemudian makin meninggi dan melagu. Lengking suling yang merdu mengalun, naik turun dengan lika-liku yang halus, suaranya menggetar seolah-olah hawa yang keluar dari mulut peniupnya mengandung hati yang merana.

Siauw Bwee terpesona. Seperti juga semua belalang, jengkerik, dan kutu-kutu malam yang semua diam terpesona, dia pun diam tak bergerak, seluruh semangatnya seperti terbetot, terbawa melayang-layang di angkasa, memasuki dunia lamunan.

Suara itu mendatangkan perasaan aneh dan penuh rahasia, seperti perasaan orang kalau mendengarkan dengan penuh perhatian suara angin bersilir mempermainkan daun-daun pohon, seperti dendang anak sungai dengan airnya yang bercanda dengan batu-batu sungai, suara air hujan rincik-rincik menimpa permukaan bumi, suara guntur di angkasa di musim hujan, suara air laut bergemuruh menghantam karang. Sejenak membuat perasaan pikiran menjadi hampa, sunyi, penuh damai, bebas daripada permainan suka duka.

Namun, suara tiupan suling yang melagu itu menghanyutkannya ke lembah keharuan, mengingatkan dia akan segala kesunyian dan kegelisahannya, membuat Siauw Bwee tanpa disadarinya sendiri berlinang air mata. Ketika merasa dua titik air hangat mengalir turun di atas pipinya, barulah dia tersadar. Cepat dihapusnya air matanya, dan ia terheran-heran. Siapakah yang meniup suling seperti itu? Seolah-olah dia mendengar keluh kesah, rintihan dan ratap tangis bersembunyi di dalam lengking merdu itu.

Siauw Bwee turun dari pembaringan, membereskan pakaian tanpa mempedulikan rambutnya yang awut-awutan, kemudian dia keluar dari kamarnya, terus keluar dari rumah penginapan, menuju ke belakang dari mana terdengar suara suling itu.

Bulan sepotong masih mengambang tinggi di atas kepala, sinarnya menciptakan cahaya remang-remang, agak kebiruan, agak kekuningan, mendatangkan hawa yang sejuk dan menimbulkan suasana yang penuh rahasia dan keajaiban.

Pohon-pohon yang menjadi permainan cahaya redup dalam kegelapan, seolah-olah kehilangan bentuk aslinya dan berubah menjadi bentuk yang penuh rahasia. Siauw Bwee terus melangkah memasuki sebuah kebun yang kosong, dan tiba-tiba tampaklah olehnya seorang yang duduk membelakanginya, duduk di atas sebuah batu, meniup suling.

Dia adalah seorang laki-laki, akan tetapi sukar dikenal siapa karena selain membelakanginya, juga laki-laki itu duduk terlindung dalam bayangan sebatang pohon. Kedua tangan memegang suling, kepalanya agak miring ketika meniup lubang suling, kedua pundaknya bidang.

Siauw Bwee berhenti melangkah. Setelah keluar dari dalam kamar, kini suara suling terdengar makin merdu, seolah-olah melayang-layang di angkasa, bermain-main dengan bayangan, membubung tinggi melalui sinar bulan redup, seperti hendak mencapai bulan.

Teringatlah dia kini dan dia mengenal lagu yang dimainkan suling itu. Ketika dia masih tinggal bersama orang tuanya di kota raja, Siauw Bwee pernah mempelajari seni suara dan dia mengenal lagu itu, sebuah lagu kuno yang berjudul "Merindukan Bulan". Bahkan dia masih teringat akan kata-kata nyanyian lagu itu. Bagaikan dalam mimpi, ketika tiupan suling itu mengulangi lagi nyanyian itu, dia bernyanyi, perlahan, akan tetapi karena dia memiliki tenaga khi-kang yang hebat, suara nyanyian menggetar dan bergelombang sampai jauh, merdu seperti bisikan bulan sendiri melalui cahaya yang kebiruan.

"Bulan....
tunggulah aku wahai bulan
jangan kau tinggalkan aku sendiri!

Bulan....
hanya engkaulah pengganti dia
hanya engkaulah pencermin wajahnya

Bulan....
ke mana engkau lari?
ke mana engkau sembunyi?

Bulan....
kasihanilah aku wahai bulan
jangan kau pergi.... jangan....!"






Tak terasa lagi, kembali dua titik air mata membasahi pipi Siauw Bwee. Dia berhenti bernyanyi, dan suara suling itu pun melambat, menurun, akhirnya berhenti sama sekali. Sejenak sunyi, tiada sedikit pun suara menyusul penghentian lengking suling, kemudian, tiba-tiba, suara binatang malam saling sahut lagi, seolah-olah mereka itu berseru memuji.

Seperti dalam mimpi, Siauw Bwee melihat penyuling itu bangkit, menghampirinya dan tiba-tiba orang itu menjatuhkan diri berlutut di depannya.

"Nona.... engkau benar-benar datang.... terima kasih kepada Thian....! Betapa hatiku menggetarkan suara merindumu, memanggilmu.... dan ternyata engkau dapat menangkap getaran ini.... ahhh, Nona, adakah.... adakah harapan di hatiku yang kering ini?"

Siauw Bwee terbelalak memandang ketika sadar kembali dan terbebas dari hikmat keajaiban malam dan mengenal orang itu yang bukan lain adalah Suma Hoat. Hampir dia menjerit kalau saja tidak cepat-cepat dia mendekap mulut sendiri dengan telapak tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mendekap dada kiri seolah-olah menahan debaran jantungnya.

"Ihhh.... engkau.... engkau.... apa maksudmu? Apa artinya semua ini....?"

Suma Hoat yang sudah tergila-gila itu menjatuhkan diri menelungkup dan mencium ujung sepatu Siauw Bwee. Gadis itu menjadi makin sadar dan cepat melompat ke belakang.

"Suma Hoat! Apakah engkau sudah gila?" bentaknya.

"Nona Khu Siauw Bwee, memang aku sudah gila. Tidak dapatkah engkau menangkap kegilaanku dari suara sulingku, dari sinar mataku kalau memandangmu, dan debar jantungku kalau mendengar suaramu, dari...."

"Kau.... kau gila....!" Siauw Bwee membentak, wajahnya menjadi merah sekali.

"Benar, aku gila, aku tergila-gila kepadamu, Nona. Aku cinta padamu.... biarlah kau bunuh aku kalau kau merasa terhina, aku rela mati di tanganmu, aku cinta padamu, Khu Siauw Bwee,"

Suma Hoat berkata sambil berlutut, sekali ini, tidaklah seperti kalau dia merayu wanita. Belum pernah dia merendahkan diri seperti itu, biasanya dia malah angkuh sekali berhadapan dengan wanita. Dan baru dua kali ini selama hidupnya dia mengaku cinta dengan setulus hatinya.

Melihat sikap ini, lenyaplah kemarahan dari hati Siauw Bwee. Dia terharu karena sikap laki-laki ini jelas bukanlah rayuan kosong belaka! Timbul pertentangan di hatinya, antara kasihan yang menimbulkan keharuan dan kebencian karena mengingat bahwa pria ini adalah putera musuh besarnya.

"Suma Hoat, cukuplah sikapmu yang gila ini. Aku tidak mau menerima cintamu, tidak bisa menerima cinta siapapun juga."

Suma Hoat memejamkan matanya. Aihh, tidak.... tidak....! Apakah dia harus kembali mengalami kegagalan cinta! Cinta yang tulus ihklas, cinta yang bukan terdorong berahi semata, melainkan cinta karena daya tarik dari seluruh pribadi wanita itu?

"Kau.... kau.... sudah mencinta orang lainkah....?" tanyanya lemah.

"Bukan urusanmu itu, Suma Hoat, dengarlah, kalau aku tidak melihat sikapmu yang baik, tentu sudah sejak kemarin aku mencarimu dan membunuhmu!"

Suma Hoat terkejut bukan main. Dia melompat bangun, memandang gadis itu dengan mata terbelalak lebar.

"Nona, demikian besarkah dosaku? Demikian besarkah dosa seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita seperti Nona? Sehingga timbul kebencianmu dan keinginanmu untuk membunuhku?"

"Bukan karena itu, melainkan karena kenyataan bahwa engkau adalah putera musuh besarku, putera si keparat Suma Kiat."

"Ya Tuhan....! Mengapa, Nona? Mengapa engkau memusuhi ayahku?"

"Buka telingamu baik-baik. Suma Hoat! Aku adalah puteri tunggal dari mendiang Khu Tek San! Dan engkau tahu bahwa ayahku dan Menteri Kam Liong, guru ayahku, tewas gara-gara kekejian ayahmu!"

Suma Hoat makin kaget. Dia tidak melihat peristiwa itu, akan tetapi akhir-akhir ini dia sudah mendengar akan hal itu. Dengan muka pucat dia memandang gadis itu, kemudian berkata lemah,

"Sungguh buruk nasibku.... Tuhan mengutukku karena perbuatan ayah.... dan.... dari perbuatanku sendiri. Nona, kalau begitu, kau bunuhlah aku, aku takkan melawanmu...."

"Hemmm, kalau aku hendak membunuhmu, apa kau kira engkau mampu melawanku?"

"Khu Siauw Bwee, aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi harap jangan memandang rendah orang lain. Dan jangan engkau mencari ayahku, karena selain ayahku berilmu tinggi dan mempunyai banyak pasukan, juga aku bersedia menebus kesalahan ayah kepadamu. Aku cinta padamu, Nona. Sungguh, aku bersumpah, aku cinta padamu. Lebih baik engkau membalas dendammu kepadaku dan aku rela mati di tangan wanita yang kucinta dengan seluruh tubuh dan nyawaku."

"Engkau gila! Siapa percaya omonganmu? Engkau perayu. Mana mungkin orang baru berjumpa dua kali sudah menyatakan cinta seperti engkau? Selain itu, aku tidak akan membunuhmu, aku bukan orang yang membabi buta dalam pembalasan dendam. Hanya ayahmu yang bersalah dan kemana pun dia bersembunyi, aku akan dapat mencari dan membunuhnya. Kalau tidak, percuma saja aku bertahun-tahun belajar ilmu di Pulau Es!" Saking marahnya, Siauw Bwee lupa diri dan menyebut Pulau Es.

Suma Hoat makin kaget.
"Apa....? Engkau.... engkau.... penghuni Istana Pulau Es....?"

"Benar! Dan kalau engkau hendak membela ayahmu, majulah agar aku mempunyai alasan untuk menghajarmu!"

Lemas rasa seluruh tubuh Suma Hoat. Bukan lemas karena takut, melainkan lemas karena maklum bahwa harapan cintanya musnah sama sekali. Gadis jelita ini adalah penghuni Istana Pulau Es, selain memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, juga agaknya mencintai orang lain, bahkan menjadi musuh ayahnya. Tak mungkin dara ini sudi membalas cintanya.

"Aku.... aku tidak akan melawanmu, Nona. Betapapun juga, aku tetap mencintamu.... dan agaknya sudah menjadi nasibku untuk selalu kecewa dalam cinta kasih murni, dan hanya dapat mengecap kenikmatan cinta palsu yang hampa. Maafkan aku, Nona. Hanya sebuah hal yang kumohon kepadamu untuk mengaku. Benarkah dugaanku bahwa Nona telah mencinta orang lain?"

Menyaksikan sikap yang begitu menderita dan suara yang menggetar seperti hendak menangis, Siauw Bwee, yang berperasaan halus itu kembali merasa kasihan.

"Benar dugaanmu, karena itu aku tidak mungkin dapat mendengar pernyataan cinta kasih dari pria lain yang manapun juga!"

Suma Hoat menunduk, jari-jari tangannya meremas.
"Krekkk!"

Sulingnya hancur berkeping-keping.
"Selamat tinggal, Nona. Betapapun juga, cintaku takkan pernah padam dan harapanku takkan pernah musnah. Aku akan menanti, siapa tahu...., Thian akan menaruh iba kepadaku.... dan kelak.... kelak kita masih akan dipertemukan kembali dengan harapan baik bagiku.... selamat tinggal."

Tubuh Suma Hoat melesat cepat meninggalkan tempat itu, dan Siauw Bwee berdiri termangu-mangu, menghela napas panjang. Teringat ia kepada Yu Goan, pemuda tampan gagah perkasa yang juga jatuh cinta kepadanya dan terpaksa ditolaknya pula.

Akan tetapi, hatinya tidak seberat ketika menghadapi pernyataan cinta kasih Suma Hoat. Diam-diam dia harus mengaku di dalam hatinya bahwa andaikata Suma Hoat bukan putera Suma Kiat, agaknya tidak sukar baginya untuk memperhatikan pernyataan cinta kasih pemuda itu! Andaikata....!

"Khu-lihiap, apa yang kau lakukan malam-malam disini? Hawanya begini dingin...."

Siauw Bwee sadar dari lamunannya dan membalikkan tubuh.
"Ah, aku tak dapat tidur, Supek."

"Sebaiknya tidur sekarang, besok kita berangkat pagi-pagi. Aku akan membicarakan rencana kita dengan Sute karena dia agaknya lebih mengenal keadaan kota Siang-tan agar lebih mudah kita memasuki kota yang menjadi benteng pertahanan pasukan Sung itu."

"Dia sudah pergi, Supek."

"Apa? Siapa maksudmu?"

"Suma-twako, dia sudah pergi."

Setelah berkata demikian, Siauw Bwee kembali ke penginapan dan memasuki kamarnya.

Coa Leng Bu masih tidak percaya dan membuka pintu kamar sutenya. Ternyata kamar itu telah kosong. Dia hanya melongo dan tidak mengerti. Diam-diam ia menghela napas dan menduga bahwa tentu terjadi sesuatu antara Siauw Bwee dan sutenya itu, akan tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi dan tidak berani bertanya. Ia pun lalu memasuki kamarnya dan tidur.

**** 150 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar