Pasukan Mancu yang menduduki kota Sian-yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, dan tentu saja karena jasa Pasukan Maut yang dipimpin oleh Panglima Wanita Maya maka benteng itu dapat direbut dengan mudah.
Setelah berhasil menduduki kota dan mengamankan keadaan, Pangeran Bharigan mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan Pasukan Mancu. Jasa Maya dan pembantu-pembantunya, terutama kedua orang murid Mutiara Hitam, dipuji-puji oleh Pangeran Bharigan yang biarpun cintanya ditolak Maya, masih selalu mengharapkan perubahan hati dara itu.
Biarpun keadaan mengharuskan dia bergembira, namun Maya merasa masih belum puas, apalagi kalau dia mengingat akan suhengnya yang tempo hari membantu pasukan Yucen. Dia tidak akan merasa puas kalau belum menumpas Kerajaan Sung untuk membalas dendam kematian Menteri Kam Liong, kemudian menumpas bangsa Mongol dan Yucen untuk membalas kematian ayah bundanya, Raja dan Ratu Khitan. Maka untuk menghentikan puji-pujian itu, dia menjawab,
"Kemenangan kita adalah jasa para perajurit dan kemenangan ini belum ada artinya karena benteng yang berada di depan jauh lebih kuat. Saya mendengar bahwa benteng musuh di kota Siang-tan amat kuatnya."
"Menurut para penyelidik memang benar demikian, Li-ciangkun," kata Pangeran Bharigan. "Oleh karena itu, kita pun jangan tergesa-gesa melakukan penyerangan. Sambil memberi waktu kepada para anak buah pasukan untuk mengaso, sebaiknya kalau kita mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka. Kita harus mengetahui kelemahan-kelemahan mereka di samping kekuatan mereka agar pukulan kita tidak akan gagal."
"Sebaiknya demikian, Pangeran. Akan tetapi, untuk menyelidiki kota besar yang merupakan benteng kuat itu, tidaklah mudah. Oleh karena itu, saya mohon perkenan Pangeran untuk pergi menyelidiki sendiri, dengan beberapa orang pembantu yang berkepandaian cukup tinggi."
Pangeran Bharigan mengangguk-angguk. Memang sebaiknya begitu dan kalau panglima wanita yang sakti itu pergi menyelidiki sendiri, tentu hasilnya akan jauh lebih baik daripada mengirim penyelidik biasa. Biarpun hatinya khawatir kalau-kalau wanita perkasa yang menarik hatinya dan diharapkan dapat menjadi calon isterinya itu mengalami malapetaka, namun dia tahu bahwa merupakan pantangan bagi Maya untuk bersikap penakut.
"Saya tidak dapat menolak permintaanmu, Li-ciangkun. Kalau memang kau anggap penting bahwa engkau sendiri yang pergi, terserah. Silahkan memilih pembantu-pembantumu, dan apakah perlu dengan pasukan?"
Maya menggeleng kepala.
"Saya hanya memerlukan bantuan Ok Yan Hwa, Can Ji Kun, Kwa-huciang dan Theng-ciangkun. Kami berlima akan menyamar sebagai pengungsi dan memasuki kota Siang-tan. Besok pagi-pagi kita berangkat. Kalau Pangeran setuju, kuharap kalian berempat suka bersiap-siap malam ini."
Pangeran Bharigan menyetujui dan bersiaplah lima orang itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di waktu cuaca makin gelap, mereka menyelundup keluar dan berpakaian sebagai penduduk biasa, membawa buntalan pakaian, kemudian menyelinap diantara rombongan pengungsi yang berbondong-bondong menuju ke Siang-tan. Tidak begitu banyak yang memasuki kota Siang-tan, karena sebagian pengungsi ada yang berhenti di dusun-dusun dan kota-kota sebelum mencapai Siang-tan.
Perjalanan jauh membuat pakaian dan rambut mereka kusut sehingga kecantikan Ok Yan Hwa, terutama sekali Maya, tidaklah begitu menonjol, apalagi mereka sengaja membiarkan sinar matahari membakar kulit muka dan tangan mereka yang biasanya halus dan putih kuning itu.
Kulit mereka menjadi kecoklatan seperti kulit para wanita petani. Pula, diantara para pengungsi terdapat pula wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang dalam perjalanan mengungsi itu tak pernah lupa untuk bersolek, sehingga dipandang sepintas lalu, Yan Hwa dan Maya yang membiarkan kulit mereka dihanguskan matahari, membiarkan pakaian dan rambut mereka kusut, tidak kelihatan cantik luar biasa.
Ketika memasuki pintu gerbang sebelah utara bersama rombongan pengungsi, Maya dan empat orang pembantunya melihat betapa penjagaan di sepanjang tembok kota amat kuat dan rapi. Para penjaga berbaris dengan lapisan yang ketat, sedangkan setiap orang pengungsi diawasi dengan cermat, bahkan kereta-kereta yang masuk diperiksa dan pengungsi yang membawa senjata dirampas.
Diam-diam Maya harus mengakui bahwa penjagaan bagian pintu gerbang di kota Siang-tan ini jauh lebih kuat daripada penjagaan di kota Sian-yang dan di atas tembok kota penuh pula dengan pasukan penjaga yang selalu siap dengan busur dan anak panah mereka. Juga di sekeliling tembok dipasangi jebakan-jebakan dengan barisan-barisan pendam yang tidak tampak dari jauh. Semua ini dicatat dalam hati oleh Maya.
Setelah memasuki kota, Maya dan teman-temannya menyaksikan barisan Sung telah memasang persiapan membentuk pasukan-pasukan peronda, sedangkan induk pasukan yang berada di markas, yang tampak dari luar, kelihatan segar-segar dan penuh semangat.
Banyak sekali rombongan pengungsi yang membanjiri kota ini semenjak beberapa hari yang lalu sehingga semua rumah penginapan penuh oleh para pengungsi yang beruang.
Karena kehabisan kamar, terpaksa Maya dan teman-temannya bermalam di dalam sebuah gedung besar rumah perkumpulan yang oleh para dermawan kota itu disediakan untuk menampung para pengungsi yang tidak dapat menyewa kamar, yang tidak berkeluarga di kota itu dan yang tidak kebagian kamar penginapan lagi.
Saking banyaknya orang yang memasuki gedung ini, sebagiaan besar mereka terpaksa berjubel di dalam ruangan terbuka yang luas. Di tempat ini mereka, laki-laki, wanita, tua muda, kanak-kanak, beristirahat, ada yang duduk mengobrol, ada yang tidur di lantai. Di sana-sini terdengar suara anak-anak kecil menangis diiringi suara makian atau hiburan orang tuanya, ada pula suara keluh-kesah wanita yang teringat akan rumah dan segala miliknya yang terpaksa ditinggalkan.
Di dalam ruangan ini Maya dan empat orang temannya duduk di sudut, memperhatikan percakapan-percakapan antara para pengungsi karena percakapan-percakapan itu pun merupakan sumber keterangan yang amat penting bagi mereka.
Menyaksikan sikap para pengungsi, melihat wajah mereka tidaklah sekeruh tadi ketika melakukan perjalanan, bahkan kini setelah bercakap-cakap mereka tersenyum-senyum dan sama sekali tidak tampak berduka, diam-diam Maya teringat akan penuturan suhengnya yang seringkali ketika mereka berada di Pulau Es membicarakan filsafat yang banyak diketahui suhengnya itu.
Diam-diam dia dapat melihat kenyataan akan watak manusia pada umumnya seperti yang pernah ia dengar dari suhengnya. Di dalam segala macam hal, dalam susah maupun senang, manusia selalu bergerak dan bersikap di atas dorongan sifat sayang diri.
Betapapun dukanya hati seseorang karena mengalami derita tertimpa kemalangan, hatinya yang duka itu akan terhibur apabila melihat manusia lain menderita pula, apalagi kalau penderitaan manusia lain itu lebih besar daripada penderitaannya sendiri. Dia dapat membayangkan betapa akan hancur dan sengsara hati setiap orang diri para pengungsi ini andaikata dia seorang yang mengalami nasib buruk seperti itu! Akan tetapi, bertemu dan berkumpul dengan banyak orang lain yang senasib, maka mereka itu merasa terhibur!
Sebaliknya, setiap kesenangan dan keuntungan yang datang selalu ingin dikuasai oleh seorang saja sehingga dijadikan perebutan! Sifat sayang diri dan iba diri inilah yang mengusir cinta kasih antara manusia jauh-jauh dari hati manusia sehingga dimana-mana, bahkan di dalam hati masing-masing manusia, timbul pertentangan-pertentangan.
Padahal, dengan cinta kasih yang mendalam, setiap kedukaan akan terasa ringan apabila dipikul bersama, sebaliknya di setiap kesukaan akan terasa lebih nikmat apabila dinikmati bersama. Hal ini akan dapat dirasakan oleh setiap orang dalam sebuah keluarga yang penuh cinta kasih, di mana setiap kedukaan menjadi ringan dan setiap kesukaan menjadi besar karena selalu dirasakan oleh seluruh keluarga yang mengandung cinta kasih di dalam hati masing-masing.
Percakapan antara tiga orang laki-laki tua di sebelah kirinya amat menarik hati Maya dan empat orang kawannya. Mereka itu bercerita tentang keributan di dalam gedung kepala daerah kota Sian-yang, di mana Koksu Negara menjadi tamu. Keributan yang ditimbulkan oleh seorang dara perkasa yang bertanding melawan pengawal-pengawal Koksu, bahkan yang berhasil membunuh pengawal Koksu yang paling terkenal, yaitu Panglima Dampit.
Maya saling pandang dengan teman-temannya, dan berbisiklah Ok Yan Hwa,
"Tentu dia itu orangnya...."
Maya dan yang lain-lain mengangguk. Mereka sudah mendengar penuturan Ok Yan Hwa betapa ada seorang gadis lihai bukan main yang hendak kabur keluar dari kota Sian-yang di malam hari dan dalam pengepungan terhadap dara lihai itu, Yan Hwa sendiri tidak berhasil mengalahkannya.
Tadinya Maya juga terheran, akan tetapi ketika mendengar bahwa Yan Hwa baru bertanding beberapa gebrakan saja melawan pelarian itu, dia masih belum yakin benar akan ada seorang gadis yang dapat menandingi Yan Hwa. Akan tetapi ketika sekarang mendengar bahwa gadis itu dapat membunuh Panglima Dampit dalam pertandingan, Maya benar-benar terkejut bukan main.
Dia maklum akan kelihaian Panglima Dampit, yang amat terkenal dan sukar dikalahkan itu, dan kini dua orang dampit yang lihai itu tewas di tangan gadis itu. Diam-diam terbayanglah wajah sumoinya, Khu Siauw Bwee di dalam mata Maya,
Yan Hwa melihat dara itu di dalam gelap sehingga tidak dapat menceritakan dengan jelas bagaimana wajah gadis itu. Akan tetapi, melihat keadaannya, seorang gadis cantik yang mampu mengalahkan Panglima Dampit, di dunia ini sukar sekali didapat bahkan Yan Hwa sendiri belum tentu akan mampu mengalahkan dua orang dampit itu, dan kalaupun ada agaknya hanya dia sendiri atau Siauw Bwee! Dia lalu berbisik kepada Ji Kun. Pemuda ini mengangguk lalu mendekati orang-orang yang sedang bicara tentang peristiwa di gedung yang ditinggali Bu-ciangkun itu, kemudian bertanya,
"Lopek, benarkah Panglima Dampit terbunuh oleh seorang gadis? Betapa anehnya dan sukar dipercaya. Siapa yang tidak mengenal kelihaian Panglima Dampit?"
Kakek itu memandang Ji Kun dan mengerutkan alisnya.
"Memang benar dia lihai sekali akan tetapi menurut penuturan keponakanku yang menjadi pengawal dan pada waktu itu menyaksikan sendiri pertandingan itu, Panglima Dampit benar-benar tewas dalam keadaan mengerikan di tangan gadis yang mempunyai kepandaian seperti dewi itu."
"Aih, sungguh hebat dan menarik sekali. Lopek, untuk melupakan kesengsaraan kita, sukakah kau menceritakan kejadian itu? Si Dampit adalah panglima betapa mungkin sampai terbunuh, dan bagaimana dengan Koksu dan panglima-panglima lainnya?"
Dengan wajah gembira karena mendapat kesempatan menceritakan peristiwa penting yang tidak sembarangan orang dapat mengetahuinya, kakek itu menghisap huncwe (pipa tembakau) sampai paru-parunya penuh asap, kemudian dengan uluran napas panjang ia mengeluarkan asap tambahan yang hilang sarinya itu melalui hidungnya, menikmati pandang mata semua orang di sekelilingnya yang bergantung kepada bibirnya. Barulah dia menjawab,
"Engkau tidak tahu, orang muda. Pertandingan itu memang disengaja oleh Koksu yang hendak menguji kepandaian gadis perkasa itu. Gadis itu bersama seorang laki-laki tua memasuki ruangan dan entah mengapa, para pengawal tidak ada yang mengerti, dia mengamuk. Menyaksikan kelihaian gadis itu, Koksu menyuruh panglimanya maju bergantian, akan tetapi apa yang terjadi? Benar keponakanku yang mengatakan bahwa gadis itu agaknya bukan manusia biasa melainkan seorang dewi, baik karena kecantikannya yang luar biasa, tubuhnya yang berbentuk menggairahkan, maupun kepandaiannya yang sukar dipercaya. Kalian tahu? Seorang demi seorang para panglima pengawal itu roboh olehnya!"
"Aihhhh....!"
"Ayaaaaaa.... lihai sekali!"
"Tsk-tsk-tskk....!"
"Melihat semua panglimanya roboh, Bu-koksu lalu menyuruh adik angkatnya sendiri, pengawal pribadinya yang penuh rahasia, yang hanya dikenal sebagai Kam-busu untuk maju menghadapi gadis itu!"
"Aihhhh....!"
Sekali ini teriakan kaget keluar dari mulut Maya. Disebutnya nama Kam-busu yang katanya paling lihai diantara para panglima, membuat hatinya berdebar tegang. Seorang she Kam menjadi adik angkat Koksu dan paling lihai diantara para panglima pengawal? Siapa lagi kalau bukan Kam Han Ki? Ah, akan tetapi sungguh tidak mungkin hal itu terjadi. Suhengnya menjadi pengawal pribadi Koksu? Tak masuk akal! Suhengnya adalah seorang buruan, seorang pelarian yang dimusuhi Kerajaan Sung, mana bisa sekarang menjadi pengawal pribadi Koksu? Pula kalau betul dugaannya bahwa dara yang lihai sekali itu adalah sumoinya, Khu Siauw Bwee, mana mungkin bertanding melawan Kam Han Ki? Tentu seorang di antara keduanya itu yang bukan sumoinya atau suhengnya. Kalau gadis itu betul Siauw Bwee, tentu pengawal itu bukan Han Ki. Sebaliknya, kalau pengawal itu Han Ki, pasti gadis itu bukan Siauw Bwee. Betapapun juga, dia hampir yakin bahwa tentu gadis itu sumoinya, sedangkan pengawal itu bukan suhengnya, biarpun mempunyai she Kam.
Setelah berhasil menduduki kota dan mengamankan keadaan, Pangeran Bharigan mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan Pasukan Mancu. Jasa Maya dan pembantu-pembantunya, terutama kedua orang murid Mutiara Hitam, dipuji-puji oleh Pangeran Bharigan yang biarpun cintanya ditolak Maya, masih selalu mengharapkan perubahan hati dara itu.
Biarpun keadaan mengharuskan dia bergembira, namun Maya merasa masih belum puas, apalagi kalau dia mengingat akan suhengnya yang tempo hari membantu pasukan Yucen. Dia tidak akan merasa puas kalau belum menumpas Kerajaan Sung untuk membalas dendam kematian Menteri Kam Liong, kemudian menumpas bangsa Mongol dan Yucen untuk membalas kematian ayah bundanya, Raja dan Ratu Khitan. Maka untuk menghentikan puji-pujian itu, dia menjawab,
"Kemenangan kita adalah jasa para perajurit dan kemenangan ini belum ada artinya karena benteng yang berada di depan jauh lebih kuat. Saya mendengar bahwa benteng musuh di kota Siang-tan amat kuatnya."
"Menurut para penyelidik memang benar demikian, Li-ciangkun," kata Pangeran Bharigan. "Oleh karena itu, kita pun jangan tergesa-gesa melakukan penyerangan. Sambil memberi waktu kepada para anak buah pasukan untuk mengaso, sebaiknya kalau kita mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka. Kita harus mengetahui kelemahan-kelemahan mereka di samping kekuatan mereka agar pukulan kita tidak akan gagal."
"Sebaiknya demikian, Pangeran. Akan tetapi, untuk menyelidiki kota besar yang merupakan benteng kuat itu, tidaklah mudah. Oleh karena itu, saya mohon perkenan Pangeran untuk pergi menyelidiki sendiri, dengan beberapa orang pembantu yang berkepandaian cukup tinggi."
Pangeran Bharigan mengangguk-angguk. Memang sebaiknya begitu dan kalau panglima wanita yang sakti itu pergi menyelidiki sendiri, tentu hasilnya akan jauh lebih baik daripada mengirim penyelidik biasa. Biarpun hatinya khawatir kalau-kalau wanita perkasa yang menarik hatinya dan diharapkan dapat menjadi calon isterinya itu mengalami malapetaka, namun dia tahu bahwa merupakan pantangan bagi Maya untuk bersikap penakut.
"Saya tidak dapat menolak permintaanmu, Li-ciangkun. Kalau memang kau anggap penting bahwa engkau sendiri yang pergi, terserah. Silahkan memilih pembantu-pembantumu, dan apakah perlu dengan pasukan?"
Maya menggeleng kepala.
"Saya hanya memerlukan bantuan Ok Yan Hwa, Can Ji Kun, Kwa-huciang dan Theng-ciangkun. Kami berlima akan menyamar sebagai pengungsi dan memasuki kota Siang-tan. Besok pagi-pagi kita berangkat. Kalau Pangeran setuju, kuharap kalian berempat suka bersiap-siap malam ini."
Pangeran Bharigan menyetujui dan bersiaplah lima orang itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di waktu cuaca makin gelap, mereka menyelundup keluar dan berpakaian sebagai penduduk biasa, membawa buntalan pakaian, kemudian menyelinap diantara rombongan pengungsi yang berbondong-bondong menuju ke Siang-tan. Tidak begitu banyak yang memasuki kota Siang-tan, karena sebagian pengungsi ada yang berhenti di dusun-dusun dan kota-kota sebelum mencapai Siang-tan.
Perjalanan jauh membuat pakaian dan rambut mereka kusut sehingga kecantikan Ok Yan Hwa, terutama sekali Maya, tidaklah begitu menonjol, apalagi mereka sengaja membiarkan sinar matahari membakar kulit muka dan tangan mereka yang biasanya halus dan putih kuning itu.
Kulit mereka menjadi kecoklatan seperti kulit para wanita petani. Pula, diantara para pengungsi terdapat pula wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang dalam perjalanan mengungsi itu tak pernah lupa untuk bersolek, sehingga dipandang sepintas lalu, Yan Hwa dan Maya yang membiarkan kulit mereka dihanguskan matahari, membiarkan pakaian dan rambut mereka kusut, tidak kelihatan cantik luar biasa.
Ketika memasuki pintu gerbang sebelah utara bersama rombongan pengungsi, Maya dan empat orang pembantunya melihat betapa penjagaan di sepanjang tembok kota amat kuat dan rapi. Para penjaga berbaris dengan lapisan yang ketat, sedangkan setiap orang pengungsi diawasi dengan cermat, bahkan kereta-kereta yang masuk diperiksa dan pengungsi yang membawa senjata dirampas.
Diam-diam Maya harus mengakui bahwa penjagaan bagian pintu gerbang di kota Siang-tan ini jauh lebih kuat daripada penjagaan di kota Sian-yang dan di atas tembok kota penuh pula dengan pasukan penjaga yang selalu siap dengan busur dan anak panah mereka. Juga di sekeliling tembok dipasangi jebakan-jebakan dengan barisan-barisan pendam yang tidak tampak dari jauh. Semua ini dicatat dalam hati oleh Maya.
Setelah memasuki kota, Maya dan teman-temannya menyaksikan barisan Sung telah memasang persiapan membentuk pasukan-pasukan peronda, sedangkan induk pasukan yang berada di markas, yang tampak dari luar, kelihatan segar-segar dan penuh semangat.
Banyak sekali rombongan pengungsi yang membanjiri kota ini semenjak beberapa hari yang lalu sehingga semua rumah penginapan penuh oleh para pengungsi yang beruang.
Karena kehabisan kamar, terpaksa Maya dan teman-temannya bermalam di dalam sebuah gedung besar rumah perkumpulan yang oleh para dermawan kota itu disediakan untuk menampung para pengungsi yang tidak dapat menyewa kamar, yang tidak berkeluarga di kota itu dan yang tidak kebagian kamar penginapan lagi.
Saking banyaknya orang yang memasuki gedung ini, sebagiaan besar mereka terpaksa berjubel di dalam ruangan terbuka yang luas. Di tempat ini mereka, laki-laki, wanita, tua muda, kanak-kanak, beristirahat, ada yang duduk mengobrol, ada yang tidur di lantai. Di sana-sini terdengar suara anak-anak kecil menangis diiringi suara makian atau hiburan orang tuanya, ada pula suara keluh-kesah wanita yang teringat akan rumah dan segala miliknya yang terpaksa ditinggalkan.
Di dalam ruangan ini Maya dan empat orang temannya duduk di sudut, memperhatikan percakapan-percakapan antara para pengungsi karena percakapan-percakapan itu pun merupakan sumber keterangan yang amat penting bagi mereka.
Menyaksikan sikap para pengungsi, melihat wajah mereka tidaklah sekeruh tadi ketika melakukan perjalanan, bahkan kini setelah bercakap-cakap mereka tersenyum-senyum dan sama sekali tidak tampak berduka, diam-diam Maya teringat akan penuturan suhengnya yang seringkali ketika mereka berada di Pulau Es membicarakan filsafat yang banyak diketahui suhengnya itu.
Diam-diam dia dapat melihat kenyataan akan watak manusia pada umumnya seperti yang pernah ia dengar dari suhengnya. Di dalam segala macam hal, dalam susah maupun senang, manusia selalu bergerak dan bersikap di atas dorongan sifat sayang diri.
Betapapun dukanya hati seseorang karena mengalami derita tertimpa kemalangan, hatinya yang duka itu akan terhibur apabila melihat manusia lain menderita pula, apalagi kalau penderitaan manusia lain itu lebih besar daripada penderitaannya sendiri. Dia dapat membayangkan betapa akan hancur dan sengsara hati setiap orang diri para pengungsi ini andaikata dia seorang yang mengalami nasib buruk seperti itu! Akan tetapi, bertemu dan berkumpul dengan banyak orang lain yang senasib, maka mereka itu merasa terhibur!
Sebaliknya, setiap kesenangan dan keuntungan yang datang selalu ingin dikuasai oleh seorang saja sehingga dijadikan perebutan! Sifat sayang diri dan iba diri inilah yang mengusir cinta kasih antara manusia jauh-jauh dari hati manusia sehingga dimana-mana, bahkan di dalam hati masing-masing manusia, timbul pertentangan-pertentangan.
Padahal, dengan cinta kasih yang mendalam, setiap kedukaan akan terasa ringan apabila dipikul bersama, sebaliknya di setiap kesukaan akan terasa lebih nikmat apabila dinikmati bersama. Hal ini akan dapat dirasakan oleh setiap orang dalam sebuah keluarga yang penuh cinta kasih, di mana setiap kedukaan menjadi ringan dan setiap kesukaan menjadi besar karena selalu dirasakan oleh seluruh keluarga yang mengandung cinta kasih di dalam hati masing-masing.
Percakapan antara tiga orang laki-laki tua di sebelah kirinya amat menarik hati Maya dan empat orang kawannya. Mereka itu bercerita tentang keributan di dalam gedung kepala daerah kota Sian-yang, di mana Koksu Negara menjadi tamu. Keributan yang ditimbulkan oleh seorang dara perkasa yang bertanding melawan pengawal-pengawal Koksu, bahkan yang berhasil membunuh pengawal Koksu yang paling terkenal, yaitu Panglima Dampit.
Maya saling pandang dengan teman-temannya, dan berbisiklah Ok Yan Hwa,
"Tentu dia itu orangnya...."
Maya dan yang lain-lain mengangguk. Mereka sudah mendengar penuturan Ok Yan Hwa betapa ada seorang gadis lihai bukan main yang hendak kabur keluar dari kota Sian-yang di malam hari dan dalam pengepungan terhadap dara lihai itu, Yan Hwa sendiri tidak berhasil mengalahkannya.
Tadinya Maya juga terheran, akan tetapi ketika mendengar bahwa Yan Hwa baru bertanding beberapa gebrakan saja melawan pelarian itu, dia masih belum yakin benar akan ada seorang gadis yang dapat menandingi Yan Hwa. Akan tetapi ketika sekarang mendengar bahwa gadis itu dapat membunuh Panglima Dampit dalam pertandingan, Maya benar-benar terkejut bukan main.
Dia maklum akan kelihaian Panglima Dampit, yang amat terkenal dan sukar dikalahkan itu, dan kini dua orang dampit yang lihai itu tewas di tangan gadis itu. Diam-diam terbayanglah wajah sumoinya, Khu Siauw Bwee di dalam mata Maya,
Yan Hwa melihat dara itu di dalam gelap sehingga tidak dapat menceritakan dengan jelas bagaimana wajah gadis itu. Akan tetapi, melihat keadaannya, seorang gadis cantik yang mampu mengalahkan Panglima Dampit, di dunia ini sukar sekali didapat bahkan Yan Hwa sendiri belum tentu akan mampu mengalahkan dua orang dampit itu, dan kalaupun ada agaknya hanya dia sendiri atau Siauw Bwee! Dia lalu berbisik kepada Ji Kun. Pemuda ini mengangguk lalu mendekati orang-orang yang sedang bicara tentang peristiwa di gedung yang ditinggali Bu-ciangkun itu, kemudian bertanya,
"Lopek, benarkah Panglima Dampit terbunuh oleh seorang gadis? Betapa anehnya dan sukar dipercaya. Siapa yang tidak mengenal kelihaian Panglima Dampit?"
Kakek itu memandang Ji Kun dan mengerutkan alisnya.
"Memang benar dia lihai sekali akan tetapi menurut penuturan keponakanku yang menjadi pengawal dan pada waktu itu menyaksikan sendiri pertandingan itu, Panglima Dampit benar-benar tewas dalam keadaan mengerikan di tangan gadis yang mempunyai kepandaian seperti dewi itu."
"Aih, sungguh hebat dan menarik sekali. Lopek, untuk melupakan kesengsaraan kita, sukakah kau menceritakan kejadian itu? Si Dampit adalah panglima betapa mungkin sampai terbunuh, dan bagaimana dengan Koksu dan panglima-panglima lainnya?"
Dengan wajah gembira karena mendapat kesempatan menceritakan peristiwa penting yang tidak sembarangan orang dapat mengetahuinya, kakek itu menghisap huncwe (pipa tembakau) sampai paru-parunya penuh asap, kemudian dengan uluran napas panjang ia mengeluarkan asap tambahan yang hilang sarinya itu melalui hidungnya, menikmati pandang mata semua orang di sekelilingnya yang bergantung kepada bibirnya. Barulah dia menjawab,
"Engkau tidak tahu, orang muda. Pertandingan itu memang disengaja oleh Koksu yang hendak menguji kepandaian gadis perkasa itu. Gadis itu bersama seorang laki-laki tua memasuki ruangan dan entah mengapa, para pengawal tidak ada yang mengerti, dia mengamuk. Menyaksikan kelihaian gadis itu, Koksu menyuruh panglimanya maju bergantian, akan tetapi apa yang terjadi? Benar keponakanku yang mengatakan bahwa gadis itu agaknya bukan manusia biasa melainkan seorang dewi, baik karena kecantikannya yang luar biasa, tubuhnya yang berbentuk menggairahkan, maupun kepandaiannya yang sukar dipercaya. Kalian tahu? Seorang demi seorang para panglima pengawal itu roboh olehnya!"
"Aihhhh....!"
"Ayaaaaaa.... lihai sekali!"
"Tsk-tsk-tskk....!"
"Melihat semua panglimanya roboh, Bu-koksu lalu menyuruh adik angkatnya sendiri, pengawal pribadinya yang penuh rahasia, yang hanya dikenal sebagai Kam-busu untuk maju menghadapi gadis itu!"
"Aihhhh....!"
Sekali ini teriakan kaget keluar dari mulut Maya. Disebutnya nama Kam-busu yang katanya paling lihai diantara para panglima, membuat hatinya berdebar tegang. Seorang she Kam menjadi adik angkat Koksu dan paling lihai diantara para panglima pengawal? Siapa lagi kalau bukan Kam Han Ki? Ah, akan tetapi sungguh tidak mungkin hal itu terjadi. Suhengnya menjadi pengawal pribadi Koksu? Tak masuk akal! Suhengnya adalah seorang buruan, seorang pelarian yang dimusuhi Kerajaan Sung, mana bisa sekarang menjadi pengawal pribadi Koksu? Pula kalau betul dugaannya bahwa dara yang lihai sekali itu adalah sumoinya, Khu Siauw Bwee, mana mungkin bertanding melawan Kam Han Ki? Tentu seorang di antara keduanya itu yang bukan sumoinya atau suhengnya. Kalau gadis itu betul Siauw Bwee, tentu pengawal itu bukan Han Ki. Sebaliknya, kalau pengawal itu Han Ki, pasti gadis itu bukan Siauw Bwee. Betapapun juga, dia hampir yakin bahwa tentu gadis itu sumoinya, sedangkan pengawal itu bukan suhengnya, biarpun mempunyai she Kam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar