Kakek itu melanjutkan ceritanya setelah melotot kepada Maya sebagai teguran karena teriakannya tadi.
"Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa, mengejutkan semua orang dan agaknya sukar ditentukan siapa di antara mereka itu yang akan menang kalau pertandingan itu dilanjutkan. Sayang, pada saat itu, kota mulai dikacau musuh sehingga Koksu terpaksa meninggalkan ruangan itu dikawal oleh Kam-busu, dan Koksu memerintahkan Panglima Dampit bersama para panglima lain dan para pengawal untuk menangkap atau membunuh gadis ini bersama temannya. Dalam pertempuran inilah, gadis jelita yang lihai itu membunuh Panglima Dampit dan banyak pengawal lain. Untung keponakanku hanya mengalami kepala benjol saja dan tidak mati. Gadis itu yang sepak terjangnya seperti seekor naga betina, berhasil lolos dari kepungan para pengawal, bahkan menolong pula temannya."
Semua orang tercengang dan cara Si Kakek bercerita yang disertai gerakan kedua tangannya mendatangkan kesan mendalam terhadap para pendengarnya, terutama sekali kepada Maya dan teman-temannya, tentu saja.
Maya merasa yakin kini bahwa gadis itu tentulah Siauw Bwee. Gadis mana lagi di dunia ini yang memiliki ilmu kepandaian selihai itu? Dia maklum bahwa kepandaian sumoinya amat tinggi, tidak banyak selisihnya dengan dia sendiri, bahkan dia tidak berani memastikan bahwa dia akan dapat memenangkan sumoinya itu!
Selagi dia hendak bertanya kepada kakek itu lebih jelas tentang diri Kam-busu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar gedung itu. Suara teriakan-teriakan orang berkelahi!
Mendengar ini, otomatis para pengungsi menjadi pucat wajahnya dan mereka bergegas menyiapkan barang-barang bawaan, ada yang segera menggendong anaknya. Tak seorang pun berani membuka suara sehingga keadaan yang sunyi itu membuat suara gaduh di luar makin terdengar jelas. Tak salah lagi, ada dua orang tengah berkelahi sambil saling memaki.
"Hendak lari kemana kau, keparat?" terdengar bentakan disusul gedebak-gedebuknya kaki berlari memasuki gedung.
Kembali terdengar suara perkelahian, di dalam gedung, dekat dengan ruangan itu. Mendengar suara perkelahian ini makin dekat dengan ruangan itu, seorang kakek yang pucat ketakutan cepat menutupkan daun pintu yang menembus ruangan itu kemudian bergegas ia duduk kembali. Semua mata terbelalak memandang kepada pintu yang tertutup itu dan dari balik pintu terdengar suara perkelahian, kini berdesingnya senjata. Jantung mereka menjadi makin tegang dan berdebar.
"Brakkkkk!"
Daun pintu pecah, berantakan dan tubuh seorang laki-laki tinggi besar yang tadi terlempar menubruk daun pintu, jatuh terjengkang di atas daun pintu di sebelah dalam ruangan. Anak-anak menjerit, juga para wanita, dan semua orang terbelalak memandang, akan tetapi menjadi agak lega ketika melihat bahwa yang berkelahi bukanlah tentara, berarti bahwa di luar tidak terjadi perang.
Yang berkelahi hanyalah dua orang laki-laki setengah tua. Akan tetapi kini orang yang jatuh cepat mencelat ke samping ketika lawannya, seorang kakek berjenggot pendek, menubruknya. Kakek berjenggot pendek itu ternyata lihai sekali. Biarpun dia bertangan kosong, ternyata lawannya yang memegang sebatang golok telah terlempar sampai tubuhnya membobol daun pintu. Kini kakinya melayang menyusul tubrukannya yang tak berhasil tadi. Lawannya berseru marah, tangannya tertendang sehingga goloknya terlepas. Dengan gerengan seperti seekor biruang terluka, orang yang memakai topi bulu domba ini membalas dengan pukulan-pukulan dahsyat dan bertandinglah kedua orang itu di tempat yang amat sesak dengan para pengungsi itu!
Maya dan teman-temannya tetap duduk dengan sikap tenang. Mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang yang berkelahi itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Gerakan mereka tangkas sekali dan biarpun tempat itu penuh sesak dengan pengungsi, mereka dapat bertanding dengan berloncatan ke sana-sini, melewati kepala orang, bahkan kadang-kadang menggunakan kaki mereka meloncat dari pundak dan kepala para pengungsi lalu melesat ke kanan kiri!
Tentu saja para pengungsi menjadi geger dan melihat bahwa yang berkelahi hanya dua orang biasa, mereka yang kena injak dan yang memiliki kepandaian, melawan dan memukul. Namun, dua orang itu lihai sekali sehingga setiap serangan dari para pengungsi yang marah karena dikacau dua orang itu, dalam dua tiga gebrakan saja sudah terpukul roboh dan mereka berdua melanjutkan perkelahian mereka!
Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa sudah marah sekali, hendak meraba pedang yang mereka sembunyikan di balik baju. Akan tetapi Maya menyentuh lengan mereka, berkedip dan menggoyang kepala sehingga mereka terpaksa menelan kemarahan mereka terhadap dua orang yang benar-benar tidak mengenal tempat dan keadaan, berkelahi diantara begitu banyak orang sehingga menimbulkan kepanikan.
Tiba-tiba orang yang bertopi bulu domba itu mengelak sambil meloncat ke tempat rombongan Maya. Seperti tidak disengaja, dia turun dan hendak menginjak pundak Can Ji Kun untuk dipergunakan sebagai landasan! Tentu saja Ji Kun tidak sudi pundaknya diinjak. Dia miringkan tubuh, tangannya menyambar ke atas menotok lutut orang dan sambil berteriak kaget orang itu roboh terguling!
Lawannya yang berjenggot pendek menerjang maju, melampaui kepala Yan Hwa, dan gadis itu pun menampar ke atas, mengenai tulang betis Si Jenggot Pendek yang terjungkal pula menimpa tubuh lawannya. Mereka berdua sudah cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri pada lutut dan tulang betis, kemudian keduanya tiba-tiba bersuit keras sambil meloncat ke pintu.
"Tangkap mereka!"
Kedua orang itu berseru dan dari luar masuklah puluhan orang tentara yang bersenjata lengkap, sedangkan di luar pintu masih tampak banyak sekali anggauta tentara. Jumlah mereka ada seratus orang lebih!
"Berpencar! Lari....!" Maya berbisik.
Maklumlah dia bahwa perkelahian antara dua orang tadi hanyalah sandiwara belaka. Agaknya mereka adalah panglima-panglima yang menyamar dan melakukan penyelidikan. Karena kota Sian-yang di utara telah kebobolan karena adanya penyelundupan mata-mata musuh yang lihai, maka kini Koksu Bu Kok Tai tidak mau membiarkan hal itu terulang di kota Siang-tan. Dia maklum bahwa mata-mata musuh hanya dapat menyelinap masuk di antara pengungsi, maka dia mengatur rencana itu untuk mengetahui siapa di antara pengungsi-pengungsi yang berkepandaian tinggi dan mereka itu harus ditangkap untuk diperiksa. Kalau ternyata mata-mata, tentu akan dihukum mati, sebaliknya kalau bukan mata-mata, akan dapat dipergunakan untuk membantu mempertahankan kota.
Siasat ini dilakukan pada saat yang sama dan bukan hanya di tempat Maya dan teman-temannya berkumpul saja terjadi perkelahian sandiwara itu, akan tetapi juga di tempat-tempat lain dimana para pengungsi berkumpul. Dan pada saat pasukan-pasukan menyerbu ke ruangan itu, di lain tempat juga terjadi hal yang sama, yaitu penangkapan-penangkapan atas diri orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, yang terkena pancingan perkelahian palsu tadi!
Maya dan empat orang temannya cepat meloncat dan menyerbu keluar. Dua orang yang tadi bersandiwara, cepat memerintahkan pasukan mengurung lima orang ini dan terjadilah pertandingan yang jauh berbeda dengan perkelahian antara dua orang tadi.
Pertandingan sekali ini adalah pertempuran sesungguhnya, bahkan mati-matian karena kalau Maya berlima tidak akan menyerah sampai mati, adalah para pimpinan pasukan itu ketika menyaksikan kelihaian lima orang itu menjadi makin curiga bahkan hampir yakin bahwa lima orang itu tentulah mata-mata musuh.
Pengepungan dilakukan ketat sekali, namun Maya, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa melayang naik, membobol langit-langit dengan kepandaian mereka dan dari atas mereka melempar-lemparkan genteng ke bawah untuk membantu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun yang menerjang keluar melalui pintu.
Kepandaian kedua orang panglima pembantu Maya ini hebat sekali, terutama Kwa-huciang yang hanya tinggal sebelah lengannya. Panglima yang setia ini semenjak lengannya buntung, menerima gemblengan ilmu dari Maya sehingga dia malah lebih lihai daripada sebelum lengannya buntung sebelah.
Kacau-balaulah pihak tentara Sung. Dari atas ada hujan genteng yang dilepas dengan sambitan keras sekali, siapa yang terkena pasti roboh dengan kepala pecah atau tubuh terluka parah, sedangkan dua orang laki-laki itu mengamuk seperti dua ekor singa.
Akhirnya kedua orang itu berhasil membobol keluar dari gedung itu dan ternyata malam hari itu, di seluruh kota terjadi geger karena penyergapan di tempat-tempat pengungsi yang dilakukan serentak. Kepanikan penduduk dan kegelapan malam membuka kesempatan baik bagi Kwa-huciang dan Theng-ciangkun sehingga dengan berpencar mereka akhirnya dapat melarikan diri dari para pegejarnya.
Maya, Yan Hwa dan Ji Kun yang berada di atas genteng, segera diserbu oleh anak panah yang dilepas oleh para anggauta pasukan panah dari bawah.
"Kita berpencar," Maya cepat berkata setelah meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arahnya seperti yang dilakukan oleh dua orang pembantunya pula, "Jangan lupa, pada hari yang ditentukan berkumpul di kuil tua itu!"
Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melesat, Maya telah lenyap dari situ ditelan kegelapan malam.
Ji Kun dan Yan Hwa juga cepat menggunakan gin-kang mereka, berloncatan di atas rumah-rumah penduduk kota dan menghilang. Maka gegerlah keadaan kota, pasukan-pasukan dikerahkan untuk mencari lima orang mata-mata musuh itu.
Dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, Maya lari seorang diri ke arah timur. Selama dia menjadi panglima, dara perkasa itu tiada henti-hentinya melatih diri dengan ilmu silatnya, bahkan kecerdasannya membuat dia mampu mengembangkan dan memperbaiki jurus-jurus simpanannya sehingga dari jurus-jurus ilmu silatnya dia dapat menciptakan banyak sekali jurus silat yang aneh dan juga amat lihai.
Dari banyak pertandingan yang dialaminya ketika berperang melawan musuh, dia dapat menemukan banyak gerakan-gerakan aneh dari macam-macam lawan dan semua ini ditampungnya, diolah dan karena dia berbakat mencipta, maka tanpa disadari, Maya telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya. Apalagi ketika ia menerima buah sian-tho dari Pangeran Bharigan, semacam buah yang langka, yang didapat jauh dari utara dekat kutub dan merupakan barang pusaka dari Kerajaan Mancu, maka dara ini memperoleh tenaga sin-kang yang dahsyat.
Buah sian-tho ini bagi orang biasa, mengandung khasiat daya pengobatan yang lebih mujarab daripada jin-som, akan tetapi bagi seorang ahli sin-kang seperti Maya, dapat membangkitkan hawa sakti yang membuat sin-kangnya yang dilatih secara istimewa di Pulau Es itu menjadi lebih kuat lagi.
Maya tidak berani berhenti dan berputaran mencari tempat yang baik untuk memulai dengan penyelidikannya. Dia harus dapat menemukan markas di mana tinggal Koksu dan para panglima agar dia dapat mengintai dan mendengarkan rencana siasat mereka. Hanya inilah jalan yang paling baik, karena untuk menyelidiki sendiri keadaan pertahanan musuh, selain berbahaya juga akan memakan waktu lama sekali.
Kota itu amat besar, dan dia tidak tahu di antara gedung-gedung yang banyak sekali itu, yang mana menjadi tempat tinggal Koksu dan para panglimanya. Dia harus bekerja dengan hati-hati sekali. Koksu Bu Kok Tai bukanlah orang sembarangan, dan dia maklum akan kelihaian para panglima pengawalnya, sungguhpun Panglima Dampit telah tewas.
Menjelang pagi, Maya menuju ke pinggir tembok kota sebelah timur ketika ia mendengar suara ribut-ribut disana. Disangkanya bahwa seorang di antara anak buahnya menghadapi bahaya, maka dia cepat menuju ke tempat itu dan siap untuk menolong kalau benar seperti yang dikhawatirkannya.
Dia mendekam di atas sebuah wuwungan dan melihat seorang laki-laki sedang dikeroyok oleh banyak tentara. Laki-laki itu tidak tampak jelas mukanya di dalam cuaca yang gelap, akan tetapi gerakannya hebat sekali! Bukan Kwa-huciang, juga bukan Theng-ciangkun, akan tetapi gerakannya malah lebih lihai daripada kedua orang pembantunya. Bahkan mungkin tidak di sebelah bawah kelihaian Can Ji Kun sendiri!
Diam-diam Maya menjadi heran sekali. Orang itu lihai, pikirnya, dan kenyataannya bahwa dia dikeroyok tentara-tentara Sung membuktikan bahwa orang itu tentulah seorang penyelundup dari luar pula. Akan tetapi dari mana?
"Mundur kalian semua! Orang-orang tolol tidak mengenal orang! Aku adalah putera seorang panglima!" Laki-laki itu mengamuk, merobohkan para pengeroyok sambil membentak-bentak.
"Ha-ha-ha, di kota berkeliaran mata-mata dan biar kau mengaku putera raja sekalipun, siapa mau percaya? Kami tidak pernah bertemu denganmu!" Pimpinan pasukan yang mengeroyok tertawa dan pengeroyokan menjadi makin ketat.
Mendengar bahwa orang lihai itu mengaku sebagai putera Panglima, Maya mendapatkan sebuah akal yang cerdik dan berani. Kalau dia bisa menolong dan mengikat persahabatan dengan orang itu, tentu amat berguna bagi penyelidikannya, pikirnya dan dia lalu melompat turun langsung menyerbu para tentara yang mengurung pria itu.
"Heiii.... kau.... ehhh.... !"
Pria itu bukan lain adalah Suma Hoat! Ketika dia menyusul ayahnya di kota Siang-tan dan menyaksikan kekacauan malam itu dia sengaja keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dalam penyelidikannya inilah dia dicurigai dan dikepung oleh pasukan yang memang belum pernah melihat pemuda yang belum lama kembali ke tempat asalnya itu.
"Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa, mengejutkan semua orang dan agaknya sukar ditentukan siapa di antara mereka itu yang akan menang kalau pertandingan itu dilanjutkan. Sayang, pada saat itu, kota mulai dikacau musuh sehingga Koksu terpaksa meninggalkan ruangan itu dikawal oleh Kam-busu, dan Koksu memerintahkan Panglima Dampit bersama para panglima lain dan para pengawal untuk menangkap atau membunuh gadis ini bersama temannya. Dalam pertempuran inilah, gadis jelita yang lihai itu membunuh Panglima Dampit dan banyak pengawal lain. Untung keponakanku hanya mengalami kepala benjol saja dan tidak mati. Gadis itu yang sepak terjangnya seperti seekor naga betina, berhasil lolos dari kepungan para pengawal, bahkan menolong pula temannya."
Semua orang tercengang dan cara Si Kakek bercerita yang disertai gerakan kedua tangannya mendatangkan kesan mendalam terhadap para pendengarnya, terutama sekali kepada Maya dan teman-temannya, tentu saja.
Maya merasa yakin kini bahwa gadis itu tentulah Siauw Bwee. Gadis mana lagi di dunia ini yang memiliki ilmu kepandaian selihai itu? Dia maklum bahwa kepandaian sumoinya amat tinggi, tidak banyak selisihnya dengan dia sendiri, bahkan dia tidak berani memastikan bahwa dia akan dapat memenangkan sumoinya itu!
Selagi dia hendak bertanya kepada kakek itu lebih jelas tentang diri Kam-busu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar gedung itu. Suara teriakan-teriakan orang berkelahi!
Mendengar ini, otomatis para pengungsi menjadi pucat wajahnya dan mereka bergegas menyiapkan barang-barang bawaan, ada yang segera menggendong anaknya. Tak seorang pun berani membuka suara sehingga keadaan yang sunyi itu membuat suara gaduh di luar makin terdengar jelas. Tak salah lagi, ada dua orang tengah berkelahi sambil saling memaki.
"Hendak lari kemana kau, keparat?" terdengar bentakan disusul gedebak-gedebuknya kaki berlari memasuki gedung.
Kembali terdengar suara perkelahian, di dalam gedung, dekat dengan ruangan itu. Mendengar suara perkelahian ini makin dekat dengan ruangan itu, seorang kakek yang pucat ketakutan cepat menutupkan daun pintu yang menembus ruangan itu kemudian bergegas ia duduk kembali. Semua mata terbelalak memandang kepada pintu yang tertutup itu dan dari balik pintu terdengar suara perkelahian, kini berdesingnya senjata. Jantung mereka menjadi makin tegang dan berdebar.
"Brakkkkk!"
Daun pintu pecah, berantakan dan tubuh seorang laki-laki tinggi besar yang tadi terlempar menubruk daun pintu, jatuh terjengkang di atas daun pintu di sebelah dalam ruangan. Anak-anak menjerit, juga para wanita, dan semua orang terbelalak memandang, akan tetapi menjadi agak lega ketika melihat bahwa yang berkelahi bukanlah tentara, berarti bahwa di luar tidak terjadi perang.
Yang berkelahi hanyalah dua orang laki-laki setengah tua. Akan tetapi kini orang yang jatuh cepat mencelat ke samping ketika lawannya, seorang kakek berjenggot pendek, menubruknya. Kakek berjenggot pendek itu ternyata lihai sekali. Biarpun dia bertangan kosong, ternyata lawannya yang memegang sebatang golok telah terlempar sampai tubuhnya membobol daun pintu. Kini kakinya melayang menyusul tubrukannya yang tak berhasil tadi. Lawannya berseru marah, tangannya tertendang sehingga goloknya terlepas. Dengan gerengan seperti seekor biruang terluka, orang yang memakai topi bulu domba ini membalas dengan pukulan-pukulan dahsyat dan bertandinglah kedua orang itu di tempat yang amat sesak dengan para pengungsi itu!
Maya dan teman-temannya tetap duduk dengan sikap tenang. Mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang yang berkelahi itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Gerakan mereka tangkas sekali dan biarpun tempat itu penuh sesak dengan pengungsi, mereka dapat bertanding dengan berloncatan ke sana-sini, melewati kepala orang, bahkan kadang-kadang menggunakan kaki mereka meloncat dari pundak dan kepala para pengungsi lalu melesat ke kanan kiri!
Tentu saja para pengungsi menjadi geger dan melihat bahwa yang berkelahi hanya dua orang biasa, mereka yang kena injak dan yang memiliki kepandaian, melawan dan memukul. Namun, dua orang itu lihai sekali sehingga setiap serangan dari para pengungsi yang marah karena dikacau dua orang itu, dalam dua tiga gebrakan saja sudah terpukul roboh dan mereka berdua melanjutkan perkelahian mereka!
Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa sudah marah sekali, hendak meraba pedang yang mereka sembunyikan di balik baju. Akan tetapi Maya menyentuh lengan mereka, berkedip dan menggoyang kepala sehingga mereka terpaksa menelan kemarahan mereka terhadap dua orang yang benar-benar tidak mengenal tempat dan keadaan, berkelahi diantara begitu banyak orang sehingga menimbulkan kepanikan.
Tiba-tiba orang yang bertopi bulu domba itu mengelak sambil meloncat ke tempat rombongan Maya. Seperti tidak disengaja, dia turun dan hendak menginjak pundak Can Ji Kun untuk dipergunakan sebagai landasan! Tentu saja Ji Kun tidak sudi pundaknya diinjak. Dia miringkan tubuh, tangannya menyambar ke atas menotok lutut orang dan sambil berteriak kaget orang itu roboh terguling!
Lawannya yang berjenggot pendek menerjang maju, melampaui kepala Yan Hwa, dan gadis itu pun menampar ke atas, mengenai tulang betis Si Jenggot Pendek yang terjungkal pula menimpa tubuh lawannya. Mereka berdua sudah cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri pada lutut dan tulang betis, kemudian keduanya tiba-tiba bersuit keras sambil meloncat ke pintu.
"Tangkap mereka!"
Kedua orang itu berseru dan dari luar masuklah puluhan orang tentara yang bersenjata lengkap, sedangkan di luar pintu masih tampak banyak sekali anggauta tentara. Jumlah mereka ada seratus orang lebih!
"Berpencar! Lari....!" Maya berbisik.
Maklumlah dia bahwa perkelahian antara dua orang tadi hanyalah sandiwara belaka. Agaknya mereka adalah panglima-panglima yang menyamar dan melakukan penyelidikan. Karena kota Sian-yang di utara telah kebobolan karena adanya penyelundupan mata-mata musuh yang lihai, maka kini Koksu Bu Kok Tai tidak mau membiarkan hal itu terulang di kota Siang-tan. Dia maklum bahwa mata-mata musuh hanya dapat menyelinap masuk di antara pengungsi, maka dia mengatur rencana itu untuk mengetahui siapa di antara pengungsi-pengungsi yang berkepandaian tinggi dan mereka itu harus ditangkap untuk diperiksa. Kalau ternyata mata-mata, tentu akan dihukum mati, sebaliknya kalau bukan mata-mata, akan dapat dipergunakan untuk membantu mempertahankan kota.
Siasat ini dilakukan pada saat yang sama dan bukan hanya di tempat Maya dan teman-temannya berkumpul saja terjadi perkelahian sandiwara itu, akan tetapi juga di tempat-tempat lain dimana para pengungsi berkumpul. Dan pada saat pasukan-pasukan menyerbu ke ruangan itu, di lain tempat juga terjadi hal yang sama, yaitu penangkapan-penangkapan atas diri orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, yang terkena pancingan perkelahian palsu tadi!
Maya dan empat orang temannya cepat meloncat dan menyerbu keluar. Dua orang yang tadi bersandiwara, cepat memerintahkan pasukan mengurung lima orang ini dan terjadilah pertandingan yang jauh berbeda dengan perkelahian antara dua orang tadi.
Pertandingan sekali ini adalah pertempuran sesungguhnya, bahkan mati-matian karena kalau Maya berlima tidak akan menyerah sampai mati, adalah para pimpinan pasukan itu ketika menyaksikan kelihaian lima orang itu menjadi makin curiga bahkan hampir yakin bahwa lima orang itu tentulah mata-mata musuh.
Pengepungan dilakukan ketat sekali, namun Maya, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa melayang naik, membobol langit-langit dengan kepandaian mereka dan dari atas mereka melempar-lemparkan genteng ke bawah untuk membantu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun yang menerjang keluar melalui pintu.
Kepandaian kedua orang panglima pembantu Maya ini hebat sekali, terutama Kwa-huciang yang hanya tinggal sebelah lengannya. Panglima yang setia ini semenjak lengannya buntung, menerima gemblengan ilmu dari Maya sehingga dia malah lebih lihai daripada sebelum lengannya buntung sebelah.
Kacau-balaulah pihak tentara Sung. Dari atas ada hujan genteng yang dilepas dengan sambitan keras sekali, siapa yang terkena pasti roboh dengan kepala pecah atau tubuh terluka parah, sedangkan dua orang laki-laki itu mengamuk seperti dua ekor singa.
Akhirnya kedua orang itu berhasil membobol keluar dari gedung itu dan ternyata malam hari itu, di seluruh kota terjadi geger karena penyergapan di tempat-tempat pengungsi yang dilakukan serentak. Kepanikan penduduk dan kegelapan malam membuka kesempatan baik bagi Kwa-huciang dan Theng-ciangkun sehingga dengan berpencar mereka akhirnya dapat melarikan diri dari para pegejarnya.
Maya, Yan Hwa dan Ji Kun yang berada di atas genteng, segera diserbu oleh anak panah yang dilepas oleh para anggauta pasukan panah dari bawah.
"Kita berpencar," Maya cepat berkata setelah meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arahnya seperti yang dilakukan oleh dua orang pembantunya pula, "Jangan lupa, pada hari yang ditentukan berkumpul di kuil tua itu!"
Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melesat, Maya telah lenyap dari situ ditelan kegelapan malam.
Ji Kun dan Yan Hwa juga cepat menggunakan gin-kang mereka, berloncatan di atas rumah-rumah penduduk kota dan menghilang. Maka gegerlah keadaan kota, pasukan-pasukan dikerahkan untuk mencari lima orang mata-mata musuh itu.
Dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, Maya lari seorang diri ke arah timur. Selama dia menjadi panglima, dara perkasa itu tiada henti-hentinya melatih diri dengan ilmu silatnya, bahkan kecerdasannya membuat dia mampu mengembangkan dan memperbaiki jurus-jurus simpanannya sehingga dari jurus-jurus ilmu silatnya dia dapat menciptakan banyak sekali jurus silat yang aneh dan juga amat lihai.
Dari banyak pertandingan yang dialaminya ketika berperang melawan musuh, dia dapat menemukan banyak gerakan-gerakan aneh dari macam-macam lawan dan semua ini ditampungnya, diolah dan karena dia berbakat mencipta, maka tanpa disadari, Maya telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya. Apalagi ketika ia menerima buah sian-tho dari Pangeran Bharigan, semacam buah yang langka, yang didapat jauh dari utara dekat kutub dan merupakan barang pusaka dari Kerajaan Mancu, maka dara ini memperoleh tenaga sin-kang yang dahsyat.
Buah sian-tho ini bagi orang biasa, mengandung khasiat daya pengobatan yang lebih mujarab daripada jin-som, akan tetapi bagi seorang ahli sin-kang seperti Maya, dapat membangkitkan hawa sakti yang membuat sin-kangnya yang dilatih secara istimewa di Pulau Es itu menjadi lebih kuat lagi.
Maya tidak berani berhenti dan berputaran mencari tempat yang baik untuk memulai dengan penyelidikannya. Dia harus dapat menemukan markas di mana tinggal Koksu dan para panglima agar dia dapat mengintai dan mendengarkan rencana siasat mereka. Hanya inilah jalan yang paling baik, karena untuk menyelidiki sendiri keadaan pertahanan musuh, selain berbahaya juga akan memakan waktu lama sekali.
Kota itu amat besar, dan dia tidak tahu di antara gedung-gedung yang banyak sekali itu, yang mana menjadi tempat tinggal Koksu dan para panglimanya. Dia harus bekerja dengan hati-hati sekali. Koksu Bu Kok Tai bukanlah orang sembarangan, dan dia maklum akan kelihaian para panglima pengawalnya, sungguhpun Panglima Dampit telah tewas.
Menjelang pagi, Maya menuju ke pinggir tembok kota sebelah timur ketika ia mendengar suara ribut-ribut disana. Disangkanya bahwa seorang di antara anak buahnya menghadapi bahaya, maka dia cepat menuju ke tempat itu dan siap untuk menolong kalau benar seperti yang dikhawatirkannya.
Dia mendekam di atas sebuah wuwungan dan melihat seorang laki-laki sedang dikeroyok oleh banyak tentara. Laki-laki itu tidak tampak jelas mukanya di dalam cuaca yang gelap, akan tetapi gerakannya hebat sekali! Bukan Kwa-huciang, juga bukan Theng-ciangkun, akan tetapi gerakannya malah lebih lihai daripada kedua orang pembantunya. Bahkan mungkin tidak di sebelah bawah kelihaian Can Ji Kun sendiri!
Diam-diam Maya menjadi heran sekali. Orang itu lihai, pikirnya, dan kenyataannya bahwa dia dikeroyok tentara-tentara Sung membuktikan bahwa orang itu tentulah seorang penyelundup dari luar pula. Akan tetapi dari mana?
"Mundur kalian semua! Orang-orang tolol tidak mengenal orang! Aku adalah putera seorang panglima!" Laki-laki itu mengamuk, merobohkan para pengeroyok sambil membentak-bentak.
"Ha-ha-ha, di kota berkeliaran mata-mata dan biar kau mengaku putera raja sekalipun, siapa mau percaya? Kami tidak pernah bertemu denganmu!" Pimpinan pasukan yang mengeroyok tertawa dan pengeroyokan menjadi makin ketat.
Mendengar bahwa orang lihai itu mengaku sebagai putera Panglima, Maya mendapatkan sebuah akal yang cerdik dan berani. Kalau dia bisa menolong dan mengikat persahabatan dengan orang itu, tentu amat berguna bagi penyelidikannya, pikirnya dan dia lalu melompat turun langsung menyerbu para tentara yang mengurung pria itu.
"Heiii.... kau.... ehhh.... !"
Pria itu bukan lain adalah Suma Hoat! Ketika dia menyusul ayahnya di kota Siang-tan dan menyaksikan kekacauan malam itu dia sengaja keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dalam penyelidikannya inilah dia dicurigai dan dikepung oleh pasukan yang memang belum pernah melihat pemuda yang belum lama kembali ke tempat asalnya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar