Ads

Senin, 18 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 179

Han Ki menurunkan kedua tangannya dan memandang Siauw Bwee, sinar matanya penuh duka, akan tetapi dia segera menundukkan mukanya lagi, tidak dapat menjawab. Suasana menjadi hening, kemudian terdengar suara Maya, juga amat dingin dan tegas.

"Suheng, tidak kunyana bahwa engkau, pria satu-satunya di dunia ini yang kukagumi, yang kuanggap paling sakti, paling kuat, dan paling jantan, ternyata amat lemah. Mengaku terus terang akan cintamu, engkau tidak berani karena takut melukai hati seorang diantara kami. Kalau engkau mencinta kami berdua, engkau tidak berani menikah dengan kami berdua karena takut kalau dipandang sebagai laki-laki mata keranjang oleh dunia. Kalau begitu, mengapa pula engkau membujuk dan memaksa kami berdua kesini? Mengapa tidak kau biarkan saja kami mengembara dan menjauhkan diri darimu yang menyiksa hati kami dengan keraguan? Suheng, perlu apa engkau menghibur kami dengan melatih ilmu-ilmu tinggi? Kami bukan anak-anak kecil lagi, bukan itu yang kami butuhkan."

"Maya-suci benar! Suheng, kalau begitu, biarkan kami pergi lagi meninggalkan tempat ini, meninggalkan Suheng dan tidak perlu Suheng mencari kami lagi!"

Kata Siauw Bwee. Dua orang dara itu sudah meloncat berdiri siap untuk pergi meninggalkan Pulau Es.

"Nanti dulu....!"

Han Ki juga meloncat berdiri, mukanya pucat dan matanya sayu.
"Maya! Siauw Bwee! Berilah waktu padaku. Kalian tidak tahu betapa berat dan sukar bagiku untuk mengambil keputusan dalam hal ini. Sudah kukatakan bahwa, aku mencinta kalian berdua, mencinta sebagai adik-adik seperguruan, sebagai adik-adik kandung sendiri malah! Tiada kebahagiaan bagiku di dunia ini kecuali berdampingan selamanya dengan kalian. Akan tetapi memilih seorang diantara kalian? Benar-benar amat berat dan sukar bagiku. Aku perlu waktu untuk itu. Sekarang begini saja. Biarkan aku sendiri di dalam istana, membuat arca kita bertiga. Sambil membuat arca aku akan memilih, mungkin sekali akan dapat mengambil keputusan setelah jauh dari kalian berdua. Sementara itu, kalian berdua lanjutkan berlatih Swat-im Sin-kang disini. Kurang lebih tiga bulan lagi, latihan kalian selesai dan pembuatan arca kita bertiga pun akan selesai. Nah, kita bertemu kembali disini dan aku akan menentukan pilihanku."

Mendengar ini berdebar jantung di dalam dada Maya dan Siauw Bwee. Setelah pemuda itu menyatakan hendak mengambil keputusan, menjatuhkan pilihannya, biarpun hal itu baru akan dilakukan tiga bulan lagi, hati mereka sudah menjadi tegang sekali, tegang dan khawatir, takut kalau-kalau tidak terpilih!

"Kalau tiga bulan lagi engkau belum dapat mengambil keputusan?" Maya bertanya.

"Kalau demikian, terserah apa yang akan kalian lakukan,"

Jawab Han Ki ragu-ragu karena dia sendiri pun sangsi apakah kelak dia akan dapat mengambil keputusan yang amat sukar dan berat itu.

Kembali Maya dan Siauw Bwee saling pandang dan dua orang dara itu telah mengambil keputusan untuk menyetujui permintaan ini. Permintaan terakhir yang akan mengakhiri pula penderitaan batin dan siksaan hati mereka. Biarpun harus menanti dalam tiga bulan, akan tetapi karena dalam tiga bulan itu mereka dapat melatih diri dengan Swat-im Sin-kang, tidak akan terasa terlalu lama.

"Baiklah, aku setuju, Suheng," kata Maya.

"Aku pun setuju," kata pula Siauw Bwee.

Han Ki menarik napas lega melihat dua orang sumoinya telah duduk kembali di atas salju.

"Kuharap saja tiga bulan kemudian aku takkan mengecewakan hati kalian. Marilah kuberi petunjuk tentang latihan Swat-im Sin-kang sebelum kutinggalkan kalian untuk mulai memahat arca kita."

Dengan penuh perhatian dua orang dara itu mendengarkan dan melihat petunjuk yang diberikan Han Ki, kemudian di bawah bimbingan suheng mereka itu, mereka mulai dengan latihan sin-kang yang mujijat itu. Karena merupakan ilmu baru, berbeda dengan latihan sin-kang mereka di waktu dahulu, mereka berdua menderita sekali, apalagi setelah tiba di tengah malam yang amat dingin.






Namun, berkat kekuatan tubuh mereka, yang telah memiliki tenaga sakti, terutama sekali Siauw Bwee yang telah memiliki Jit-goat-sin-kang, mereka dapat mengatasi penderitaan itu dan pada keesokan harinya, Han Ki meninggalkan kedua orang sumoinya yang ia percaya akan mampu berlatih tanpa petunjuk dan bimbingannya lagi.

Tiga orang penghuni Istana Pulau Es itu melewatkan waktu dengan amat tekun. Maya dan Siauw Bwee tekun berlatih sin-kang dan karena latihan ini membutuhkan pencurahan seluruh perhatian, mereka dapat melupakan urusan mereka dengan Han Ki. Adapun Kam Han Ki yang bekerja dengan tekun di dalam Istana Pulau Es, merasa tersiksa sekali batinnya.

Dia bekerja tekun, memahat dan mengukir arca dari batu pualam. Dia berusaha untuk memilih sambil mengerjakan arca, namun makin dipilih, makin sulit baginya. Ketika dia mengerjakan arca Siauw Bwee, membayangkan sumoinya ini, cintanya makin mendalam dan dia maklum bahwa sesungguhnya kepada Siauw Bweelah cinta kasih hatinya dicurahkan. Dia mencinta Siauw Bwee!

Akan tetapi, ketika ia mengerjakan arca Maya, dia membayangkan sumoinya ini dan jantungnya berdebar penuh gairah. Selalu bangkit gairah dan birahinya setiap kali dia teringat kepada sumoinya ini, apalagi ketika membuat arcanya, seolah-olah dia selalu meraba wajah dan tubuh sumoinya. Maklumlah dia bahwa berahinya condong kepada Maya yang memiliki kecantikan luar biasa, kecantikan yang membuat seleranya selalu tergugah.

Akhirnya, ketika dia membuat arcanya sendiri, seolah-olah dia menjenguk dan mengenal dirinya sendiri lebih mendalam, tahulah dia bahwa tak mungkin dia memilih seorang diantara mereka! Kalau dia memilih Maya, hidupnya takkan bahagia karena dia mencinta Siauw Bwee, sungguhpun Maya akan merupakan isteri yang selalu menyenangkan hatinya.

Kalau dia memilih Siauw Bwee yang dicintanya, dia akan selalu merasa rindu dan takkan dapat melupakan wajah Maya yang cantik jelita! Kalau dia memilih keduanya seperti yang diusulkan Maya dan disetujui Siauw Bwee, dia yakin tentu akan selalu timbul persaingan dan cemburu diantara kedua orang sumoinya itu yang memiliki watak jauh berbeda.

Baru dalam rasa sayang sebagai adik-adik seperguruan saja, semenjak dahulu mereka telah bersaing. Apalagi membagi cinta kasihnya sebagai suami. Tentu dia akan menjadi perebutan dan akan menciptakan neraka dalam kehidupan mereka bertiga!

Sambil menyelesaikan tiga buah arca yang kini telah jadi dan ternyata benar lebih indah daripada tiga buah arca yang dibuatnya dahulu dan yang dihancurkannya, selama beberapa malam Han Ki tidak tidur, tak dapat beristirahat karena hati dan pikirannya penuh dengan persoalan itu. Hari terakhir dari waktu tiga bulan yang diberikan kepada dua orang sumoinya hampir tiba dan dia masih belum mengambil keputusan dalam pemilihan itu! Bagaimana dia akan dapat menghadapi kedua orang sumoinya dan bagaimana dia akan mengambil keputusan?

Tiga bulan lewat sudah. Maya dan Siauw Bwee berhasil melatih Swat-im Sin-kang sampai tingkat terakhir. Musim dingin telah berlalu, bukit-bukit es yang memenuhi laut di sekeliling Pulau Es sudah banyak berkurang. Salju yang menutupi Pulau Es sudah banyak mencair.

Dua orang dara itu menuju ke pantai dan mencoba Swat-im Sin-kang mereka dengan memukulkan kedua telapak tangan mereka ke arah air. Ternyata hawa pukulan mereka yang mengandung Swat-im Sin-kang dahsyat itu telah membuat air membeku dan menjadi bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau dan gajah!

Akan tetapi, kemajuan hebat dalam ilmu kepandaian mereka ini tidak membuat Maya dan Siauw Bwee gembira. Sebaliknya, mereka makin gelisah karena waktu yang ditentukan telah tiba, seolah-olah sudah mendekatlah keputusan hukuman bagi mereka! Makin gelisah lagi ketika mereka menanti sampai lewat tiga hari, belum juga suheng mereka muncul!

"Eh, Sumoi. Mengapa Suheng belum juga keluar?" Maya berkata ketika mereka berjalan kembali ke depan Istana Pulau Es.

"Mungkin arcanya belum selesai, Suci," kata Siauw Bwee yang selalu ingin membela Han Ki.

"Selesai atau belum, semestinya dia keluar untuk memenuhi janjinya. Dia tentu sudah tahu bahwa tiga bulan telah lewat, dan tahu pula betapa menyiksanya menanti seperti ini."

Siauw Bwee menghela napas. Sebenarnya dia pun merasa gelisah sekali, akan tetapi dia tidak mau menyatakan di depan sucinya karena dia hendak melindungi Han Ki.

"Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Suheng terlambat, Suci. Biasanya Suheng tidak pernah melanggar janji. Harap Suci suka bersabar satu dua hari lagi, tentu Suheng akan keluar menemui kita."

"Tidak! Kita sudah menunggu tiga hari. Itu sudah cukup. Aku akan menyusulnya ke dalam!"

Setelah berkata demikian, Maya lalu melangkah memasuki Istana Pulau Es untuk mencari Han Ki di dalan ruangan tempat mereka menyimpan arca dahulu, yaitu di ruangan bawah. Melihat ini, tentu saja Siauw Bwee tidak mau tinggal sendiri dan dia pun cepat melangkah maju dan bersama sucinya memasuki istana.

Sunyi sekali di dalam istana itu. Dengan jantung berdebar, kedua orang dara itu memasuki ruangan bawah yang pintunya tertutup. Maya mendorong daun pintu, bersama Siauw Bwee memasuki ruangan itu.

Tiga buah arca batu pualam putih berdiri berjajar disitu, amat indah dan hidupnya menggambarkan mereka bertiga! Kam Han Ki berdiri di tengah-tengah, Siauw Bwee di sebelah kanan dan Maya di sebelah kiri. Dua orang dara itu terpesona, sejenak malah lupa kepada Han Ki, memandang tiga buah arca itu dengan mata terbelalak kagum.

Benar-benar suheng mereka tidak membohong, tiga buah arca itu indah sekali, jauh lebih indah daripada yang dibuatnya dahulu. Apalagi arca-arca itu menggambarkan keadaan mereka sekarang, berbeda dengan yang dahulu, yang menggambarkan mereka yang masih remaja. Tiga buah arca itu, ini menggambarkan seorang pria tampan dan gagah namun berwajah sayu, dan dua orang dara yang sudah dewasa, bagaikan dua kuntum bunga yang mengharapkan datangnya lebah, memanggil lebah dengan keharuman mereka. Akan, tetapi, kemana perginya Han Ki?

"Suheng, dimana engkau?"

Tiba-tiba Siauw Bwee berseru memanggil ketika dia tidak dapat menemukan suhengnya di dalam ruangan itu.

"Hemm, dia malah meninggalkan kita. Dia sudah pergi, Sumoi. Lihat!"

Maya berkata, menuding ke bawah. Siauw Bwee menghampiri dan bersama sucinya membaca tulisan yang dicorat-coret di atas lantai.

"Maya-sumoi dan Khu-sumoi, aku masih belum dapat mengambil keputusan. Masih mencari-cari. Maafkan aku terlambat beberapa hari."

"Hemm, Suheng benar-benar mempermainkan kita!"

Maya berkata marah, kakinya menginjak-injak ukiran huruf-huruf di lantai sehingga lantai kembali rata dan huruf-huruf itu lenyap.

Melihat ini, Siauw Bwee merasa tidak senang.
"Suci, engkau terlalu. Karena sayangnya kepada kita maka Suheng merasa tersiksa dan sukar mengambil keputusan. Sepatutnya dia dikasihani, mengapa Suci malah marah-marah kepadanya? Lihat betapa indahnya dia membuat arca kita, tanda bahwa Suheng benar-benar mencinta kita dengan sepenuh hatinya. Kalau Suci juga mencintanya seperti aku mencintanya, tentu Suci tidak akan marah, sebaliknya menaruh kasihan kepadanya."

Maya merasa betapa tepatnya ucapan sumoinya dan hal ini menimbulkan rasa cemburu dan marah besar. Ucapan sumoinya itu membayangkan rasa cinta kasih yang mendalam dari sumoinya kepada Han Ki, dan tampaknya membuat cinta kasihnya sendiri hilang artinya!

Dengan perlahan dia membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Bwee, memandang tajam dan berubahlah sinar matanya sekarang. Kebencian yang disebabkan rasa cemburu dan iri hati datang lagi setelah Han Ki tidak ada disitu.

"Sumoi, ucapanmu itu seolah-olah engkau hendak menyatakan bahwa Suheng adalah milikmu sendiri! Seolah-olah aku marah dan tidak mencintanya, dan hanya engkau yang mencinta! Sumoi, marilah kita hadapi persoalan ini dengan jujur dan bersikap sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Kita bukanlah wanita-wanita lemah yang memperebutkan pria yang dicintanya dengan linangan air mata! Kita adalah wanita-wanita perkasa yang sudah biasa menyelesaikan segala persoalan dengan ujung pedang! Mengapa sekarang kita bersikap lemah? Sudah jelas bahwa Suheng menjadi lemah sekali menghadapi persoalan ini, dia malah tidak berani menghadapinya dan secara pengecut menjauhkan diri dari persoalan, meninggalkan kita berdua disini!"

"Cukup! Jangan memaki Suheng! Dia bukan pengecut. Habis, engkau mau apa?" Siauw Bwee timbul kemarahannya mendengar kekasihnya disebut pengecut.

"Bagus, sikapmu makin menjadi-jadi, seolah-olah engkau hendak memonopoli Suheng! Andaikata kita berdua menjadi isterinya, tentu engkau pun akan bersikap seperti ini, hendak menguasai dia sendiri menjadikan aku saingan yang tidak ada artinya. Jalan satu-satunya hanyalah bahwa seorang diantara kita harus lenyap!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar