“Aha, lagi-lagi murid Kun-lun-pai. Sungguh mati, tak kusangka bahwa Kun-lun-pai terdiri dari orang-orang usil dan lancang, suka mencampuri urusan orang lain!”
“Tak perlu banyak cakap, Konga Sang! Bukan hanya murid Kun-lun-pai, akan tetapi seluruh pendekar di dunia ini pasti akan menentang perbuatan jahat!”
“Manusia sombong!”
Bentak Konga Sang dan rantainya sudah menyambar dahsyat ke arah kepala Lie Bouw Tek. Pendekar ini merendahkan tubuhnya dan ketika rantai melewati atas kepalanya dia melangkah maju dan pedangnya menusuk ke bawah lengan kanan lawan! Gerakannya mantap, cepat dan kuat sekali sehingga pedang itu meluncur bagaikan sinar merah yang didahului angin dan suara mendesing!
Terkejutlah Konga Sang dan dia terpaksa melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Rantainya membuat gerakan memutar dan kembali menyambar ke arah pinggang lawan. Sekali ini Lie Bouw Tek menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga. Melihat lawan menangkis, Konga Sang girang dan dia menarik sedikit rantainya agar ujung yang ada kaitannya dapat melibat pedang lawan.
“Tranggg....!” terdengar suara nyaring dan bukan main kagetnya hati Konga Sang ketika melihat betapa ujung rantainya berikut kaitannya telah putus!
Kiranya pedang merah itu merupakan pedang pusaka yang ampuh! Untung baginya bahwa yang buntung hanya ujung sepanjang satu dua jengkal saja sehingga rantainya masih merupakan senjata yang berbahaya walaupun tanpa kaitan. Dengan marah dia mengeluarkan suara gerengan dan rantainya menyambar-nyambar ketika dia memutarnya dan melancarkan serangan bertubi-tubi.
Namun Lie Bouw Tek dapat mengelak dengan langkah-langkah yang teratur, kadang meloncat tinggi dan diapun membalas dengan tusukan dan bacokan pedang. Terjadi pertempuran yang amat seru diantara kedua orang ini.
Ternyata tenaga mereka seimbang, juga kini mereka bertanding dengan hati-hati. Konga Sang jerih terhadap pedang pusaka itu, sebaliknya Lie Bouw Tek juga tidak berani sembarangan menangkis. Sekali pedangnya terlibat rantai, dia akan menghadapi bahaya karena diapun tahu bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli gulat. Dalam ilmu silat, dia dapat menandingi kepala gerombolan itu, akan tetapi kalau dalam ilmu gulat, sekali tubuhnya tertangkap, bahaya maut mengancam dirinya!
Sementara itu, Ciang Sun dan Kok Han mengamuk, menghajar anak buah gerombolan yang kini tinggal tujuh orang itu. Yang dua tewas oleh Lie Bouw Tek dan yang tadi terkena hantaman tongkat Lan Hong pada tengkuknya, biarpun sudah siuman akan tetapi masih pening dan tidak mampu berkelahi, agaknya gegar otak!
Lan Hong juga tidak tinggal diam, ia sudah mengambil golok seorang diantara penjahat yang tewas, lalu ia membantu dua orang murid Kun-lun-pai yang mengamuk, dengan memutar golok itu sekuat tenaga!
Lie Bouw Tek yang sudah lama berkelana di daerah ini dan sudah banyak mendengar tentang gerombolan Kala Putih, maklum bahwa gerombolan itu masih mempunyai banyak sekali anak buah dan hanya kebetulan saja sekali ini mereka hanya menghadapi kepala gerombolan dengan sepuluh orang anak buah saja. Dia khawatir kalau-kalau akan datang lebih banyak lagi anak buah gerombolan Kala Putih, maka sambil memutar pedangnya sehingga membentuk gulungan sinar merah yang merupakan benteng kokoh kuat yang melindungi dirinya, dia berseru keras.
“Ciang Sun! Kok Han! Kalian ajak pergi nona itu, biar aku yang menahan mereka. Cepat!”
Ciang Sun dan Kok Han mengerutkan alisnya. Kenapa susiok mereka menyuruh mereka melarikan diri? Padahal, jelas bahwa susioknya tidak kalah oleh Konga Sang, juga mereka bahkan mendesak tujuh orang anak buah gerombolan itu, malah diantara pihak musuh sudah ada yang tergores pedang.
Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak sempat membantah dan juga tidak berani membantah. Mereka mengenal susiok mereka sebagai seorang gagah perkasa dan kalau susioknya menyuruh mereka pergi lebih dahulu, tentu dia memiliki alasan yang kuat.
“Mari, enci!” kata Ciang Sun sambil menarik tangan Lan Hong, diajak meloncat pergi sedangkan Kok Han melindungi mereka.
Ketika tiga orang ini melarikan diri, para anak buah gerombolan tidak berani mengejar. Mereka tidak bodoh. Tadi mereka sudah terdesak dan kalau dilanjutkan, mereka tentu akan roboh semua. Maka, sebaliknya daripada mengejar tiga orang itu, mereka kini membantu pemimpin mereka mengeroyok Lie Bouw Tek!
Lie Bouw Tek mengamuk bagaikan seekor rajawali merah! Pedangnya tidak nampak lagi, berubah menjadi sinar merah bergulung-gulung dan bermain diantara sinar golok dan rantai. Kadang-kadang, dari gulungan sinar merah itu mencuat sinar kilat disusul robohnya seorang pengeroyok karena disambar pedang Ang-seng-kiam.
Lie Bou Tek sebetulnya memiliki ilmu yang seimbang dengan kepandaian Konga Sang, akan tetapi pedang pusakanya membuat lawan itu merasa jerih. Diapun tahu akan hal ini, dan dia tahu pula bahwa kalau Konga Sang menyerang dengan sungguh-sungguh, dibantu beberapa orang anak buahnya, dia akan menghadapi bahaya.
Maka, dia memberi waktu bagi dua orang murid keponakannya untuk melarikan diri bersama wanita itu, kemudian setelah memutar pedangnya, diapun moloncat jauh dan menghilang dibalik semak belukar dan pohon-pohon yang mulai diselimuti kegelapan karena malam telah menjelang tiba.
Konga Sang merasa penasaran dan marah sekali.
“Kejar!” teriaknya, dan merekapun melakukan pengejaran.
Namun, karena di dalam hati mereka timbul rasa jerih menghadapi tiga orang murid Kun-lun-pai itu, maka mereka tidak berani berpencar ketika mengejar dan mencari sehingga gerakan mereka tidak dapat cepat. Apalagi mereka terhalang oleh kegelapan malam sehingga akhirnya mereka terpaksa menghentikan pengejaran dan menolong kawan yang terluka atau tewas. Konga Sang mengepal tinju dan berkata dengan geram.
“Orang-orang Kun-lun-pai telah menghinaku! Awas, sekali waktu aku akan mengambil tindakan!”
Walaupun ucapan ini lebih banyak hanya untuk mengumbar rasa penasaran dan marahnya karena diapun tahu betapa kuatnya Kun-lun-pai yang mempunyai banyak murid yang pandai dan pimpinan yang berilmu tinggi itu. Kalau tidak yakin akan kekuatan pasukannya sendiri, penyerbuan ke Kun-lun-pai hanya akan mengakibatkan pasukannya hancur.
Mereka duduk mengitari api unggun. Mereka berempat kini berada di puncak bukit, dari mana mereka dapat melihat ke empat penjuru dan tempat itu aman dan baik untuk melewatkan malam. Kalau ada musuh datang, maka dari jauhpun sudah akan dapat mereka lihat atau dengar karena sekeliling mereka datar dan merupakan padang rumput.
Tadi Lie Bouw Tek dapat menyusul Ciang Sun dan Kok Han yang mengajak Sie Lan Hong melarikan diri dan dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera memberi hormat dan berlutut di depan kaki Lie Bouw Tek.
“Terima kasih atas bantuan Lie susiok,” kata mereka.
Lan Hong juga ikut berlutut dan berkata,
“Atas pertolongan taihiap, akupun mengucapkan terima kasih.”
“Bangkitlah kalian berdua, juga engkau, nona. Bangkitlah, tidak perlu dengan segala macam kesungkanan ini. Musuh berada jauh di bawah dan mungkin tidak akan mengejar ke sini. Andaikata mereka datang, kita dapat melihat mereka sebelum mereka dekat. Tempat ini baik sekali untuk melewatkan malam. Ciang Sun dan Kok Han, kumpulkan kayu kering dan kita bikin api unggun di sini.”
Demikianlah, mereka kini duduk saling berhadapan, mengelilingi api unggun yang bernyala indah, terang dan hangat. Lan Hong memandang kepada pria yang duduk tepat di depannya, terhalang api unggun itu.
Sinar api unggun yang kemerahan menerangi wajah pria itu dengan jelas. Dan iapun merasa kagum. Seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar akan tetapi perutnya tidak gendut, seperti tubuh seekor kuda balap yang pilihan. Dan wajahnya demikian tenang, penuh wibawa dan gagah perkasa. Wajah yang jantan sekali, bukan tampan kewanitaan, melainkan jantan perkasa. Sikapnya seperti seekor burung garuda, atau seperti seekor harimau. Ya, seperti seekor harimau karena tadi ketika mencari kayu bakar, lenggang dan langkahnya mengingatkan Lan Hong akan seekor harimau.
Tanpa ia ketahui, pria di depannya itupun sejak tadi memperhatikannya, walaupun tidak kentara. Dan Lie Bouw Tek juga kagum. Wanita itu sungguh jelita dan tidak mengherankan kalau Konga Sang, kepala gerombolan Kala Putih itu, tertarik dan bertekad untuk menawannya. Seorang wanita yang sudah matang, usianya sukar ditaksir, nampaknya masih amat muda akan tetapi sikap dan gerak geriknya, bentuk tubuhnya, wajahnya yang manis, sudah matang seperti seorang wanita yang sudah dewasa benar.
Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggangnya yang amat ramping dan pinggul yang besar membulat. Wajahnya amat manis, dengan kulit yang mulus dan mulut yang membayangkan kealiman, akan tetapi sepasang mata itulah yang amat menarik perhatiannya. Sepasang mata yang indah jeli, namun penuh bayangan duka dan derita.
“Ciang Sun dan Kok Han, sekarang ceritakanlah bagaimana kalian dapat berada disini dan sampai berkelahi dengan orang-orang gerombolan Kala Putih itu,” kata Lie Bouw Tek, suaranya tenang sekali dan mendatangkan perasaan damai dan aman dalam hati Lan Hong.
Ketika pandang mata mereka saling bertemu, Lan Hong cepat menundukkan mukanya dan pada wajah pria yang gagah itu terbayang suatu keheranan. Memang dia merasa heran sekali mengapa dia demikian tertarik kepada wanita ini. Padahal sejak dikecewakan oleh seorang wanita, ketika dia berusia dua puluh tahun, sampai sekarang berusia tiga puluh enam tahun, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang wanita.
Bukan berarti bahwa tidak ada wanita yang jatuh cinta kepadanya. Banyak sudah wanita yang suka kepadanya, bahkan banyak pula ayah dari gadis-gadis cantik menginginkan dia sebagai mantu mereka, namun dia selalu menolak. Dan sekarang dia merasa tertarik kepada seorang wanita yang baru saja dijumpainya, bahkan belum dikenal namanya dan belum diketahui pula riwayatnya.
“Kami berdua memang sengaja datang ke daerah ini untuk mencarimu, susiok. Kami diutus oleh supek (uwa guru) Thian Hwat Tosu untuk mencarimu dan menyerahkan surat ini kepadamu.”
“Hemm, toa-suheng (kakak seperguruan tertua) Thian Kwat Tosu yang mengutus kalian? Sudah pasti ada urusan penting sekali,” kata Lie Bouw Tek dan dia menerima sampul surat itu, lalu merobek ujung sampul dan mengeluarkan surat dari dalamnya.
Di bawah penerangan api unggun, dibacanya surat itu. Dalam surat, kedua orang suhengnya, yaitu ketua Kun-lun-pai Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu, menyerahkan tugas kepadanya untuk menyelidiki keadaan lima orang tokoh di Tibet yang dikenal dengan julukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu Thay Ku Lama, Thay Si Lama, Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama.
Para pimpinan Kun-lun-pai itu merasa penasaran sekali melihat sikap lima orang tokoh Tibet itu yang pernah mengambil sikap bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan hampir terjadi bentrokan hebat antara Kun-lun-pai dengan mereka. Padahal, sejak dahulu, Dalai Lama sendiri dan para pendeta Lama di Tibet bersikap baik dan bersahabat dengan Kun-lun-pai.
Oleh karena itu, mengingat bahwa yang dapat diandalkan di Kun-lun-pai hanyalah Lie Bouw Tek, satu-satunya tokoh Kun-lun-pai yang bebas, yaitu tidak menjadi tosu dan tidak bertugas di Kun-lun-pai melainkan menjadi seorang kelana yang bebas, maka para pimpinan Kun-lun-pai mengutus Lie Bouw Tek untuk melakukan penyelidikan itu.
Membaca surat itu, Lie Bouw Tek mengangguk-angguk.
“Sampaikan hormatku kepada kedua suheng, dan aku menerima baik tugas yang diberikan kepadaku.” Hanya itulah pesannya kepada dua orang keponakannya itu. “Akan tetapi bagaimana kalian sampi bentrok dengan gerombolan Kala Putih?” Dia mengulang pertanyaannya.
“Hal itu terjadi hanya karena kebetulan saja, susiok. Kami sedang beristirahat di kuil tua di lereng bukit itu ketika tiba-tiba kami melihat enci ini berlari-lari dan dikejar oleh gerombolan Kala Putih menuju ke kuil. Kami sudah mendengar akan kejahatan Kala Putih, maka kami lalu membela enci ini, sampai susiok muncul dan menyelematkan kami semua.”
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya mendengar Ciang Sun menyebut “enci” (kakak perempuan) kepada wanita itu. Mungkin Ciang Sun salah lihat, ataukah dia yang keliru? Wanita itu nampaknya tidak lebih tua dari murid keponakannya itu. Ataukah sebutan itu hanya sebutan akrab saja?
“Hemm, kalau boleh aku mengetahuinya, bagaimana sampai engkau dikejar-kejar oleh mereka, nona? Dan siapakah nona, mengapa pula melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini?” Lalu dia menyambung cepat ketika teringat bahwa dia bertanya nama kepada seorang wanita tanpa lebih dahulu memperkenalkan diri. “Mungkin nona sudah tahu bahwa kami bertiga adalah murid-murid Kun-lun-pai. Namaku Lie Bouw Tek, sedangkan dua orang murid keponakanku ini bernama Ciang Sun dan Kok Han.”
“Tak perlu banyak cakap, Konga Sang! Bukan hanya murid Kun-lun-pai, akan tetapi seluruh pendekar di dunia ini pasti akan menentang perbuatan jahat!”
“Manusia sombong!”
Bentak Konga Sang dan rantainya sudah menyambar dahsyat ke arah kepala Lie Bouw Tek. Pendekar ini merendahkan tubuhnya dan ketika rantai melewati atas kepalanya dia melangkah maju dan pedangnya menusuk ke bawah lengan kanan lawan! Gerakannya mantap, cepat dan kuat sekali sehingga pedang itu meluncur bagaikan sinar merah yang didahului angin dan suara mendesing!
Terkejutlah Konga Sang dan dia terpaksa melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Rantainya membuat gerakan memutar dan kembali menyambar ke arah pinggang lawan. Sekali ini Lie Bouw Tek menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga. Melihat lawan menangkis, Konga Sang girang dan dia menarik sedikit rantainya agar ujung yang ada kaitannya dapat melibat pedang lawan.
“Tranggg....!” terdengar suara nyaring dan bukan main kagetnya hati Konga Sang ketika melihat betapa ujung rantainya berikut kaitannya telah putus!
Kiranya pedang merah itu merupakan pedang pusaka yang ampuh! Untung baginya bahwa yang buntung hanya ujung sepanjang satu dua jengkal saja sehingga rantainya masih merupakan senjata yang berbahaya walaupun tanpa kaitan. Dengan marah dia mengeluarkan suara gerengan dan rantainya menyambar-nyambar ketika dia memutarnya dan melancarkan serangan bertubi-tubi.
Namun Lie Bouw Tek dapat mengelak dengan langkah-langkah yang teratur, kadang meloncat tinggi dan diapun membalas dengan tusukan dan bacokan pedang. Terjadi pertempuran yang amat seru diantara kedua orang ini.
Ternyata tenaga mereka seimbang, juga kini mereka bertanding dengan hati-hati. Konga Sang jerih terhadap pedang pusaka itu, sebaliknya Lie Bouw Tek juga tidak berani sembarangan menangkis. Sekali pedangnya terlibat rantai, dia akan menghadapi bahaya karena diapun tahu bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli gulat. Dalam ilmu silat, dia dapat menandingi kepala gerombolan itu, akan tetapi kalau dalam ilmu gulat, sekali tubuhnya tertangkap, bahaya maut mengancam dirinya!
Sementara itu, Ciang Sun dan Kok Han mengamuk, menghajar anak buah gerombolan yang kini tinggal tujuh orang itu. Yang dua tewas oleh Lie Bouw Tek dan yang tadi terkena hantaman tongkat Lan Hong pada tengkuknya, biarpun sudah siuman akan tetapi masih pening dan tidak mampu berkelahi, agaknya gegar otak!
Lan Hong juga tidak tinggal diam, ia sudah mengambil golok seorang diantara penjahat yang tewas, lalu ia membantu dua orang murid Kun-lun-pai yang mengamuk, dengan memutar golok itu sekuat tenaga!
Lie Bouw Tek yang sudah lama berkelana di daerah ini dan sudah banyak mendengar tentang gerombolan Kala Putih, maklum bahwa gerombolan itu masih mempunyai banyak sekali anak buah dan hanya kebetulan saja sekali ini mereka hanya menghadapi kepala gerombolan dengan sepuluh orang anak buah saja. Dia khawatir kalau-kalau akan datang lebih banyak lagi anak buah gerombolan Kala Putih, maka sambil memutar pedangnya sehingga membentuk gulungan sinar merah yang merupakan benteng kokoh kuat yang melindungi dirinya, dia berseru keras.
“Ciang Sun! Kok Han! Kalian ajak pergi nona itu, biar aku yang menahan mereka. Cepat!”
Ciang Sun dan Kok Han mengerutkan alisnya. Kenapa susiok mereka menyuruh mereka melarikan diri? Padahal, jelas bahwa susioknya tidak kalah oleh Konga Sang, juga mereka bahkan mendesak tujuh orang anak buah gerombolan itu, malah diantara pihak musuh sudah ada yang tergores pedang.
Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak sempat membantah dan juga tidak berani membantah. Mereka mengenal susiok mereka sebagai seorang gagah perkasa dan kalau susioknya menyuruh mereka pergi lebih dahulu, tentu dia memiliki alasan yang kuat.
“Mari, enci!” kata Ciang Sun sambil menarik tangan Lan Hong, diajak meloncat pergi sedangkan Kok Han melindungi mereka.
Ketika tiga orang ini melarikan diri, para anak buah gerombolan tidak berani mengejar. Mereka tidak bodoh. Tadi mereka sudah terdesak dan kalau dilanjutkan, mereka tentu akan roboh semua. Maka, sebaliknya daripada mengejar tiga orang itu, mereka kini membantu pemimpin mereka mengeroyok Lie Bouw Tek!
Lie Bouw Tek mengamuk bagaikan seekor rajawali merah! Pedangnya tidak nampak lagi, berubah menjadi sinar merah bergulung-gulung dan bermain diantara sinar golok dan rantai. Kadang-kadang, dari gulungan sinar merah itu mencuat sinar kilat disusul robohnya seorang pengeroyok karena disambar pedang Ang-seng-kiam.
Lie Bou Tek sebetulnya memiliki ilmu yang seimbang dengan kepandaian Konga Sang, akan tetapi pedang pusakanya membuat lawan itu merasa jerih. Diapun tahu akan hal ini, dan dia tahu pula bahwa kalau Konga Sang menyerang dengan sungguh-sungguh, dibantu beberapa orang anak buahnya, dia akan menghadapi bahaya.
Maka, dia memberi waktu bagi dua orang murid keponakannya untuk melarikan diri bersama wanita itu, kemudian setelah memutar pedangnya, diapun moloncat jauh dan menghilang dibalik semak belukar dan pohon-pohon yang mulai diselimuti kegelapan karena malam telah menjelang tiba.
Konga Sang merasa penasaran dan marah sekali.
“Kejar!” teriaknya, dan merekapun melakukan pengejaran.
Namun, karena di dalam hati mereka timbul rasa jerih menghadapi tiga orang murid Kun-lun-pai itu, maka mereka tidak berani berpencar ketika mengejar dan mencari sehingga gerakan mereka tidak dapat cepat. Apalagi mereka terhalang oleh kegelapan malam sehingga akhirnya mereka terpaksa menghentikan pengejaran dan menolong kawan yang terluka atau tewas. Konga Sang mengepal tinju dan berkata dengan geram.
“Orang-orang Kun-lun-pai telah menghinaku! Awas, sekali waktu aku akan mengambil tindakan!”
Walaupun ucapan ini lebih banyak hanya untuk mengumbar rasa penasaran dan marahnya karena diapun tahu betapa kuatnya Kun-lun-pai yang mempunyai banyak murid yang pandai dan pimpinan yang berilmu tinggi itu. Kalau tidak yakin akan kekuatan pasukannya sendiri, penyerbuan ke Kun-lun-pai hanya akan mengakibatkan pasukannya hancur.
Mereka duduk mengitari api unggun. Mereka berempat kini berada di puncak bukit, dari mana mereka dapat melihat ke empat penjuru dan tempat itu aman dan baik untuk melewatkan malam. Kalau ada musuh datang, maka dari jauhpun sudah akan dapat mereka lihat atau dengar karena sekeliling mereka datar dan merupakan padang rumput.
Tadi Lie Bouw Tek dapat menyusul Ciang Sun dan Kok Han yang mengajak Sie Lan Hong melarikan diri dan dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera memberi hormat dan berlutut di depan kaki Lie Bouw Tek.
“Terima kasih atas bantuan Lie susiok,” kata mereka.
Lan Hong juga ikut berlutut dan berkata,
“Atas pertolongan taihiap, akupun mengucapkan terima kasih.”
“Bangkitlah kalian berdua, juga engkau, nona. Bangkitlah, tidak perlu dengan segala macam kesungkanan ini. Musuh berada jauh di bawah dan mungkin tidak akan mengejar ke sini. Andaikata mereka datang, kita dapat melihat mereka sebelum mereka dekat. Tempat ini baik sekali untuk melewatkan malam. Ciang Sun dan Kok Han, kumpulkan kayu kering dan kita bikin api unggun di sini.”
Demikianlah, mereka kini duduk saling berhadapan, mengelilingi api unggun yang bernyala indah, terang dan hangat. Lan Hong memandang kepada pria yang duduk tepat di depannya, terhalang api unggun itu.
Sinar api unggun yang kemerahan menerangi wajah pria itu dengan jelas. Dan iapun merasa kagum. Seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar akan tetapi perutnya tidak gendut, seperti tubuh seekor kuda balap yang pilihan. Dan wajahnya demikian tenang, penuh wibawa dan gagah perkasa. Wajah yang jantan sekali, bukan tampan kewanitaan, melainkan jantan perkasa. Sikapnya seperti seekor burung garuda, atau seperti seekor harimau. Ya, seperti seekor harimau karena tadi ketika mencari kayu bakar, lenggang dan langkahnya mengingatkan Lan Hong akan seekor harimau.
Tanpa ia ketahui, pria di depannya itupun sejak tadi memperhatikannya, walaupun tidak kentara. Dan Lie Bouw Tek juga kagum. Wanita itu sungguh jelita dan tidak mengherankan kalau Konga Sang, kepala gerombolan Kala Putih itu, tertarik dan bertekad untuk menawannya. Seorang wanita yang sudah matang, usianya sukar ditaksir, nampaknya masih amat muda akan tetapi sikap dan gerak geriknya, bentuk tubuhnya, wajahnya yang manis, sudah matang seperti seorang wanita yang sudah dewasa benar.
Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggangnya yang amat ramping dan pinggul yang besar membulat. Wajahnya amat manis, dengan kulit yang mulus dan mulut yang membayangkan kealiman, akan tetapi sepasang mata itulah yang amat menarik perhatiannya. Sepasang mata yang indah jeli, namun penuh bayangan duka dan derita.
“Ciang Sun dan Kok Han, sekarang ceritakanlah bagaimana kalian dapat berada disini dan sampai berkelahi dengan orang-orang gerombolan Kala Putih itu,” kata Lie Bouw Tek, suaranya tenang sekali dan mendatangkan perasaan damai dan aman dalam hati Lan Hong.
Ketika pandang mata mereka saling bertemu, Lan Hong cepat menundukkan mukanya dan pada wajah pria yang gagah itu terbayang suatu keheranan. Memang dia merasa heran sekali mengapa dia demikian tertarik kepada wanita ini. Padahal sejak dikecewakan oleh seorang wanita, ketika dia berusia dua puluh tahun, sampai sekarang berusia tiga puluh enam tahun, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang wanita.
Bukan berarti bahwa tidak ada wanita yang jatuh cinta kepadanya. Banyak sudah wanita yang suka kepadanya, bahkan banyak pula ayah dari gadis-gadis cantik menginginkan dia sebagai mantu mereka, namun dia selalu menolak. Dan sekarang dia merasa tertarik kepada seorang wanita yang baru saja dijumpainya, bahkan belum dikenal namanya dan belum diketahui pula riwayatnya.
“Kami berdua memang sengaja datang ke daerah ini untuk mencarimu, susiok. Kami diutus oleh supek (uwa guru) Thian Hwat Tosu untuk mencarimu dan menyerahkan surat ini kepadamu.”
“Hemm, toa-suheng (kakak seperguruan tertua) Thian Kwat Tosu yang mengutus kalian? Sudah pasti ada urusan penting sekali,” kata Lie Bouw Tek dan dia menerima sampul surat itu, lalu merobek ujung sampul dan mengeluarkan surat dari dalamnya.
Di bawah penerangan api unggun, dibacanya surat itu. Dalam surat, kedua orang suhengnya, yaitu ketua Kun-lun-pai Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu, menyerahkan tugas kepadanya untuk menyelidiki keadaan lima orang tokoh di Tibet yang dikenal dengan julukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu Thay Ku Lama, Thay Si Lama, Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama.
Para pimpinan Kun-lun-pai itu merasa penasaran sekali melihat sikap lima orang tokoh Tibet itu yang pernah mengambil sikap bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan hampir terjadi bentrokan hebat antara Kun-lun-pai dengan mereka. Padahal, sejak dahulu, Dalai Lama sendiri dan para pendeta Lama di Tibet bersikap baik dan bersahabat dengan Kun-lun-pai.
Oleh karena itu, mengingat bahwa yang dapat diandalkan di Kun-lun-pai hanyalah Lie Bouw Tek, satu-satunya tokoh Kun-lun-pai yang bebas, yaitu tidak menjadi tosu dan tidak bertugas di Kun-lun-pai melainkan menjadi seorang kelana yang bebas, maka para pimpinan Kun-lun-pai mengutus Lie Bouw Tek untuk melakukan penyelidikan itu.
Membaca surat itu, Lie Bouw Tek mengangguk-angguk.
“Sampaikan hormatku kepada kedua suheng, dan aku menerima baik tugas yang diberikan kepadaku.” Hanya itulah pesannya kepada dua orang keponakannya itu. “Akan tetapi bagaimana kalian sampi bentrok dengan gerombolan Kala Putih?” Dia mengulang pertanyaannya.
“Hal itu terjadi hanya karena kebetulan saja, susiok. Kami sedang beristirahat di kuil tua di lereng bukit itu ketika tiba-tiba kami melihat enci ini berlari-lari dan dikejar oleh gerombolan Kala Putih menuju ke kuil. Kami sudah mendengar akan kejahatan Kala Putih, maka kami lalu membela enci ini, sampai susiok muncul dan menyelematkan kami semua.”
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya mendengar Ciang Sun menyebut “enci” (kakak perempuan) kepada wanita itu. Mungkin Ciang Sun salah lihat, ataukah dia yang keliru? Wanita itu nampaknya tidak lebih tua dari murid keponakannya itu. Ataukah sebutan itu hanya sebutan akrab saja?
“Hemm, kalau boleh aku mengetahuinya, bagaimana sampai engkau dikejar-kejar oleh mereka, nona? Dan siapakah nona, mengapa pula melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini?” Lalu dia menyambung cepat ketika teringat bahwa dia bertanya nama kepada seorang wanita tanpa lebih dahulu memperkenalkan diri. “Mungkin nona sudah tahu bahwa kami bertiga adalah murid-murid Kun-lun-pai. Namaku Lie Bouw Tek, sedangkan dua orang murid keponakanku ini bernama Ciang Sun dan Kok Han.”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar