Ads

Rabu, 15 Januari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 082

Mereka berdua menunggang kuda berdampingan dan membiarkan kuda mereka berjalan perlahan menuruni bukit. Lie Bouw Tek membeli dua ekor kuda di dusun yang baru mereka tinggalkan, di lereng bukit.

Lan Hong berterima kasih dan ketika ia hendak membayar harga kuda untuknya, pendekar itu mencegahnya. Diam-diam Lan Hong semakin kagum kepada pendekar yang bertubuh tinggi besar itu. Lie Bouw Tek bukan saja gagah perkasa, pendiam, berwibawa dan tenang sekali, akan tetapi ternyata juga bersikap lembut dan sopan terhadap dirinya. Belum pernah pendekar itu menunjukkan sikap kasar ataupun melanggar kesopanan terhadap dirinya sepanjang melakukan perjalanan bersamanya, bahkan di waktu memandangnya, pendekar itu selalu membatasi diri.

Karena senja telah tiba dan malam menjelang datang menggelapkan bumi, mereka terpaksa menghentikan perjalanan di kaki bukit itu. Mereka memilih sebuah guha di daerah yang penuh batu gunung itu sebagai tempat melewatkan malam. Mereka membuat api unggun di mulut guha dan setelah makan roti dan daging kering, minum anggur yang tidak begitu keras, mereka lalu duduk bercakap-cakap di dalam guha.

Api unggun menghangatkan tubuh dan mengusir nyamuk. Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Melihat usia mereka, sepantasnyalah kalau ada orang melihat mereka akan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri.

Keduanya termenung, seolah tenggelam dalam lamunan masing-masing. Padahal, diam-diam mereka itu saling memikirkan. Bagi Lan Hong, perasaannya yang amat kagum dan tertarik kepada pendekar itu merupakan pengalaman yang baru pertama kali ia rasakan.

Semenjak masih remaja, hati dan badannya telah direnggut secara paksa oleh mendiang Yauw Sun Kok. Kalaupun akhirnya timbul perasaan cinta kepada Yauw Sun Kok, hal itu adalah karena keadaan. Ia telah menjadi isterinya, bahkan telah melahirkan anak keturunannya, maka ia anggap sudah semestinya dan sewajarnyalah kalau ia bersikap setia dan mencinta suaminya.

Akan tetapi betapa seringnya hatinya menderita nyeri yang amat hebat melihat sikap suaminya, pertama sikap Suaminya terhadap adiknya, dan kedua kalinya ketika mereka kehilangan anak mereka sikap suaminya menjadi teramat buruk, bahkan mulai memaki dan memukulnya. Dan selama itu, sama sekali ia tidak pernah bergaul dengan pria lain, bahkan mengangkat muka memandangpun tak pernah.

Dan kini, setelah ia menjadi janda, setelah ia bebas, tiba-tiba saja, tanpa disangkanya, ia kini melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pendekar yang dalam segala-galanya jauh berbeda dengan mendiang suaminya! Seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, berjiwa satria, yang sopan santun dan lembut, namun keras dan jantan bagaikan seekor rajawali atau seekor naga jantan.

Di lain pihak, Lie Bouw Tek juga tiada habis herannya melihat kenyataan yang terjadi pada hatinya. Semenjak kegagalan cinta pertama, dia tak pernah mau bergaul dengan wanita, bahkan ada kecondongan menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa di balik kehangatan dan kelembutan itu tersembunyi kepalsuan, di balik keindahan itu tersembunyi racun yang jahat.

Akan tetapi mengapa kini dia demikian tertarik kepada wanita yang sudah menjadi janda ini, yang biarpun tergolong cantik namun tidaklah luar biasa, bahkan kecantikannya sederhana? Mengapa timbul perasaan iba yang mendalam, juga perasaan kagum terhadap wanita ini yang mendorongnya untuk membela dan melindunginya, kalau mungkin selama hidupnya?

“Toanio, engkau mengasolah, biar aku yang berjaga di sini,” akhirnya Lie Bouw Tek berkata kepada wanita itu.

“Aku belum mangantuk, taihiap. Engkau mengasolah biar aku yang berjaga. Masa setiap kali kita bermalam di tempat terbuka, engkau saja yang melakukan penjagaan dan aku yang disuruh tidur.”

Lie Bouw Tek tersenyum.
“Sudah sepantasnya begitu. Sudah menjadi kewajiban pria sebagai yang lebih kuat untuk selalu menjaga dan melindungi wanita yang lemah.”

“Akan tetapi aku tidaklah sedemikian lemahnya, taihiap.”

Lie Bouw Tek mengangkat muka menatap wajah itu. Mata itu! Mata yang indah akan tetapi sinarnya seperti matahari tertutup awan hitam. Dia menarik napas panjang.

“Toanio, ada sedikit permintaan dariku, harap engkau tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaanku itu.”






Lan Hong balas memandang, sinar matanya tajam menyelidik. Bagaimanapun percayanya kepada pendekar ini, pengalaman-pengalaman pahit selama dalam perjalanan karena ulah pria membuat ia berprasangka buruk dan berhati-hati.

“Taihiap, permintaan apakah itu? Apa yang dapat kulakukan untukmu? Tentu saja aku bersedia memenuhi kalau permintaanmu itu wajar dan baik.”

“Setiap kali engkau menyebut taihiap kepadaku, aku merasa amat tidak enak. Kita melakukan perjalanan bersama, berarti kita senasib seperjalanan, menghadapi segala bahaya dan segala kemungkinan berdua. Akan tetapi sebutan yang kau pakai itu membuat aku merasa seperti kita ini saling berjauhan dan asing.”

“Ah, sungguh aneh. Aku sendiripun merasa tidak enak setiap kali engkau menyebut toanio kepadaku. Sebutan itu demikian menghormati aku dan merendahkan dirimu.”

Mereka saling pandang, lalu keduanya tersenyum.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita saling sebut seperti dua orang sahabat baik, atau seperti anggauta keluarga? Kita seperti kakak dan adik, bagaimana kalau engkau menyebut aku toako (kakak) dan aku menyebutmu siauw-moi (adik perempuan)?”

Biarpun wajahnya berubah merah dan jantungnya bardebar agak keras, namun Lan Hong tersenyum dan mengangguk.

“Baiklah, toako. Sejak saat ini aku akan menyebutmu Lie Toako.”

“Dan aku akan menyebutmu siawmoi Sie Lan Hong, atau cukup dengan Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?”

Kembali mereka saling pandang dan Lan Hong mengangguk. Lalu keduanya diam, seolah-olah mereka merasa sungkan dan rikuh setelah ada sedikit keakraban tadi. Akhirnya, merasa tersiksa oleh kediaman mereka itu, Lie Bouw Tek bertanya.

“Hong-moi, aku masih merasa heran sekali mengingat ceritamu bahwa puterimu telah pergi. Apakah ia pergi bersama adikmu, Pendekar Bongkok itu?”

Lan Hong menggeleng kepalanya dan kedua matanya kelihatan semakin sedih. Kalau saja mereka pergi berdua, pikir Lan Hong, tentu hatinya tidak serisau sekarang ini.

“Dia pergi sendiri,toako. Ia pergi untuk mencari pamannya yang pergi lebih dahulu.”

“Hemm, sungguh berbahaya kalau begitu. Dan sungguh berani sekali puterimu itu. Seorang anak perempuan kecil pergi seorang diri mencari pamannya, ke arah Tibet pula!”

Tiba-tiba Lie Bouw Tek memandang dengan mata terbelalak melihat betapa wanita yang duduk di seberang api unggun itu tertawa geli sambil menutupi mulut dengan punggung tangannya.

“Eh? Kenapa engkau tertawa geli, Hong-moi?”

“Habis, engkau lucu sih, toako. Bi Sian bukan seorang anak kecil lagi! Dia sudah berusia delapan belas tahun dan ia bukan pula seorang gadis lemah!”

“Ah, tidak mungkin! Aku tidak percaya!”

Kini Lan Hong yang terbelalak dan memandang heran.
“Apa maksudmu, toako? Engkau tidak percaya kepadaku? Apa kau kira aku membobong?”

Dalam suaranya terkandung penasaran. Entah mengapa, hatinya terasa nyeri kalau tidak dipercaya oleh pendekar itu.

“Aku tidak mengatakan engkau membohong, Hong-moi, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa engkau mempunyai seorang puteri yang berusia delapan belas tahun? Anakmu sendiri ataukan anak tiri, atau anak angkat?”

“Eh? Kenapa begitu, toako? Tentu saja anakku sendiri!”

“Itulah yang tidak mungkin! Kalau puterimu itu berusia tujuh atau delapan tahun, baru masuk akal. Akan tetapi delapan belas tahun?”

Kini mengertilah Lan Hong dan senyumnya manis sekali, matanya bersinar dan untuk sejenak kedukaan yang membayang di dalamnya menipis.

“Lie-toako, berapa kau kira usiaku sekarang?”

“Paling banyak dua puluh lima tahun.”

Kembali Lan Hong tertawa geli dan menutupi mulutnya dengan tangan,
“Hi-hik, engkau lucu, toako. Umurku tahun ini sudah tiga puluh tiga tahun.”

“Apa? Tidak mungkin sama sekali! Engkau.... sungguh tidak pantas berusia sebanyak itu!”

Teriak Lie Bouw Tek penasaran sehingga Lan Hong tertawa geli. Wanita mana yang tidak akan senang sekali hatinya melihat orang lain, apalagi kalau orang itu seorang pria, yang dikaguminya pula, mengira ia jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya?

“Lie-toako, aku yang mempunyai usia itu, tentu aku yang lebih tahu dan tidak bohong.”

“Aihhh.... maafkan aku. Sungguh mati sukar dipercaya bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tiga tahun, Hong-moi.”

“Bahkan sudah hampir tiga puluh empat tahun, toako, mungkin malah lebih tua daripadamu.”

“Ah, tidak, tidak!” jawab Lie Bouw Tek cepat. “Usiaku sudah tiga puluh enam tahun.”

“Tentu engkau sudah mempunyai beberapa orang putera dan puteri, toako, Berapa banyak anakmu dan berapa usia anakmu yang pertama?”

Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya.
“Aku tidak mempunyai anak, bahkan aku belum pernah menikah, Hong-moi.”

“Ahh....!”

Lan Hong menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi kemerahan dan ia memaki dirinya sendiri mengapa begitu tak tahu malu untuk merasa girang mendengar bahwa pendekar itu belum menikah! Ingatlah engkau, tak tahu malu, makinya pada diri sendiri, engkau sudah janda dan memiliki anak yang sudah dewasa, sedangkan dia ini masih perjaka, seorang pendekar besar yang budiman. Jangan mengharapkan yang bukan-bukan!

Kembali keduanya berdiam diri seperti tenggelam ke dalam lamunan yang lebih dalam lagi. Suasana semakin sunyi karena malam semakin larut. Ketika Lan Hong menambahkan kayu bakar pada api unggun, gerakannya itu seperti menghidupkan lagi suasana yang tadinya seperti mati. Lie Bouw Tek seperti sadar kembali dari lamunan.

“Hong-moi, berapakah usia adikmu yang berjuluk Pendekar Bongkok itu?”

“Dia masih muda, toako, baru dua puluh tahun lebih, paling banyak dua puluh satu tahun.”

“Hemm, sudah demikian lihainya walaupun masih amat muda. Kalau dia melakukan perjalanan seorang diri ke Tibet, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi puterimu itu siapa namanya tadi?”




Pendekar Bongkok Jilid 081
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar