“Bi Sian, Yauw Bi Sian.”
“Nah, Bi Sian seorang gadis berusia delapan belas tahun, sungguh berbahaya melakukan perjalanan ke daerah ini. Sedangkan untuk engkau sendiri saja sudah amat berbahaya, apalagi untuk puterimu yang berusia delapan belas tahun.”
Lan Hong tersenyum, senyum penuh kebanggaan.
“Kurasa tidak, toako. Biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi Bi Sian memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada aku, atau bahkan mendiang ayahnya, bahkan pula, kurasa tidak kalah jauh dibandingkan Sie Liong.”
“Apa?” Kembali Bouw Tek terbelalak. Sudah terlalu sering dia mendengar hal-hal yang amat aneh dan tidak terduga dari janda muda yang manis ini. “Selihai Pendekar Bongkok? Wah, hebat! Murid siapakah puterimu itu, Hong-moi?”
Di dalam hatinya, sukar untuk dapat mempercayai keterangan Lan Hong tentang puterinya itu.
“Menurut pengakuannya, Bi Sian menjadi murid seorang pertapa sakti yang berjuluk Koay Tojin.”
“Benarkah?” Kembali pandekar itu terkejut. “Nama besar Koay Tojin amat terkenal di daerah barat dan utara! Dia seorang pertapa sakti yang namanya sejajar dengan nama besar Pek-sim Sian-su.”
“Memang benar, toako. Menurut keterangan Bi Sian, gurunya itu memang sute dari Pek-sim Sian-su guru Sie Liong.”
Pendekar itu tertegun kagum, lalu menarik napas panjang.
“Sungguh hebat sekali! Engkau memiliki keluarga yang hebat, Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik untuk mengetahui riwayatmu dan keadaan keluargamu. Kalau boleh aku bertanya, kenapa suamimu meninggal dalam usia yang masih muda? Apakah karena penyakit?”
Sejenak Lan Hong menunduk dan berdiam diri. Bagaimana ia dapat menjawab? Sampai lama ia tak mengeluarkan suara.
“Maafkan aku banyak-banyak, Hong-moi, kalau pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak menyenangkan hatimu, maafkan dan engkau tidak perlu menjawabnya.” Di dalam suara itu terkandung keluhan.
Lan Hong mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu. Tidak, ia tidak perlu menyembunyikannya. Bahkan ia perlu menceritakan kepada pendekar itu, orang yang telah mendapat kepercayaannya, bahkan yang bersedia mengantar dan membantunya sampai ia dapat bertemu dengan adiknya atau puterinya. Ia merasa bahwa pendekar yang duduk bersila di depannya itu bukan orang lain lagi, ia sudah merasa demikian akrab, apalagi setelah bercakap-cakap malam ini, setelah mereka saling menyebut toako dan siauw-moi. Akhirnya Lan Hong menarik napas panjang.
“Akulah yang minta maaf, toako, karena aku tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan kepadamu. Suamiku itu.... tewas karena terbunuh orang.”
“Ahhh!” Lie Bouw Tek mangepalkan tinju, memandang dengan penasaran dan kasihan sekali. “Siapakah penjahat yang telah berani melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat itu berani melakukannya kalau di sana terdapat adik kandungmu dan puterimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?”
Lan Hong menggeleng kepalanya.
“Tidak diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako.”
“Aku akan menyelidikinya! Aku akan menangkap pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi! Lalu.... mengapa adikmu malah pergi, juga puterimu? Apakah mereka berdua itu sudah pergi ketika peristiwa itu terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan pembunuhan itu?”
Lan Hong menarik napas panjang. Karena Bouw Tek membantunya mencari adiknya dan puterinya, maka akhirnya ia tentu akan mengetahuinya, dan pendekar itu sudah terlibat dalam urusan keluarganya.
“Mereka berdua tahu, toako. Justeru karena pembunuhan itulah mereka pergi meninggalkan rumah. Bi Sian, puteriku itu, menuduh bahwa adikku Sie Liong yang membunuh ayahnya. Karena tuduhan ini, Sie Liong melarikan diri dan anakku itu melakukan pengejaran, mencari pamannya untuk dibunuh, untuk membalas dendam kematian ayahnya.”
“Ah.... ahh....!”
Bouw Tek kini tidak mampu bicara lagi. Terlalu berat peristiwa yang menimpa keluarga janda ini, pikirnya dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus berkata apalagi. Akhirnya dia hanya mengeluh,
“Hong-moi.... sungguh kasihan sekali engkau. Keluargamu hebat, akan tetapi juga tertimpa malapetaka yang hebat pula. Sungguh membuat aku merasa penasaran, Hong-moi. Adikmu demikian lihai, juga puterimu, akan tetapi suamimu dapat dibunuh orang, dan sekarang puterimu malah mengejar-ngejar pamannya yang dituduh melakukan pembunuhan itu. Sebetulnya bagaimana duduknya perkara, Hong-moi? Maukah engkau menceritakan kepadaku? Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat mungkin akan kubongkar rahasia itu yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut keterangan dua orang murid keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang pendekar budiman yang hebat, bagaimana mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?”
“Tadinya.... aku sendiri percaya bahwa dia yang membunuh suamiku, tapi.... tapi sekarang tidak lagi....”
“Lebih aneh lagi kalau begitu. Wahai, Hong-moi, ternyata dirimu dilingkari banyak rahasia sehingga membuat aku beberapa kali terheran-heran dan terkejut mendengar keteranganmu.”
Sudah kepalang basah, pikir Lan Hong. Ia harus menceritakan segalanya. Terserah kepada pendekar ini kalau nanti akan berubah pandangan terhadap dirinya. Ia tertarik kepada pendekar ini dan kalau ia menghendaki pergaulan yang jujur, iapun harus terbuka dan jujur.
Pendekar itu harus mengenal dirinya, mengenal riwayatnya dan ia tidak perlu menutupi rahasia, yang paling buruk sekalipun! Ia sudah nekat karena ia ingin dikenal benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaannya sehingga ia dapat melihat bagaimana nanti sikap pendekar itu terhadap dirinya. Berubahkah? Memandang rendahkah? Biarlah, ia akan menghadapi segala resikonya.
“Lie-toako, terus terang saja, riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru kepadamu seoranglah aku akan menceritakannya. Terserah kemudian bagaimana tanggapanmu. Riwayatku dimulai dengan terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh seorang musuh besar. Ayah kami bernama Sie Kian atau juga disebut Sie Kauwsu, seorang guru silat bayaran di kota Tiong-cin. Karena ayah kami suka menentang kejahatan, maka dia banyak dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang penjahat yang mendendam kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan ibu kami. Ketika itu aku berusia lima belas tahun dan adikku, Sie Liong, berusia sepuluh bulan.” Ia herhenti sebentar dan bergidik ketika membayangkan peristiwa itu.
Lie Bouw Tek yang sudah merasa kasihan mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh orang, kini memandang dengan terharu. Betepa buruk nasibnya, ketika remaja sudah kehilangan ayah bunda yang dibunuh orang.
“Sungguh keji penjahat itu!” komentarnya.
Sie Lan Hong tersenyum, senyum yang pahit sekali.
“Lebih dari pada keji, toako. Setelah membunuh ayah ibu kami, dia bahkan memaksaku untuk melayaninya dengan mengancam akan membunuh adikku yang berusia sepuluh bulan itu kalau aku menolak keinginannya yang kotor. Melihat adikku yang masih bayi itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku menyerah. toako, demi menyelamatkan adikku.”
Wajah yang jantan itu berubah menjadi kemerahan, matanya mengeluarkan sinar mencorong dan Bouw Tek mengepal tinju.
“Jahanam keparat! Kalau aku bertemu dengan jahanam itu, akan kuhancurkan kepalanya!”
Melihat kemarahan pendekar itu, kembali Lan Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit sekali.
“Sebaiknya kulanjutkan riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi meninggalkan kota kami, dan dia memaksa aku menjadi isterinya dengan ancaman yang sama, yaitu kalau aku menolak, Sie Liong akan disembelihnya. Aih, toako, kalau saja tidak ada adikku yang masih bayi terancam maut mengerikan, aku takkan takut menghadapi ancamannya, aku lebih suka mati daripada harus menyerah. Percayakah engkau, toako?”
“Aku percaya, aku percaya.... aih, si keparat!” kata Bouw Tek.
“Setelah aku menjadi isterinya, dia meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota Sung-jan, dan harus kuakui bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang. Akan tetapi diapun maklum bahwa kalau dia mengganggu adikku, tentu aku akan membunuh diri. Sampai akhirnya aku melahirkan Bi Sian, puteriku itu....”
“Hemm....”
Bouw Tek mengerutkan alisnya dan tidak lagi berani memberi komentar. Bagaimana dia dapat memaki laki-laki yang telah menjadi suami Lan Hong, bahkan menjadi ayah kandung puterinya? Keadaan menjadi semakin membingungkan dan ruwet, dan dia merasa semakin kasihan kepada wanita di depannya itu. Bahkan untuk menghapus makian-makiannya tadi, dia berkata lirih,
“Hemm, dia telah menjadi seorang suami dan ayah yang baik....”
Lan Hong menggeleng kepalanya.
“Nampaknya saja begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap seorang yang amat jahat. Dia selalu merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong, adikku itu, akan tahu tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap orang tua kami, dia takut kalau Sie Liong kelak membalas dendam. Maka, kalau dia mengajarkan silat kepada Bi Sian, dia melarang Sie Liong belajar silat. Dan baru sekarang aku dapat menduga bahwa Sie Liong menjadi cacat, menjadi bongkok, tentu karena perbuatan dia pula! Yang kuketahui ketika itu hanya bahwa Sie Liong jatuh sakit keras dan setelah sembuh dia menjadi bongkok.”
“Ahhh....! Hemmm....!”
Tadinya Bouw Tek ingin memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang akan dimaki itu suami wanita ini, dia tidak jadi dan hanya menggeleng-geleng kepalanya.
“Agaknya, Sie Liong menyadari bahwa dia dibenci kakak iparnya, maka ketika dia berusia dua belas atau tiga belas tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak lama setelah itu, puteri kami, Bi Sian, bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa pergi sebagai muridnya. Nah, setelah adikku dan puteriku pergi, berubahlah kembali watak suamiku itu, toako. Dia seolah-olah seekor harimau yang menanggalkan kedok dombanya. Dia menjadi kejam, kasar dan suka mulai mabok-mabokan dan melacur. Dia mulai suka memaki dan memukuli aku. Ahh.... kalau saja tidak ingat kepada puteriku, mungkin tak kuat aku menahan derita itu....”
Wanita itu berhenti dan menutupi mukanya, akan tetapi ia tidak menangis. Lie Bouw Tek memandang dengan tubuh diam tak bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana dan berkata apa.
Tak lama kemudian Lan Hong menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak pucat, akan tetapi ia tidak menangis. Ketika ia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam seperti patung, ia melanjutkan.
“Selama tujuh tahun aku menderita. Harta kamipun dihamburkan oleh suamiku itu dan akupun tidak berdaya. Aku seolah hanya hidup untuk menanti pulangnya anakku dan adikku. Dan pada suatu hari, setelah tujuh tahun lewat, muncullah Sie Liong yang telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.”
“Dan menjadi seorang pendekar yang sakti yang dijuluki Pendekar Bongkok?”
“Benar, dan melihat Sie Liong, suamiku menjadi marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi dengan mudah Sie Liong mengalahkannya tanpa melukainya. Sama sekali suamiku tidak berdaya melawan Sie Liong yang menjadi sakti itu.”
“Dan adikmu tidak tahu bahwa suamimu itu yang membunuh ayah ibu kalian?”
“Nah, Bi Sian seorang gadis berusia delapan belas tahun, sungguh berbahaya melakukan perjalanan ke daerah ini. Sedangkan untuk engkau sendiri saja sudah amat berbahaya, apalagi untuk puterimu yang berusia delapan belas tahun.”
Lan Hong tersenyum, senyum penuh kebanggaan.
“Kurasa tidak, toako. Biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi Bi Sian memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada aku, atau bahkan mendiang ayahnya, bahkan pula, kurasa tidak kalah jauh dibandingkan Sie Liong.”
“Apa?” Kembali Bouw Tek terbelalak. Sudah terlalu sering dia mendengar hal-hal yang amat aneh dan tidak terduga dari janda muda yang manis ini. “Selihai Pendekar Bongkok? Wah, hebat! Murid siapakah puterimu itu, Hong-moi?”
Di dalam hatinya, sukar untuk dapat mempercayai keterangan Lan Hong tentang puterinya itu.
“Menurut pengakuannya, Bi Sian menjadi murid seorang pertapa sakti yang berjuluk Koay Tojin.”
“Benarkah?” Kembali pandekar itu terkejut. “Nama besar Koay Tojin amat terkenal di daerah barat dan utara! Dia seorang pertapa sakti yang namanya sejajar dengan nama besar Pek-sim Sian-su.”
“Memang benar, toako. Menurut keterangan Bi Sian, gurunya itu memang sute dari Pek-sim Sian-su guru Sie Liong.”
Pendekar itu tertegun kagum, lalu menarik napas panjang.
“Sungguh hebat sekali! Engkau memiliki keluarga yang hebat, Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik untuk mengetahui riwayatmu dan keadaan keluargamu. Kalau boleh aku bertanya, kenapa suamimu meninggal dalam usia yang masih muda? Apakah karena penyakit?”
Sejenak Lan Hong menunduk dan berdiam diri. Bagaimana ia dapat menjawab? Sampai lama ia tak mengeluarkan suara.
“Maafkan aku banyak-banyak, Hong-moi, kalau pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak menyenangkan hatimu, maafkan dan engkau tidak perlu menjawabnya.” Di dalam suara itu terkandung keluhan.
Lan Hong mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu. Tidak, ia tidak perlu menyembunyikannya. Bahkan ia perlu menceritakan kepada pendekar itu, orang yang telah mendapat kepercayaannya, bahkan yang bersedia mengantar dan membantunya sampai ia dapat bertemu dengan adiknya atau puterinya. Ia merasa bahwa pendekar yang duduk bersila di depannya itu bukan orang lain lagi, ia sudah merasa demikian akrab, apalagi setelah bercakap-cakap malam ini, setelah mereka saling menyebut toako dan siauw-moi. Akhirnya Lan Hong menarik napas panjang.
“Akulah yang minta maaf, toako, karena aku tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan kepadamu. Suamiku itu.... tewas karena terbunuh orang.”
“Ahhh!” Lie Bouw Tek mangepalkan tinju, memandang dengan penasaran dan kasihan sekali. “Siapakah penjahat yang telah berani melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat itu berani melakukannya kalau di sana terdapat adik kandungmu dan puterimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?”
Lan Hong menggeleng kepalanya.
“Tidak diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako.”
“Aku akan menyelidikinya! Aku akan menangkap pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi! Lalu.... mengapa adikmu malah pergi, juga puterimu? Apakah mereka berdua itu sudah pergi ketika peristiwa itu terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan pembunuhan itu?”
Lan Hong menarik napas panjang. Karena Bouw Tek membantunya mencari adiknya dan puterinya, maka akhirnya ia tentu akan mengetahuinya, dan pendekar itu sudah terlibat dalam urusan keluarganya.
“Mereka berdua tahu, toako. Justeru karena pembunuhan itulah mereka pergi meninggalkan rumah. Bi Sian, puteriku itu, menuduh bahwa adikku Sie Liong yang membunuh ayahnya. Karena tuduhan ini, Sie Liong melarikan diri dan anakku itu melakukan pengejaran, mencari pamannya untuk dibunuh, untuk membalas dendam kematian ayahnya.”
“Ah.... ahh....!”
Bouw Tek kini tidak mampu bicara lagi. Terlalu berat peristiwa yang menimpa keluarga janda ini, pikirnya dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus berkata apalagi. Akhirnya dia hanya mengeluh,
“Hong-moi.... sungguh kasihan sekali engkau. Keluargamu hebat, akan tetapi juga tertimpa malapetaka yang hebat pula. Sungguh membuat aku merasa penasaran, Hong-moi. Adikmu demikian lihai, juga puterimu, akan tetapi suamimu dapat dibunuh orang, dan sekarang puterimu malah mengejar-ngejar pamannya yang dituduh melakukan pembunuhan itu. Sebetulnya bagaimana duduknya perkara, Hong-moi? Maukah engkau menceritakan kepadaku? Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat mungkin akan kubongkar rahasia itu yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut keterangan dua orang murid keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang pendekar budiman yang hebat, bagaimana mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?”
“Tadinya.... aku sendiri percaya bahwa dia yang membunuh suamiku, tapi.... tapi sekarang tidak lagi....”
“Lebih aneh lagi kalau begitu. Wahai, Hong-moi, ternyata dirimu dilingkari banyak rahasia sehingga membuat aku beberapa kali terheran-heran dan terkejut mendengar keteranganmu.”
Sudah kepalang basah, pikir Lan Hong. Ia harus menceritakan segalanya. Terserah kepada pendekar ini kalau nanti akan berubah pandangan terhadap dirinya. Ia tertarik kepada pendekar ini dan kalau ia menghendaki pergaulan yang jujur, iapun harus terbuka dan jujur.
Pendekar itu harus mengenal dirinya, mengenal riwayatnya dan ia tidak perlu menutupi rahasia, yang paling buruk sekalipun! Ia sudah nekat karena ia ingin dikenal benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaannya sehingga ia dapat melihat bagaimana nanti sikap pendekar itu terhadap dirinya. Berubahkah? Memandang rendahkah? Biarlah, ia akan menghadapi segala resikonya.
“Lie-toako, terus terang saja, riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru kepadamu seoranglah aku akan menceritakannya. Terserah kemudian bagaimana tanggapanmu. Riwayatku dimulai dengan terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh seorang musuh besar. Ayah kami bernama Sie Kian atau juga disebut Sie Kauwsu, seorang guru silat bayaran di kota Tiong-cin. Karena ayah kami suka menentang kejahatan, maka dia banyak dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang penjahat yang mendendam kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan ibu kami. Ketika itu aku berusia lima belas tahun dan adikku, Sie Liong, berusia sepuluh bulan.” Ia herhenti sebentar dan bergidik ketika membayangkan peristiwa itu.
Lie Bouw Tek yang sudah merasa kasihan mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh orang, kini memandang dengan terharu. Betepa buruk nasibnya, ketika remaja sudah kehilangan ayah bunda yang dibunuh orang.
“Sungguh keji penjahat itu!” komentarnya.
Sie Lan Hong tersenyum, senyum yang pahit sekali.
“Lebih dari pada keji, toako. Setelah membunuh ayah ibu kami, dia bahkan memaksaku untuk melayaninya dengan mengancam akan membunuh adikku yang berusia sepuluh bulan itu kalau aku menolak keinginannya yang kotor. Melihat adikku yang masih bayi itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku menyerah. toako, demi menyelamatkan adikku.”
Wajah yang jantan itu berubah menjadi kemerahan, matanya mengeluarkan sinar mencorong dan Bouw Tek mengepal tinju.
“Jahanam keparat! Kalau aku bertemu dengan jahanam itu, akan kuhancurkan kepalanya!”
Melihat kemarahan pendekar itu, kembali Lan Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit sekali.
“Sebaiknya kulanjutkan riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi meninggalkan kota kami, dan dia memaksa aku menjadi isterinya dengan ancaman yang sama, yaitu kalau aku menolak, Sie Liong akan disembelihnya. Aih, toako, kalau saja tidak ada adikku yang masih bayi terancam maut mengerikan, aku takkan takut menghadapi ancamannya, aku lebih suka mati daripada harus menyerah. Percayakah engkau, toako?”
“Aku percaya, aku percaya.... aih, si keparat!” kata Bouw Tek.
“Setelah aku menjadi isterinya, dia meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota Sung-jan, dan harus kuakui bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang. Akan tetapi diapun maklum bahwa kalau dia mengganggu adikku, tentu aku akan membunuh diri. Sampai akhirnya aku melahirkan Bi Sian, puteriku itu....”
“Hemm....”
Bouw Tek mengerutkan alisnya dan tidak lagi berani memberi komentar. Bagaimana dia dapat memaki laki-laki yang telah menjadi suami Lan Hong, bahkan menjadi ayah kandung puterinya? Keadaan menjadi semakin membingungkan dan ruwet, dan dia merasa semakin kasihan kepada wanita di depannya itu. Bahkan untuk menghapus makian-makiannya tadi, dia berkata lirih,
“Hemm, dia telah menjadi seorang suami dan ayah yang baik....”
Lan Hong menggeleng kepalanya.
“Nampaknya saja begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap seorang yang amat jahat. Dia selalu merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong, adikku itu, akan tahu tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap orang tua kami, dia takut kalau Sie Liong kelak membalas dendam. Maka, kalau dia mengajarkan silat kepada Bi Sian, dia melarang Sie Liong belajar silat. Dan baru sekarang aku dapat menduga bahwa Sie Liong menjadi cacat, menjadi bongkok, tentu karena perbuatan dia pula! Yang kuketahui ketika itu hanya bahwa Sie Liong jatuh sakit keras dan setelah sembuh dia menjadi bongkok.”
“Ahhh....! Hemmm....!”
Tadinya Bouw Tek ingin memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang akan dimaki itu suami wanita ini, dia tidak jadi dan hanya menggeleng-geleng kepalanya.
“Agaknya, Sie Liong menyadari bahwa dia dibenci kakak iparnya, maka ketika dia berusia dua belas atau tiga belas tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak lama setelah itu, puteri kami, Bi Sian, bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa pergi sebagai muridnya. Nah, setelah adikku dan puteriku pergi, berubahlah kembali watak suamiku itu, toako. Dia seolah-olah seekor harimau yang menanggalkan kedok dombanya. Dia menjadi kejam, kasar dan suka mulai mabok-mabokan dan melacur. Dia mulai suka memaki dan memukuli aku. Ahh.... kalau saja tidak ingat kepada puteriku, mungkin tak kuat aku menahan derita itu....”
Wanita itu berhenti dan menutupi mukanya, akan tetapi ia tidak menangis. Lie Bouw Tek memandang dengan tubuh diam tak bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana dan berkata apa.
Tak lama kemudian Lan Hong menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak pucat, akan tetapi ia tidak menangis. Ketika ia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam seperti patung, ia melanjutkan.
“Selama tujuh tahun aku menderita. Harta kamipun dihamburkan oleh suamiku itu dan akupun tidak berdaya. Aku seolah hanya hidup untuk menanti pulangnya anakku dan adikku. Dan pada suatu hari, setelah tujuh tahun lewat, muncullah Sie Liong yang telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.”
“Dan menjadi seorang pendekar yang sakti yang dijuluki Pendekar Bongkok?”
“Benar, dan melihat Sie Liong, suamiku menjadi marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi dengan mudah Sie Liong mengalahkannya tanpa melukainya. Sama sekali suamiku tidak berdaya melawan Sie Liong yang menjadi sakti itu.”
“Dan adikmu tidak tahu bahwa suamimu itu yang membunuh ayah ibu kalian?”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar