Ads

Senin, 20 Januari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 093

“Sie Liong, engkau telah berada di sini. Katakan apa yang kau kehendaki maka engkau datang ke tempat kami.”

Hemm, kakek ini demikian terus terang, maka diapun tidak perlu menyembunyikan lagi keperluannya. Sejenak dia memandang ke arah lima orang pendeta Lama yang duduk di sebelah kanan kakek itu, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab.

“Losuhu, sesungguhnya saya datang ke Tibet untuk bertemu dan bicara dengan Tibet Ngo-houw. Karena saya mendengar bahwa Tibet Ngo-houw berada di sini, maka saya memberanikan diri untuk datang berkunjung, tanpa bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai.”

Sambil berkata demikian, sepasang mata Sie Liong dengan tajam menatap kepada lima orang pendeta Lama yang dimaksudkannya itu. Namun, mereka berlima itu tetap duduk tak bergoyang seperti arca. Hanya mata mereka yang ditujukan kepadanya, seperti mata para pendeta lainnya, dan Sie Liong kini melihat betapa pandang mata itu sama sekali tidak bersahabat, bahkan nampak marah.

“Hemm, orang muda. Kalau engkau tidak bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai, kenapa engkau menghina orang kami yang sedang mengumpulkan sumbangan di Lasha?”

Kini suara kakek itu tidak lagi lembut, melainkan mengandung kemarahan dan lengkingan suara itu makin meninggi.

Sie Liong kini merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya dan dia mulai merasa menyesal telah datang ke situ, namun hal ini agaknya telah terlambat karena dia melihat gerakan banyak orang di luar dan ketika dia menengok, ternyata ruangan itu telah dikepung oleh banyak sekali orang di luar. Bukan hanya pendeta-pendeta Lama berjubah merah, akan tetapi ada pula yang bukan pendeta Lama, dan jumlah mereka itu tentu mendekati lima puluh sampai seratus orang!

Namun, dia tetap bersikap tenang.
“Losuhu, saya sama sekali tidak pernah menghina siapapun juga, apalagi menghina orang Kim-sim-pai yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya. Peristiwa di rumah makan itu adalah karena saya tertekan dan saya hanya membela diri, juga saya terpaksa mencegah pengumpulan sumbangan yang dilakukan dengan paksaan. Bukan hanya Kim-sim-pai, biar dari manapun, kalau saya melihat orang minta sumbangan secara paksa, sudah menjadi kewajiban saya untuk mencegahnya. Saya tidak bermaksud menghina Kim-sim-pai, dan harap para losuhu suka maafkan saya. Saya hanya ingin berurusan dengan Tibet Ngo-houw, tidak bermaksud berurusan dengan Kim-sim-pai. Tibet Ngo-houw, harap kalian cukup gagah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian di Kun-lun-san tujuh delapan tahun yang lalu!”

Karena tahu bahwa ancaman bahaya terhadap dirinya datangnya dari Kim-sim-pai, maka Sie Liong sengaja menujukan tantangannya kepada Tibet Ngo-houw saja.

Tiba-tiba terdapat gerakan pada lima orang pendeta Lama itu yang sejak tadi diam seperti arca.

“Omitohud, dia itu anak bongkok yang dahulu menggagalkan desakan kita terhadap Himalaya Sam Lojin!”

Tiba-tiba seorang diantara mereka berlima yang bermata satu berseru. Dia adalah Thay Hok Lama, orang ke empat dari Lima Harimau Tibet Itu. Mendengar seruannya ini, empat orang saudaranya juga teringat dan mereka semua merasa heran. Anak bongkok itu kini berani datang dan bersikap demikian tenang dan gagah!

“Benar sekali, Tibet Ngo-houw. Aku adalah anak bongkok yang dulu itu dan kini aku datang mencari kalian sebagai utusan dari Himalaya dan kini berada di Kun-lun-san. Sudah tiba saatnya kalian berlima mempertanggung jawabkan perbuatan kalian dahulu itu dan menjelaskan kepadaku apa yang menjadi sebab maka kalian memusuhi mereka yang sama sekali tidak berdosa.”

“Omitohud.... betapa lancang dan sombongnya anak ini!”

Tiba-tiba seorang di ntara para pendeta yang hadir di situ berseru. Dia bukan seorang diantara Lima Harimau Tibet, melainkan seorang pendeta Lama Jubah Merah yang tubuhnya pendek kecil seperti kanak-kanak berusia belasan tahun. Akan tetapi melihat wajahnya, tentu usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Kim Sim Lama.

“Susiok (paman guru), perkenankan teecu (murid) menghajar bocah lancang yang sama sekali tidak menghormati kita ini. Bocah ini tidak pantas dilayani oleh para suheng berlima!”






Kakek tua renta itu mengangguk. Juga Tibet Ngo-houw diam saja karena merekapun merasa malu kalau harus melayani seorang pemuda yang bongkok pula. Akan menurunkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim-sim-pai!

Pendeta Lama yang bertubuh pendek kecil itu bernama Ki Tok Lama dan diapun merupakan seorang diantara “dua belas besar” yang menjadi para pembantu utama Kim Sim Lama. Sebagai seorang diantara para pembantu utama, tentu saja dia memiliki tingkat ilmu kepandaian yang cukup hebat.

Dua belas orang pembantu utama itu masih terhitung murid-murid keponakan Kim Sim Lama sendiri, demikian pula Tibet Ngo-houw juga merupakan murid keponakannya, sehingga tingkat kepandaian mereka satu dengan yang lain tidak banyak berselisih. Hanya Tibet Ngo-houw sudah memiliki nama besar dan mereka berlima itu sudah biasa bertindak sebagai kelompok yang bekerja sama, maka merekalah yang menjadi pembantu-pembantu utama. Maka kedudukan mereka berlima itu agak leblh tinggi dibandingkan para pembantu lainnya.

Ketika Ki Tok Lama sudah berdiri di depan Sie Liong, pemuda ini maklum bahwa keadaannya sungguh tidak menguntungkan baginya. Dia bukan seorang pemuda yang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah terjebak, memasuki guha harimau yang amat berbahaya. Bagaimana mungkin dia yang seorang diri dapat menandingi lawan yang demikian banyaknya! Akan tetapi, untuk mundurpun tidak mungkin. Tempat itu telah terkepung. Jalan keluar telah buntu dan kalau dia nekat melarikan diri, tentu akan dikepung dan dikeroyok.

“Sie Liong!” Ki Tok Lama membentak, “Engkau masih bocah ingusan sudah berani memakai julukan pendekar, dan engkau berani menghina para suhengku Tibet Ngo-houw! Hemm, coba keluarkan semua ilmu kepandaianmu, hendak pinceng (saya) lihat apakah sepak terjangmu juga sehebat suara dan sikapmu. Majulah!”

Setelah berkata demikian, pendeta Lama yang bertubuh katai ini memasang kuda-kuda yang aneh. Kedua kakinya berdiri di ujung jari seperti berjingkat, tangan kanan miring di depan dada, sedangkan tangan kiri berada di balik punggung dengan bentuk cakar.

Melihat ini, diam-diam Sie Liong dapat menduga akan keadaan batin orang ini. Dengan berjingkat dia ingin mengangkat diri lebih tinggi sesuai dengan watak seorang yang masih dikuasai nafsu-nafsunya. Nampak dari depan, tangan kanannya seperti sikap seorang yang beribadat, yang menaruh tangan berdiri lurus di depan dada, akan tetapi diam-diam, tangan yang lain bersembunyi di punggung dalam bentuk cakar.

Ini menandakan bahwa dia seorang munafik, yang pura-pura alim akan tetapi sesungguhnya batinnya masih bergelimang nafsu sehingga siap untuk melakukan kekerasan. Tentu saja bukan demikian maksud Ki Tok Lama, hanya gerakannya itu mungkin saja tanpa disadarinya menggambarkan keadaan batinnya.

Sie Liong memberi hormat dan berkata dengan sikap tenang dan suara lembut.
“Losuhu, maatkan saya. Kedatangan saya ini untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw, bukan untuk bertanding dengan siapapun juga. Sudah saya katakan bahwa saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Kim-sim-pai....”

“Pengecut! Engkau sudah masuk ke sini dan bersikap sombong dan sekarang engkau tidak berani menyambut tantangan pinceng?”

“Bukan tidak berani, melainkan karena saya tidak melihat adanya suatu alasan apapun untuk menyambut tantangan ini.”

“Ada alasan atau tidak, mau atau tidak, engkau harus menerima seranganku ini. Nah, sambutlah!”

Ki Tok Lama tidak memperdulikan semua alasan Sie Liong dan tubuhnya sudah bergerak dan dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh itu sudah meluncur ke depan dan tangan kirinya yang membentuk cakar tadi, dari belakang telah melayang dari atas ke depan, dan karena tubuhnya tadi meloncat tinggi, maka tangan itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong!

“Hyaaaaattt....!” Dia mengeluarkan pekik melengking.

Diserang seperti itu, tentu saja Sie Liong tidak mungkin dapat tinggal diam. Serangan itu merupakan serangan maut dan diapun terkejut melihat betapa cepatnya gerakan lawan. Tahulah dia bahwa lawannya yang cebol itu memiliki gin-kang yang tinggi.

Namun, masih belum terlalu cepat gerakan itu baginya. Dengan mudah diapun menggeser tubuh ke kiri dan terkaman itu luput. Ki Tok Lama menjadi semakin marah. Begitu tubuh turun, dia sudah membalik dan kembali dia sudah menyerang, kini lebih dahsyat, dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri.

Sekali lagi Sie Liong mengelak dengan loncatan mundur.
“Losuhu, aku tidak ingin bertanding denganmu!” katanya masih lembut, akan tetapi tidak begitu hormat lagi.

Ki Tok Lama tidak perduli. Dua kali serangannya dengan jurus pilihan gagal. Hal ini saja sudah membuat dia merasa malu dan menganggap bahwa pemuda itu menghinanya.

“Haiiiiiitttt....!”

Dia menyerang lagi, kini dengan pukulan-pukulan yang bertubi dan tubuhnya yang ringkas itu bergerak-gerak bagaikan seekor tupai melompat-lompat dan setiap kali serangannya luput, sudah disusulkannya serangan berikutnya.

“Losuhu, sekali lagi, aku tidak ingin berkelahi denganmu!”

Sie Liong berkata, suaranya semakin keras. Namun jawabannya adalah serangan yang lebih ganas. Sie Liong merasa serba salah. Kalau dia tidak melayani, tentu orang ini akan terus menyerangnya dan tak mungkin dia hanya selalu mengelak. Kalau dia membalas, berarti dia sudah terpancing dan melibatkan diri dalam permusuhan, padahal dia berada di dalam sarang Kim-sim-pai!

“Engkau sungguh memaksaku!”

Katanya dan ketika kedua lengan lawan menghantam dengan pengerahan sin-kang, dia pun menyambut dari samping, menangkis untuk membuktikan kepada lawan bahwa kalau dia mau, tidak begitu sukar baginya untuk mengalahkan si cebol itu.

“Dukk!”

Sie Liong membatasi tenaganya, tidak mempergunakan seluruh tenaga, akan tetapi akibatnya tubuh si cebol terpelanting dan dia terhuyung-huyung hampir roboh terbanting.

Si cebol mengeluarkan teriakan melengking nyaring karena marahnya dan ketika dia melompat ke depan, dia telah memegang sepasang pedang, yaitu senjatanya yang selalu disembunyikan di balik jubah merahnya yang lebar.

“Hemm, losuhu, bagaimana seorang pendeta mau memegang sepasang senjata tajam?”

Sie Liong memperingatkan. Sesungguhnya, merupakan pantangan bagi seorang pendeta untuk menggunakan senjata untuk membunuh, apalagi memegang senjata pedang untuk menyerang lawan tidak bersenjata!

Agaknya Ki Tok Lama masih mengingat akan kedudukannya dan dia merasa sungkan juga.

“Jangan banyak mulut, cepat kau keluarkan senjatamu. Mari kita bertanding dengan menggunakan senjata!” tantangnya.

“Losuhu, aku tidak pernah memegang senjata!” kata Sie Liong dengan harapan agar lawannya itu merasa malu dan mundur. “Sebaiknya kita hentikan saja ribut-ribut yang tiada gunanya ini dan membiarkan aku untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw.”

“Tidak! Kau kalahkan dulu sepasang pedangku, baru engkau boleh bicara dengan kelima orang suheng Tibet Ngo-houw!” si cebol berkeras.

Sie Liong menarik napas panjang. Ketika dia memandang kepada para pimpinan Kim-sim-pai, mereka itu diam tak bergerak seperti arca. Dia melihat sebuah rak senjata di sudut, dan dengan perlahan dia menghampiri rak itu, mengambil sebatang tombak bergagang kayu dan mematahkan mata tombaknya. Gagang tombaknya saja yang berada di tangannya dan diapun berkata,

“Baiklah, kalau engkau memaksa, losuhu, biar aku meminjam gagang tombak ini saja, agar tidak sampai melukaimu dengan senjata yang tajam atau runcing.”

Sie Liong mempergunakan senjata itu bukan karena takut menghadapi sepasang pedang lawan, melainkan untuk berjaga diri. Kalau sampai terpaksa dia didesak dan dikeroyok, dia harus memiliki senjata untuk melindungi dirinya dan tidak ada senjata di dunia ini yang lebih baik baginya dari pada sebatang tongkat!

Jawaban Sie Liong itu membuat wajah Ki Tok Lama menjadi semakin merah karena jelas memandang rendah kepadanya.

“Lihat pedang!” bentaknya untuk berlagak bahwa dia tidak menyerang lawan tanpa peringatan lebih dahulu.




Pendekar Bongkok Jilid 092
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar