Ads

Senin, 20 Januari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 094

Dua gulungan sinar berkelebat ketika sepasang pedang di tangannya digerakkan secara cepat dan kuat sekali. Namun, dengan tenang Sie Liong bergerak mundur dan mengelak dari dua kali sambaran kilat dari sepasang pedang lawan. Tongkat di tangannya tidak tinggal diam dan ujung tongkat itu diputarnya sedemikian rupa sehingga ujungnya seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Dan ujung-ujung tongkat ini sekarang menyambar-nyambar ke arah jalan darah di seluruh tubuh Ki Tok Lama! Pendeta Lama itu terkejut bukan main dan terpaksa dia memutar sepasang pedangnya untuk melindungi diri dari serangan banyak ujung tongkat itu!

Akan tetapi, diantara ujung-ujung tongkat itu yang tentu saja sesungguhnya hanya memiliki dua ujung saja namun karena tongkat itu bergerak dengan menggetar, maka ujungnya nampak menjadi banyak, kini ada yang menyerang ke arah pergelangan lengan lawan yang memegang pedang, sementara ada ujung-ujung lain yang masih mengancam jalan darah tubuh Ki Tok Lama.

Tentu saja pendeta ini menjadi semakin kaget dan bingung. Dia lebih condong melindungi tubuh yang akan tertotok, maka tak dapat dihindarkan lagi, kedua pergelangan tangannya tertumbuk ujung tongkat secara aneh sekali dan kedua tangan itu tiba-tiba terasa lumpuh dan sepasang pedangnyapun terlepas dari tangannya.

Akan tetapi Sie Liong menghentikan gerakan tongkatnya, berdiri tegak di depan Ki Tok Lama dan berkata,

“Losuhu, silakan mengambil kembali sepasang pedangmu.”

Dengan muka agak pucat dan mata terbelalak penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ki Tok Lama bergerak cepat, menyambar sepasang pedang itu dari atas lantai, kemudian memutar sepasang pedangnya, siap untuk melakukan penyerangan yang lebih dahsyat dan nekat lagi.

“Tahan senjata!” tiba-tiba Kim Sim Lama berseru. “Ki Tok Lama, kau mundurlah!”

Ki Tok Lama hanya memandang melotot ke arah Sie Liong sejenak, akan tetapi dia tidak berani membantah perintah susioknya dan diapun mundur sambil menyimpan kembali sepasang pedangnya di balik jubah merah.

Kiranya ketika Sie Liong mulai melayani Ki Tok Lama tadi, Kim Sim Lama yang memandang penuh perhatian, menjadi kagum dan tertarik. Dia berbisik-bisik kepada Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Setelah memerintahkan Ki Tok La-ma untuk mundur, Kim Sim Lama lalu diam saja dan menyerahkan kepada Thay Ku Lama untuk menghadapi Sie Liong seperti yang mereka bisikkan tadi.

Thay Ku Lama bangkit dari bangkunya, lalu menghampiri Sie Liong yang sudah siap siaga karena kini yang maju adalah orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Thay Ku Lama yang bertubuh besar dengan perut gendut itu menarik napas panjang.

“Omitohud, sekarang pinceng ingat. Memang engkau adalah bocah yang dahulu itu, dan agaknya engkau telah menjadi murid para tosu pelarian itu. Bukankah ilmu tongkatmu tadi adalah Thian-te Sin-tung yang amat hebat dari Pek Sim Sian-su?”

Sie Liong terkejut. Sungguh tajam pandang mata Thai Ku Lama ini, dan pengetahuannya tentang ilmu silat amat luas. Hal itu saja membuktikan bahwa lima orang Harimau Tibet ini memang tidak boleh dipandang ringan.

“Sesungguhnya, losuhu, aku pernah menerima bimbingan dari suhu Pek Sim Sian-su,” jawabnya jujur.

“Hemm, begitukah? Nah, sekarang katakan, apa keperluanmu mencari kami Tibet Ngo-houw? Katakan saja terus terang karena yang hadir di sini bukanlah orang-orang lain bagi kami.”

Sie Liong memandang ke arah lima orang itu bergantian, kemudian dia berkata dengan suara lantang.

“Tibet Ngo-houw, dengarlah baik-baik. Aku mewakili para locianpwe dan para pertapa yang selama ini kalian kejar-kejar, untuk bertanya kepada kalian, apa sesungguhnya yang mendorong kalian berlima untuk memusuhi mereka! Jawablah sejujurnya, benarkah kalian menjadi utusan Dalai Lama untuk membasmi para tosu dan pertapa asal Himalaya?”

Thay Ku Lama tertawa bergelak, perutnya yang gendut itu terguncang dan diantara suara ketawanya itu terdengar bunyi berkokok dari dalam perutnya, seperti suara katak besar.






Pendeta Lama ini memang memiliki ilmu yang amat hebat, yang disebut Hek-in Tai-hong-ciang, suatu pukulan yang didorong oleh tenaga dari perut yang kalau dia pergunakan, selain dari perutnya keluar bunyi berkokok nyaring dan kedua kakinya ditekuk dalam-dalam seperti berjongkok, juga telapak tangannya itu mengeluarkan uap hitam.

“Ha-ha-ha-ha-ha, tentu saja Dalai Lama yang mengutus kami untuk membasmi para pertapa Himalaya yang dianggap pemberontak!”

“Pemberontakan apakah yang telah dilakukan oleh para locianpwe, para pertapa terhadap Dalai Lama?” Sie Liong mengeluarkan pertanyaan yang pernah diperbincangkan para gurunya itu.

“Hemm, para tosu itu pernah membunuhi beberapa orang pendeta Lama, hal itu berarti pemberontakan!” kata pula Thay Ku Lama dengan sikap acuh.

“Nanti dulu, losuhu. Pernah aku mendengar bahwa mendiang locianpwe Pek Thian Siansu, seorang pertapa Himalaya, membela penduduk yang diserbu para pendeta Lama. Terjadi perkelahian antara Pek Thian Siansu dan para pendeta Lama dan ada beberapa orang pendeta Lama yang tewas. Itukah yang menjadi sebab maka para pendeta Lama lalu memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya?”

Sie Liong pernah mendengar cerita tiga orang gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin tentang guru mereka itu.

“Ha, kiranya engkau sudah tahu? Nah, kenapa bertanya lagi? Para tosu itu mencampuri urusan kami para pendeta Lama, itulah maka mereka dianggap pemberontak.”

“Akan tetapi, losuhu. Bukankah mendiang Pek Thian Siansu membela penduduk dusun yang mempertahankan seorang anak laki-laki yang hendak diculik oleh para para pendeta Lama itu? Dan anak itu yang kemudian menjadi Dalai Lama! Bagaimana mungkin Dalai Lama itu malah mengutus losuhu berlima untuk memusuhi para pertapa Himalaya? Padahal, para pertapa itu dahulu bahkan pernah membelanya! Dan juga, kalau suhu berlima menjadi utusan Dalai Lama, bagaimana pula ngo-wi (anda berlima) sekarang berada di sini dan kudengar malah memusuhi Dalai Lama?”

Mendengar ucapan Sie Liong itu, Tibet Ngo-houw saling pandang dan They Ku Lama sendiri mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. Tak disangkanya bahwa pemuda bongkok itu agaknya telah mengerti akan segala rahasia mereka!

Akan tetapi Kim Sim Lama yang sejak tadi mendengarkan saja, tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa.

“Ha-ha-ha! Omitohud.... Sie Taihiap agaknya mengetahui ekornya. Baiklah, pinceng yang akan memberi penjelasan kepadamu. Memang, dahulunya Tibet Ngo-houw ini, para murid keponakanku, hanya mentaati perintah Dalai Lama saja. Pinceng sudah mencoba untuk mencegahnya karena ketika itu pinceng masih menjadi wakil Dalai Lama. Akan tetapi, memang dia telah tersesat dan lalim itulah maka kami semua meninggalkan Dalai Lama dan berdiri sendiri di sini, dan kami memang bermaksud untuk menggulingkan penguasa yang lalim itu!

Itulah sebabnya maka kini Tibet Ngo-houw berada di sini membantu Kim-sim-pai dan kami mempersilakan engkau untuk bekerja sama dengan kami, Sie Taihiap. Kami menentang Dalai Lama karena dia seorang pemimpin lalim, sedangkan engkau membantu kami untuk membalaskan dendam para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah melepas budi kepada Dalai Lama akan tetapi malah dibalas dengan pengejaran dan pembunuhan! Dan masih banyak pula pihak-pihak yang memusuhi Dalai Lama. Gerakan kita pasti akan berhasil, Sie Taihiap!”

Sejak tadi Sie Liong mendengarkan saja, dan alisnya mulai berkerut. Tentu saja dia tidak dapat menerima dan percaya semua yang dikatakan pendeta ketua itu. Jelas bahwa Kim Sim Lama sedang memberontak terhadap Dalai Lama, maka tentu saja dia memburuk-burukkan nama Dalai Lama! Dia tidak mau percaya begitu saja, pula dia tidak ingin melibatkan diri dalam pemberontakan dan pertikaian di Tibet yang bukan negaranya.

“Terima kasih, losuhu. Akan tetapi tugas saya hanya bertanya kepada Tibet Ngo-houw mengapa dia dahulu memusuhi para pertapa pelarian dari Himalaya. Sekarang, setelah mereka menjawab bahwa mereka hanya utusan dari Dalai Lama, biarlah saya akan menghadap Dalai Lama sendiri untuk bertanya, mengapa beliau membalas budi kebaikan para tosu itu dengan pengejaran dan penumpasan. Selamat tinggal, para losuhu, saya hendak pergi sekarang.”

Akan tetapi, agaknya telah ada isyarat dari Kim Sim Lama, begitu dia malangkah ke arah pintu ruangan luas itu, di ambang pintu telah berdiri banyak pendeta Lama dengan berbagai macam senjata di tangan, menutup lubang pintu itu dengan sikap mengancam.

Ketika dia melirik ke arah jendela-jendela di sekeliling ruangan, di sanapun sudah tertutup oleh tubuh banyak pendeta Lama yang berjaga-jaga dan jelas mereka semua itu tidak akan memberi jalan keluar padanya.

“Nanti dulu, orang muda!” Tiba-tiba Kim Sim Lama berseru, suaranya tidak begitu ramah lagi walaupun masih lembut.

Sie Liong menatap tajam wajah pemimpin Kim-sim-pai itu.
“Ada apalagi, losuhu?”

“Orang muda, engkau datang ke sini tanpa kami undang, dan kami telah bersikap terus terang, menceritakan segala rahasia kami kepadamu. Oleh karena itu, kalau engkau mau bekerja sama dengan kami untuk menentang Dalai Lama, hal itu sudah sepatutnya. Akan tetapi, kalau engkau menolak dan hendak pergi begitu saja, membawa semua rahasia kami, sudah tentu kami merasa keberatan!”

Sie Liong maklum bahwa saatnya sudah tiba. Kim Sim Lama sudah membuka kartunya. Tadi dia sudah merasa khawatir bahwa dia telah terperangkap, dan inilah buktinya. Dia dipaksa untuk bekerja sama atau dia tidak diperkenankan pergi meninggalkan tempat itu!

“Losuhu, saya tidak ingin terlibat dalam pemberontakan! Tibet bukan negaraku dan saya tidak mempunyai urusan dalam pemberontakan. Saya hanya melaksanakan tugas untuk menyelidiki mengapa para pertapa di Himalaya dimusuhi oleh Dalai Lama.”

“Sie Liong!” Kim Sim Lama membentak, kini terdengar marah. “Dengar baik-baik, pinceng pernah menjadi wakil Dalai Lama, merupakan orang ke dua sesudah Dalai Lama yang berkuasa di negeri ini! Dan sekarang pinceng adalah calon Dalai Lama atau pemilik Dalai Lama yang baru! Sekali aku memerintahkan, engkau akan mati!”

“Losuhu, mati hidup bukan di tangan siapapun, melainkan di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa! Kalau Tuhan sudah menghendaki aku harus mati, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang akan mampu mencegahnya, sebaliknya, kalau Tuhan menghendaki aku hidup, tidak ada kekuasaan pula yang akan mampu membunuhku. Mati hidup di tangan Tuhan, akan tetapi baik buruknya langkah hidup berada di tangan kita masing-masing. Oleh karena itu, aku tetap akan melangkah melalui jalan kebenaran dan aku menyerahkan jiwa ragaku kepada Tuhan. Aku tetap menolak untuk menjadi kaki tangan pemberontak, apapun yang akan menjadi akibatnya!”

Semua pendeta Lama yang berada di situ, diam-diam merasa kagum. Bahkan Kim Sim Lama juga merasa kagum. Pemuda ini, biarpun bongkok, ternyata jiwanya tidak bongkok dan semangatnya tegak lurus. Akan tetapi, betapapun kagum hatinya, dia tidak rela membiarkan Sie Liong pergi karena tentu semua rahasia akan ketahuan dan mereka terancam bahaya serbuan Dalai Lama sebelum mereka kuat benar.

“Sie Liong, engkau masih muda akan tetapi selain memiliki ketabahan besar, juga kesombongan yang agak berlebihan. Agaknya engkau terlalu mengandalkan ilmu kepandaianmu sendiri sehingga merasa bahwa di kolong langit ini tidak ada orang yang akan mampu mengalahkanmu. Nah, ingin sekali pinceng melihat sampai berapa hebat kepandaianmu maka engkau berani menentang kami! They Ku Lama, pinceng ingin melihat seorang diantara kalian mengujinya!” kata Kim Sim Lama.

Biasanya, kalau menghadapi lawan berat, Tibet Ngo-houw tentu maju berlima. Akan tetapi kini yang mereka hadapi hanya seorang pemuda bongkok, betapapun lihainya, kalau mereka maju berlima mengeroyok seorang pemuda bongkok, hal ini tentu saja amat merendahkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim Sim Lama! Bahkan Thay Ku Lama sendiripun merasa sungkan kalau harus bertanding melawan pemuda bongkok itu, maka dia memberi isyarat kepada Thay Bo Lama, saudara termuda diantara mereka berlima, untuk maju menandingi Sie Liong.

Thay Bo Lama bertubuh kurus kering dan wataknya memang keras dan berangasan. Begitu menerima isyarat dari suhengnya, dia sudah melompat ke depan menghadapi Sie Liong. Tangan kirinya sudah memegang sebatang tombak karena tadi dia sudah menyambar tombaknya yang dia letakkan di atas lantai di bawah meja. Kini, dengan tombak berdiri di sebelah kirinya, tangan kanannya bergerak ke depan, telunjuknya menuding ke arah muka Sie Liong.

“Orang muda sombong! Ketika masih kecil dahulu engkau sudah mengganggu kami, sekarang setelah dewasa, engkau masih datang mengganggu. Agaknya memang sudah dikehendaki Tuhan bahwa engkau akan mati di tanganku! Nah, engkau majulah, perlihatkan kepandaianmu kepada Thay Bo Lama!”

Sie Liong bersikap tenang. Dia sudah siap sedia menghadapi ancaman yang paling hebat karena dia maklum bahwa hanya dengan pertolongan Tuhan saja dia akan dapat lolos dari tempat ini, lolos dari ancaman bahaya maut.




Pendekar Bongkok Jilid 093
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar