“Sie Liong, bocah sombong! Hendak kami lihat apakah engkau mampu menandingi barisan kami!”
Teriak Thay Ku Lama dan “barisan” lima orang ini mulai bergerak, melenggang-lenggok dan seperti ular berjalan mengelilingi Sie Liong! Thay Ku Lama berada paling depan sebagai kepala dan Thay Si Lama paling belakang sebagai ekor.
Melihat lima orang pendeta Lama ini berjalan beriringan sambil bergandeng tangan seperti itu, sungguh merupakan penglihatan yang aneh dan lucu, seperti melihat lima orang anak kecil bermain-main saja.
Akan tetapi Sie Liong sama sekali tidak menganggap demikian. Dia tetap waspada, melintangkan tongkatnya di depan dada dan pandang matanya, juga pandengaran telinganya, tak pernah melepaskan gerakan lima orang lawan itu.
Ketika lima orang itu mengelilinginya, dia tidak ikut memutar-mutar tubuh, hanya lenernya saja bergerak perlahan mengikuti mereka dan setelah mereka tiba di belakang tubuhnya, diapun memutar leher dari arah lain dan mengikuti gerakan mereka lagi hanya dengan menggerakkan leher. Tak pernah dia menggeser kaki yang selalu siap bergerak dengan sikap bertahan dan menjaga diri.
Pancingan pertama ini saja sudah tidak berhasil. Tadinya, Siang-thouw Coa-tin (Barisan Ular Kepala Dua) ini mengelilingi lawan memancing agar lawan ikut pula berputar. Kalau lawan melakukan ini, mereka akan berlari cepat mengelilinginya, memaksa lawan berputar demikian cepat dan dengan mengubah-ubah arah, berbalik-balik, maka lawan yang berputaran di dalam lingkaran mereka tentu akan menjadi bingung dan juga pening sehingga kedudukannya menjadi lemah.
Namun, Pendekar Bongkok itu tidak mau memutar tubuh, hanya mengikuti gerakan mereka dengan leher saja. Kalau dilanjutkan seperti itu, bukan Pendekar Bongkok yang menjadi bingung, pening dan lelah, melainkan mereka sendiri.
Gerakan Siang-thouw Coa-tin itu kini berubah, mereka masih mengitari Sie Liong akan tetapi berganti arah, yang tadinya ekor menjadi kepala dan kepala menjadi ekor. Berubah lagi beberapa kali, kemudian, atas isyarat Thay Ku Lama yang melihat pemuda itu tidak terpancing dan tenang saja, Thay Si Lama melakukan penyerangan pertama. Tangan kirinya bergandeng dengan tangan Thay Pek Lama, kini dia mempergunakan tangan kanan untuk menghantam ke arah kepala Sie Liong.
“Wuuuuuuttt....!”
Sie Liong cepat mengelak karena dia merasa betapa pukulan itu mengandung angin pukulan yang amat dahsyat. Ketika pukulan itu melewati atas kepalanya, tiba-tiba barisan itu membalik dan kini “ekornya”, yaitu Thay Ku Lama sudah berganti kedudukan menjadi kepala dan tangan kiri orang pertama dari Tibet Ngo-houw ini sudah mencengkeram ke arah dada Sie Liong! Cepat dan tidak terduga sekali gerakan ini sehingga Sie Liong terkejut. Dia cepat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik.
“Brettt....!”
Ujung baju di dada Sie Liong tersentuh cengkeraman tangan kiri Thay Ku Lama dan terbukalah lubang di baju bagian dada itu, dan bekas robekan menjadi hangus!
Sambil melompat menjauhi, Sie Liong yakin bahwa dugaannya benar. Lima orang itu menyatukan tenaga sin-kang dan dia seolah menghadapi seorang lawan yang memiliki kekuatan sin-kang yang amat hebat. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berpikir banyak karena pada saat itu, Siang-thouw Coa-tin telah bergerak lagi dan dengan dahsyat dan cepatnya, juga dengan cara yang aneh dan tidak dapat diduga sebelumnya, menyerangnya dengan hantaman-hantaman tangan yang mengandung sin-kang amat kuat.
Sukar diduga siapa yang akan menyerangnya, Thay Ku Lama ataukah Thay Si Lama. Namun, Sie Liong sudah cepat mempergunakan langkah-langkah ajaib yang pernah dilatihnya dari Pek Sim Sian-su. Langkah-langkah yang menjadi dasar dari Thian-te Sin-tung dan yang membuat tubuhnya berkelebatan bagaikan bayang-bayang saja dan biarpun dia terdesak hebat, namun sampai belasan jurus lamanya, belum pernah ada pukulan lawan yang mampu menyerempetnya lagi.
Setelah dua puluh jurus dia selalu mengelak sambil memperhatikan gerakan barisan lima orang itu, akhirnya diapun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan Ular Kepala Dua adalah karena dua orang yang berada di kedua ujung itulah yang menyerangnya secara bergantian, dan mereka itulah kepala dan ekor, akan tetapi ekor dapat pula menjadi kepala dan sebaliknya.
Justeru perubahan tiba-tiba inilah yang membingungkan lawan. Dan diapun melihat betapa tiga orang pendeta Lama lainnya yang menjadi penghubung dan penyalur tenaga sin-kang yang disatukan, tidak dapat banyak berbuat sebagai penyerang karena kedua tangan mereka saling gandeng. Hanya kadang-kadang saja tiga orang ini membantu dengan tendangan kaki, akan tetapi karena tubuh mereka tidak bebas, dengan kedua tangan saling bergandengan itu mereka seperti terikat oleh barisan, maka tendangan mereka itu pun tldak banyak artinya bagi Sie Liong. Dan pemuda yang cerdik inipun menemukan suatu kenyataan yang memberi harapan, yaitu bahwa di bagian “tubuh” atau tengah yang dimainkan tiga orang inilah bagian barisan itu yang paling lemah!
“Yaaaaattt....!”
Thay Ku Lama sudah menyerang lagi dengan hantaman telapak tangan terbuka ke arah dada Sie Liong ketika pemuda itu membalik dari elakan serangan sebelumnya. Bukan main kerasnya angin pukulan itu. Sie Liong yang sudah membuat perhitungan matang, lalu menggerakkan kedua tangan pula untuk menyambut pukulan itu dari jarak dua meter.
Dia tentu saja tidak berani menyambut langsung, maklum betapa hebatnya tenaga gin-kang yang mendorong pukulan itu. Akan tetapi dalam jarak dua meter, dia berani mengambil resiko karena tidak terlalu berbahaya. Dia juga mengerahkan sin-kang yang lemas, tidak mau mengadu keras lawan keras karena tenaga sin-kang jelas jauh kalau dibandingkan tenaga lawan yang disatukan itu, jauh kalah.
“Desss....!”
Dua pasang tangan itu tidak sampai bertemu, tidak saling sentuh, akan tetapi tenaga sin-kang yang menyambar sebagai kekuatan dahsyat itu telah saling bertemu dan bertumbuk di udara. Akibatnya hebat bukan main. Sie Liong merasa seperti didorong oleh angin taufan dan diapun terlempar! Namun, dia sudah memperhitungkan sehingga dia membiarkan dirinya terjatuh ke atas tanah lalu dia bergulingan. Dengan cepat tubuhnya berguling-guling ke sana-sini sehingga mematahkan tenaga luncuran sambil memperhatikan keadaan barisan lawan.
Seperti yang diduganya, lima orang Tibet Ngo-houw itu mengira bahwa dia tentu terluka, dan mereka itu sudah datang menghampiri dengan cepat, dengan gerakan lenggak-lenggpk seperti seekor ular.
Tiba-tiba Sie Liong yang bergulingan itu tubuhnya menyambut dan setelah cukup dekat, dia meloncat dan mengeluarkan suara melengking nyaring, tongkatnya bergerak-gerak sehingga ujungnya menjadi banyak dan diseranglah tiga orang yang berada di tengah-tengah!
Serangan yang tiba-tiba ini membuat Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang berada di tengah-tengah terkejut bukan main. Juga Thay Ku Lama dan Thay Si Lama yang menjadi kepala dan ekor barisan itu terkejut.
Mereka tadi salah perhitungan. Mereka mengira bahwa Sie Liong terluka. Sungguh tak mereka sangka kini pemuda itu bahkan menyerang dengan hebat ke arah bagian barisan yang lemah. Tiga orang sute mereka itu hanya mampu membantu dengan penyaluran tenaga, sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak karena mereka itu seperti terkait dan terjepit! Padahal, serangan tongkat di tangan pemuda bongkok itu dahsyat bukan main karena dia memainkan jurus-jurus Thian-te Sin-tung!
“Lepaskan ikatan!” bentak Thay Ku Lama yang melihat betapa tiga orang sutenya terancam bahaya maut oleh tongkat kayu yang digerakkan secara lihai sekali itu.
Terlepaslah tangan mereka yang bergandengan dan kini tiga orang pendeta Lama yang diserang itu dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk membela diri. Merekapun segera bargerak, ada yang mengelak dan ada yang menangkis.
Namun, gerakan mereka malepaskan diri dari ikatan barisan tadi terlambat sedikit dan akibatnya, Thay Pek Lama terjengkang dengan pundak tertotok ujung tongkat, Thay Hok Lama juga terpelanting karena kakinya menjadi lumpuh sebelah ketika ujung tongkat singgah di lutut kirinya, sedangkan Thay Bo Lama terhuyung ke belakang, dadanya kena didorong tangan kiri Sie Liong sehingga terasa napasnya sesak dan dadanya nyeri.
Masih untung bagi tiga orang pendeta Lama itu bahwa Sie Liong hanya berniat menghancurkan Siang-thouw Coa-tin itu saja, tidak berniat membunuh sehingga baik tongkat maupun tangan kirinya menyerang dengan tenaga yang terbatas. Bagaimanapun juga, jelas bahwa barisan itu dapat dia pecahkan dan kini lima orang pendeta Lama itu berdiri dengan muka berubah merah karena malu dan marah.
Tiga orang pendata Lama yang tadi terkena serangan, juga sudah dapat memulihkan tenaga dan mereka sudah menyambar senjata masing-masing, seperti juga yang dilakukan Thay Ku Lama dan Thay Si Lama!
Melihat ini, Sie Liong menjura.
“Apakah ucapan Tibet Ngo-houw tidak dapat dipercaya lagi? Aku sudah menandingi barisanmu dan berhasil memecahkannya, kenapa kalian malah mengeluarkan senjata?”
“Pendekar Bongkok, apakah engkau takut?”
Thay Ku Lama bertanya dengan suara mengejek, juga empat orang sutenya mengeluarkan suara mengejek, semua ini tentu saja untuk menghibur atau menutupi kekalahannya tadi yang membuat mereka merasa malu, penasaran dan marah.
Mendengar ini, tiba-tiba saja Sie Liong menekuk punggungnya yang bongkok ke belakang dan dia menengadah, memandang langit-langit ruangan yang luas itu dan diapun mengeluarkan suara ketawa yang membuat semua orang di situ terkejut dan tercengang. Suara ketawa itu amat nyaring melengking, akan tetapi juga bergelak dan gemuruh seperti gelombang, mendatangkan getaran dahsyat yang seolah-olah akan meruntuhkan bangunan ruangan itu!
Bahkan Kim Sim Lama sendiri memandang kagum. Belum pernah selamanya dia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini, yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali! Bukan hanya hebat ilmu kepandaiannya, akan tetapi juga luar biasa sekali tabah dan beraninya!
Seorang diri memasuki sarangnya dan menyambut tantangan Tibet Ngo-houw! Sungguh hampir tak masuk akal dan sukar dipercaya! Kehebatan Sie Liong ini saja sudah mendatangkan perasaan sayang di dalam hatinya dan betapa akan senangnya kalau dia dapat mempunyai seorang pendukung atau pembantu seperti pemuda bongkok itu!
“Ha-ha-ha-ha-ha!”
Sie Liong menghentikan ketawanya yang bergelombang dan bergemuruh tadi, lalu menudingkan tongkatnya ke arah muka Tibet Ngo-houw dan suaranya terdengar tidak seperti tadi, lemah lembut, melainkan tegas dan berani penuh kekuatan dan kegagahan.
“Tibet Ngo-houw, bukan aku yang takut, melainkan kalian! Buktinya kalian mengeroyok aku! Seorang seperti aku ini, apa artinya takut? Aku seorang sebatangkara yang tidak memiliki apa-apa, tubuhpun cacat, dan kematian bagiku hanya kembali ke tempat yang jauh lebih baik daripada di dunia yang penuh kekotoran dan manusia busuk macam kalian ini! Bagiku, yang ada hanyalah berpegang kepada kebenaran dan keadilan. Demi kebenaran dan keadilan, matipun tidak apa-apa! Kematian hanya pulang dan kembali kepada sumber kebenaran dan keadilan! Sebaliknya, kalian ini biarpun berpakaian pendeta, selalu menuruti nafsu angkara murka, menjadi setan sehingga kalian takut mati, karena kematian kalian akan menyeret kalian kepada kerajaan setan dan iblis!”
Seperti juga suara ketawanya tadi, kini ucapannya itu membuat banyak orang di situ merasa panas dingin dan bulu tengkuk mereka meremang. Akan tetapi, Tibet Ngo-houw yang sudah merasa malu dan penasaran, tidak memperdulikan semua itu dan atas isyarat Thay Ku Lama, mereka sudah bergerak mengepung dengan senjata masing-masing di tangan.
Sie Liong berada di tengah-tengah dan diapun sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kalau dia dikeroyok dengan pengepungan seperti ini, akan rugilah dia kalau hanya mempertahankan diri saja. Kalau sampai dia terdesak, akan sukarlah meloloskan diri dari kepungan, sukar untuk membalas serangan lawan yang tentu bertubi-tubi datangnya. Oleh karena itu, diapun mengambil keputusan untuk mendahului lawan dan mengambil sikap menyerang dan mengamuk!
Tiba-tiba dia mengeluarkan lengkingan dahsyat dan tubuhnya bergerak ke kiri. Pemuda bongkok itu sudah menyerang Thay Bo Lama yang berada di sebelah kirinya. Karena dia menggunakan jurus dari ilmu tongkat Thian-te Sin-tung, tentu saja serangannya itu hebat bukan main.
Thay Bo Lama menggerakkan tombaknya menangkis, dan Thay Hok Lama yang berada di sampingnya juga mengayun rantai baja untuk melindungi sutenya, juga untuk menyerang Sie Liong! Namun, begitu serangannya gagal, Sie Liong tidak membiarkan dirinya diserang. Serangan Thay Hok Lama itu dia hindarkan dengan loncatan ke kanan dan dia sudah menotokkan ujung tongkatnya ke arah leher Thay Si Lama.
Teriak Thay Ku Lama dan “barisan” lima orang ini mulai bergerak, melenggang-lenggok dan seperti ular berjalan mengelilingi Sie Liong! Thay Ku Lama berada paling depan sebagai kepala dan Thay Si Lama paling belakang sebagai ekor.
Melihat lima orang pendeta Lama ini berjalan beriringan sambil bergandeng tangan seperti itu, sungguh merupakan penglihatan yang aneh dan lucu, seperti melihat lima orang anak kecil bermain-main saja.
Akan tetapi Sie Liong sama sekali tidak menganggap demikian. Dia tetap waspada, melintangkan tongkatnya di depan dada dan pandang matanya, juga pandengaran telinganya, tak pernah melepaskan gerakan lima orang lawan itu.
Ketika lima orang itu mengelilinginya, dia tidak ikut memutar-mutar tubuh, hanya lenernya saja bergerak perlahan mengikuti mereka dan setelah mereka tiba di belakang tubuhnya, diapun memutar leher dari arah lain dan mengikuti gerakan mereka lagi hanya dengan menggerakkan leher. Tak pernah dia menggeser kaki yang selalu siap bergerak dengan sikap bertahan dan menjaga diri.
Pancingan pertama ini saja sudah tidak berhasil. Tadinya, Siang-thouw Coa-tin (Barisan Ular Kepala Dua) ini mengelilingi lawan memancing agar lawan ikut pula berputar. Kalau lawan melakukan ini, mereka akan berlari cepat mengelilinginya, memaksa lawan berputar demikian cepat dan dengan mengubah-ubah arah, berbalik-balik, maka lawan yang berputaran di dalam lingkaran mereka tentu akan menjadi bingung dan juga pening sehingga kedudukannya menjadi lemah.
Namun, Pendekar Bongkok itu tidak mau memutar tubuh, hanya mengikuti gerakan mereka dengan leher saja. Kalau dilanjutkan seperti itu, bukan Pendekar Bongkok yang menjadi bingung, pening dan lelah, melainkan mereka sendiri.
Gerakan Siang-thouw Coa-tin itu kini berubah, mereka masih mengitari Sie Liong akan tetapi berganti arah, yang tadinya ekor menjadi kepala dan kepala menjadi ekor. Berubah lagi beberapa kali, kemudian, atas isyarat Thay Ku Lama yang melihat pemuda itu tidak terpancing dan tenang saja, Thay Si Lama melakukan penyerangan pertama. Tangan kirinya bergandeng dengan tangan Thay Pek Lama, kini dia mempergunakan tangan kanan untuk menghantam ke arah kepala Sie Liong.
“Wuuuuuuttt....!”
Sie Liong cepat mengelak karena dia merasa betapa pukulan itu mengandung angin pukulan yang amat dahsyat. Ketika pukulan itu melewati atas kepalanya, tiba-tiba barisan itu membalik dan kini “ekornya”, yaitu Thay Ku Lama sudah berganti kedudukan menjadi kepala dan tangan kiri orang pertama dari Tibet Ngo-houw ini sudah mencengkeram ke arah dada Sie Liong! Cepat dan tidak terduga sekali gerakan ini sehingga Sie Liong terkejut. Dia cepat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik.
“Brettt....!”
Ujung baju di dada Sie Liong tersentuh cengkeraman tangan kiri Thay Ku Lama dan terbukalah lubang di baju bagian dada itu, dan bekas robekan menjadi hangus!
Sambil melompat menjauhi, Sie Liong yakin bahwa dugaannya benar. Lima orang itu menyatukan tenaga sin-kang dan dia seolah menghadapi seorang lawan yang memiliki kekuatan sin-kang yang amat hebat. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berpikir banyak karena pada saat itu, Siang-thouw Coa-tin telah bergerak lagi dan dengan dahsyat dan cepatnya, juga dengan cara yang aneh dan tidak dapat diduga sebelumnya, menyerangnya dengan hantaman-hantaman tangan yang mengandung sin-kang amat kuat.
Sukar diduga siapa yang akan menyerangnya, Thay Ku Lama ataukah Thay Si Lama. Namun, Sie Liong sudah cepat mempergunakan langkah-langkah ajaib yang pernah dilatihnya dari Pek Sim Sian-su. Langkah-langkah yang menjadi dasar dari Thian-te Sin-tung dan yang membuat tubuhnya berkelebatan bagaikan bayang-bayang saja dan biarpun dia terdesak hebat, namun sampai belasan jurus lamanya, belum pernah ada pukulan lawan yang mampu menyerempetnya lagi.
Setelah dua puluh jurus dia selalu mengelak sambil memperhatikan gerakan barisan lima orang itu, akhirnya diapun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan Ular Kepala Dua adalah karena dua orang yang berada di kedua ujung itulah yang menyerangnya secara bergantian, dan mereka itulah kepala dan ekor, akan tetapi ekor dapat pula menjadi kepala dan sebaliknya.
Justeru perubahan tiba-tiba inilah yang membingungkan lawan. Dan diapun melihat betapa tiga orang pendeta Lama lainnya yang menjadi penghubung dan penyalur tenaga sin-kang yang disatukan, tidak dapat banyak berbuat sebagai penyerang karena kedua tangan mereka saling gandeng. Hanya kadang-kadang saja tiga orang ini membantu dengan tendangan kaki, akan tetapi karena tubuh mereka tidak bebas, dengan kedua tangan saling bergandengan itu mereka seperti terikat oleh barisan, maka tendangan mereka itu pun tldak banyak artinya bagi Sie Liong. Dan pemuda yang cerdik inipun menemukan suatu kenyataan yang memberi harapan, yaitu bahwa di bagian “tubuh” atau tengah yang dimainkan tiga orang inilah bagian barisan itu yang paling lemah!
“Yaaaaattt....!”
Thay Ku Lama sudah menyerang lagi dengan hantaman telapak tangan terbuka ke arah dada Sie Liong ketika pemuda itu membalik dari elakan serangan sebelumnya. Bukan main kerasnya angin pukulan itu. Sie Liong yang sudah membuat perhitungan matang, lalu menggerakkan kedua tangan pula untuk menyambut pukulan itu dari jarak dua meter.
Dia tentu saja tidak berani menyambut langsung, maklum betapa hebatnya tenaga gin-kang yang mendorong pukulan itu. Akan tetapi dalam jarak dua meter, dia berani mengambil resiko karena tidak terlalu berbahaya. Dia juga mengerahkan sin-kang yang lemas, tidak mau mengadu keras lawan keras karena tenaga sin-kang jelas jauh kalau dibandingkan tenaga lawan yang disatukan itu, jauh kalah.
“Desss....!”
Dua pasang tangan itu tidak sampai bertemu, tidak saling sentuh, akan tetapi tenaga sin-kang yang menyambar sebagai kekuatan dahsyat itu telah saling bertemu dan bertumbuk di udara. Akibatnya hebat bukan main. Sie Liong merasa seperti didorong oleh angin taufan dan diapun terlempar! Namun, dia sudah memperhitungkan sehingga dia membiarkan dirinya terjatuh ke atas tanah lalu dia bergulingan. Dengan cepat tubuhnya berguling-guling ke sana-sini sehingga mematahkan tenaga luncuran sambil memperhatikan keadaan barisan lawan.
Seperti yang diduganya, lima orang Tibet Ngo-houw itu mengira bahwa dia tentu terluka, dan mereka itu sudah datang menghampiri dengan cepat, dengan gerakan lenggak-lenggpk seperti seekor ular.
Tiba-tiba Sie Liong yang bergulingan itu tubuhnya menyambut dan setelah cukup dekat, dia meloncat dan mengeluarkan suara melengking nyaring, tongkatnya bergerak-gerak sehingga ujungnya menjadi banyak dan diseranglah tiga orang yang berada di tengah-tengah!
Serangan yang tiba-tiba ini membuat Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang berada di tengah-tengah terkejut bukan main. Juga Thay Ku Lama dan Thay Si Lama yang menjadi kepala dan ekor barisan itu terkejut.
Mereka tadi salah perhitungan. Mereka mengira bahwa Sie Liong terluka. Sungguh tak mereka sangka kini pemuda itu bahkan menyerang dengan hebat ke arah bagian barisan yang lemah. Tiga orang sute mereka itu hanya mampu membantu dengan penyaluran tenaga, sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak karena mereka itu seperti terkait dan terjepit! Padahal, serangan tongkat di tangan pemuda bongkok itu dahsyat bukan main karena dia memainkan jurus-jurus Thian-te Sin-tung!
“Lepaskan ikatan!” bentak Thay Ku Lama yang melihat betapa tiga orang sutenya terancam bahaya maut oleh tongkat kayu yang digerakkan secara lihai sekali itu.
Terlepaslah tangan mereka yang bergandengan dan kini tiga orang pendeta Lama yang diserang itu dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk membela diri. Merekapun segera bargerak, ada yang mengelak dan ada yang menangkis.
Namun, gerakan mereka malepaskan diri dari ikatan barisan tadi terlambat sedikit dan akibatnya, Thay Pek Lama terjengkang dengan pundak tertotok ujung tongkat, Thay Hok Lama juga terpelanting karena kakinya menjadi lumpuh sebelah ketika ujung tongkat singgah di lutut kirinya, sedangkan Thay Bo Lama terhuyung ke belakang, dadanya kena didorong tangan kiri Sie Liong sehingga terasa napasnya sesak dan dadanya nyeri.
Masih untung bagi tiga orang pendeta Lama itu bahwa Sie Liong hanya berniat menghancurkan Siang-thouw Coa-tin itu saja, tidak berniat membunuh sehingga baik tongkat maupun tangan kirinya menyerang dengan tenaga yang terbatas. Bagaimanapun juga, jelas bahwa barisan itu dapat dia pecahkan dan kini lima orang pendeta Lama itu berdiri dengan muka berubah merah karena malu dan marah.
Tiga orang pendata Lama yang tadi terkena serangan, juga sudah dapat memulihkan tenaga dan mereka sudah menyambar senjata masing-masing, seperti juga yang dilakukan Thay Ku Lama dan Thay Si Lama!
Melihat ini, Sie Liong menjura.
“Apakah ucapan Tibet Ngo-houw tidak dapat dipercaya lagi? Aku sudah menandingi barisanmu dan berhasil memecahkannya, kenapa kalian malah mengeluarkan senjata?”
“Pendekar Bongkok, apakah engkau takut?”
Thay Ku Lama bertanya dengan suara mengejek, juga empat orang sutenya mengeluarkan suara mengejek, semua ini tentu saja untuk menghibur atau menutupi kekalahannya tadi yang membuat mereka merasa malu, penasaran dan marah.
Mendengar ini, tiba-tiba saja Sie Liong menekuk punggungnya yang bongkok ke belakang dan dia menengadah, memandang langit-langit ruangan yang luas itu dan diapun mengeluarkan suara ketawa yang membuat semua orang di situ terkejut dan tercengang. Suara ketawa itu amat nyaring melengking, akan tetapi juga bergelak dan gemuruh seperti gelombang, mendatangkan getaran dahsyat yang seolah-olah akan meruntuhkan bangunan ruangan itu!
Bahkan Kim Sim Lama sendiri memandang kagum. Belum pernah selamanya dia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini, yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali! Bukan hanya hebat ilmu kepandaiannya, akan tetapi juga luar biasa sekali tabah dan beraninya!
Seorang diri memasuki sarangnya dan menyambut tantangan Tibet Ngo-houw! Sungguh hampir tak masuk akal dan sukar dipercaya! Kehebatan Sie Liong ini saja sudah mendatangkan perasaan sayang di dalam hatinya dan betapa akan senangnya kalau dia dapat mempunyai seorang pendukung atau pembantu seperti pemuda bongkok itu!
“Ha-ha-ha-ha-ha!”
Sie Liong menghentikan ketawanya yang bergelombang dan bergemuruh tadi, lalu menudingkan tongkatnya ke arah muka Tibet Ngo-houw dan suaranya terdengar tidak seperti tadi, lemah lembut, melainkan tegas dan berani penuh kekuatan dan kegagahan.
“Tibet Ngo-houw, bukan aku yang takut, melainkan kalian! Buktinya kalian mengeroyok aku! Seorang seperti aku ini, apa artinya takut? Aku seorang sebatangkara yang tidak memiliki apa-apa, tubuhpun cacat, dan kematian bagiku hanya kembali ke tempat yang jauh lebih baik daripada di dunia yang penuh kekotoran dan manusia busuk macam kalian ini! Bagiku, yang ada hanyalah berpegang kepada kebenaran dan keadilan. Demi kebenaran dan keadilan, matipun tidak apa-apa! Kematian hanya pulang dan kembali kepada sumber kebenaran dan keadilan! Sebaliknya, kalian ini biarpun berpakaian pendeta, selalu menuruti nafsu angkara murka, menjadi setan sehingga kalian takut mati, karena kematian kalian akan menyeret kalian kepada kerajaan setan dan iblis!”
Seperti juga suara ketawanya tadi, kini ucapannya itu membuat banyak orang di situ merasa panas dingin dan bulu tengkuk mereka meremang. Akan tetapi, Tibet Ngo-houw yang sudah merasa malu dan penasaran, tidak memperdulikan semua itu dan atas isyarat Thay Ku Lama, mereka sudah bergerak mengepung dengan senjata masing-masing di tangan.
Sie Liong berada di tengah-tengah dan diapun sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kalau dia dikeroyok dengan pengepungan seperti ini, akan rugilah dia kalau hanya mempertahankan diri saja. Kalau sampai dia terdesak, akan sukarlah meloloskan diri dari kepungan, sukar untuk membalas serangan lawan yang tentu bertubi-tubi datangnya. Oleh karena itu, diapun mengambil keputusan untuk mendahului lawan dan mengambil sikap menyerang dan mengamuk!
Tiba-tiba dia mengeluarkan lengkingan dahsyat dan tubuhnya bergerak ke kiri. Pemuda bongkok itu sudah menyerang Thay Bo Lama yang berada di sebelah kirinya. Karena dia menggunakan jurus dari ilmu tongkat Thian-te Sin-tung, tentu saja serangannya itu hebat bukan main.
Thay Bo Lama menggerakkan tombaknya menangkis, dan Thay Hok Lama yang berada di sampingnya juga mengayun rantai baja untuk melindungi sutenya, juga untuk menyerang Sie Liong! Namun, begitu serangannya gagal, Sie Liong tidak membiarkan dirinya diserang. Serangan Thay Hok Lama itu dia hindarkan dengan loncatan ke kanan dan dia sudah menotokkan ujung tongkatnya ke arah leher Thay Si Lama.
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar