Bayangan itu berkelebat cepat sekali meninggalkan wuwungan rumah penginapan. Bulan sepotong sudah naik tinggi dan sinarnya yang remang-remang menyinari muka orang yang berkelebat turun dari wuwungan genteng rumah penginapan itu.
Dia seorang pemuda tampan sekali, dengan wajahnya yang bulat bersih dan sepasang alis yang hitam lebat, hidungnya mancung dan matanya mencorong, mulutnya selalu tersenyum memikat dan pakaiannya mewah dan bersih. Dia tersenyum-senyum ketika berhenti di kebun rumah penginapan itu, menoleh ke arah kamarnya yang berada di bagian tengah.
“Selamat tidur, suci yang manis,” bisiknya sambil tersenyum.
Pemuda ini adalah Coa Bong Gan, murid ke dua Koay Tojin yang melakukan perjalanan bersama sucinya, Yauw Bi Sian ke Lasha untuk mencari Pendekar Bongkok Sie Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka memasuki kota Lasha dan di kota ini mereka berhasil mendapat keterangan tentang Pendekar Bongkok yang kabarnya akan melakukan penyelidikan ke sarang Kim-sim-pai daerah Telaga Yam-so.
Tentu saja Bi Sian segera akan melakukan pengejaran ke sana, akan tetapi Bong Gan mencegahnya, mengingatkan bahwa mereka harus lebih dulu menyelidiki Kim-sim-pai yang amat ditakuti penduduk dan dimana adanya sarang perkumpulan yang akan didatangi Sie Liong itu.
Selain alasan ini, juga ada alasan rahasia yang membuat Bong Gan menahan sucinya agar jangan hari itu juga pergi meninggalkan Lasha! Tadi, di rumah makan, dia bertemu dengan seorang wanita yang demikian cantik manis sehingga membuat hatinya jungkir balik! Yang membuat dia tergila-gila dan mengobarkan berahinya adalah ketika wanita yang cantik manis itu di rumah makan tadi jelas memberi tanda kepadanya dengan main mata!
Kerling dan senyum wanita itu demikian memikatnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa dia tidak bertepuk tangan sebelah. Bukan dia saja yang bangkit berahinya, melainkan wanita itupun jelas tidak menyembunyikan perasaan hatinya yang tertarik kepadanya! Dia harus dapat bertemu dengan wanita itu, malam ini juga! Sebelum dia dan sucinya meninggalkan Lasha, dia harus dapat mendekati wanita itu untuk mempererat hubungan, untuk berkenalan.
Akan tetapi, setelah berhasil keluar dari rumah penginapan tanpa diketahui siapapun, dan sucinya tentu sudah tidur di kamar sebelah yang sudah gelap dan sunyi, dia menjadi bingung sendiri. Kemana dia harus mencari wanita itu? Ada sesuatu pada wajah wanita itu yang amat menarik hatinya, yang secara mendadak saja menimbulkan gairah cintanya.
Tiba-tiba hidungnya kembang kempis. Keharuman mawar demikian menyolok hidungnya. Apakah kebun ini banyak bunga mawarnya? Akan tetapi ketika dia menoleh ke sekeliling, tidak ada pohon bunga mawar di situ. Akan tetapi keharuman itu demikian keras dan semakin keras lagi.
Tiba-tiba ia merasa ada orang di belakang. Cepat dia memutar tubuhnya dan.... benar saja, dalam jarak lima meter dia melihat sesosok tubuh yang ramping. Akan tetapi, jarak itu terlampau jauh dalam keremangan itu untuk dapat mengenal mukanya. Hanya terdengar suara kekeh wanita dan orang itupun meloncat dan berkelebat pergi.
Seorang wanita! Cepat Bong Gan melakukan pengejaran. Dia makin heran dan kagum. Wanita itu sungguh memiliki ilmu berlari cepat yang hebat! Dia mengejar terus. Wanita itu melalui jalan-jalan sunyi dan setelah tiba di sebuah lapangan rumput dekat sungai kecil yang sunyi karena tempat itu merupakan pinggiran kota Lasha, dengan suara ketawa kecil masih terdengar, ia berhenti, seolah menanti.
Bong Gan meloncat ke depan wanita itu dan dia terpesona, terbelalak dan sejenak dia bengong. Wanita itu adalah wanita cantik manis yang membuatnya tergila-gila tadi! Betapa manisnya wajah yang bulat telur dengan dagu runcing itu. Kulit muka dan leher itu putih mulus, manisnya bukan main!
“Hi-hik, kenapa engkau mengejarku?” terdengar suaranya yang merdu dan penuh godaan.
“Karena aku tergila-gila kepadamu, nona. Pertemuan antara kita di rumah makan itu telah membuat aku jatuh cinta padamu, nona!”
Jawab Bong Gan yang masih belum hilang kekaguman dan keheranannya karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis cantik jelita yang membuatnya tergila-gila itu bukan wanita sembarangan saja, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu lari cepat yang agaknya tidak berada di bawah tingkatnya!
Wanita itu bukan lain adalah Pek Lan. Sebagai seorang yang mata keranjang dan gila pria ganteng, begitu bertemu dengan Bong Gan tentu saja ia sudah tertarik bukan main. Ia merasa betapa wajah pemuda ganteng itu tidak asing baginya, namun ia lupa lagi entah dimana pernah bertemu pemuda yang gagah dan ganteng itu.
Sayang pemuda itu sudah mempunyai pasangan, seorang gadis yang demikian cantik. Akan tetapi justeru hal ini bahkan menimbulkan gairahnya, karena ia merasa ada saingan dan ia harus menang! Ia sudah bosan dengan permainan cinta Thai-yang Suhu yang biarpun masih tampan dan gagah, narnun sudah tua itu.
Malam itu, setelah ia tadi membayangi pemuda dan gadis itu dan mengetahui rumah penginapan mereka, ia lalu pergi mengunjungi rumah penginapan dan tanpa disangka-sangkanya, ia melihat bayangan melayang turun dari wuwungan rumah penginapan. Tentu saja ia terkejut dan heran, dan lebih besar lagi keheranannya ketika ia mengenal pemuda tampan yang digandrungi itulah bayangan yang amat gesit itu.
Hatinya menjadi semakin bergairah. Kiranya seorang pemuda yang lihal! Ia semakin tertarik, dan ia lalu memancing pemuda itu keluar dari daerah ramai, menuju ke tempat sunyi di tepi sungai kecil yang mengalir di dekat tembok kota Lasha. Kini, mendengar pengakuan pemuda itu yang mengaku tergila-gila dan jatun cinta padanya, Pek Lan tertawa.
“Aih, benarkah engkau jatuh cinta padaku? Kalau begitu, aku harus mengujimu dulu apakah engkau cukup gagah untuk dapat berdekatan dengan aku. Sambut seranganku ini!”
Dan tiba-tiba Pek Lan sudah melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga kuat sehingga terdengar angin berdesir.
Timbul kegembiraan di hati Bong Gan. Kiranya bukan hanya pandai berlari cepat, pikirnya. Dia harus menunjukkan bahwa dia cukup jantan dan gagah untuk dapat “berdekatan” dengan wanita cantik yang menantang ini. Cepat diapun mengelak untuk menghindarkan serangan orang dan diapun membalas.
Ternyata wanita itu memiliki gerakan yang gesit dan serangan Bong Gan dapat pula ia elakkan dengan cepat, kemudian ia melancarkan serangan bertubi-tubi yang membuat Bong Gan diam-diam menjadi semakin kagum. Kalau tadinya dia masih tersenyum mengejek dan hendak main-main, kini dia tahu bahwa wanita itu sungguh lihai dan dia sama sekali tidak boleh memandang ringan!
Segera dia mainkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu inti dari Koay Tojin. Ilmu silat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong, atau dapat pula dengan pedang, namun pada intinya ilmu silat ini adalah ilmu silat tongkat yang disebut Ta-kwi Tung-hoat (Silat Tongkat Pemukul IbliS).
Begitu dia memainkan ilmu silat ini, kedua tangannya merupakan sepasang tongkat yang ampuh sekali dan memiliki gerakan yang aneh sehingga Pek Lan beberapa kali mengeluarkan seruan kagum. Namun, biarpun agak terdesak, ia masih dapat menghindarkan semua rangkaian serangan lawan. Karena ia memang sudah tertarik kepada pemuda itu, maka ia tidak mau mengeluarkan ilmu pukulan yang amat dahsyat, yaitu Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).
“Tahan dulu....!” serunya sambil melompat ke belakang.
Bong Gan berdiri dan tersenyum, merasa menang karena betapapum juga, dia tadi sudah berhasil mendesak lawan dengan ilmu silat Pemukul Iblis dan wanita itu yang minta berhenti.
Akan tetapi Pek Lan sudah mengeluarkan pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil tersenyum. Manis dan gagah sekali.
“Aku sudah melihat ilmu silat tangan kosongmu dan merasa kagum. Akan tetapi aku belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau bermain senjata. Nah, keluarkan senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum berkenalan, aku ingin mengenal kepandaianmu lebih dulu.”
Ketika masih ikut Koay Tojin, baik Bong Gan maupun Bi Sian tidak pernah diperbolehkan menggunakan senjata tajam walaupun mereka diajar bermain ilmu tongkat Ta-kwi Tung-hoat yang dapat dimainkan dengan pedang. Bi Sian sendiri juga tidak pernah menggunakan pedang. Baru setelah ia mewarisi pedang Pek-lian-kiam dari ayahnya gadis itu membawa senjata tajam. Demikian pula Bong Gan hampir tidak pernah membawa senjata tajam karena kedua kaki tangannya saja sudah cukup ampuh untuk menghadapi lawan yang bersenjata sekalipun.
Dia tidak gentar menghadapi gadis yang berpedang itu dengan tangan kosong, akan tetapi sebagai seorang laki-laki gila perempuan yang sudah banyak mengenal wanita, Bong Gan maklum akan watak wanita yang pada umumnya suka disanjung, suka dimanja dan dihargai. Kalau kini dia maju dengan tangan kosong tentu wanita itu akan tersinggung dan merasa dipandang rendah. Hal ini sungguh akan merugikan dirinya.
Dia lalu mengambil sebatang ranting pohon sebesar lengannya, dan sambil melintangkan tongkat sepanjang hampir dua meter itu dia berkata,
“Maaf, nona. Aku tidak pernah membawa senjata. Pula, kita adalah kenalan baru yang hendak mempererat hubungan, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata tajam melawanmu? Biarlah aku menggunakan tongkat ini saja.”
Pek Lan mengerutkan alisnya.
“Engkau memandang rendah kepadaku?”
Bong Gan menahan senyumnya. Tepat seperti yang diduganya. Wanita ini tidak menyimpang dari watak wanita pada umumnya, tidak suka dipandang rendah dan ingin selalu dihargai. Maka diapun cepat berkata,
“Aih, siapa berani memandang rendah kepadamu, nona? Dari pertandingan tangan kosong tadi saja aku tahu bahwa aku bukanlah tandinganmu! Apalagi kalau engkau berpedang, mana aku berani memandang rendah? Terus terang saja, satu-satunya senjata yang paling dapat kuandalkan adalah tongkat dan kalau ada tujuh belas macam senjata pilihan di sini, aku tetap akan memilih sebatang tongkat.”
Lenyap kerut di antara sepasang alis yang hitam panjang melengkung indah itu.
“Bagus, kalau begitu, aku ingin melihat ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!” Dan iapun menyerang dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali.
Bong Gan memang benar tidak berani memandang rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini hebat dan lihai sekali, maka diapun cepat menggerakkan tongkatnya dan memainkan Ta-kwi Tung-hoat yang merupakan ilmu inti yang diajarkan oleh Koay Tojin kepada dua orang muridnya.
Dan begitu ada tongkgt di tangannya dan setelah memainkan tongkat itu dengan ilmu Ta-kwi Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali. Tongkatnya itu bagaikan seekor naga bermain di angkasa, berkelebatan dan manyambar-nyambar dengan ganasnya.
Pek Lan telah digembleng oleh Hek-in Kui-bo, seorang datuk sesat yang berilmu tinggi. Namun, tingkat nenek itu masih kalah dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu yang telah diserap oleh Bong Gan juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan ilmu yang dikuasai Pek Lan.
Kalau Pek Lan menggunakan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya, menggunakan senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mungkin ia dapat mengimbangi kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin melukai Bong Gan apalagi membunuhnya. Ia sudah menjadi semakin tertarik kepada pemuda tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang kawan dan rekan yang akan amat menyenangkan hati sebagai selingan kebosanannya harus melayani Thai-yang Suhu saja!
Bong Gan juga kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu harus diakuinya amat hebat sehingga andaikata dia tidak menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan dengan tongkatnyapun, dengan ilmu tongkatnya, dia hanya dapat mengimbangi permainan pedang, mampu melindungi diri dan juga membalas dengan sama dahsyatnya.
Pertandingan itu berjalan seru di bawah sinar bulan sepotong dan diam-diam keduanya merasa saling tertarik dan kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan seruan keras dan dia menggunakan jurus Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya itu bagaikan berubah menjadi banyak dan menusuk-nusuk ke arah dada lawan, seperti hendak mematahkan setiap tulang iga di dada itu!
Pek Lan terkejut bukan main. Ia sudah berusaha memutar pedangnya menangkis, namun ujung tongkat itu seperti hendak menyentuh dan menotok kedua payudaranya. Memang ia berhasil melindungi diri dengan sinar pedangnya sehingga ujung tongkat tidak sampai menyentuhnya, namun angin pukulan tongkat itu tetap menyambar-nyambar dan seperti jari tangan yang meraba-raba dadanya!
Dia seorang pemuda tampan sekali, dengan wajahnya yang bulat bersih dan sepasang alis yang hitam lebat, hidungnya mancung dan matanya mencorong, mulutnya selalu tersenyum memikat dan pakaiannya mewah dan bersih. Dia tersenyum-senyum ketika berhenti di kebun rumah penginapan itu, menoleh ke arah kamarnya yang berada di bagian tengah.
“Selamat tidur, suci yang manis,” bisiknya sambil tersenyum.
Pemuda ini adalah Coa Bong Gan, murid ke dua Koay Tojin yang melakukan perjalanan bersama sucinya, Yauw Bi Sian ke Lasha untuk mencari Pendekar Bongkok Sie Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka memasuki kota Lasha dan di kota ini mereka berhasil mendapat keterangan tentang Pendekar Bongkok yang kabarnya akan melakukan penyelidikan ke sarang Kim-sim-pai daerah Telaga Yam-so.
Tentu saja Bi Sian segera akan melakukan pengejaran ke sana, akan tetapi Bong Gan mencegahnya, mengingatkan bahwa mereka harus lebih dulu menyelidiki Kim-sim-pai yang amat ditakuti penduduk dan dimana adanya sarang perkumpulan yang akan didatangi Sie Liong itu.
Selain alasan ini, juga ada alasan rahasia yang membuat Bong Gan menahan sucinya agar jangan hari itu juga pergi meninggalkan Lasha! Tadi, di rumah makan, dia bertemu dengan seorang wanita yang demikian cantik manis sehingga membuat hatinya jungkir balik! Yang membuat dia tergila-gila dan mengobarkan berahinya adalah ketika wanita yang cantik manis itu di rumah makan tadi jelas memberi tanda kepadanya dengan main mata!
Kerling dan senyum wanita itu demikian memikatnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa dia tidak bertepuk tangan sebelah. Bukan dia saja yang bangkit berahinya, melainkan wanita itupun jelas tidak menyembunyikan perasaan hatinya yang tertarik kepadanya! Dia harus dapat bertemu dengan wanita itu, malam ini juga! Sebelum dia dan sucinya meninggalkan Lasha, dia harus dapat mendekati wanita itu untuk mempererat hubungan, untuk berkenalan.
Akan tetapi, setelah berhasil keluar dari rumah penginapan tanpa diketahui siapapun, dan sucinya tentu sudah tidur di kamar sebelah yang sudah gelap dan sunyi, dia menjadi bingung sendiri. Kemana dia harus mencari wanita itu? Ada sesuatu pada wajah wanita itu yang amat menarik hatinya, yang secara mendadak saja menimbulkan gairah cintanya.
Tiba-tiba hidungnya kembang kempis. Keharuman mawar demikian menyolok hidungnya. Apakah kebun ini banyak bunga mawarnya? Akan tetapi ketika dia menoleh ke sekeliling, tidak ada pohon bunga mawar di situ. Akan tetapi keharuman itu demikian keras dan semakin keras lagi.
Tiba-tiba ia merasa ada orang di belakang. Cepat dia memutar tubuhnya dan.... benar saja, dalam jarak lima meter dia melihat sesosok tubuh yang ramping. Akan tetapi, jarak itu terlampau jauh dalam keremangan itu untuk dapat mengenal mukanya. Hanya terdengar suara kekeh wanita dan orang itupun meloncat dan berkelebat pergi.
Seorang wanita! Cepat Bong Gan melakukan pengejaran. Dia makin heran dan kagum. Wanita itu sungguh memiliki ilmu berlari cepat yang hebat! Dia mengejar terus. Wanita itu melalui jalan-jalan sunyi dan setelah tiba di sebuah lapangan rumput dekat sungai kecil yang sunyi karena tempat itu merupakan pinggiran kota Lasha, dengan suara ketawa kecil masih terdengar, ia berhenti, seolah menanti.
Bong Gan meloncat ke depan wanita itu dan dia terpesona, terbelalak dan sejenak dia bengong. Wanita itu adalah wanita cantik manis yang membuatnya tergila-gila tadi! Betapa manisnya wajah yang bulat telur dengan dagu runcing itu. Kulit muka dan leher itu putih mulus, manisnya bukan main!
“Hi-hik, kenapa engkau mengejarku?” terdengar suaranya yang merdu dan penuh godaan.
“Karena aku tergila-gila kepadamu, nona. Pertemuan antara kita di rumah makan itu telah membuat aku jatuh cinta padamu, nona!”
Jawab Bong Gan yang masih belum hilang kekaguman dan keheranannya karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis cantik jelita yang membuatnya tergila-gila itu bukan wanita sembarangan saja, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu lari cepat yang agaknya tidak berada di bawah tingkatnya!
Wanita itu bukan lain adalah Pek Lan. Sebagai seorang yang mata keranjang dan gila pria ganteng, begitu bertemu dengan Bong Gan tentu saja ia sudah tertarik bukan main. Ia merasa betapa wajah pemuda ganteng itu tidak asing baginya, namun ia lupa lagi entah dimana pernah bertemu pemuda yang gagah dan ganteng itu.
Sayang pemuda itu sudah mempunyai pasangan, seorang gadis yang demikian cantik. Akan tetapi justeru hal ini bahkan menimbulkan gairahnya, karena ia merasa ada saingan dan ia harus menang! Ia sudah bosan dengan permainan cinta Thai-yang Suhu yang biarpun masih tampan dan gagah, narnun sudah tua itu.
Malam itu, setelah ia tadi membayangi pemuda dan gadis itu dan mengetahui rumah penginapan mereka, ia lalu pergi mengunjungi rumah penginapan dan tanpa disangka-sangkanya, ia melihat bayangan melayang turun dari wuwungan rumah penginapan. Tentu saja ia terkejut dan heran, dan lebih besar lagi keheranannya ketika ia mengenal pemuda tampan yang digandrungi itulah bayangan yang amat gesit itu.
Hatinya menjadi semakin bergairah. Kiranya seorang pemuda yang lihal! Ia semakin tertarik, dan ia lalu memancing pemuda itu keluar dari daerah ramai, menuju ke tempat sunyi di tepi sungai kecil yang mengalir di dekat tembok kota Lasha. Kini, mendengar pengakuan pemuda itu yang mengaku tergila-gila dan jatun cinta padanya, Pek Lan tertawa.
“Aih, benarkah engkau jatuh cinta padaku? Kalau begitu, aku harus mengujimu dulu apakah engkau cukup gagah untuk dapat berdekatan dengan aku. Sambut seranganku ini!”
Dan tiba-tiba Pek Lan sudah melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga kuat sehingga terdengar angin berdesir.
Timbul kegembiraan di hati Bong Gan. Kiranya bukan hanya pandai berlari cepat, pikirnya. Dia harus menunjukkan bahwa dia cukup jantan dan gagah untuk dapat “berdekatan” dengan wanita cantik yang menantang ini. Cepat diapun mengelak untuk menghindarkan serangan orang dan diapun membalas.
Ternyata wanita itu memiliki gerakan yang gesit dan serangan Bong Gan dapat pula ia elakkan dengan cepat, kemudian ia melancarkan serangan bertubi-tubi yang membuat Bong Gan diam-diam menjadi semakin kagum. Kalau tadinya dia masih tersenyum mengejek dan hendak main-main, kini dia tahu bahwa wanita itu sungguh lihai dan dia sama sekali tidak boleh memandang ringan!
Segera dia mainkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu inti dari Koay Tojin. Ilmu silat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong, atau dapat pula dengan pedang, namun pada intinya ilmu silat ini adalah ilmu silat tongkat yang disebut Ta-kwi Tung-hoat (Silat Tongkat Pemukul IbliS).
Begitu dia memainkan ilmu silat ini, kedua tangannya merupakan sepasang tongkat yang ampuh sekali dan memiliki gerakan yang aneh sehingga Pek Lan beberapa kali mengeluarkan seruan kagum. Namun, biarpun agak terdesak, ia masih dapat menghindarkan semua rangkaian serangan lawan. Karena ia memang sudah tertarik kepada pemuda itu, maka ia tidak mau mengeluarkan ilmu pukulan yang amat dahsyat, yaitu Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).
“Tahan dulu....!” serunya sambil melompat ke belakang.
Bong Gan berdiri dan tersenyum, merasa menang karena betapapum juga, dia tadi sudah berhasil mendesak lawan dengan ilmu silat Pemukul Iblis dan wanita itu yang minta berhenti.
Akan tetapi Pek Lan sudah mengeluarkan pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil tersenyum. Manis dan gagah sekali.
“Aku sudah melihat ilmu silat tangan kosongmu dan merasa kagum. Akan tetapi aku belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau bermain senjata. Nah, keluarkan senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum berkenalan, aku ingin mengenal kepandaianmu lebih dulu.”
Ketika masih ikut Koay Tojin, baik Bong Gan maupun Bi Sian tidak pernah diperbolehkan menggunakan senjata tajam walaupun mereka diajar bermain ilmu tongkat Ta-kwi Tung-hoat yang dapat dimainkan dengan pedang. Bi Sian sendiri juga tidak pernah menggunakan pedang. Baru setelah ia mewarisi pedang Pek-lian-kiam dari ayahnya gadis itu membawa senjata tajam. Demikian pula Bong Gan hampir tidak pernah membawa senjata tajam karena kedua kaki tangannya saja sudah cukup ampuh untuk menghadapi lawan yang bersenjata sekalipun.
Dia tidak gentar menghadapi gadis yang berpedang itu dengan tangan kosong, akan tetapi sebagai seorang laki-laki gila perempuan yang sudah banyak mengenal wanita, Bong Gan maklum akan watak wanita yang pada umumnya suka disanjung, suka dimanja dan dihargai. Kalau kini dia maju dengan tangan kosong tentu wanita itu akan tersinggung dan merasa dipandang rendah. Hal ini sungguh akan merugikan dirinya.
Dia lalu mengambil sebatang ranting pohon sebesar lengannya, dan sambil melintangkan tongkat sepanjang hampir dua meter itu dia berkata,
“Maaf, nona. Aku tidak pernah membawa senjata. Pula, kita adalah kenalan baru yang hendak mempererat hubungan, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata tajam melawanmu? Biarlah aku menggunakan tongkat ini saja.”
Pek Lan mengerutkan alisnya.
“Engkau memandang rendah kepadaku?”
Bong Gan menahan senyumnya. Tepat seperti yang diduganya. Wanita ini tidak menyimpang dari watak wanita pada umumnya, tidak suka dipandang rendah dan ingin selalu dihargai. Maka diapun cepat berkata,
“Aih, siapa berani memandang rendah kepadamu, nona? Dari pertandingan tangan kosong tadi saja aku tahu bahwa aku bukanlah tandinganmu! Apalagi kalau engkau berpedang, mana aku berani memandang rendah? Terus terang saja, satu-satunya senjata yang paling dapat kuandalkan adalah tongkat dan kalau ada tujuh belas macam senjata pilihan di sini, aku tetap akan memilih sebatang tongkat.”
Lenyap kerut di antara sepasang alis yang hitam panjang melengkung indah itu.
“Bagus, kalau begitu, aku ingin melihat ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!” Dan iapun menyerang dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali.
Bong Gan memang benar tidak berani memandang rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini hebat dan lihai sekali, maka diapun cepat menggerakkan tongkatnya dan memainkan Ta-kwi Tung-hoat yang merupakan ilmu inti yang diajarkan oleh Koay Tojin kepada dua orang muridnya.
Dan begitu ada tongkgt di tangannya dan setelah memainkan tongkat itu dengan ilmu Ta-kwi Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali. Tongkatnya itu bagaikan seekor naga bermain di angkasa, berkelebatan dan manyambar-nyambar dengan ganasnya.
Pek Lan telah digembleng oleh Hek-in Kui-bo, seorang datuk sesat yang berilmu tinggi. Namun, tingkat nenek itu masih kalah dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu yang telah diserap oleh Bong Gan juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan ilmu yang dikuasai Pek Lan.
Kalau Pek Lan menggunakan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya, menggunakan senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mungkin ia dapat mengimbangi kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin melukai Bong Gan apalagi membunuhnya. Ia sudah menjadi semakin tertarik kepada pemuda tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang kawan dan rekan yang akan amat menyenangkan hati sebagai selingan kebosanannya harus melayani Thai-yang Suhu saja!
Bong Gan juga kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu harus diakuinya amat hebat sehingga andaikata dia tidak menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan dengan tongkatnyapun, dengan ilmu tongkatnya, dia hanya dapat mengimbangi permainan pedang, mampu melindungi diri dan juga membalas dengan sama dahsyatnya.
Pertandingan itu berjalan seru di bawah sinar bulan sepotong dan diam-diam keduanya merasa saling tertarik dan kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan seruan keras dan dia menggunakan jurus Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya itu bagaikan berubah menjadi banyak dan menusuk-nusuk ke arah dada lawan, seperti hendak mematahkan setiap tulang iga di dada itu!
Pek Lan terkejut bukan main. Ia sudah berusaha memutar pedangnya menangkis, namun ujung tongkat itu seperti hendak menyentuh dan menotok kedua payudaranya. Memang ia berhasil melindungi diri dengan sinar pedangnya sehingga ujung tongkat tidak sampai menyentuhnya, namun angin pukulan tongkat itu tetap menyambar-nyambar dan seperti jari tangan yang meraba-raba dadanya!
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar