Sejak tadi ia memang sudah kagum bukan main dan kini gairah berahinya bangkit, menyala dan barkobar. Sambil mengeluarkan suara melengking panjang, Pek Lan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk menempel.
Pedang bertemu tongkat dan melekat! Pek Lan menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke arah dada lawan, akan tetapi pada saat itu, Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya, memegang tongkat hanya dengan tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut dorongan tangan kiri Pek Lan.
“Plakkk!”
Dua buah tangan dengan jari terbuka itu bertemu dan saling melekat pula, seperti pedang dan tongkat! Mereka tak bergerak, saling pandang dalam jarak hanya satu meter lebih sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing cukup jelas.
Bong Gan tersenyum.
“Nona, engkau sungguh cantik jelita....”
Pek Lan juga tersenyum.
“Dan engkau perayu besar!”
“Tidak, nona. Aku bicara sejujurnya. Engkau memang cantik jelita dan manis sekali, dan ilmu kepandaianmu hebat, aku tergila-gila kepadamu, aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu, melainkan ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu yang manis itu....”
Senyum Pek Lan melebar. Gairah berahinya sudah berkobar membakar seluruh dirinya karena sikap dan ucapan Bong Gan bagaikan minyak bakar disiramkan pada api nafsu berahinya. Ia menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang digelung itu terlepas dan rambut yang panjang itu menyambar ke depan, melingkari leher Bong Gan. Ia menarik dan muka pemuda itu mendekat. Ketika dua mulut itu berternu dalam ciuman yang penuh nafsu, pedang dan tongkat jatuh dan dua pasang lengan itu saling dekap, keduanya terguling ke atas rumput!
Mereka bagaikan dua orang yang mabok, mabok oleh nafsu berahi mereka sendiri. Kedua orang ini memang cocok, keduanya mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi hamba nafsu berahi. Mereka saling menumpahkan berahi mereka lewat kemesraan yang panas.
Tiba-tiba, masing-masing terbelalak dan melepaskan rangkulan, bangkit duduk dengan napas masih terengah-engah dan keringat membasahi dahi dan leher, saling tatap seperti orang terkejut.
“Kau.... kau.... Bong Gan....?”
“Kau.... Pek Lan....?
Tadinva mereka memang hanya merasa pernah saling bertemu akan tetapi keduanya sudah saling tidak mengenal. Hal ini dapat dimaklumi, karena ketika mereka dahulu menjadi kekasih masing-masing, usia Pek Lan baru tujuh belas tahun dan usia Bong Gan bahkan baru tiga belas atau empat belas tahun!
Kini, Pek Lan telah menjadi seorang wanita cantik yang matang, sedangkan Bong Gan menjadi seorang pemuda tampan yang sudah dewasa, bukan lagi remaja setengah kanak-kanak seperti dahulu. Pula, dahulu keduanya sama sekali tidak dapat bersilat dan kini keduanya telah menjadi orang yang lihai ilmu silatnya. Akan tetapi, setelah keduanya bermesraan, barulah mereka saling mengenal dan tentu saja keduanya terkejut bukan main, terheran, juga marasa girang sekali!
“Pek Lan, ah kau Pek Lan, kekasihku....”
“Bong Gan, betapa aku rindu kepadamu....!”
Keduanya saling rangkul dan saling cium lagi, seperti dua orang kekasih yang sudah bertahun-tahun berpisah kini saling jumpa kembali. Mereka agaknya sudah lupa bahwa dalam pertemuan terakhir dahulu mereka saling serang dengan penuh kemarahan dan dendam, saling menyalahkan karena keduanya terpaksa harus pergi dari rumah gedung hartawan Coa karena tertangkap basah ketika mereka berdua melakukan hubungan gelap, berjina!
Kembali mereka tenggelam dalam gelombang nafsu berahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan menahan dada Bong Gan yang menggelutinya, lalu mendorong pemuda itu sehingga keduanya kembali bangkit duduk.
“Ada apakah, Pek Lan, kekasihku? Aku.... amat rindu kepadamu....” Bong Gan berbisik, terengah-engah.
“Nanti dulu, aku melihat engkau bersama gadis cantik itu. Isterimukah ia?” tanya Pek Lan, bukan karena cemburu hanya ingin tahu saja.
Bong Gan tersenymn lega. Disangkanya mengapa Pek Lan menghentikan percumbuan mereka, kiranya hanya untuk mengetahui hal itu.
“Bukan, sama sekali bukan. Ia bernama Yauw Bi Sian dan ia adalah kakak seperguruanku.”
“Suci-mu? Hemm, kalau begitu ia tentu lihai sekali.”
“Sudahlah, kenapa membicarakan orang lain? Engkau mengganggu saja....!”
Bong Gan merangkul dan kembali mereka tenggelam ke dalam lautan kemesraan yang penuh nafsu berahi.
Semalam suntuk, dua orang ini membiarkan diri mareka dipermainkan gelombang berahi. Mereka lupa diri, lupa susila dan lupa sagalanya, karena yang terasa hanyalah gairah nafsu yang tak terkendalikan, nafsu yang menuntut pemuasan namun yang tak mengenal puas. Dan setiap kali mereka mendapat waktu luang untuk istirahat, mereka bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah.
“Sungguh aneh keadaan kita ini, Pek Lan,” kata Bong Gan sambil membelai rambut kekasihnya dalam rangkulan. “Dahulu, ketika aku masih remaja, kita sudah saling jatuh cinta, kita bermain cinta. Kemudian, ketika kita terusir keluar dari rumah keluarga Coa, kita saling serang sampai engkau diambil murid Hek-in Kui-bo seperti yang kau ceritakan tadi, dan aku menjadi murid Koay Tojin. Kemudian, begitu bertemu, kita saling tertarik lagi tanpa saling mengenal, kemudian kita bertanding lagi, sebelum saling bermain cinta.”
“Engkau memang sudah kucinta sejak dulu, Bong Gan,” kata Pek Lan sambil mencium dagu pemuda itu. “Dan engkau sampai tiba di Lasha ada keperluan apakah?”
“Aku diminta suci-ku untuk membantunya mencari musuh besarnya.”
“Hemm, siapakah musuh besarnya?”
“Dia bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok.”
Pek Lan melepaskan rangkulannya, bahkan bangkit duduk seperti orang terkejut.
“Pendekar Bongkok? Dia....?”
Kalau gairah nafsu sudah terpuaskan dan mulai menipis, maka apa yang tadinya nampak amat indah menjadi berubah. Bong Gan tidak begitu merasakan bentuk tubuh Pek Lan yang bermandikan sinar bulan itu, tidak seindah tadi. Apalagi yang menjadi bahan percakapan kini menarik hatinya.
“Engkau sudah mengenal dia, Pek Lan?”
“Mengenalnya....?” Pek Lan tersenyum getir. Tentu saja ia sudah mengenal Pendekar Bongkok, mengenalnya dengan cara yang paling pahit. “Aku pernah bertemu dengan dia. Dia.... hemm, lihai bukan main. Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?”
“Ya, musuh besar akan tetapi juga pamannya, adik ibu kandungnya.”
“Ehh? Ceritakan kepadaku, mengapa begitu, Bong Gan,”
Kata Pek Lan dan karena hawa mulai dingin menjelang subuh itu, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meskipun belum ia pakai sebagaimana mestinya.
Bong Gan juga mulai mengenakan kembali pakaiannya. Dia tidak begitu bargairah lagi setelah semua nafsu yang bergelora disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai teringat akan hal-hal lain seperti Bi Sian dan perjalanan mereka ke Lasha.
“Suci adalah keponakan Pendekar Bongkok karena Sie Liong itu adik kandung ibunya....”
“Tapi Pendekar Bongkok itu masih amat muda!”
“Memang selisih usia mereka tidak banyak. Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su, yaitu suheng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu hari, Pendekar Bongkok telah.... eh, dia membunuh ayah kandung suci. Karena itu, suci mendendam dan mencari Pendekar Bongkok, pamannya itu. Karena tahu akan kelihaian pamannya, maka dia minta bantuanku dan kami berdua mengikuti jejak Pendekar Bongkok sampai ke Lasha.”
“Hemm, kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama. Akupun dimusuhi Pendekar Bongkok dan dia kami anggap sebagai musuh. Kalau engkau suka bergabung dengan kami, Bong Gan, tentu keadaan kita akan lebih kuat. Apalagi, setelah kini saling bertemu, aku tidak ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan engkau!”
Song Gan mendekat dan mencium pipi wanita itu.
“Engkau tahu perasaanku terhadapmu, Pek Lan, dan engkau tahu tidak ada kesenangan lebih besar bagiku melebihi kesenangan bekerja sama denganmu dan selalu berada di dekatmu. Akan tetapi, bagaimana dengan suci? Kalau ia marah kepadaku dan menentang kita, ia akan menjadi penghalang besar dan menambah musuh yang amat berbahaya bagi kita.”
“Kenapa menjadi musuh? Bukankah ia memusuhi Pandekar Bongkok? Ajak saja ia bergabung dangan kami. Thai-yang Suhu, guruku dalam ilmu sihir itu tentu akan suka pula bergabung dengan kalian.”
“Maksudmu pendeta yang kulihat bersamamu di rumah makan itu?” Baru sekarang Bong Gan teringat akan pendeta itu. “Jadi dia itu gurumu yang baru?”
“Dia sahabat subo Hek-in Kui-bo dan kini mengajarkan ilmu sihir kepadaku, menjadi guruku pula.”
“Dan kalian hendak pergi ke manakah? Mengapa sampai pula di Lasha?”
“Kami hendak pergi menghadap Kim Sim Lama, ketua Kim-sim-pai....”
“Ah! Sie Liong Si Pendekar Bongkok juga ke sana!”
“Akan tetapi dia sebagai lawan Kim-sim-pai, sedangkan kami datang sebagai sababat. Guruku, Thai-yang Suhu, adalah seorang sahabat Kim Sim Lama dan kami datang untuk menggabungkan diri dengan Kim-sim-pai yang mempunyai cita-cita besar.”
“Cita-cita bagaimana?” Bong Gan mulai tertarik.
“Menggulingkan Dalai Lama dan menjadi penguasa seluruh Tibet!”
“Wah, pemberontakan? Apa hubungannya itu dengan kita? Aku tidak mau menjadi pemberontak di negeri asing!”
“Bong Gan, engkau bodoh. Kau kira akupun suka membantu pemberontakan orang Tibet? Kita bukan ikut memberontak, melainkan membantu Kim-sim-pai mencapai cita-citanya. Kalau mereka berhasil, kita tinggal pilih. Kedudukan tinggi dan kekuasaan di Tibet, atau kita dapat pulang ke timur membawa kekayaan yang amat besar. Di sini tempat harta yang amat banyak, emas permata, dan benda-benda aneh yang tak ternilai harganya.”
Bong Gan mengerutkan alisnya.
“Jadi engkau dan Thai-yang Suhu hendak bersekutu dengan Kim-sim-pai, membantu pemberontakan mereka untuk mencari kedudukan tinggi atau harta benda?”
“Tentu saja, untuk apa lagi kalau bukan mencari keuntungan? Apa artinya hidup ini kalau tidak mencari keuntungan dan kesenangan?”
Bong Gan mengangguk-angguk.
“Hem, aku tertarik sekali, Pek Lan. Akan tetapi.... bagaimana dengan suci Yauw Bi Sian?”
“Kau ajak saja ia bersama kami.”
“Uh, engkau tidak tahu bagaimana wataknya! Ia keras hati dan sudah pasti ia tidak akan suka kalau mendengar kita membantu Kim-sim-pai untuk suatu pemberontakan di Tibet. Ia.... ia.... hemm, condong untuk menentang segala yang dianggapnya jahat.”
“Hi-hik, kau maksudkan ia seorang pandekar wanita?”
Bong Gan mengangguk.
“Begitulah! Guru kami, Koay Tojin, menentang segala bentuk kejahatan dan....”
“Dan kau sendiri?”
Bong Gan menyeringai.
“Aku lebih suka mencari kesenangan dan keuntungan seperti engkau, Pek Lan.”
“Kalau begitu, tinggalkan saja suci-mu yang pura-pura alim itu. Engkau ikut dengan kami bergabung dengan Kim-sim-pai dan persetan dengan gadis itu!”
“Ah, tidak bisa begitu, Pek Lan. Meninggalkan ia begitu saja? Ah, aku.... aku....”
“Hemmm, aku tahu! Engkau jatuh cinta kepada suci-mu yang cantik itu, bukan? Dasar mata keranjang kau!”
“Tidak banyak bedanya denganmu, Pek Lan.” Bong Gan membalas.
“Hemm, kalau begitu. Bujuk dan rayu ia agar suka bergabung dengan kami. Kalau ia begitu lihai, kami lebih senang lagi dan Kim Sim Lama tentu akan suka menerima bantuannya.”
“Itulah sukarnya, Pek Lan. Terus terang saja, pernah aku menyatakan cintaku kepadanya dan ia.... ia agaknya tidak menolak, akan tetapi dengan tegas mengatakan bahwa aku dilarang bicara tentang cinta sebelum kami bertemu Pendekar Bongkok dan berhasil membalas kematian ayahnya. Kalau saja ia suka menerima cintaku sekarang juga.... kalau saja ia dapat menjadi milikku sekarang, tentu akan mudah mengajaknya bekerja sama denganmu.”
Pek Lan terkekeh genit dan merangkul leher kekasihnya.
“Huh, kalau bukan aku yang mendengar ucapanmu itu, apakah orang tidak akan menjadi gila oleh cemburu? Engkau laki-laki mata keranjang! Baiklah, jangan khawatir, guruku Thai-yang Suhu tentu akan dapat membantumu menundukkan suci-mu itu. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu setelah engkau berhasil menundukkan suci-mu, engkau harus mengajaknya untuk bergabung dengan kami!”
Tentu saja Bong Gan merasa girang bukan main.
“Baik, aku berjanji! Dan iapun tentu akan setuju karena bukankah dengan bekerja sama, akan lebih mudah untuk menghadapi Pendekar Bongkok?”
“Dan setiap saat aku menginginkan engkau harus melayaniku dengan taat!”
Bong Gan tertawa.
“Tentu saja, dengan segala senang hati!”
“Nah, kalau begitu, sekarang aku menginginkan....”
Keduanya tertawa dan kembali mereka menyelam ke dalam lautan kemesraan yang panas dan memabokkan.
Pedang bertemu tongkat dan melekat! Pek Lan menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke arah dada lawan, akan tetapi pada saat itu, Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya, memegang tongkat hanya dengan tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut dorongan tangan kiri Pek Lan.
“Plakkk!”
Dua buah tangan dengan jari terbuka itu bertemu dan saling melekat pula, seperti pedang dan tongkat! Mereka tak bergerak, saling pandang dalam jarak hanya satu meter lebih sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing cukup jelas.
Bong Gan tersenyum.
“Nona, engkau sungguh cantik jelita....”
Pek Lan juga tersenyum.
“Dan engkau perayu besar!”
“Tidak, nona. Aku bicara sejujurnya. Engkau memang cantik jelita dan manis sekali, dan ilmu kepandaianmu hebat, aku tergila-gila kepadamu, aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu, melainkan ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu yang manis itu....”
Senyum Pek Lan melebar. Gairah berahinya sudah berkobar membakar seluruh dirinya karena sikap dan ucapan Bong Gan bagaikan minyak bakar disiramkan pada api nafsu berahinya. Ia menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang digelung itu terlepas dan rambut yang panjang itu menyambar ke depan, melingkari leher Bong Gan. Ia menarik dan muka pemuda itu mendekat. Ketika dua mulut itu berternu dalam ciuman yang penuh nafsu, pedang dan tongkat jatuh dan dua pasang lengan itu saling dekap, keduanya terguling ke atas rumput!
Mereka bagaikan dua orang yang mabok, mabok oleh nafsu berahi mereka sendiri. Kedua orang ini memang cocok, keduanya mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi hamba nafsu berahi. Mereka saling menumpahkan berahi mereka lewat kemesraan yang panas.
Tiba-tiba, masing-masing terbelalak dan melepaskan rangkulan, bangkit duduk dengan napas masih terengah-engah dan keringat membasahi dahi dan leher, saling tatap seperti orang terkejut.
“Kau.... kau.... Bong Gan....?”
“Kau.... Pek Lan....?
Tadinva mereka memang hanya merasa pernah saling bertemu akan tetapi keduanya sudah saling tidak mengenal. Hal ini dapat dimaklumi, karena ketika mereka dahulu menjadi kekasih masing-masing, usia Pek Lan baru tujuh belas tahun dan usia Bong Gan bahkan baru tiga belas atau empat belas tahun!
Kini, Pek Lan telah menjadi seorang wanita cantik yang matang, sedangkan Bong Gan menjadi seorang pemuda tampan yang sudah dewasa, bukan lagi remaja setengah kanak-kanak seperti dahulu. Pula, dahulu keduanya sama sekali tidak dapat bersilat dan kini keduanya telah menjadi orang yang lihai ilmu silatnya. Akan tetapi, setelah keduanya bermesraan, barulah mereka saling mengenal dan tentu saja keduanya terkejut bukan main, terheran, juga marasa girang sekali!
“Pek Lan, ah kau Pek Lan, kekasihku....”
“Bong Gan, betapa aku rindu kepadamu....!”
Keduanya saling rangkul dan saling cium lagi, seperti dua orang kekasih yang sudah bertahun-tahun berpisah kini saling jumpa kembali. Mereka agaknya sudah lupa bahwa dalam pertemuan terakhir dahulu mereka saling serang dengan penuh kemarahan dan dendam, saling menyalahkan karena keduanya terpaksa harus pergi dari rumah gedung hartawan Coa karena tertangkap basah ketika mereka berdua melakukan hubungan gelap, berjina!
Kembali mereka tenggelam dalam gelombang nafsu berahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan menahan dada Bong Gan yang menggelutinya, lalu mendorong pemuda itu sehingga keduanya kembali bangkit duduk.
“Ada apakah, Pek Lan, kekasihku? Aku.... amat rindu kepadamu....” Bong Gan berbisik, terengah-engah.
“Nanti dulu, aku melihat engkau bersama gadis cantik itu. Isterimukah ia?” tanya Pek Lan, bukan karena cemburu hanya ingin tahu saja.
Bong Gan tersenymn lega. Disangkanya mengapa Pek Lan menghentikan percumbuan mereka, kiranya hanya untuk mengetahui hal itu.
“Bukan, sama sekali bukan. Ia bernama Yauw Bi Sian dan ia adalah kakak seperguruanku.”
“Suci-mu? Hemm, kalau begitu ia tentu lihai sekali.”
“Sudahlah, kenapa membicarakan orang lain? Engkau mengganggu saja....!”
Bong Gan merangkul dan kembali mereka tenggelam ke dalam lautan kemesraan yang penuh nafsu berahi.
Semalam suntuk, dua orang ini membiarkan diri mareka dipermainkan gelombang berahi. Mereka lupa diri, lupa susila dan lupa sagalanya, karena yang terasa hanyalah gairah nafsu yang tak terkendalikan, nafsu yang menuntut pemuasan namun yang tak mengenal puas. Dan setiap kali mereka mendapat waktu luang untuk istirahat, mereka bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah.
“Sungguh aneh keadaan kita ini, Pek Lan,” kata Bong Gan sambil membelai rambut kekasihnya dalam rangkulan. “Dahulu, ketika aku masih remaja, kita sudah saling jatuh cinta, kita bermain cinta. Kemudian, ketika kita terusir keluar dari rumah keluarga Coa, kita saling serang sampai engkau diambil murid Hek-in Kui-bo seperti yang kau ceritakan tadi, dan aku menjadi murid Koay Tojin. Kemudian, begitu bertemu, kita saling tertarik lagi tanpa saling mengenal, kemudian kita bertanding lagi, sebelum saling bermain cinta.”
“Engkau memang sudah kucinta sejak dulu, Bong Gan,” kata Pek Lan sambil mencium dagu pemuda itu. “Dan engkau sampai tiba di Lasha ada keperluan apakah?”
“Aku diminta suci-ku untuk membantunya mencari musuh besarnya.”
“Hemm, siapakah musuh besarnya?”
“Dia bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok.”
Pek Lan melepaskan rangkulannya, bahkan bangkit duduk seperti orang terkejut.
“Pendekar Bongkok? Dia....?”
Kalau gairah nafsu sudah terpuaskan dan mulai menipis, maka apa yang tadinya nampak amat indah menjadi berubah. Bong Gan tidak begitu merasakan bentuk tubuh Pek Lan yang bermandikan sinar bulan itu, tidak seindah tadi. Apalagi yang menjadi bahan percakapan kini menarik hatinya.
“Engkau sudah mengenal dia, Pek Lan?”
“Mengenalnya....?” Pek Lan tersenyum getir. Tentu saja ia sudah mengenal Pendekar Bongkok, mengenalnya dengan cara yang paling pahit. “Aku pernah bertemu dengan dia. Dia.... hemm, lihai bukan main. Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?”
“Ya, musuh besar akan tetapi juga pamannya, adik ibu kandungnya.”
“Ehh? Ceritakan kepadaku, mengapa begitu, Bong Gan,”
Kata Pek Lan dan karena hawa mulai dingin menjelang subuh itu, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meskipun belum ia pakai sebagaimana mestinya.
Bong Gan juga mulai mengenakan kembali pakaiannya. Dia tidak begitu bargairah lagi setelah semua nafsu yang bergelora disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai teringat akan hal-hal lain seperti Bi Sian dan perjalanan mereka ke Lasha.
“Suci adalah keponakan Pendekar Bongkok karena Sie Liong itu adik kandung ibunya....”
“Tapi Pendekar Bongkok itu masih amat muda!”
“Memang selisih usia mereka tidak banyak. Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su, yaitu suheng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu hari, Pendekar Bongkok telah.... eh, dia membunuh ayah kandung suci. Karena itu, suci mendendam dan mencari Pendekar Bongkok, pamannya itu. Karena tahu akan kelihaian pamannya, maka dia minta bantuanku dan kami berdua mengikuti jejak Pendekar Bongkok sampai ke Lasha.”
“Hemm, kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama. Akupun dimusuhi Pendekar Bongkok dan dia kami anggap sebagai musuh. Kalau engkau suka bergabung dengan kami, Bong Gan, tentu keadaan kita akan lebih kuat. Apalagi, setelah kini saling bertemu, aku tidak ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan engkau!”
Song Gan mendekat dan mencium pipi wanita itu.
“Engkau tahu perasaanku terhadapmu, Pek Lan, dan engkau tahu tidak ada kesenangan lebih besar bagiku melebihi kesenangan bekerja sama denganmu dan selalu berada di dekatmu. Akan tetapi, bagaimana dengan suci? Kalau ia marah kepadaku dan menentang kita, ia akan menjadi penghalang besar dan menambah musuh yang amat berbahaya bagi kita.”
“Kenapa menjadi musuh? Bukankah ia memusuhi Pandekar Bongkok? Ajak saja ia bergabung dangan kami. Thai-yang Suhu, guruku dalam ilmu sihir itu tentu akan suka pula bergabung dengan kalian.”
“Maksudmu pendeta yang kulihat bersamamu di rumah makan itu?” Baru sekarang Bong Gan teringat akan pendeta itu. “Jadi dia itu gurumu yang baru?”
“Dia sahabat subo Hek-in Kui-bo dan kini mengajarkan ilmu sihir kepadaku, menjadi guruku pula.”
“Dan kalian hendak pergi ke manakah? Mengapa sampai pula di Lasha?”
“Kami hendak pergi menghadap Kim Sim Lama, ketua Kim-sim-pai....”
“Ah! Sie Liong Si Pendekar Bongkok juga ke sana!”
“Akan tetapi dia sebagai lawan Kim-sim-pai, sedangkan kami datang sebagai sababat. Guruku, Thai-yang Suhu, adalah seorang sahabat Kim Sim Lama dan kami datang untuk menggabungkan diri dengan Kim-sim-pai yang mempunyai cita-cita besar.”
“Cita-cita bagaimana?” Bong Gan mulai tertarik.
“Menggulingkan Dalai Lama dan menjadi penguasa seluruh Tibet!”
“Wah, pemberontakan? Apa hubungannya itu dengan kita? Aku tidak mau menjadi pemberontak di negeri asing!”
“Bong Gan, engkau bodoh. Kau kira akupun suka membantu pemberontakan orang Tibet? Kita bukan ikut memberontak, melainkan membantu Kim-sim-pai mencapai cita-citanya. Kalau mereka berhasil, kita tinggal pilih. Kedudukan tinggi dan kekuasaan di Tibet, atau kita dapat pulang ke timur membawa kekayaan yang amat besar. Di sini tempat harta yang amat banyak, emas permata, dan benda-benda aneh yang tak ternilai harganya.”
Bong Gan mengerutkan alisnya.
“Jadi engkau dan Thai-yang Suhu hendak bersekutu dengan Kim-sim-pai, membantu pemberontakan mereka untuk mencari kedudukan tinggi atau harta benda?”
“Tentu saja, untuk apa lagi kalau bukan mencari keuntungan? Apa artinya hidup ini kalau tidak mencari keuntungan dan kesenangan?”
Bong Gan mengangguk-angguk.
“Hem, aku tertarik sekali, Pek Lan. Akan tetapi.... bagaimana dengan suci Yauw Bi Sian?”
“Kau ajak saja ia bersama kami.”
“Uh, engkau tidak tahu bagaimana wataknya! Ia keras hati dan sudah pasti ia tidak akan suka kalau mendengar kita membantu Kim-sim-pai untuk suatu pemberontakan di Tibet. Ia.... ia.... hemm, condong untuk menentang segala yang dianggapnya jahat.”
“Hi-hik, kau maksudkan ia seorang pandekar wanita?”
Bong Gan mengangguk.
“Begitulah! Guru kami, Koay Tojin, menentang segala bentuk kejahatan dan....”
“Dan kau sendiri?”
Bong Gan menyeringai.
“Aku lebih suka mencari kesenangan dan keuntungan seperti engkau, Pek Lan.”
“Kalau begitu, tinggalkan saja suci-mu yang pura-pura alim itu. Engkau ikut dengan kami bergabung dengan Kim-sim-pai dan persetan dengan gadis itu!”
“Ah, tidak bisa begitu, Pek Lan. Meninggalkan ia begitu saja? Ah, aku.... aku....”
“Hemmm, aku tahu! Engkau jatuh cinta kepada suci-mu yang cantik itu, bukan? Dasar mata keranjang kau!”
“Tidak banyak bedanya denganmu, Pek Lan.” Bong Gan membalas.
“Hemm, kalau begitu. Bujuk dan rayu ia agar suka bergabung dengan kami. Kalau ia begitu lihai, kami lebih senang lagi dan Kim Sim Lama tentu akan suka menerima bantuannya.”
“Itulah sukarnya, Pek Lan. Terus terang saja, pernah aku menyatakan cintaku kepadanya dan ia.... ia agaknya tidak menolak, akan tetapi dengan tegas mengatakan bahwa aku dilarang bicara tentang cinta sebelum kami bertemu Pendekar Bongkok dan berhasil membalas kematian ayahnya. Kalau saja ia suka menerima cintaku sekarang juga.... kalau saja ia dapat menjadi milikku sekarang, tentu akan mudah mengajaknya bekerja sama denganmu.”
Pek Lan terkekeh genit dan merangkul leher kekasihnya.
“Huh, kalau bukan aku yang mendengar ucapanmu itu, apakah orang tidak akan menjadi gila oleh cemburu? Engkau laki-laki mata keranjang! Baiklah, jangan khawatir, guruku Thai-yang Suhu tentu akan dapat membantumu menundukkan suci-mu itu. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu setelah engkau berhasil menundukkan suci-mu, engkau harus mengajaknya untuk bergabung dengan kami!”
Tentu saja Bong Gan merasa girang bukan main.
“Baik, aku berjanji! Dan iapun tentu akan setuju karena bukankah dengan bekerja sama, akan lebih mudah untuk menghadapi Pendekar Bongkok?”
“Dan setiap saat aku menginginkan engkau harus melayaniku dengan taat!”
Bong Gan tertawa.
“Tentu saja, dengan segala senang hati!”
“Nah, kalau begitu, sekarang aku menginginkan....”
Keduanya tertawa dan kembali mereka menyelam ke dalam lautan kemesraan yang panas dan memabokkan.
**** 100 ****
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar