Ads

Rabu, 22 Januari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 101

Mereka memasuki kota Lasha sambil menuntun kuda tunggangan mereka yang nampak lelah sekali. Sie Lan Hong memandang ke kanan kiri, mengagumi bangunan-bangunan kuno yang kokoh dan megah di lereng bukit-bukit itu. Sungguh sebuah kota yang aneh dan juga asing baginya. Melihat daerah yang luas itu, perumahan yang berada di lereng-lereng bukit, orang-orang yang berlalu lalang di jalan-jalan lebar, iapun mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.

“Lie-toako, di tempat besar seperti ini, ke mana kita harus mencari puteriku dan adikku?”

Lie Bouw Tek tersenyum, dan memandang wanita itu dengan sinar mata lembut dan menghibur.

“Jangan khawatir, Hong-moi. Yang kita cari adalah dua orang Han, maka tentu tidak akan begitu sukar. Tidak banyak orang Han di sini, maka kalau mereka berada di sini, tentu ada yang melihat mereka.”

“Sekarang, kita kemana toako?”

“Kita mencari tempat penginapan dulu, menyewa dua buah kamar, dan membiarkan kuda kita mendapat perawatan, kemudian kita membersihkan diri, lalu makan. Setelah itu, baru kita pergi menghadap atau berusaha agar dapat diterima menghadap Dalai Lama.”

“Menghadap Dalai Lama? Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa kedudukan Dalai Lama amat tinggi, hampir seperti kaisar kita, dan tidak akan mudah menghadap beliau.”

“Benar, akan tetapi aku yakin akan dapat diterimanya, Hong-moi. Aku mengenal beliau pribadi, karena aku pernah membantu beliau ketika ada segerombolan penjahat hendak membunuh beliau.”

“Akan tetapi, adikku Sie Liong mungkin pergi mencari Tibet Ngo-houw, kenapa engkau hendak mengajak aku menghadap Dalai Lama?”

“Begini, Hong-moi. Aku sendiri menerima tugas dari Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw memusuhi para tosu, bahkan memusuhi pula Kun-lun-pai. Dan di sepanjang perjalanan kita mendengar akan adanya perkumpulan Kim-sim-pai yang kabarnya hendak memberontak. Maka, kupikir sebaiknya kalau aku langsung saja bertanya kepada Dalai Lama tentang sikap Tibet Ngo-houw itu. Aku yakin di sana aku akan bisa mendapatkan keterangan yang lebih jelas. Dan tentang mencari adikmu dan puterimu, kukira orang-orang Dalai Lama akan lebih tahu, atau setidaknya akan lebih mudah kedua orang itu ditemukan kalau Dalai Lama membantu, menyuruh orang-orangnya untuk menyelidiki dan mencari.”

Sie Lan Hang mengangguk-angguk. Memang ia tahu bahwa Lie Bouw Tek adalah seorang pria yang hebat, yang gagah perkasa, cerdik dan juga berpengalaman. Ia merasa lemah dan bodoh sekali berada di samping pria ini, dan ia merasa aman dan terlindung.

Alangkah bedanya ketika ia masih menjadi isteri Yauw Sun Kok. Ia tak pernah merasa tenteram, tak pernah merasa aman bahkan selalu merasa gelisah, takut dan juga sakit hati. Lie Bouw Tek yang bukan apa-apanya, tidak ada hubungan apapun antara mereka telah bersikap demikian baiknya!

Begitukah sikap setiap orang pendekar, ataukah ada sesuatu yang istimewa dalam hubungan di antara mereka? Mengingat akan hal ini, seringkali Lan Hong tersipu malu. Tidak, bantahnya kepada diri sendiri. Ia hanya seorang janda yang mempunyai seorang puteri lagi. Ia bukan seorang gadis muda! Sedangkan Lie Bouw Tek adalah seorang pendekar gagah perkasa dan budiman, seorang tokoh Kun-lun-pai yang terkenal! Betapa mungkin.... ah, ia telah mengharapkan terlalu jauh, sungguh tidak tahu malu!

Lan Hong menurut saja ketika Lie Bouw Tek mengajaknya mencari rumah penginapan. Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan dan menyerahkan dua ekor kuda mereka kepada pelayan untuk diberi makan.

Setelah mandi, dengan tubuh terasa segar dan pakaian bersih menggantikan pakaian mereka yang penuh debu, keduanya lalu pergi ke rumah makan. Mereka tidak terlalu menarik perhatian, seperti sepasang suami isteri saja. Lie Bouw Tek sendiri walaupun dia seorang pendekar besar, namun dia tidak menonjolkan diri dan pedang pusakanyapun tersembunyi di balik baju luarnya.

Atas nasihat Lie Bouw Tek pula, Sie Lan Hong juga menyembunyikan pedangnya sehingga tidak terlalu menyolok. Pedang Lan Hong memang hanya pedang pendek, maka setelah diselipkan di ikat pinggang, ujung sarung pedang masih tertutup baju, dan gagangnya juga tidak nampak walaupun ada kalanya ujung itu menonjol keluar.






Setelah makan, merekapun pada pagi hari itu juga menuju ke istana Dalai Lama di lereng bukit. Suasana di bukit itu sungguh nyaman. Terdapat beberapa buah taman bunga yang indah, dan suasananya aman dan tenteram. Para pendeta Lama yang kadang-karang bersimpang jalan dengan mereka, bersikap hormat dan ramah.

Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang memasuki daerah istana itu, beberapa orang pendeta Lama menghadang mereka. Biarpun sikap mereka hormat, namun mereka dengan tegas mengatakan bahwa orang luar tidak diperkenankan memasuki daerah itu tanpa ijin.

“Harap kalian memaafkan kami,” kata kepala jaga dengan sikap hormat. “Kalau hendak berjalan-jalan dan menikmati keadaan, harap lakukan itu di luar daerah istana. Tak seorangpun, tanpa ijin, diperbolehkan memasuki daerah dalam pintu gerbang.”

Lie Bouw Tek tersenyum dan menjura dengan hormat, diikuti pula oleh Lan Hong.
“Harap saudara sekalian suka memaafkan saya. Memang saya sengaja datang ke Lasha untuk menghadap Dalai Lama. Harap saudara sudi melaporkan ke dalam dan mengatakan bahwa kami ingin menghadap Dalai Lama karena ada suatu keperluan yang amat penting.”

“Omitohud....!” Kepala jaga itu berseru. “Apakah sicu (tuan yang gagah) mengira akan demikian mudah saja bertemu dengan beliau? Tanpa panggilan bagaimana sicu dapat diperkenankan menghadap? Pinceng (saya) sungguh tidak berani lancang mengganggu beliau di pagi hari ini, tanpa alasan yang cukup kuat.”

“Sobat, harap sampaikan saja ke dalam bahwa saya adalah utusan dari Kun-lun-pai yang ingin menyampaikan sesuatu yang teramat penting untuk Dalai Lama,” kata pula Lie Bouw Tek dengan sikap dan suaranya yang tenang berwibawa.

Mendengar disebutnya Kun-lun-pai, sikap para pendeta penjaga itu berubah dan kepala jaga memandang dengan sikap lebih hormat.

“Omitohud, kiranya sicu utusan dari Kun-lun-pai? Harap sicu menyampaikan surat dari ketua Kun-lun-pai lebih dahulu kepada Dalai Lama melalui kami. Setelah surat itu kami sampaikan, tentu sicu diperkenankan masuk menghadap.”

Akan tetapi Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya.
“Sobat, sampaikan saja kepada Dalai Lama bahwa saya, Lie Bouw Tek murid Kun-lun-pai, mohon menghadap. Kalau mendengar nama saya, tentu beliau akan sudi menerimaku.”

Pada saat itu, seorang pendeta Lama yang usianya sudah lima puluh tahun lebih berjalan tenang dari sebelah dalam. Begitu melihat Lie Bouw Tek, diapun cepat menghampiri dan menjura dengan sikap hormat.

“Omitohud.... kiranya Lie Taihiap yang berada di sini! Selamat datang, taihiap. Ada keperluan apakah gerangan yang membawa taihiap datang berkunjung ke Lasha?”

Lie Bouw Tek tidak mengenal pendeta Lama itu, akan tetapi dia tahu bahwa pendeta ini tentu seorang di antara mereka yang dulu tahu akan bantuan yang dia berikan kepada Dalai Lama. Diapun cepat memberi hormat dan berkata dengan lembut.

“Selamat bertemu, losuhu. Saya datang untuk mohon menghadap Dalai Lama karena ada suatu hal yang amat penting harus saya sampaikan kepada beliau. Tolonglah, harap mintakan ijin kepada beliau agar saya diperkenankan menghadap sekarang juga.”

“Baik, taihiap. Tunggulah sebentar di sini!” kata pendeta itu yang bergegas masuk ke arah bangunan istana yang megah itu.

Kini para pendeta jaga bersikap hormat dan ramah, bahkan mempersilakan Bouw Tek dan Lan Hong untuk duduk menanti di dalam gardu penjagaan.

Tak lama kemudian, muncullah enam orang pendeta Lama yang merupakan sebuah pasukan kecil berbaris menghampiri tempat itu. Mereka ditemani oleh pendeta Lama yang tadi menegur Bouw Tek, yang kini tersenyum ramah.

“Silakan, taihiap. Dalai Lama yang agung mengundang taihiap.”

“Akan tetapi, saya datang bersama Sie-toanio ini, harap agar iapun diperkenankan menemani saya untuk menghadap Dalai Lama.”

Pendeta itu mengerutkan alisnya.
“Tidak biasanya Dalai Lama mau menerima tamu wanita. Akan tetapi karena toanio ini datang bersamamu, maka silakan masuk. Terserah kepada Dalai Lama sendiri nanti setelah ji-wi (kalian berdua) tiba di luar ruangan tamu, apakah toanio ini diperkenankan ikut masuk ataukah dipersilakan menunggu di luar ruangan.”

Lie Bouw Tek mengangguk dan bersama Lan Hong, dia lalu mengikuti enam orang pendeta itu yang mengawal dan menjadi penunjuk jalan. Setelah mereka memasuki istana, tidak seperti Lie Bouw Tek yang pernah satu kali masuk ke istana ini, Lan Hong memandang ke kanan kiri dengan bengong.

Ia terpesona menyaksikan segala keindahan yang terdapat di istana itu. Ukir-ukiran yang indah sekali, marmar, emas, perak, sutera beraneka warna! Ia merasa seperti memasuki sebuah istana dalam mimpi! Patung-patung logam, marmar, perak atau emas yang ukirannya amat indahnya, lukisan-lukisan. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah Lan Hong menyaksikan keindahan seperti itu.

Ketika mereka tiba di luar sebuah pintu besar yang terjaga, enam orang pendeta pengawal itu mempersilakan mereka menanti sebentar. Seorang di antara mereka memasuki ruangan di balik pintu besar itu, dari mana keluar keharuman cendana yang nyaman. Tak lama kemudian, pendeta itu keluar lagi dengan wajah cerah.

“Taihiap dan toanio dipersilakan masuk untuk menghadap Yang Agung Dalai Lama!”

Dengan wajah gembira Lie Bouw Tek lalu mengajak Sie Lan Hong menasuki ruangan itu. Akan tetapi Sie Lan Hong sendiri agak gemetar ketika melangkah masuk. Ruangan itu luas dan nampak sunyi karena kosong. Di sudut paling belakang, nampak ada seorang pria duduk di atas sebuah kursi yang besar dan terukir indah, mengenakan jubah dan kepalanya tertutup topi pendeta.

“Selamat datang, pendekar perkasa Lie Bouw Tek dan toanio! Silakan duduk!”

Lie Bouw Tek cepat maju memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam. Sie Lan Hong juga memberi hormat, akan tetapi ia merasa heran bukan main.

Tadinya ia membayangkan bahwa Dalai Lama yang mengepalai para pendeta Lama di Tibet, tentu seorang kakek yang tua renta keriputan dan buruk. Akan tetapi ternyata sama sekali tidak demikian! Pendeta yang duduk menyendiri itu usianya hanya beberapa tahun saja lebih tua dari Lie Bouw Tek, dan wajahnya tampak bersih! Wajah yang cerah dengan sepasang mata yang terang dan jernih, senyum yang terbuka dan seluruh gerak geriknya membayangkan kesabaran, keagungan dan kebesaran hati.

Setelah Bouw Tek dan Lan Hong duduk di atas kursi yang agaknya sudah disediakan untuk mereka, menghadap ke arah Dalai Lama, nampaklah oleh mereka bahwa di belakang Dalai Lama terdapat sehelai kain sutera putih dan di balik kain sutera itu berdiri beberapa orang pendeta Lama yang tak bergerak bagaikan arca-arca mati saja.

Bouw Tek maklum bahwa sedikitnya sepuluh orang pendeta Lama berdiri di sana, dan mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, yang merupakan pasukan pengawal yang melindungi keselamatan Dalai Lama.

Dalai Lama sendirl memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ditambah penjagaan pasukan pengawal pribadi ini, dan adanya ratusan orang pendeta Lama di kompleks istana itu, maka tentu saja tempat itu amatlah kuatnya. Apalagi di benteng yang setiap waktu siap mentaati perintah Dalai Lama.

“Nah, menurut laporan tadi engkau datang sebagai utusan Kun-lun-pai, maka katakanlah semua keperluanmu berkunjung ke sini, taihiap.”

Dari tempat duduknya, Bouw Tek memberi hormat kepada orang pertama yang paling berkuasa di Tibet itu.

“Mohon dimaafkan kelancangan saya. Karena para pimpinan Kun-lun-pai yang mengutus saya itu hanya menyampaikan pesan melalui beberapa orang murid yang menyusul saya, maka saya tidak membawa surat perintah tertulis. Sebetulnya, tugas saya dari Kun-lun-pai adalah untuk menyelidiki Tibet Ngo-houw, akan tetapi karena saya merasa yakin akan dapat paduka terima dengan baik, maka saya langsung saja menghadap paduka untuk mohon pertimbangan dan kebijaksanaan.”

Dalai Lama masih tersenyum walaupun pandang matanya kehilangan cahaya kelembutannya sebentar mendengar disebutnya nama Tibet Ngo-houw tadi.




Pendekar Bongkok Jilid 100
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar