Seorang diantara tiga orang itu cepat mendekap mulut yang menjerit-jerit itu, dan pada saat bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut mengancam Ling Ling, pada saat terakhir ketika ia sudah ditelentangkan di lantai guha dan seorang diantara tiga pemuda buas itu menindihnya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke dalam guha.
“Aduuuhh....!”
“Auhhh....!”
“Heiii, aduhh....!”
Demikian cepat terjadinya sehingga Ling Ling sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu tiga pemuda itu telah melepaskan tangan-tangan mereka dari tubuhnya dan merekapun seperti terseret keluar dari dalam guha sambil mengaduh-aduh.
“Aku gila.... Jangan ganggu aku,..... aku jelek dan gila....!”
Ia cepat meraih tanah dari sudut guha dan melumuri muka dan semua tubuhnya dengan tanah basah itu, juga rambutnya, bahkan ia menyambar pakaian yang sudah kering, menggosok-gosokkan pakaiannya pada dinding guha yang lembab, kemudian ia mengenakan kembali pakaiannya, dengan rambut yang kotor, muka yang kotor, lalu ia tertawa, menangis, berteriak-teriak, berlagak kembali seperti orang gila!
Tiga orang pemuda itu tentu saja terkejut dan merasa ngeri ketika tadi tiba-tiba pundak mereka terpukul, membuat kedua lengan mereka seperti lumpuh, dan sebelum mereka dapat melihat jelas siapa yang melakukan penyerangan terhadap diri mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak dan tubuh mereka diseret keluar dari dalam guha dengan kasar. Mereka meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia.
Bahkan, semakin keras mereka meronta, semakin nyeri rasanya, rambut kepala mereka seperti akan copot bersama kulit kepala mereka. Oleh karena itu, mereka tidak berani meronta lagi dan diam saja diseret keluar dari dalam guha lalu terus diseret sampai jauh dari guha.
Mereka merasa semakin ngeri ketika kini nampak bahwa yang menyeret mereka adalah seorang laki-laki yang tubuhnya bongkok, dan orang itu menggunakan sebelah tangan, yaitu tangan kanan yang menjambak rambut mereka bertiga menjadi satu dan menyeret mereka dengan ringan saja!
Melihat bahwa yang menyeret mereka hanyalah seorang laki-laki bongkok yang lengannya hanya sebelah, karena yang kiri nampaknya buntung, tiga orang pemuda itu menjadi marah sekali.
“Keparat busuk! Berani engkau! Lepaskan rambutku!” teriak mereka.
Orang itu bukan lain adalah Sie Liong! Hari itu tepat merupakan hari terakhir bekerjanya racun perampas ingatan di dalam kepalanya, dan dia kini mulai teringat siapa dirinya, teringat pula mengapa lengan kirinya buntung. Dia mulai teringat semuanya.
Tadi, ketika dia berjalan perlahan-lahan di tepi telaga, kehilangan kebingungannya yang selama ini dideritanya, dia mendengar jerit wanita minta tolong. Dengan kecepatan yang sampai sekarang masih membuatnya sendiri terheran-heran, tubuhnya berkelebat dan ketika dia memasuki guha kecil itu dan melihat tiga orang pemuda sedang menggeluti seorang wanita yang bugil dan meronta-ronta, dia lalu turun tangan.
Dengan ketukan perlahan saja, menggunakan tangan tunggalnya, tiga orang pemuda itu melepaskan calon korban mereka, dan dengan cepat, tangan Sie Liong sudah mencengkeram rambut kepala mereka dengan satu tangan, kemudian menyeret mereka keluar dari dalam guha.
Mendengar bentakan mereka, Sie Liong melepaskan jambakan tangannya. Tiga orang pemuda nelayan itu berloncatan berdiri, kepala terasa nyeri dan pedas oleh jambakan tadi. Mereka marah bukan main, bukan saja karena kesenangan mereka terganggu dan gagal, akan tetapi juga karena mereka merasa diperlakukan dengan penghinaan.
Tanpa banyak cakap lagi, tiga orang pemuda itu menerjang maju untuk menghajar pemuda bongkok yang lengannya hanya tinggal sebelah. Mereka mengeluarkan suara mendengus-dengus, dan serangan mereka itu penuh kemarahan.
“Ehhh....?”
Mereka terbelalak karena yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan yang nampak hanya bayangan berkelebat. Mereka membalik dan melihat bahwa pemuda bongkok itu sudah berada di belakang mereka. Mereka bergerak untuk menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba Sie Liong menggerakkan lengan kanan. Tangannya menyambar dan tiga orang itupun terjengkang, terbanting keras!
“Hemm, kalian ini tiga orang jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!” terdengar Sie Liong berkata lirih.
Tiga orang itu berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali tubuh mereka bergerak hendak bangkit, ujung lengan baju kiri yang kosong itu menyambar, mengenai pipi atau leher dan mereka merasa seperti disambar petir. Akhirnya, tiga orang itu menjadi ketakutan dan mereka berlutut minta-minta ampun.
“Ampunkan kami...., taihiap, jangan bunuh kami....!”
Mereka berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas, muka mereka sudah matang biru dan bengkak-bengkak.
Sie Liong mengerutkan alisnya.
“Kalian penjahat atau perampok?” tanyanya ragu karena dia melihat betapa mereka berpakaian seperti nelayan biasa.
“Ampun, taihiap, kami.... kami bukan penjahat.... kami adalah nelayan yang baru pulang dari menjala ikan....”
“Huh, kalian jahat!” kata Sie Liong. Akan tetapi di dalam hatinya, dia telah mengampuni mereka. “Pergilah!” Kakinya menendang tiga kali dan tiga orang itu terguling-guling, lalu mereka bangkit dan melarikan diri ketakutan.
Dia teringat kepada wanita yang hampir diperkosa oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, maka kakinya melangkah perlahan menuju ke guha kecil di tepi telaga.
“Jangan ganggu.... aku jelek.... aku gila.... aku kotor, heh-heh-heh.... hi-hi-hik, jangan ganggu aku....”
Terdengar suara wanita itu dalam guha itu. Sie Liong cepat menyelinap di balik sebatang pohon. Dia mengintai ketika wanita itu keluar dari guha dan alisnya berkerut. Seorang wanita jembel gila! Rambutnya kotor kusut, mukanya sebagian tertutup rambut, muka yang kotor berlumpur pula. Pakaiannya butut dan kotor. Sungguh seorang wanita yang kotor menjijikkan, gila lagi! Dan wanita inikah yang nyaris diperkosa tiga orang pemuda tadi? Gilakah mereka itu? Bagaimana mungkin ada pria yang bangkit gairah berahinya melihat wanita jembel gila yang menjijikkan ini?
“Hi-hi-hik, aku gila.... ha-ha.... jangan ganggu aku.... ah, jangan ganggu aku....!”
Wanita itu adalah Ling Ling. Setelah tiga orang pria yang mengganggunya tadi lenyap, dan setelah ia mengubah dirinya menjadi jembel gila lagi, baru ia berani keluar dan untuk melindungi dirinya dari gangguan, ia sudah tertawa-tawa lagi.
Akan tetapi, setelah ia melihat bahwa di situ tidak ada orang, ia menghentikan tawanya dan terjatuhlah ia berlutut dan menangis sesenggukan! Ia teringat akan peristiwa mengerikan tadi. Hampir saja ia menjadi korban perkosaan dan teringat akan ini, ia menjadi ketakutan dan teringat ia betapa di situ tidak ada Sie Liong yang tentu akan selalu melindunginya.
Sementara itu, Sie Liong dari tempat pengintaiannya tadinya juga mengira bahwa wanita itu memang jembel gila. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita itu menengok ke kanan kiri, kemudian menghentikan tingkah gilanya dan suara ketawanya, bahkan lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis sesenggukan, dia memandang heran dan alisnya berkerut.
Dia adalah seorang yang cerdik dan tidak mudah ditipu. Tahulah dia bahwa wanita itu hanya pura-pura gila! Ketawanya tadi adalah palsu, dan tangisnya yang sekarang inilah baru asli! Dia mendengarkan dengan ketajaman pendengarannya ketika wanita yang menangis itu merintih dan mengeluh.
“Hu-huu.... Liong-ko.... ahhh, Liong-koko.... uhu-hu-hu.... kenapa engkau begitu tega.... Liong-ko.... uhu-huuu.... kalau ada engkau, tentu tidak ada.... yang berani mengangguku.... aih, Liong-koko.... di mana engkau....?”
Sie Llong merasa seperti kepala disambar kilat ketika dia mendengar rintihan dan keluh kesah ini. Bagaikan seekor kijang, tubuhnya sudah melompat dan meluncur ke arah wanita yang berlutut sambil menangis itu.
Dipegangnya pundak wanita itu, diangkatnya mukanya lalu tangan yang tinggal sebelah itu menyingkap rambut yang kusut menutupi muka. Dipandangnya muka yang kotor itu. Sinar matahari pagi menyinari muka itu. Sie Liong menggunakan tangannya untuk mengusap lumpur dari pipi dan dia terbelalak.
“Ling-moi....! Ling Ling.... ah, Ling Ling.... kenapa engkau jadi begini....?” Sie Liong berlutut.
Ling Ling terbelalak, wajahnya pucat sekali, diamatinya muka laki-laki itu, lalu pandang matanya menurun, ke arah lengan kiri yang buntung.... lalu ke arah wajah itu kembali. Matanya terbelalak terus tanpa berkedip, bibirnya bergerak-gerak, tak mampu bersuara hanya mewek-mewek ke arah tangis dan butir-butir air mata menetes turun, dan dengan susah payah baru ia dapat bersuara.
“Liong-ko....? Engkau.... engkau....” matanya memandang lengan kiri yang buntung.
“....engkau Liong-koko....?”
“Ling-moi, ini aku, Sie Liong....”
“Liong-koko....!”
Gadis itu menubruk, merangkul leher Sie Liong dan roboh pingsan dalam pelukan lengan kanan Sie Liong yang memangkunya.
“Ling-moi, ah, Ling-moi.... kau maafkan aku, Ling-moi....!”
Sie Liong merangkul dan mencimm pipi yang kotor dengan lumpur itu, dan air matanya pun jatuh membasahi pipi itu. Kecerdikannya membuka pikirannya dan dia dapat menduga apa yang terjadi.
Ling Ling yang ditinggalkan pada bibi Cili, dan baru hari ini hal itu teringat olehnya lebih dari satu bulan, kurang lebih dua bulan yang lalu, tentu telah pergi meninggalkan rumah bibi Cili dan nekat pergi hendak mencarinya. Dan agaknya, dangan cerdik Ling Ling telah menyamar sebagai seorang jembel gila untuk menghindarkan godaan para pria yang jahat dan kurang ajar. Akan tetapi, mengapa tadi nyaris ia diperkosa tiga orang laki-laki muda, hal itu tidak dapat dia menduganya.
Dengan perlahan dan hati-hati, setelah merebahkan tubuh Ling Ling di atas rumput, Sie Liong mengurut tengkuknya. Ling Ling siuman kembali dan begitu membuka kedua matanya dan dapat bergerak, ia sudah berseru gelisah,
“Liong-ko, di mana engkau....?” Dan iapun serentak bangkit duduk.
Sie Liong merangkulnya dari samping.
“Aku di sini, Ling Ling....”
Ling Ling menoleh.
“Aihhh, Liong-koko.... engkau benar Liong-koku....!”
Ia merangkul dan menangis sesenggukan di atas dada pemuda bongkok itu. Sie Liong membiarkan gadis itu menangis, membiarkan ia melepaskan semua kegelisahan dan kedukaan yang diderita selama ini agar larut bersama tangisnya.
Setelah tangisnya mereda karena kehabisan air mata, Ling Ling mengangkat mukanya dari dada Sie Liong dan memandang wajah pemuda itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan matanya kini bersinar, tidak layu dan muram seperti tadi.
“Liong-koko, kenapa engkau pergi begitu lama? Ah, Liong-koko, jangan kau tinggalkan aku lagi. Lebih baik aku mati saja daripada harus kau tinggalkan lagi, Liong-koko....”
Tiba-tiba ia teringat, lalu memandang ke arah lengan kiri pemuda itu. Wajahnya pucat kembali, matanya terbelalak dan dengan kedua tangannya ia menangkap lengan baju kiri yang kosong, meraba-raba, mencari-cari isi lengan baju itu.
“Liong-ko.... di mana lengan kirimu? Liong-koko, apa yang terjadi....? Engkau.... lengan kirimu.... buntung....?”
Sie Liong mengangguk, akan tetapi dia tersenyum. Dia tahu bahwa dia kehilangan lengan kiri, akan tetapi diapun sebagai gantinya mendapatkan ilmu yang amat hebat, sehingga kini dia memiliki tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan sebelum kehilangan lengan kirinya.
“Aku terjebak oleh musuh ketika melakukan penyelidikan. Mereka jahat dan kejam. Lengan kiriku buntung dan aku bahkan nyaris tewas. Tuhan masih melindungiku, Ling Ling, sehingga aku masih dapat bertemu denganmu.”
“Liong-koko.... ah, Liong-koko, kasihan sekali engkau....” gadis itu meraba-raba, lalu menyingkap baju pemuda itu.
Melihat betapa lengan kiri itu buntung sampai dekat pundak, dan bekas tempat lengan itu kini merupakan luka yang berkeriput, ia merangkul dan menangis sambil menciumi pundak yang tanpa lengan itu, menciumi bekas luka itu. Ia seolah hendak membersihkan luka itu dengan air matanya.
“Aduuuhh....!”
“Auhhh....!”
“Heiii, aduhh....!”
Demikian cepat terjadinya sehingga Ling Ling sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu tiga pemuda itu telah melepaskan tangan-tangan mereka dari tubuhnya dan merekapun seperti terseret keluar dari dalam guha sambil mengaduh-aduh.
“Aku gila.... Jangan ganggu aku,..... aku jelek dan gila....!”
Ia cepat meraih tanah dari sudut guha dan melumuri muka dan semua tubuhnya dengan tanah basah itu, juga rambutnya, bahkan ia menyambar pakaian yang sudah kering, menggosok-gosokkan pakaiannya pada dinding guha yang lembab, kemudian ia mengenakan kembali pakaiannya, dengan rambut yang kotor, muka yang kotor, lalu ia tertawa, menangis, berteriak-teriak, berlagak kembali seperti orang gila!
Tiga orang pemuda itu tentu saja terkejut dan merasa ngeri ketika tadi tiba-tiba pundak mereka terpukul, membuat kedua lengan mereka seperti lumpuh, dan sebelum mereka dapat melihat jelas siapa yang melakukan penyerangan terhadap diri mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak dan tubuh mereka diseret keluar dari dalam guha dengan kasar. Mereka meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia.
Bahkan, semakin keras mereka meronta, semakin nyeri rasanya, rambut kepala mereka seperti akan copot bersama kulit kepala mereka. Oleh karena itu, mereka tidak berani meronta lagi dan diam saja diseret keluar dari dalam guha lalu terus diseret sampai jauh dari guha.
Mereka merasa semakin ngeri ketika kini nampak bahwa yang menyeret mereka adalah seorang laki-laki yang tubuhnya bongkok, dan orang itu menggunakan sebelah tangan, yaitu tangan kanan yang menjambak rambut mereka bertiga menjadi satu dan menyeret mereka dengan ringan saja!
Melihat bahwa yang menyeret mereka hanyalah seorang laki-laki bongkok yang lengannya hanya sebelah, karena yang kiri nampaknya buntung, tiga orang pemuda itu menjadi marah sekali.
“Keparat busuk! Berani engkau! Lepaskan rambutku!” teriak mereka.
Orang itu bukan lain adalah Sie Liong! Hari itu tepat merupakan hari terakhir bekerjanya racun perampas ingatan di dalam kepalanya, dan dia kini mulai teringat siapa dirinya, teringat pula mengapa lengan kirinya buntung. Dia mulai teringat semuanya.
Tadi, ketika dia berjalan perlahan-lahan di tepi telaga, kehilangan kebingungannya yang selama ini dideritanya, dia mendengar jerit wanita minta tolong. Dengan kecepatan yang sampai sekarang masih membuatnya sendiri terheran-heran, tubuhnya berkelebat dan ketika dia memasuki guha kecil itu dan melihat tiga orang pemuda sedang menggeluti seorang wanita yang bugil dan meronta-ronta, dia lalu turun tangan.
Dengan ketukan perlahan saja, menggunakan tangan tunggalnya, tiga orang pemuda itu melepaskan calon korban mereka, dan dengan cepat, tangan Sie Liong sudah mencengkeram rambut kepala mereka dengan satu tangan, kemudian menyeret mereka keluar dari dalam guha.
Mendengar bentakan mereka, Sie Liong melepaskan jambakan tangannya. Tiga orang pemuda nelayan itu berloncatan berdiri, kepala terasa nyeri dan pedas oleh jambakan tadi. Mereka marah bukan main, bukan saja karena kesenangan mereka terganggu dan gagal, akan tetapi juga karena mereka merasa diperlakukan dengan penghinaan.
Tanpa banyak cakap lagi, tiga orang pemuda itu menerjang maju untuk menghajar pemuda bongkok yang lengannya hanya tinggal sebelah. Mereka mengeluarkan suara mendengus-dengus, dan serangan mereka itu penuh kemarahan.
“Ehhh....?”
Mereka terbelalak karena yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan yang nampak hanya bayangan berkelebat. Mereka membalik dan melihat bahwa pemuda bongkok itu sudah berada di belakang mereka. Mereka bergerak untuk menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba Sie Liong menggerakkan lengan kanan. Tangannya menyambar dan tiga orang itupun terjengkang, terbanting keras!
“Hemm, kalian ini tiga orang jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!” terdengar Sie Liong berkata lirih.
Tiga orang itu berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali tubuh mereka bergerak hendak bangkit, ujung lengan baju kiri yang kosong itu menyambar, mengenai pipi atau leher dan mereka merasa seperti disambar petir. Akhirnya, tiga orang itu menjadi ketakutan dan mereka berlutut minta-minta ampun.
“Ampunkan kami...., taihiap, jangan bunuh kami....!”
Mereka berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas, muka mereka sudah matang biru dan bengkak-bengkak.
Sie Liong mengerutkan alisnya.
“Kalian penjahat atau perampok?” tanyanya ragu karena dia melihat betapa mereka berpakaian seperti nelayan biasa.
“Ampun, taihiap, kami.... kami bukan penjahat.... kami adalah nelayan yang baru pulang dari menjala ikan....”
“Huh, kalian jahat!” kata Sie Liong. Akan tetapi di dalam hatinya, dia telah mengampuni mereka. “Pergilah!” Kakinya menendang tiga kali dan tiga orang itu terguling-guling, lalu mereka bangkit dan melarikan diri ketakutan.
Dia teringat kepada wanita yang hampir diperkosa oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, maka kakinya melangkah perlahan menuju ke guha kecil di tepi telaga.
“Jangan ganggu.... aku jelek.... aku gila.... aku kotor, heh-heh-heh.... hi-hi-hik, jangan ganggu aku....”
Terdengar suara wanita itu dalam guha itu. Sie Liong cepat menyelinap di balik sebatang pohon. Dia mengintai ketika wanita itu keluar dari guha dan alisnya berkerut. Seorang wanita jembel gila! Rambutnya kotor kusut, mukanya sebagian tertutup rambut, muka yang kotor berlumpur pula. Pakaiannya butut dan kotor. Sungguh seorang wanita yang kotor menjijikkan, gila lagi! Dan wanita inikah yang nyaris diperkosa tiga orang pemuda tadi? Gilakah mereka itu? Bagaimana mungkin ada pria yang bangkit gairah berahinya melihat wanita jembel gila yang menjijikkan ini?
“Hi-hi-hik, aku gila.... ha-ha.... jangan ganggu aku.... ah, jangan ganggu aku....!”
Wanita itu adalah Ling Ling. Setelah tiga orang pria yang mengganggunya tadi lenyap, dan setelah ia mengubah dirinya menjadi jembel gila lagi, baru ia berani keluar dan untuk melindungi dirinya dari gangguan, ia sudah tertawa-tawa lagi.
Akan tetapi, setelah ia melihat bahwa di situ tidak ada orang, ia menghentikan tawanya dan terjatuhlah ia berlutut dan menangis sesenggukan! Ia teringat akan peristiwa mengerikan tadi. Hampir saja ia menjadi korban perkosaan dan teringat akan ini, ia menjadi ketakutan dan teringat ia betapa di situ tidak ada Sie Liong yang tentu akan selalu melindunginya.
Sementara itu, Sie Liong dari tempat pengintaiannya tadinya juga mengira bahwa wanita itu memang jembel gila. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita itu menengok ke kanan kiri, kemudian menghentikan tingkah gilanya dan suara ketawanya, bahkan lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis sesenggukan, dia memandang heran dan alisnya berkerut.
Dia adalah seorang yang cerdik dan tidak mudah ditipu. Tahulah dia bahwa wanita itu hanya pura-pura gila! Ketawanya tadi adalah palsu, dan tangisnya yang sekarang inilah baru asli! Dia mendengarkan dengan ketajaman pendengarannya ketika wanita yang menangis itu merintih dan mengeluh.
“Hu-huu.... Liong-ko.... ahhh, Liong-koko.... uhu-hu-hu.... kenapa engkau begitu tega.... Liong-ko.... uhu-huuu.... kalau ada engkau, tentu tidak ada.... yang berani mengangguku.... aih, Liong-koko.... di mana engkau....?”
Sie Llong merasa seperti kepala disambar kilat ketika dia mendengar rintihan dan keluh kesah ini. Bagaikan seekor kijang, tubuhnya sudah melompat dan meluncur ke arah wanita yang berlutut sambil menangis itu.
Dipegangnya pundak wanita itu, diangkatnya mukanya lalu tangan yang tinggal sebelah itu menyingkap rambut yang kusut menutupi muka. Dipandangnya muka yang kotor itu. Sinar matahari pagi menyinari muka itu. Sie Liong menggunakan tangannya untuk mengusap lumpur dari pipi dan dia terbelalak.
“Ling-moi....! Ling Ling.... ah, Ling Ling.... kenapa engkau jadi begini....?” Sie Liong berlutut.
Ling Ling terbelalak, wajahnya pucat sekali, diamatinya muka laki-laki itu, lalu pandang matanya menurun, ke arah lengan kiri yang buntung.... lalu ke arah wajah itu kembali. Matanya terbelalak terus tanpa berkedip, bibirnya bergerak-gerak, tak mampu bersuara hanya mewek-mewek ke arah tangis dan butir-butir air mata menetes turun, dan dengan susah payah baru ia dapat bersuara.
“Liong-ko....? Engkau.... engkau....” matanya memandang lengan kiri yang buntung.
“....engkau Liong-koko....?”
“Ling-moi, ini aku, Sie Liong....”
“Liong-koko....!”
Gadis itu menubruk, merangkul leher Sie Liong dan roboh pingsan dalam pelukan lengan kanan Sie Liong yang memangkunya.
“Ling-moi, ah, Ling-moi.... kau maafkan aku, Ling-moi....!”
Sie Liong merangkul dan mencimm pipi yang kotor dengan lumpur itu, dan air matanya pun jatuh membasahi pipi itu. Kecerdikannya membuka pikirannya dan dia dapat menduga apa yang terjadi.
Ling Ling yang ditinggalkan pada bibi Cili, dan baru hari ini hal itu teringat olehnya lebih dari satu bulan, kurang lebih dua bulan yang lalu, tentu telah pergi meninggalkan rumah bibi Cili dan nekat pergi hendak mencarinya. Dan agaknya, dangan cerdik Ling Ling telah menyamar sebagai seorang jembel gila untuk menghindarkan godaan para pria yang jahat dan kurang ajar. Akan tetapi, mengapa tadi nyaris ia diperkosa tiga orang laki-laki muda, hal itu tidak dapat dia menduganya.
Dengan perlahan dan hati-hati, setelah merebahkan tubuh Ling Ling di atas rumput, Sie Liong mengurut tengkuknya. Ling Ling siuman kembali dan begitu membuka kedua matanya dan dapat bergerak, ia sudah berseru gelisah,
“Liong-ko, di mana engkau....?” Dan iapun serentak bangkit duduk.
Sie Liong merangkulnya dari samping.
“Aku di sini, Ling Ling....”
Ling Ling menoleh.
“Aihhh, Liong-koko.... engkau benar Liong-koku....!”
Ia merangkul dan menangis sesenggukan di atas dada pemuda bongkok itu. Sie Liong membiarkan gadis itu menangis, membiarkan ia melepaskan semua kegelisahan dan kedukaan yang diderita selama ini agar larut bersama tangisnya.
Setelah tangisnya mereda karena kehabisan air mata, Ling Ling mengangkat mukanya dari dada Sie Liong dan memandang wajah pemuda itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan matanya kini bersinar, tidak layu dan muram seperti tadi.
“Liong-koko, kenapa engkau pergi begitu lama? Ah, Liong-koko, jangan kau tinggalkan aku lagi. Lebih baik aku mati saja daripada harus kau tinggalkan lagi, Liong-koko....”
Tiba-tiba ia teringat, lalu memandang ke arah lengan kiri pemuda itu. Wajahnya pucat kembali, matanya terbelalak dan dengan kedua tangannya ia menangkap lengan baju kiri yang kosong, meraba-raba, mencari-cari isi lengan baju itu.
“Liong-ko.... di mana lengan kirimu? Liong-koko, apa yang terjadi....? Engkau.... lengan kirimu.... buntung....?”
Sie Liong mengangguk, akan tetapi dia tersenyum. Dia tahu bahwa dia kehilangan lengan kiri, akan tetapi diapun sebagai gantinya mendapatkan ilmu yang amat hebat, sehingga kini dia memiliki tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan sebelum kehilangan lengan kirinya.
“Aku terjebak oleh musuh ketika melakukan penyelidikan. Mereka jahat dan kejam. Lengan kiriku buntung dan aku bahkan nyaris tewas. Tuhan masih melindungiku, Ling Ling, sehingga aku masih dapat bertemu denganmu.”
“Liong-koko.... ah, Liong-koko, kasihan sekali engkau....” gadis itu meraba-raba, lalu menyingkap baju pemuda itu.
Melihat betapa lengan kiri itu buntung sampai dekat pundak, dan bekas tempat lengan itu kini merupakan luka yang berkeriput, ia merangkul dan menangis sambil menciumi pundak yang tanpa lengan itu, menciumi bekas luka itu. Ia seolah hendak membersihkan luka itu dengan air matanya.
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar