Gadis itu dikenal oleh semua orang yang biasa bekerja di Telaga Yam-so. Seorang gadis gila yang menjijikkan. Baru kurang lebih satu bulan ia muncul di sekitar tepi telaga itu. Seorang gadis atau wanita yang sebetulnya masih muda, akan tetapi keadaannya kotor dan seperti seorang jembel gila.
Pakaiannya butut, kotor dan dekil, berbau apak lagi. Rambutnya lekat dan kotor, awut-awutan seperti rambut siluman yang menakutkan, menutupi sebagian mukanya yang juga kotor sekali, penuh lumpur. Matanya kadang berputar-putar liar, kadang gelisah, kadang terbelalak menakutkan, ada kalanya merah karena tangis. Orang melihat ia kadang menangis tersedu-sedu, kadang tertawa seorang diri, bicara seorang diri dengan kata-kata yang tidak jelas bahkan tidak karuan.
Sekali lihat saja orang sudah tahu bahwa ia seorang wanita muda yang hidup terlantar, terlunta-lunta, seorang jembel menjijikkan yang gila! Makin dipandang, orang akan merasa semakin jijik karena ulahnya. Tak seorang priapun yang dapat merasa tertarik oleh seorang perempuan seperti wanita gila itu. Mereka bahkan menjauh, bukan saja jijik karena bau apak itu, melainkan juga jijik kalau-kalau wanita gila itu akan merangkul mereka!
Ia makan apa saja yang ia temukan. Ikan-ikan kering, sisa yang ditinggalkan para nelayan. Ada kalanya ia meminta-minta dan hanya karena jijik, bukan karena iba, orang melemparkan makanan kepadanya. Tubuhnya kurus kering, sama sekali tidak menarik.
Tak seorangpun tahu bahwa baru sebulan yang lalu, wanita itu merupakan seorang gadis berusia delapan belas tahun yang hitam manis, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan. Dan tak seorangpun tahu bahwa gadis itu memang sengaja berpura-pura gila dan menjadi jembel menjijikkan!
Ia adalah Sam Ling Ling, gadis peranakan Tibet Han yang telah yatim piatu itu. Ia tadinya oleh Sie Liong dititipkan kepada Bibi Cili. Terpaksa Ling Ling membiarkan Sie Liong yang hendak melakukan penyelidikan itu pergi, walaupun ia merasa berat hati. Sie Liong berjanji dalam waktu satu bulan akan kembali menjemputnya. Setelah lewat sebulan dan Sie Liong belum juga datang, Ling Ling minggat dari rumah Bibi Cili dan pergi mencari Sie Liong, satu-satunya pria, bahkan satu-satunya manusia di dunia ini yang dicintainya!
Ling Ling maklum bahwa di dunia ini banyak berkeliaran laki-laki jahat. Terutama sekali bagi seorang wanita yang lemah, apalagi yang memiliki kemudaan dan kecantikan, bahaya itu lebih besar lagi mengancam dirinya.
Oleh karena itu, ia menggunakan akal, berpura-pura gila, mengotori tubuh dan pakaiannya, bahkan melumuri mukanya dengan lumpur, kadang-kadang ia sengaja bergaya seperti orang gila yang menjijikkan dan menakutkan. Dengan cara demikian, benar saja tidak seorangpun pria sudi mendekatinya, apalagi mengganggunya.
Ia berkeliaran di sekitar pantai telaga yang besar itu, setiap hari mencari-cari dan memperhatikan setiap orang. Akan tetapi makin hari semakin berduka karena tidak pernah ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu seorang pemuda yang punggungnya bongkok.
Untuk bertanya-tanya, ia tidak berani karena ia maklum bahwa Pendekar Bongkok amat dikenal orang dan kalau ia bertanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan orang. Ia hanya mampu menangis dengan sedih, akan tetapi kalau ada orang melihat ia menangis, ia sengaja lalu memaksa diri untuk tertawa. Menangis, tertawa, menangis, tertawa agar ia disangka gila dan bebas dari gangguan orang.
Makin hari ia semakin kurus karena makin berduka dan hampir tidak makan kalau tidak perutnya memaksanya sekali. Ia tidak pernah putus asa karena ia menaruh keyakinan besar bahwa Sie Liong tidak mungkin dapat melupakannya dan meninggalkannya begitu saja. Ia tahu bahwa Sie Liong hanya bongkok punggugnya, tidak bongkok hatinya. Ia tahu bahwa Sie Liong adalah seorang manusia yang berbudi luhur, dan ia sudah mengambil keputusan untuk hidup di samping Sie Liong selamanya, atau lebih baik ia mati kalau harus hidup tanpa pemuda bongkok itu.
“Liong-ko.... ah, Liong-koko.... engkau berada di mana? Apakah engkau tidak merasakan di hatimu betapa aku mencarimu, betapa aku mengkhawatirkanmu, betapa aku merindukanmu? Liong-koko....” demiklan ia meratap-ratap sambil menangis kalau tidak ada orang melihatnya.
Setiap hari ia mangharapkan. Kalau matahari muncul, muncul pula harapan baru di hatinya bahwa pada hari itu ia tentu akan bertemu dengan Sie Liong. Kalau malam tiba, iapun mengharap bahwa besok hari ia akan bertemu dengan pria yang dikenangkannya itu.
Ia tidak pernah putus asa. Tidak, ia keturunan Tibet yang tinggal di pegunungan, di lingkungan yang keras dan sukar, dan keadaan lingkungan yang sukar itu menggembleng bangsanya menjadi bangsa yang tidak pernah putus harapan! Hanya orang yang tidak pernah hidup dalam kekurangan, kekerasan dan kesukaran sajalah yang mudah putus asa.
Ia tidur di mana saja, jauh dari orang lain untuk menghindari gangguan. Di guha-guha, di bawah pohon di balik semak belukar. Mula-mula ia merasa takut sekali, akan tetapi lambat laun rasa takutnya menghilang, terganti perasaan pasrah. Satu-satunya pelita yang menerangi hidupnya hanyalah harapannya bertemu dengan Sie Liong.
Pada senja hari itu, ketika matahari mulai bersembunyi di balik bukit, ia menuju ke sebuah guha di tepi telaga. Guha kecil yang tertutup pohon dan ilalang, enak untuk melewatkan malam, tidak begitu dingin karena terlindung dari hembusan angin malam.
Tubuhnya terasa nyaman karena sore tadi seorang pelancong sekeluarga yang membawa makanan dan makan di tepi telaga, memberikan sisa makanan bekal mereka kepadanya. Nasi putih dan lauk pauknya, cukup banyak. Ia makan dengan gembiranya.
Karena perutnya kenyang, dan harapan baru muncul bahwa besok pagi ia akan melihat banyak orang dan siapa tahu di antara mereka terdapat Sie Liong. Karena hatinya penuh harapan dan tubuhnya segar, malam itu iapun tidur nyenyak.
Bahkan ia bermimpi, bertemu dengan Sie Liong. Kalau ada yang dekat dengan guha kecil itu tentu dia akan mendengar betapa dalam mimpinya perempuan gila itu telah menangis terisak-isak. Tangis kebahagiaan yang dicurahkan di atas dada pria yang dikasihinya yang hanya terjadi dalam mimpi!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja matahari mengirim cahaya mudanya ke permukaan telaga, Ling Ling sudah berlutut di tepi telaga. Seperti biasa, ia hendak membersihkan badannya pada bagian tertentu saja. Ia tidak berani mandi sampai bersih. Bahkan setelah mencuci muka, segera ia melumuri kembali kedua pipi dan dahinya dengan lumpur!
Ketika ia berlutut dan hendak memasukkan tangannya ke air, tiba-tiba ia melihat bayangannya sendiri. Hampir ia menjerit saking kagetnya. Wajahnya demikian buruknya! Buruk sekali bahkan menjijikkan! Rambut itu! Muka itu! Seperti setan!
Bagaimana kalau nanti Sie Liong melihatnya! Hari ini Sie Liong pasti dapat dijumpainya. Dan kalau Sie Liong melihat dirinya, tentu dia akan lupa dan bahkan mungkin akan jijik! Tak terasa, dua butir air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di kedua pipinya. Baru membayangkan Sie Liong jijik kepadanya saja, hatinya sudah seperti diremas rasanya. Sakit bukan main! Tidak, Sie Liong tidak boleh melihat ia seperti ini! Sie Liong tidak boleh pangling padanya, tidak boleh jijik! Ia harus membersihkan dirinya pagi ini, karena nanti ia akan bertemu dengan Sie Liong!
“Liong-koko, engkau tidak boleh jijik padaku....” keluhnya dan seperti sudah berubah gila sungguhan ia lalu meloncat ke dalam air yang amat dingin itu!
Ia memang pandai renang. Ia lupa segala ketika tubuhnya sudah terendam air. Lupa bahwa pakaian yang menempel di tubuhnya itulah pakaian satu-satunya! Dan ia terjun dengan pakaiannya!
Rasa segar menyejukkan seluruh tubuhnya dan ia merasa gembira sekali, seolah-olah ia hendak mandi sebersihnya untuk menyambut perjumpaannya dengan Sie Liong. Ia mencuci rambutnya yang kotor penuh lumpur, bahkan ia menanggalkan pakaian butut itu dan mencucinya sekali.
Tubuhnya yang padat dan ranum, biarpun agak kurus, kini nampak berkilauan, dengan kulit yang mulus dan agak gelap, hitam manis seperti tembaga digosok! Rambutnya kini tidak kumal dan kotor lagi, melainkan terurai panjang dan halus, dibiarkan terurai di depan tubuhnya menutupi payudaranya yang kini terbebas dari pakaian yang butut.
Dalam kegembiraannya karena ia hanya membayangkan pertemuannya yang amat membahagiakan dengan Sie Liong, Ling Ling lupa segala dan kehilangan kewaspadaannya. Ia tidak tahu betapa tak jauh dari situ, tiga orang pria muda yang baru pulang dari menjala ikan semalam suntuk berjalan beriringan lewat di situ, memanggul jala dan menjinjing keranjang ikan hasil pekerjaan mereka semalam.
Ketika mereka lewat dekat guha kecil itu, mereka mendengar suara berkecipaknya air. Mereka menengok dan ketiganya berdiri bengong, terpukau seperti telah berubah menjadi tiga buah arca! Kemudian, mereka menyelinap di balik batang pohon dan mengintai dengan mata melotot.
“Gadis.... gila itu....!” bisik seorang diantara mereka.
“Benar, gadis gila. Lihat ia mencuci pakaiannya yang butut.”
“Tapi.... ia cantik! Lihat wajahnya itu. Alangkah manisnya. Dan rambutnya, halus hitam dan panjang. Dan tubuhnya itu! Ah, betapa menarik dia.”
“Benar! Lihat dadanya itu.... hemmm....!”
Ling Ling sudah selesai mandi dan mencuci pakaiannya. Ia menengok ke kanan kiri. Setelah melihat bahwa di sekitar tempat itu tidak nampak ada manusia lain, ia lalu naik ke darat.
Tubuhnya yang telanjang hanya ditutup rambut panjang terurai, dan pakaian yang basah dan sudah diperasnya itu dipergunakan untuk menutupi tubuhnya bagian depan. Lalu ia melangkah ke arah guhanya. Tak tahu sama sekali ia betapa tiga pasang mata melahap ketelanjangannya dengan sinar mata yang berubah menjadi buas!
Ling Ling membuat api unggun di dalam guhanya. Api itu penting sekali, bukan saja untuk menghangatkan tubuhnya yang agak kedinginan, akan tetapi juga perlu untuk mengeringkan pakaiannya yang cuma satu-satunya itu. Pakaian itu masih jelek, robek sana sini, akan tetapi walaupun butut tidaklah sekotor tadi.
Dengan bertelanjang bulat dan mengurai rambutnya agar kering pula, ia membeberkan pakaiannya dekat api agar kering. Wajahnya berseri dan sama sekali tidak berbekas lagi “kegilaannya”.
Tiba-tiba in terbelalak dan terpekik ketika tiga orang laki-laki muda itu berloncatan memasuki guhanya yang kecil. Otomatis kedua tangannya menutupi tubuh bagian depan yang bugil, matanya terbelalak ketakutan seperti mata seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau.
Melihat keadaan gadis itu, tiga orang muda itu menelan ludah. Mereka bukanlah penjahat, melainkan nelayan-nelayan yang biasa mencari nafkah dari menjala atau mengail ikan. Kehidupan yang miskin dan sederhana. Mereka bukanlah orang-orang yang suka melakukan kejahatan, bukan pula pengganggu wanita.
Akan tetapi, keadaan pada saat itu membuat mereka seperti gila oleh gairah nafsu yang mendadak berkobar menyala-nyala. Melihat betapa gadis yang biasanya dianggap gila itu, jembel gila menjijikkan, yang biasanya mereka hindari, kini ternyata berubah menjadi seorang gadis yang memiliki wajah manis dan tubuh yang indah menggairahkan, seketika daya-daya rendah saling berebutan menguasai hati dan pikiran.
Dan sekali nafsu sudah menguasai diri, segala pertimbanganpun lenyap. Baik buruk menjadi kabur, dan yang ada hanyalah gairah yang mendorong orang melakukan pelampiasan untuk memuaskan dan menyalurkan nafsu yang berkobar.
“He-he, engkau cantik menggairahkan!” kata tiga orang yang sudah lupa diri itu.
“Tidak, tidak! Aku jelek, aku orang gila....! Jangan ganggu aku!”
Ling Ling berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang itu sudah menubruk dan menangkapnya. Ada yang memegang lengan, ada yang memegang kaki, ada yang mencengkeram rambut panjang halus itu.
Ling Ling ketakutan setengah mati. Ia menjerit-jerit, meronta, mencakar dan menggigit. Namun, perlawanannya ini tidak lagi menakutkan atau menjijikkan hati tiga orang pemuda itu, bahkan membuat nafsu berahi mereka semakin berkobar. Mereka tidak perduli lagi gadis ini gila atau tidak. Yang jelas bagi mereka, gadis ini cantik manis dan tubuhnya mulus!
Betapapun dengan nekatnya Ling Ling meronta, apa arti kekuatan seorang gadis berusia delapan belas tahun dibandingkan tenaga tiga orang pemuda yang kuat, yang setiap hari bekerja kasar? Tak lama lagi ia akan terkulai lemas, akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan menjadi mangsa tiga pemuda yang bagaikan tiga ekor harimau kelaparan memperebutkan seekor kelinci itu. Tenaga Ling Ling mulai lemah, akan tetapi mulutnya masih terus berteriak-teriak.
“Jangan....! Lepaskan aku.... Aku orang gila, aku jelek.... aahhh.... toloooooong....!”
Pakaiannya butut, kotor dan dekil, berbau apak lagi. Rambutnya lekat dan kotor, awut-awutan seperti rambut siluman yang menakutkan, menutupi sebagian mukanya yang juga kotor sekali, penuh lumpur. Matanya kadang berputar-putar liar, kadang gelisah, kadang terbelalak menakutkan, ada kalanya merah karena tangis. Orang melihat ia kadang menangis tersedu-sedu, kadang tertawa seorang diri, bicara seorang diri dengan kata-kata yang tidak jelas bahkan tidak karuan.
Sekali lihat saja orang sudah tahu bahwa ia seorang wanita muda yang hidup terlantar, terlunta-lunta, seorang jembel menjijikkan yang gila! Makin dipandang, orang akan merasa semakin jijik karena ulahnya. Tak seorang priapun yang dapat merasa tertarik oleh seorang perempuan seperti wanita gila itu. Mereka bahkan menjauh, bukan saja jijik karena bau apak itu, melainkan juga jijik kalau-kalau wanita gila itu akan merangkul mereka!
Ia makan apa saja yang ia temukan. Ikan-ikan kering, sisa yang ditinggalkan para nelayan. Ada kalanya ia meminta-minta dan hanya karena jijik, bukan karena iba, orang melemparkan makanan kepadanya. Tubuhnya kurus kering, sama sekali tidak menarik.
Tak seorangpun tahu bahwa baru sebulan yang lalu, wanita itu merupakan seorang gadis berusia delapan belas tahun yang hitam manis, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan. Dan tak seorangpun tahu bahwa gadis itu memang sengaja berpura-pura gila dan menjadi jembel menjijikkan!
Ia adalah Sam Ling Ling, gadis peranakan Tibet Han yang telah yatim piatu itu. Ia tadinya oleh Sie Liong dititipkan kepada Bibi Cili. Terpaksa Ling Ling membiarkan Sie Liong yang hendak melakukan penyelidikan itu pergi, walaupun ia merasa berat hati. Sie Liong berjanji dalam waktu satu bulan akan kembali menjemputnya. Setelah lewat sebulan dan Sie Liong belum juga datang, Ling Ling minggat dari rumah Bibi Cili dan pergi mencari Sie Liong, satu-satunya pria, bahkan satu-satunya manusia di dunia ini yang dicintainya!
Ling Ling maklum bahwa di dunia ini banyak berkeliaran laki-laki jahat. Terutama sekali bagi seorang wanita yang lemah, apalagi yang memiliki kemudaan dan kecantikan, bahaya itu lebih besar lagi mengancam dirinya.
Oleh karena itu, ia menggunakan akal, berpura-pura gila, mengotori tubuh dan pakaiannya, bahkan melumuri mukanya dengan lumpur, kadang-kadang ia sengaja bergaya seperti orang gila yang menjijikkan dan menakutkan. Dengan cara demikian, benar saja tidak seorangpun pria sudi mendekatinya, apalagi mengganggunya.
Ia berkeliaran di sekitar pantai telaga yang besar itu, setiap hari mencari-cari dan memperhatikan setiap orang. Akan tetapi makin hari semakin berduka karena tidak pernah ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu seorang pemuda yang punggungnya bongkok.
Untuk bertanya-tanya, ia tidak berani karena ia maklum bahwa Pendekar Bongkok amat dikenal orang dan kalau ia bertanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan orang. Ia hanya mampu menangis dengan sedih, akan tetapi kalau ada orang melihat ia menangis, ia sengaja lalu memaksa diri untuk tertawa. Menangis, tertawa, menangis, tertawa agar ia disangka gila dan bebas dari gangguan orang.
Makin hari ia semakin kurus karena makin berduka dan hampir tidak makan kalau tidak perutnya memaksanya sekali. Ia tidak pernah putus asa karena ia menaruh keyakinan besar bahwa Sie Liong tidak mungkin dapat melupakannya dan meninggalkannya begitu saja. Ia tahu bahwa Sie Liong hanya bongkok punggugnya, tidak bongkok hatinya. Ia tahu bahwa Sie Liong adalah seorang manusia yang berbudi luhur, dan ia sudah mengambil keputusan untuk hidup di samping Sie Liong selamanya, atau lebih baik ia mati kalau harus hidup tanpa pemuda bongkok itu.
“Liong-ko.... ah, Liong-koko.... engkau berada di mana? Apakah engkau tidak merasakan di hatimu betapa aku mencarimu, betapa aku mengkhawatirkanmu, betapa aku merindukanmu? Liong-koko....” demiklan ia meratap-ratap sambil menangis kalau tidak ada orang melihatnya.
Setiap hari ia mangharapkan. Kalau matahari muncul, muncul pula harapan baru di hatinya bahwa pada hari itu ia tentu akan bertemu dengan Sie Liong. Kalau malam tiba, iapun mengharap bahwa besok hari ia akan bertemu dengan pria yang dikenangkannya itu.
Ia tidak pernah putus asa. Tidak, ia keturunan Tibet yang tinggal di pegunungan, di lingkungan yang keras dan sukar, dan keadaan lingkungan yang sukar itu menggembleng bangsanya menjadi bangsa yang tidak pernah putus harapan! Hanya orang yang tidak pernah hidup dalam kekurangan, kekerasan dan kesukaran sajalah yang mudah putus asa.
Ia tidur di mana saja, jauh dari orang lain untuk menghindari gangguan. Di guha-guha, di bawah pohon di balik semak belukar. Mula-mula ia merasa takut sekali, akan tetapi lambat laun rasa takutnya menghilang, terganti perasaan pasrah. Satu-satunya pelita yang menerangi hidupnya hanyalah harapannya bertemu dengan Sie Liong.
Pada senja hari itu, ketika matahari mulai bersembunyi di balik bukit, ia menuju ke sebuah guha di tepi telaga. Guha kecil yang tertutup pohon dan ilalang, enak untuk melewatkan malam, tidak begitu dingin karena terlindung dari hembusan angin malam.
Tubuhnya terasa nyaman karena sore tadi seorang pelancong sekeluarga yang membawa makanan dan makan di tepi telaga, memberikan sisa makanan bekal mereka kepadanya. Nasi putih dan lauk pauknya, cukup banyak. Ia makan dengan gembiranya.
Karena perutnya kenyang, dan harapan baru muncul bahwa besok pagi ia akan melihat banyak orang dan siapa tahu di antara mereka terdapat Sie Liong. Karena hatinya penuh harapan dan tubuhnya segar, malam itu iapun tidur nyenyak.
Bahkan ia bermimpi, bertemu dengan Sie Liong. Kalau ada yang dekat dengan guha kecil itu tentu dia akan mendengar betapa dalam mimpinya perempuan gila itu telah menangis terisak-isak. Tangis kebahagiaan yang dicurahkan di atas dada pria yang dikasihinya yang hanya terjadi dalam mimpi!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja matahari mengirim cahaya mudanya ke permukaan telaga, Ling Ling sudah berlutut di tepi telaga. Seperti biasa, ia hendak membersihkan badannya pada bagian tertentu saja. Ia tidak berani mandi sampai bersih. Bahkan setelah mencuci muka, segera ia melumuri kembali kedua pipi dan dahinya dengan lumpur!
Ketika ia berlutut dan hendak memasukkan tangannya ke air, tiba-tiba ia melihat bayangannya sendiri. Hampir ia menjerit saking kagetnya. Wajahnya demikian buruknya! Buruk sekali bahkan menjijikkan! Rambut itu! Muka itu! Seperti setan!
Bagaimana kalau nanti Sie Liong melihatnya! Hari ini Sie Liong pasti dapat dijumpainya. Dan kalau Sie Liong melihat dirinya, tentu dia akan lupa dan bahkan mungkin akan jijik! Tak terasa, dua butir air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di kedua pipinya. Baru membayangkan Sie Liong jijik kepadanya saja, hatinya sudah seperti diremas rasanya. Sakit bukan main! Tidak, Sie Liong tidak boleh melihat ia seperti ini! Sie Liong tidak boleh pangling padanya, tidak boleh jijik! Ia harus membersihkan dirinya pagi ini, karena nanti ia akan bertemu dengan Sie Liong!
“Liong-koko, engkau tidak boleh jijik padaku....” keluhnya dan seperti sudah berubah gila sungguhan ia lalu meloncat ke dalam air yang amat dingin itu!
Ia memang pandai renang. Ia lupa segala ketika tubuhnya sudah terendam air. Lupa bahwa pakaian yang menempel di tubuhnya itulah pakaian satu-satunya! Dan ia terjun dengan pakaiannya!
Rasa segar menyejukkan seluruh tubuhnya dan ia merasa gembira sekali, seolah-olah ia hendak mandi sebersihnya untuk menyambut perjumpaannya dengan Sie Liong. Ia mencuci rambutnya yang kotor penuh lumpur, bahkan ia menanggalkan pakaian butut itu dan mencucinya sekali.
Tubuhnya yang padat dan ranum, biarpun agak kurus, kini nampak berkilauan, dengan kulit yang mulus dan agak gelap, hitam manis seperti tembaga digosok! Rambutnya kini tidak kumal dan kotor lagi, melainkan terurai panjang dan halus, dibiarkan terurai di depan tubuhnya menutupi payudaranya yang kini terbebas dari pakaian yang butut.
Dalam kegembiraannya karena ia hanya membayangkan pertemuannya yang amat membahagiakan dengan Sie Liong, Ling Ling lupa segala dan kehilangan kewaspadaannya. Ia tidak tahu betapa tak jauh dari situ, tiga orang pria muda yang baru pulang dari menjala ikan semalam suntuk berjalan beriringan lewat di situ, memanggul jala dan menjinjing keranjang ikan hasil pekerjaan mereka semalam.
Ketika mereka lewat dekat guha kecil itu, mereka mendengar suara berkecipaknya air. Mereka menengok dan ketiganya berdiri bengong, terpukau seperti telah berubah menjadi tiga buah arca! Kemudian, mereka menyelinap di balik batang pohon dan mengintai dengan mata melotot.
“Gadis.... gila itu....!” bisik seorang diantara mereka.
“Benar, gadis gila. Lihat ia mencuci pakaiannya yang butut.”
“Tapi.... ia cantik! Lihat wajahnya itu. Alangkah manisnya. Dan rambutnya, halus hitam dan panjang. Dan tubuhnya itu! Ah, betapa menarik dia.”
“Benar! Lihat dadanya itu.... hemmm....!”
Ling Ling sudah selesai mandi dan mencuci pakaiannya. Ia menengok ke kanan kiri. Setelah melihat bahwa di sekitar tempat itu tidak nampak ada manusia lain, ia lalu naik ke darat.
Tubuhnya yang telanjang hanya ditutup rambut panjang terurai, dan pakaian yang basah dan sudah diperasnya itu dipergunakan untuk menutupi tubuhnya bagian depan. Lalu ia melangkah ke arah guhanya. Tak tahu sama sekali ia betapa tiga pasang mata melahap ketelanjangannya dengan sinar mata yang berubah menjadi buas!
Ling Ling membuat api unggun di dalam guhanya. Api itu penting sekali, bukan saja untuk menghangatkan tubuhnya yang agak kedinginan, akan tetapi juga perlu untuk mengeringkan pakaiannya yang cuma satu-satunya itu. Pakaian itu masih jelek, robek sana sini, akan tetapi walaupun butut tidaklah sekotor tadi.
Dengan bertelanjang bulat dan mengurai rambutnya agar kering pula, ia membeberkan pakaiannya dekat api agar kering. Wajahnya berseri dan sama sekali tidak berbekas lagi “kegilaannya”.
Tiba-tiba in terbelalak dan terpekik ketika tiga orang laki-laki muda itu berloncatan memasuki guhanya yang kecil. Otomatis kedua tangannya menutupi tubuh bagian depan yang bugil, matanya terbelalak ketakutan seperti mata seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau.
Melihat keadaan gadis itu, tiga orang muda itu menelan ludah. Mereka bukanlah penjahat, melainkan nelayan-nelayan yang biasa mencari nafkah dari menjala atau mengail ikan. Kehidupan yang miskin dan sederhana. Mereka bukanlah orang-orang yang suka melakukan kejahatan, bukan pula pengganggu wanita.
Akan tetapi, keadaan pada saat itu membuat mereka seperti gila oleh gairah nafsu yang mendadak berkobar menyala-nyala. Melihat betapa gadis yang biasanya dianggap gila itu, jembel gila menjijikkan, yang biasanya mereka hindari, kini ternyata berubah menjadi seorang gadis yang memiliki wajah manis dan tubuh yang indah menggairahkan, seketika daya-daya rendah saling berebutan menguasai hati dan pikiran.
Dan sekali nafsu sudah menguasai diri, segala pertimbanganpun lenyap. Baik buruk menjadi kabur, dan yang ada hanyalah gairah yang mendorong orang melakukan pelampiasan untuk memuaskan dan menyalurkan nafsu yang berkobar.
“He-he, engkau cantik menggairahkan!” kata tiga orang yang sudah lupa diri itu.
“Tidak, tidak! Aku jelek, aku orang gila....! Jangan ganggu aku!”
Ling Ling berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang itu sudah menubruk dan menangkapnya. Ada yang memegang lengan, ada yang memegang kaki, ada yang mencengkeram rambut panjang halus itu.
Ling Ling ketakutan setengah mati. Ia menjerit-jerit, meronta, mencakar dan menggigit. Namun, perlawanannya ini tidak lagi menakutkan atau menjijikkan hati tiga orang pemuda itu, bahkan membuat nafsu berahi mereka semakin berkobar. Mereka tidak perduli lagi gadis ini gila atau tidak. Yang jelas bagi mereka, gadis ini cantik manis dan tubuhnya mulus!
Betapapun dengan nekatnya Ling Ling meronta, apa arti kekuatan seorang gadis berusia delapan belas tahun dibandingkan tenaga tiga orang pemuda yang kuat, yang setiap hari bekerja kasar? Tak lama lagi ia akan terkulai lemas, akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan menjadi mangsa tiga pemuda yang bagaikan tiga ekor harimau kelaparan memperebutkan seekor kelinci itu. Tenaga Ling Ling mulai lemah, akan tetapi mulutnya masih terus berteriak-teriak.
“Jangan....! Lepaskan aku.... Aku orang gila, aku jelek.... aahhh.... toloooooong....!”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar