Ads

Kamis, 06 Februari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 110

“Omitohud.... Orang muda yang malang....” berulang kali Camundi Lama berbisik ketika dia mengobati dan merawat Sie Liong di dalam kamar tahanannya.

Camundi Lama adalah seorang pendeta yang usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan gerak geriknya lembut. Dia adalah seorang tabib yang amat pandai di Tibet dan dia sama sekali bukan seorang pendeta yang ingin memberontak terhadap Dalai Lama. Sama sekali tidak.

Kalau dia kini berada di situ adalah karena dia memang diculik dan dipaksa oleh Kim Sim Lama untuk bekerja di situ. Karena dia tidak dilibatkan dalam pemberontakan, dan tugasnya hanya menjadi tabib untuk mengobati orang sakit, maka Camundi Lama juga menerima nasibnya dan menjadi tabib dalam Kim-sim-pang.

Dia mendengar tentang beberapa perbuatan yang keras dan jahat dilakukan oleh orang-orang Kim-sim-pang, namun dia tidak mau ikut-ikut dan pura-pura tidak tahu saja. Akan tetapi, ketika dia mendengar tentang Pendekar Bongkok dan kini merawatnya, di dalam hatinya timbul perasaan kagum dan iba.

Seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok, akan tetapi memiliki keberanian yang luar biasa di samping ilmu silat yang kabarnya setingkat dengan kepandaian Kim Sim Lama sendiri! Dan dia merasa kasihan sekali melihat betapa pemuda bongkok itu kini sama sekali tidak berdaya. Selain keracunan darahnya sehingga dia tidak mampu mengerahkan tenaga, juga dia telah minum racun penghilang ingatan, dan kini ditambah lagi buntung lengan kirinya!

“Kasihan, orang muda yang malang....” untuk ke sekian kalinya pendeta Lama itu berbisik.

Sie Liong membuka matanya. Ingatannya masih belum pulih sama sekali, akan tetapi pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah mulai berkurang. Walaupun dia belum ingat semua peristiwa yang lalu, namun dia mulai dapat mengingat apa yang terjadi dalam waktu dekat. Dia memandang ke kanan kiri.

“Ling Ling.... dimana Ling Ling....”

Camundi Lama membungkuk untuk memeriksa pandang mata pemuda itu. Pandang mata itu sudah agak jernih, pikirnya.

“Siapakah Ling Ling, orang muda?”

Kini Sie Liong memandang kakek itu. Samar-samar dia teringat bahwa kakek ini yang mengobatinya.

“Ah, Ling Ling....? Ia.... ia aku tidak ingat lagi, akan tetapi aku selalu ingat namanya dan.... ah, sudahlah, aku tidak ingat lagi....”

Pendeta Lama itu semakin iba.
“Omitohud.... engkau sungguh seorang pemuda yang bernasib malang.”

Sie Liong yang tadi memejamkan mata, membukanya kembali. Dia sudah tahu ketika siuman untuk pertama kalinya bahwa lengan kirinya buntung, dan dia teringat bahwa buntungnya lengan kirinya itu adalah karena dia menangkis bacokan golok seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

“Aku tidak bernasib malang, losuhu,” katanya dan dengan susah payah diapun bangkit duduk bersila.

“Ah? Tidak? Akan tetapi baru saja engkau kehilangan lengan kirimu, orang muda,”

Kata Camundi Lama, terheran-heran melihat sikap pemuda itu yang tenang saja, seolah-olah kehilangan sebuah lengan kiri hanya kehilangan sesuatu yang tidak berharga, dan tidak apa-apa!

Sie Liong memandang ke arah pangkal lengan kirinya yang buntung dan diapun tersenyum.

“Kalau memang sudah hilang, perlu apa disesali dan disedihkan, losuhu? Lengan itu tidak akan tumbuh kembali karena disedihkan. Lengan hanya merupakan satu di antara prabot-prabot perlengkapan badan saja.”






“Omitohud....! Banyak orang mengeluarkan ucapan seperti itu, dan sudah sering pinceng (aku) mendengarnya akan tetapi semua ucapan mereka itu hanyalah pengertian teori belaka. Akan tetapi engkau, engkau benar-benar kehilangan lengan kirimu dan engkau masih dapat bersikap setenang dan seenak ini! Orang muda, engkau bukan hanya kehilangan lengan kiri, akan tetapi juga kehilangan ingatanmu, dan juga kehilangan tenagamu karena darahmu telah keracunan. Engkau tidak berdaya sama sekali, dan setiap saat nyawamu terancam. Nah, apakah engkau sekarang tidak akan merasa sedih dan menyesal?”

Sie Liong menggeleng kepala sambil tersenyum, demikian wajar dan tidak dibuat-buat. Semua penderitaan yang dialaminya itu seperti mendatangkan suatu penerangan baginya, membuat dia seperti hidup baru.

“Kenapa sedih dan menyesal, losuhu? Badan ini hanya seperti bayangan saja, setiap saat pasti akan lenyap. Bahkan kalau seluruh badan ini matipun tidak perlu disesalkan, mengapa baru kehilangan yang sedikit itu harus berduka? Tidak, losuhu. Aku masih hidup dan akan tetap hidup, dan kalau Tuhan menghendaki, aku akan dapat mengatasi sagala kesulitan.”

“Omitohud.... semoga Sang Buddha memberi penerangan kepada seluruh manusia. Orang muda, ilmu apakah yang kau pergunakan, bagaimana caranya maka engkau dapat menerima segala derita sengsara ini dengan senyum di bibir?” Dia memandang penuh kagum.

“Tidak ada ilmunya, losuhu, hanya dengan cara penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerahkan segala-galanya kepada Tuhan sehingga apapun yang terjadi atas diriku adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada penyesalan apapun, yang ada hanya puji syukur karena semua ini sudah dikehendaki oleh Tuhan, dan segala kehendak Tuhan pun jadilah, dan tidak ada kekeliruan.”

Tiba-tiba kakek itu tersedu dan merangkul Sie Liong. Ada beberapa butir air mata membasahi mata kakek itu.

“Ah, orang muda, pinceng harus banyak belajar darimu.... jangan khawatir, pinceng akan mencoba untuk menolongmu. Racun penghilang ingatan itu sudah menipis dan akan lenyap sendiri pengaruhnya. Akan tetapi racun dalam darah yang membuat engkau terancam bahaya luka dalam kalau mengerahkan sin-kang, akan kucoba untuk menyembuhkannya. Nah, kau minumlah obat ini dulu, orang muda, untuk membuat luka di lenganmu cepat mengering, juga untuk mencegah luka itu keracunan dan membengkak. Aku akan membuatkan obat penawar racun di tubuhmu.”

Dengan taat Sie Liong meminum obat itu, kemudian dia tetap duduk bersila sedangkan kakek itu sibuk pula membuat ramuan obat baru untuk menghilangkan racun yang berada dalam darah Sie Liong.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki di luar kamar tahanan itu. Bukan langkah kaki para pendeta Lama yang bertugas jaga, melainkan langkah kaki yang mantap dan ternyata yang memasuki kamar itu adalah Kim Sim Lama bersama lima orang Tibet Ngo-houw!

Thay Si Lama, orang kedua dari Tibet Ngo-houw masih nampak agak pucat akan tetapi dia telah sembuh, disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari luka di dalam tubuhnya ketika dia muntah darah dalam pertempuran mengeroyok Sie Liong tempo hari.

Melihat munculnya Kim Sim Lama, Camundi Lama cepat memberi hormat. Satu-satunya orang yang dihormati Camundi Lama hanyalah Kim Sim Lama, bukan saja karena Kim Sim Lama yang memaksanya untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang, juga karena Kim Sim Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang pantas dihormati.

“Bagaimana keadaannya?”

Tanya Kim Sim Lama sambil lalu, dan dia melangkah mondekati Sie Liong yang masih duduk bersila, seolah-olah hendak memeriksa luka di lengan kiri Sie Liong yang sudah dibalut kain putih oleh tabib itu.

“Sudah hampir kering,” jawab Camundi Lama.

Tiba-tiba tangan kanan Kim Sim Lama bergerak monotok ke arah pundak kiri Sie Liong. Pemuda itu melihat gerakan itu, akan tetapi karena lengan kirinya tidak ada, dia tidak mampu berbuat sesuatu dan begitu pundaknya terkena totokan jari tangan Kim Sin Lama, diapun terkulai lemas di atas pembaringan.

“Ehh? Kenapa....?” Camundi Lama berseru heran dan kaget.

Melihat Sie Liong sudah terkulai dan pingsan, Kim Sim Lama sagera berkata kepada Camundi Lama.

“Camundi, sebagai seorang tabib, tentu engkau tidak akan menimbulkan kecurigaan kalau membawa janazah untuk dikuburkan di tanah kuburan di Lasha. Nah, engkau kami tugaskan untuk melaksanakan penguburan di kuburan umum di Lasha itu bersama beberapa orang yang akan memikul peti matinya. Jangan khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu dan melindungimu.”

“Akan tetapi, siapakah yang meninggal dunia?” Camundi Lama bertanya heran.

Kim Sim Lama menunjuk ke arah tubuh Sie Liong yang terkulai di atas pembaringan.
“Dia itu! Kami menghendaki agar tubuhnya dapat bertahan sampai beberapa hari lamanya, maka tidak kami bunuh dia. Dan engkau tidak perlu banyak bertanya, Camundi, semua ini demi berhasilnya perjuangan kita!”

Melihat sinar mata mencorong dari Kim Sim Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya dan mengangguk taat. Dia memang tidak berani membantah dan tidak berani menentang kehendak Kim Sim Lama. Dia sama sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri. Sama sekali tidak!

Akan tetapi, dia dibuat tidak berdaya karena Kim Sim Lama mengancam akan membunuh seluruh keluarganya, saudara-saudaranya, keponakan-keponakannya, kalau sampai dia menentang kehendak Kim Sim Lama. Inilah yang membuat Camundi Lama tidak berdaya sama sekali dan selalu harus mentaati segala perintah bekas wakil Dalai Lama itu.

Empat orang pendeta Lama datang membawa sebuah peti mati yang tipis, dan atas pentunjuk Kim Sim Lama, tubuh Sie Liong yang pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu ditutup.

“Agar tubuh itu tidak cepat rusak, harus ada lubang untuk memasukkan hawa,” kata Camundi Lama dengan sikap bersungguh-sungguh.

Kim Sim Lama memenuhi permintaan ini dan dibuat sebuah lubang sebesar ibu jari kaki di peti itu, tepat di atas bagian kepala tubuh Sie Liong. Kemudian pada hari itu juga peti mati itu dipikul oleh empat orang pendeta, diiringkan belasan orang pendeta yang membaca doa dan diantara mereka itu terdapat Camundi Lama yang diharuskan memimpin penguburan.

Camundi Lama memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai, maka tentu saja kalau dia yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tak seorangpun menaruh curiga.

Karena orang-orang dapat menduga bahwa yang dimakamkan itu tentulah seorang anggauta Kim-sim-pang, maka tak seorangpun berani bertanya-tanya, bahkan mendekatpun tidak berani.

Biarpun pihak pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak karena Dalai Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama, namun semua orang sudah tahu belaka bahwa Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang didirikan Kim Sim Lama dan perkumpulan ini menentang pemerintah, walaupun tidak secara terang-terangan.

Peti mati itu dikubur. Para pendeta Lama yang melakukan penguburan itu tidak ada yang bicara, bekerja seperti robot saja. Hanya Camundi Lama yang diam-diam merasa berduka. Dia merasa kagum, iba dan suka sekali kepada pemuda bongkok itu, akan tetapi dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu.

Tadi dia hanya memasukkan obatnya dengan paksa kepada Sie Liong yang masih pingsan, yaitu obat pemunah racun. Dia hanya mengatakan kepada Kim Sim Lama bahwa obat itu adalah obat untuk membuat tubuh itu tidak segera rusak kalau sudah menjadi mayat. Dan ketika penguburan berlangsung, Camundi Lama juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah, karena dia tahu bahwa secara sembunyi, lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw tentu mengamati pelaksanaan penguburan itu.

Camundi Lama memasukkan sebuah tabung dari bambu yang sudah dilubangi ruasnya ke dalam peti mati dan ujung bambu itu mencuat keluar dari tanah, tersembunyi di antara tumpukan batu yang sengaja diletakkan di atas tanah kuburan.

“Tabung ini untuk memasukkan hawa agar mayatnya tidak lekas rusak seperti dikehendaki oleh Kim Sim Lama,”

Katanya kepada para pendeta Lama yang mengerjakan penguburan itu dan mereka semua tidak ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib yang selalu menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu.

Padahal, Camundi Lama melakukan semua itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong mempertahankan hidupnya dan kalau mungkin membebaskan dia dari cengkeraman maut. Akan tetapi mana mungkin? Pemuda itu sudah kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka.




Pendekar Bongkok Jilid 109
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar