Akan tetapi setidaknya, sikap Bi Sian biasa dan baik, tidak seperti malam ini. Kalau siang tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal, sehelai selimut di sudut kamar itu yang menjadi isyarat bahwa dia harus tidur di lantai malam itu, dia masih melihatnya dengan senyum saja. Akan tetapi sekarang, melihat Bi Sian rebah miring menghadap ke dinding membelakangi dia yang duduk di atas lantai, hatinya menjadi semakin mendongkol.
Melihat tubuh Bi Sian yang membelakanginya, teringatlah Bong Gan akan peristiwa yang penuh kamesraan baginya di malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam keadaan setengah sadar, dia sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan dan diapun bangkit dan menghampiri pembaringan Bi Sian.
“Sian-moi....” panggilnya lirih. Tubuh itu tidak bergerak, masih menghadap ke dinding, membelakanginya.
“Sian-moi....”
Kembali dia memanggil lembut dan sekali ini dia duduk di tepi pembaringan, menjaga agar jangan sampai tubuhnya menyentuh pinggul atau punggung Bi Sian.
Sekali ini Bi Stan melirik.
“Hem, mau apa engkau? Jangan duduk di sini!”
“Sian-moi, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi? Aku merasa menyesal sekali, aku tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau tahu betapa besar cintaku kepadamu....”
“Sudahlah, jangan bicarakan urusan itu lagi. Pergi sana, tidur!”
“Sian-moi, jangan engkau begini kejam. Aku.... ah, betapa rinduku kepadamu, Sian-moi.... perkenankanlah aku menyentuhmu, aku.... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi. Bukankah kita akan menjadi suami isteri?”
Bi Sian bangkit duduk, matanya bersinar marah.
“Apa? Engkau hendak melanggar janji? Sudah kukatakan sebelum kita menikah, angkau tidak boleh menyentuhku!”
Bong Gan terkejut dan bangkit berdiri.
“Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang khawatir kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah Sie Liong tewas.”
“Aku tidak sudi melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku dan mohon perkenan dan doa restunya, setelah itu baru kita melangsungkan pernikahan.”
“Tapi, Sian-moi, biarkan aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar sudah tidak marah lagi kepadaku....” Pemuda itu masih memohon.
“Sudahlah, kalau engkau masih merengek dan berani menyentuhku, baru aku akan menjadi marah benar! Kau tidurlah!”
Bong Gan sudah mengenal watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluarkan ancaman kosong belaka. Hatinya menjadl kecewa sekali dan timbul kekesalan hatinya. Dia adalah seorang pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang sudah jelas akan menjadi isterinya! Bukan hanya tidak boleh mencumbu rayu, bahkan menyentuhpun tidak diperkenankan. Sambil menarik napas panjang diapun mundur, lalu berkata dengan nada suara kesal.
“Daripada tersiksa tidur di lantai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur di luar kamar.”
Setelah berkata demikian, diapun keluar dari kamar itu, dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar.
Tadinya Bi Sian tidak perduli Bong Gan akan tidur di manapun juga. Akan tetapi, lapat-lapat ia mendengar suara ketawa lirih di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini menimbulkan kecurigaan hatinya. Juga ia khawatir kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong.
Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia akan lebih dulu minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki ketika ia mencari Sie Liong. Bukan membunuhnya dalam keadaan yang tidak berdaya seperti itu.
Kecurigaan dan kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat meloncat turun dari atas pembaringan, dengan hati-hati sekali sehingga tidak mangeluarkan suara dan iapun manghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu, mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan di dekat tikungan lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka menghilang di balik tikungan itu.
Bi Sian menjadi bengong dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali kemarahan. Ia sama sekali tidak marah karena cemburu. Tidak! Ia tidak perduli apapun yang dilakukan Bong Gan kini.
Akan tetapi mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa harus diterimanya sebagai calon suaminya itu ternyata adalah seorang laki-laki yang rendah dan hina! Sebagai tamu orang berani berjina dengan wanita lain! Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam dan iapun duduk di sisi pembaringannya, melamun.
Tidak! Tidak mungkin ia menjadi isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah berani melakukan penyelewengan di depan matanya! Dan ia telah ternoda oleh pria macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua pipinya.
“Tidak!” Ia menahan suaranya yang ingin berteriak. “Aku tidak sudi menjadi isterinya!”
Dan kembali ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya. Tangisnya terhenti walaupun mukanya masih basah air mata. Terbayang betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ah, itu hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini memang pernah ada hubungan antara kedua orang itu.
Dan peristiwa di malam jahanam itu, ketika ia terbius dan terangsang oleh racun yang dicampurkan dalam makanan dan minuman, sehingga ia menyerahkan diri kepada Bong Gan di luar kesadarannya, ketika hal itu terjadi Pek Lan berada pula di dekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya. Agaknya ada sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah berjalan lama di luar pengetahuannya.
Bagaimana juga, ia sudah mengambil keputusan untuk tidak mau menjadi isteri Bong Gan! Bagaimana kalau pemuda itu menagih janji? Ah, mudah saja, pikirnya. Peristiwa malam ini dapat dijadikan alasan mengapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang kuat sekali.
Bi Sian tersenyum walaupun mukanya masih basah air mata. Sungguh aneh. Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan iapun menyadari bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan!
Kini, setelah ia memperoleh alasan kuat untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa ringan dan nyaman. Dan tak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya akan tetapi dengan mulut tersenyum manis!
Melihat tubuh Bi Sian yang membelakanginya, teringatlah Bong Gan akan peristiwa yang penuh kamesraan baginya di malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam keadaan setengah sadar, dia sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan dan diapun bangkit dan menghampiri pembaringan Bi Sian.
“Sian-moi....” panggilnya lirih. Tubuh itu tidak bergerak, masih menghadap ke dinding, membelakanginya.
“Sian-moi....”
Kembali dia memanggil lembut dan sekali ini dia duduk di tepi pembaringan, menjaga agar jangan sampai tubuhnya menyentuh pinggul atau punggung Bi Sian.
Sekali ini Bi Stan melirik.
“Hem, mau apa engkau? Jangan duduk di sini!”
“Sian-moi, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi? Aku merasa menyesal sekali, aku tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau tahu betapa besar cintaku kepadamu....”
“Sudahlah, jangan bicarakan urusan itu lagi. Pergi sana, tidur!”
“Sian-moi, jangan engkau begini kejam. Aku.... ah, betapa rinduku kepadamu, Sian-moi.... perkenankanlah aku menyentuhmu, aku.... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi. Bukankah kita akan menjadi suami isteri?”
Bi Sian bangkit duduk, matanya bersinar marah.
“Apa? Engkau hendak melanggar janji? Sudah kukatakan sebelum kita menikah, angkau tidak boleh menyentuhku!”
Bong Gan terkejut dan bangkit berdiri.
“Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang khawatir kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah Sie Liong tewas.”
“Aku tidak sudi melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku dan mohon perkenan dan doa restunya, setelah itu baru kita melangsungkan pernikahan.”
“Tapi, Sian-moi, biarkan aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar sudah tidak marah lagi kepadaku....” Pemuda itu masih memohon.
“Sudahlah, kalau engkau masih merengek dan berani menyentuhku, baru aku akan menjadi marah benar! Kau tidurlah!”
Bong Gan sudah mengenal watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluarkan ancaman kosong belaka. Hatinya menjadl kecewa sekali dan timbul kekesalan hatinya. Dia adalah seorang pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang sudah jelas akan menjadi isterinya! Bukan hanya tidak boleh mencumbu rayu, bahkan menyentuhpun tidak diperkenankan. Sambil menarik napas panjang diapun mundur, lalu berkata dengan nada suara kesal.
“Daripada tersiksa tidur di lantai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur di luar kamar.”
Setelah berkata demikian, diapun keluar dari kamar itu, dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar.
Tadinya Bi Sian tidak perduli Bong Gan akan tidur di manapun juga. Akan tetapi, lapat-lapat ia mendengar suara ketawa lirih di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini menimbulkan kecurigaan hatinya. Juga ia khawatir kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong.
Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia akan lebih dulu minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki ketika ia mencari Sie Liong. Bukan membunuhnya dalam keadaan yang tidak berdaya seperti itu.
Kecurigaan dan kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat meloncat turun dari atas pembaringan, dengan hati-hati sekali sehingga tidak mangeluarkan suara dan iapun manghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu, mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan di dekat tikungan lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka menghilang di balik tikungan itu.
Bi Sian menjadi bengong dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali kemarahan. Ia sama sekali tidak marah karena cemburu. Tidak! Ia tidak perduli apapun yang dilakukan Bong Gan kini.
Akan tetapi mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa harus diterimanya sebagai calon suaminya itu ternyata adalah seorang laki-laki yang rendah dan hina! Sebagai tamu orang berani berjina dengan wanita lain! Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam dan iapun duduk di sisi pembaringannya, melamun.
Tidak! Tidak mungkin ia menjadi isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah berani melakukan penyelewengan di depan matanya! Dan ia telah ternoda oleh pria macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua pipinya.
“Tidak!” Ia menahan suaranya yang ingin berteriak. “Aku tidak sudi menjadi isterinya!”
Dan kembali ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya. Tangisnya terhenti walaupun mukanya masih basah air mata. Terbayang betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ah, itu hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini memang pernah ada hubungan antara kedua orang itu.
Dan peristiwa di malam jahanam itu, ketika ia terbius dan terangsang oleh racun yang dicampurkan dalam makanan dan minuman, sehingga ia menyerahkan diri kepada Bong Gan di luar kesadarannya, ketika hal itu terjadi Pek Lan berada pula di dekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya. Agaknya ada sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah berjalan lama di luar pengetahuannya.
Bagaimana juga, ia sudah mengambil keputusan untuk tidak mau menjadi isteri Bong Gan! Bagaimana kalau pemuda itu menagih janji? Ah, mudah saja, pikirnya. Peristiwa malam ini dapat dijadikan alasan mengapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang kuat sekali.
Bi Sian tersenyum walaupun mukanya masih basah air mata. Sungguh aneh. Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan iapun menyadari bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan!
Kini, setelah ia memperoleh alasan kuat untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa ringan dan nyaman. Dan tak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya akan tetapi dengan mulut tersenyum manis!
**** 109 ****
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar