Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah kepada Tuhan! Dan kalau sudah menyerah, lalu dikehendaki Tuhan bahwa Sie Liong masih dibiarkan hidup, apa anehnya? Tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Maha Kuasa! Dan kalau kita sudah menyerah, kalau kita sudah menyerah sepenuhnya seperti mati, tidak sedikitpun ada usaha yang timbul dari nafsu hati dan akal pikiran, maka yang bakerja adalah kekuasaan-Nya! Teringat akan ini, mulut yang tadinya cemberut sedih itu mengembangkan senyum penuh harapan.
Para pendeta Lama itu segera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru itu dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa lamanya terus melakukan pengintaian sampai Camundi Lama dan para pendeta lainnya meninggalkan tanah kuburan.
Kemudian, Tibet Ngo-houw juga pergi setelah menyuruh seorang anak buah mereka melakukan pengamatan dari jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian. Kemudian mereka kembali untuk memberi laporan kepada Kim Sim Lama.
Sebelum peti mati itu diangkut keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan.
“Dia sudah mati.... dia sudah mati....” katanya dengan wajah berseri.
“Enci Pek Lan, siapa yang telah mati?” tanya Bong Gan, akan tetapi Bi Sian diam saja.
Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak malam hari itu, akan tetapi ia tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya itu.
“Pendekar Bongkok, dia telah mati!” kata Pek Lan.
“Apa....?” Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak dan muka agak pucat ia memandang kepada Pek Lan. “Siapa yang membunuhnya?” tanyanya dan suaranya agak gemetar.
Melihat ini, teringat akan sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur,
”Sian-moi? Kalau dia matipun, mengapa? Mengapa engkau kelihatan pucat dan suaramu gemetar? Apakah engkau berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?”
“Tutup mulutmu!” Bi Sian membentak marah. “Aku merasa penasaran karena dia harus tewas di tanganku! Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya? Aku akan menanyakan kepadanya!” Bi Sian sudah berlari keluar dari dalam kamarnya.
“Sian-moi....!”
Bong Gan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disambar oleh tangan Pek Lan dan sekali tarik, tubuh pemuda itu sudah berada dalam rangkulannya.
“Biarkan dia pergi menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. Ada aku disini, perlu apa engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?” Bong Gan tertawa dan balas merangkul.
Sementara itu, Bi Sian mencari Kim Sim Lama dan mendengar bahwa pendeta itu berada di dalam ruangan samadhi di belakang. Ia tidak perduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya, iapun melangkah masuk.
Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersamadhi, dihadapi oleh lima orang pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw. Dengan sikap gagah Bi Sian masuk, akan tetapi iapun masih ingat bahwa ia seorang tamu di situ, maka iapun memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata.
“Losuhu, maafkan saya mangganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu telah membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?”
Dengan sikap tenang Kim Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. Akan tetapi Tibet Ngo-houw menjadi marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk tetap tenang dan diapun berkata kepada gadis itu,
“Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari kita bicara sebagai tuan rumah dan tamunya yang sudah saling bersahahat.”
Bi Sian menyadari kekasarannya, maka iapun segera duduk di atas lantai karena ruangan samadhi itu tidak mempunyai kursi atau bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut tebal yang halus.
“Nona Yauw, kalau benar pinceng membunuh Pendekar Bongkok, apakah hubungannya hal itu denganmu? Harap nona jelaskan,” kata Kim Sim Lama.
“Tentu saja ada hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku meninggalkan rumah demikian jauhnya hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang telah membunuh ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar dari dia mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku ingin membalas dendam kepadanya. Akan tetapi sekarang, tahu-tahu dia telah dibunuh!”
“Nona, dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami juga. Bukan hanya engkau yang ingin membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan ketika engkau datang hendak bekerja sama dengan kami, Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan kami. Kalau kami yang menawan, lalu sekarang kami yang membunuhnya, bukankah itu sudah menjadi hak kami? Kalau benar nona membencinya dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima kasih sekali kepada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa kami itu dengan bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau membalas jasa atas kematian Pendekar Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu hanya berarti bahwa nona sebenarnya tidak membenci Pendekar Bongkok, melainkan malah hendak membelanya!”
“Tidak! Dia memang musuh besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri dengan tanganku....”
Pada saat itu terdengar suara di sebelah kiri,
“Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok, bukan?”
Bi Sian menengok ke kiri dan ia bertemu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata mencorong dan ia merasa jantungnya bergetar hebat. Ia merasa dirinya lemah dan tidak berani menentang lagi karena lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi Tibet Ngo-houw telah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan tenaga dan mulai menguasainya.
“Aku.... aku membenci Pendekar Bongkok....”
Jawabnya seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar yang bertentangan dengan suara hatinya! Ia sendlri memang percaya bahwa ia membenci Sie Liong. Mengapa tidak! Sie Liong telah membunuh ayah kandungnya! Ia memaksa diri sendiri untuk membenci Sie Liong walaupun suara hatinya membisikkan lain.
“Kalau begitu, engkau harus berterima kasih kepada Kim Sim Lama yang telah menawan dan membunuh musuh besarmu,” kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara karena di antara lima orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir yang paling kuat.
Kemauan dalam batin Bi Sian menjadi lemah dan di luar kehendaknya sendiri, ia mengangguk dan berkata,
“Aku berterima kasih....”
“Nona Yauw Bi Sian,”
kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup ke dalam kepala dan jantung Bi Sian rasanya,
“Untuk menyatakan terima kasihmu, mulai saat ini engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!”
“Aku akan membantu Kim-sim-pang....” kata pula Bi Sian.
“Nona, engkau akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!” terdengar suara kecil melengking tinggi dari kanan.
Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai-yang Suhu, pendeta Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia merasa setuju sekali dan iapun menjawab, suaranya bersungguh-sungguh.
“Aku akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama.”
Gadis itu tidak tahu bahwa ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang amat kuat, karena pengaruh sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw, dan Thai-yang suhu.
“Nah, sekarang engkau boleh kembali ke kamarmu, nona Yauw,” kata pula Kim Sim Lama.
Bi Sian mengangguk, bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya sambil mulutnya berbisik-bisik seperti anak sekolah menghafalkan pelajarannya.
“Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama....”
Bi Sian menjadi seperti boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan rambut kusut keluar dari kamarnya, ia bahkan sama sekali tidak perduli, masuk ke dalam kamar, merebahkan diri di pembaringan dan memejamkan mata untuk tidur, mulutnya masih mengulang kedua kalimat itu,
“Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama....”
Bong Gan dan Pek Lan dapat mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng tangan menuju ke kamar Pek Lan untuk melanjutkan kemesraan yang tadi terganggu dengan kembalinya Bi Sian.
Para pendeta Lama itu segera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru itu dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa lamanya terus melakukan pengintaian sampai Camundi Lama dan para pendeta lainnya meninggalkan tanah kuburan.
Kemudian, Tibet Ngo-houw juga pergi setelah menyuruh seorang anak buah mereka melakukan pengamatan dari jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian. Kemudian mereka kembali untuk memberi laporan kepada Kim Sim Lama.
Sebelum peti mati itu diangkut keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan.
“Dia sudah mati.... dia sudah mati....” katanya dengan wajah berseri.
“Enci Pek Lan, siapa yang telah mati?” tanya Bong Gan, akan tetapi Bi Sian diam saja.
Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak malam hari itu, akan tetapi ia tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya itu.
“Pendekar Bongkok, dia telah mati!” kata Pek Lan.
“Apa....?” Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak dan muka agak pucat ia memandang kepada Pek Lan. “Siapa yang membunuhnya?” tanyanya dan suaranya agak gemetar.
Melihat ini, teringat akan sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur,
”Sian-moi? Kalau dia matipun, mengapa? Mengapa engkau kelihatan pucat dan suaramu gemetar? Apakah engkau berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?”
“Tutup mulutmu!” Bi Sian membentak marah. “Aku merasa penasaran karena dia harus tewas di tanganku! Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya? Aku akan menanyakan kepadanya!” Bi Sian sudah berlari keluar dari dalam kamarnya.
“Sian-moi....!”
Bong Gan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disambar oleh tangan Pek Lan dan sekali tarik, tubuh pemuda itu sudah berada dalam rangkulannya.
“Biarkan dia pergi menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. Ada aku disini, perlu apa engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?” Bong Gan tertawa dan balas merangkul.
Sementara itu, Bi Sian mencari Kim Sim Lama dan mendengar bahwa pendeta itu berada di dalam ruangan samadhi di belakang. Ia tidak perduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya, iapun melangkah masuk.
Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersamadhi, dihadapi oleh lima orang pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw. Dengan sikap gagah Bi Sian masuk, akan tetapi iapun masih ingat bahwa ia seorang tamu di situ, maka iapun memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata.
“Losuhu, maafkan saya mangganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu telah membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?”
Dengan sikap tenang Kim Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. Akan tetapi Tibet Ngo-houw menjadi marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk tetap tenang dan diapun berkata kepada gadis itu,
“Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari kita bicara sebagai tuan rumah dan tamunya yang sudah saling bersahahat.”
Bi Sian menyadari kekasarannya, maka iapun segera duduk di atas lantai karena ruangan samadhi itu tidak mempunyai kursi atau bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut tebal yang halus.
“Nona Yauw, kalau benar pinceng membunuh Pendekar Bongkok, apakah hubungannya hal itu denganmu? Harap nona jelaskan,” kata Kim Sim Lama.
“Tentu saja ada hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku meninggalkan rumah demikian jauhnya hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang telah membunuh ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar dari dia mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku ingin membalas dendam kepadanya. Akan tetapi sekarang, tahu-tahu dia telah dibunuh!”
“Nona, dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami juga. Bukan hanya engkau yang ingin membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan ketika engkau datang hendak bekerja sama dengan kami, Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan kami. Kalau kami yang menawan, lalu sekarang kami yang membunuhnya, bukankah itu sudah menjadi hak kami? Kalau benar nona membencinya dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima kasih sekali kepada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa kami itu dengan bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau membalas jasa atas kematian Pendekar Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu hanya berarti bahwa nona sebenarnya tidak membenci Pendekar Bongkok, melainkan malah hendak membelanya!”
“Tidak! Dia memang musuh besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri dengan tanganku....”
Pada saat itu terdengar suara di sebelah kiri,
“Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok, bukan?”
Bi Sian menengok ke kiri dan ia bertemu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata mencorong dan ia merasa jantungnya bergetar hebat. Ia merasa dirinya lemah dan tidak berani menentang lagi karena lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi Tibet Ngo-houw telah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan tenaga dan mulai menguasainya.
“Aku.... aku membenci Pendekar Bongkok....”
Jawabnya seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar yang bertentangan dengan suara hatinya! Ia sendlri memang percaya bahwa ia membenci Sie Liong. Mengapa tidak! Sie Liong telah membunuh ayah kandungnya! Ia memaksa diri sendiri untuk membenci Sie Liong walaupun suara hatinya membisikkan lain.
“Kalau begitu, engkau harus berterima kasih kepada Kim Sim Lama yang telah menawan dan membunuh musuh besarmu,” kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara karena di antara lima orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir yang paling kuat.
Kemauan dalam batin Bi Sian menjadi lemah dan di luar kehendaknya sendiri, ia mengangguk dan berkata,
“Aku berterima kasih....”
“Nona Yauw Bi Sian,”
kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup ke dalam kepala dan jantung Bi Sian rasanya,
“Untuk menyatakan terima kasihmu, mulai saat ini engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!”
“Aku akan membantu Kim-sim-pang....” kata pula Bi Sian.
“Nona, engkau akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!” terdengar suara kecil melengking tinggi dari kanan.
Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai-yang Suhu, pendeta Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia merasa setuju sekali dan iapun menjawab, suaranya bersungguh-sungguh.
“Aku akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama.”
Gadis itu tidak tahu bahwa ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang amat kuat, karena pengaruh sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw, dan Thai-yang suhu.
“Nah, sekarang engkau boleh kembali ke kamarmu, nona Yauw,” kata pula Kim Sim Lama.
Bi Sian mengangguk, bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya sambil mulutnya berbisik-bisik seperti anak sekolah menghafalkan pelajarannya.
“Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama....”
Bi Sian menjadi seperti boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan rambut kusut keluar dari kamarnya, ia bahkan sama sekali tidak perduli, masuk ke dalam kamar, merebahkan diri di pembaringan dan memejamkan mata untuk tidur, mulutnya masih mengulang kedua kalimat itu,
“Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama....”
Bong Gan dan Pek Lan dapat mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng tangan menuju ke kamar Pek Lan untuk melanjutkan kemesraan yang tadi terganggu dengan kembalinya Bi Sian.
**** 111 ****
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar