Sie Liong merangkulnya dengan terharu.
“Ling-moi, kenapa engkau masih selalu mengharapkan aku, ingin hidup bersamaku? Lihat baik-baik, aku seorang laki-laki yang cacat ganda, ya bongkok ya buntung lengan kiriku. Apa yang kau lihat pada diri seorang cacat seperti aku? Apa yang kau harapkan dari seorang seperti aku?”
“Liong-koko, aku.... aku cinta padamu, koko. Biar, aku tidak malu mengaku bahwa aku cinta padamu. Aku memujamu, dan engkaulah satu-satunya laki-laki yang kucinta, bahkan satu-satunya manusia yang kumiliki. Engkau memang cacat, cacat tubuhmu, akan tetapi engkaulah orang yang sebaik-baiknya bagiku. Engkau matahari hidupku. Tanpa engkau, hidupku akan gulita. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sampingmu koko, tentu saja.... kalau.... kalau engkau sudi menerima aku, seorang gadis yang bodoh dan buruk, yatim piatu pula.”
“Ling Ling....”
Sie Liong merangkul dan mendekap muka itu pada dadanya penuh kebahagiaan. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang manusia lain yang demikian mencintanya. Dia dapat merasakan benar curahan kasih sayang Ling Ling melalui pandang matanya, melalui sikapnya, melalui suaranya, melalui sentuhannya.
“Ling Ling, akupun cinta padamu. Aku.... aku ingin memperisterimu....”
“Liong-koko! Betapa bahagia hatiku. Aku mau melakukan apa saja asal boleh mendampingimu selama hidupku!”
Sie Liong tersenyum.
“Sekarang yang paling penting engkau membersihkan dirimu dulu dari lumpur itu, bereskan rambutmu dan pakaianmu. Nah, cepat, aku tunggu di sini. Setelah itu, kita pergi ke rumah bibi Cili dan bercakap-cakap.”
Ling Ling telah memperoleh kembali kegembiraannya. Ia bangkit, tersenyum penuh kebahagiaan, menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata membayangkan cinta kasih sepenuhnya, kemudian ia berlari-lari menuruni tepi telaga, dan membersihkan muka dan leher, dan tangannya dari lumpur. Juga rambutnya.
Tak lama kemudian, mereka sudah pergi dari tempat itu. Biarpun pakaian Ling Ling masih butut, akan tetapi tidak terlalu kotor karena tadi sudah dicucinya, juga rambutnya disanggul.
Karena Sie Liong sendiri juga belum sempat berganti sejak keluar dari dalan kuburan, maka keduanya kelihatan seperti dua orang petani yang baru kembali dari sawah ladang, dengan pakaian ternoda lumpur.
Sambil berjalan menuju ke rumah bibi Cili di Lasha sambil bercakap-cakap Ling Ling menceritakan semua pengalamannya, betapa karena gelisah memikirkan Sie Liong yang tak kunjung pulang, akhirnya ia melarikan diri meninggalkan rumah bibi Cili untuk mencari Sie Liong.
Ia terpaksa menyamar sebagai seorang jembel gila untuk menghindarkan diri dari gangguan pria-pria jahat, presis seperti yang telah diduga oleh Sie Liong. Sampai kemudian dia diganggu tiga orang pemuda itu dan nyaris diperkosa.
“Akan tetapi, engkau sudah menyamar sebagai seorang jembel gila, bagaimana tiga orang itu masih ingin mengganggumu?” Sie Liong bertanya heran.
Ling Ling tersipu.
“Salahku sendiri. Tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu, Liong-ko. Karena itu, aku merasa yakin bahwa hari ini aku akan bertemu denganmu. Pagi tadi, melihat bayanganku di air, aku merasa terkejut dan khawatir membayangkan bertemu denganmu dalam keadaan seperti jembel gila yang kotor. Karena keadaan sunyi, aku lalu mandi bersih dan mencuci pakaianku, lalu memasuki guha. Agaknya, ketika mandi itu, mereka telah melihatku, dan ketika aku memasuki guha, mereka lalu menyerangku dan hendak memaksaku....”
“Ah, kita harus berterima kasih kepada Tuhan atas segala berkahNya kepada kita!”
Seru Sie Liong dan gadis itu demikian terheran sehingga ia berhenti melangkah dan memandang wajah Sie Liong dengan heran.
“Berkah? Koko, engkau nyaris tewas, lengan kirimu buntung, dan aku menderita sengsara, menjadi jembel gila kemudian nyaris diperkosa orang, dan engkau mengatakan bahwa kita berterima kasih kepada Tuhan atas segala berkah-Nya?”
Sie Liong juga memandang kepada kekasihnya dan tersenyum sambil mengangguk.
“Benar, Ling-moi. Itulah berkah-Nya. Bagaimanapun juga ternyata kita berdua masih selamat dan masih dapat saling bertemu, dan yang lebih membahagiakan lagi bagiku, biarpun kini lengan kiriku buntung, engkau masih tetap mencintaku.”
“Liong-koko....” Ling Ling berkata penuh haru. “Sampai matipun cintaku kepadamu tidak akan pernah berkurang, apalagi hilang. Akan tetapi pendapatmu tentang berkah Tuhan itu sungguh membingungkan hatiku. Jelas bahwa kita berdua baru saja tertimpa kesengsaraan, dan engkau masih menganggapnya sebagai berkah.”
“Betapa tidak, Ling-moi? Kita hidup di dunia inipun merupakan berkah Tuhan! Lihat saja sinar matahari yang menghidupkan, hawa udara untuk bernapas, lihat air, angin dan tanah yang menumbuhkan segala keperluan hidup kita! Lihat panca indria kita, mata, telinga, hidung, mulut dan segala perasaan, masih dilengkapi lagi dengan hati akal pikiran. Semua itu berlimpah dengan berkah-Nya. Apapun yang terjadi kepada diri kita sudah dikehendaki oleh Tuhan! Dan segala kehendak Tuhan pun terjadilah! Dan segala kehendak Tuhan merupakan berkah.
Otak kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengukur, untuk menilai, untuk membuka tabir rahasia yang menyelubungi pekerjaan yang dilakukan kekuasaan Tuhan. Akal pikiran kita bergelimang nafsu daya rendah, maka apabila kita menilai, penilaian itupun bergelimang nafsu dan tentu saja hanya ingin senang sendiri. Penilaian seperti itu menimbulkan baik buruk, untung rugi. Kita tidak tahu apakah artinya suatu peristiwa yang menimpa diri kita. Yang nampak buruk belum tentu buruk, mungkin mengandung hikmah, mengandung berkah tersembunyi. Yang nampak baik belum tentu seperti yang dinilainya, mungkin mengandung ancaman. Jadi, apapun yang terjadi pada diri kita, mari kita serahkan kepada kekuasaan Tuhan dengan penuh kepasrahan, dan mari kita bersukur dan berterima kasih kepada Tuhan.”
Ling Ling hanya mengangguk, akan tetapi ia masih bingung untuk dapat menerima maksud dari ucapan itu.
Bibi Cili menerima mereka dengan gembira, akan tetapi juga dengan khawatir, takut kalau-kalau pemuda bongkok yang kini buntung pula lengan kirinya itu menjadi marah. Ia sudah tahu bahwa pemuda bongkok itu adalah Pendekar Bongkok yang lihai sekali. Walaupun kini lengan kirinya buntung, ia masih merasa takut.
“Aih, taihiap, nona Ling ini membikin saya bingung setengah mati. Ia pergi tanpa pamit dan saya tidak tahu ke mana ia pergi. Sekarang, tahu-tahu telah kembali dengan taihiap, dan.... ih, pakaiannya seperti ini....”
Sie Liong tersenyum.
“Kami tidak menyalahkan engkau, bibi. Bahkan aku berterima kasih sekali kepadamu. Kedatangan kami ini pertama untuk minta bantuan agar mencarikan pakaian untuk kami, ke dua kalinya sekali lagi aku akan menitipkan Ling-moi di sini, hanya untuk beberapa hari saja.”
“Liong-koko! Apa artinya kata-katamu ini? Engkau.... hendak menitipkan aku.... hendak meninggalkan aku lagi?”
suara itu sudah mengandung isak dan wajah itu berubah pucat, matanya terbelalak penuh protes.
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada bibi Cili.
“Pergilah, bibi. Carikan beberapa pasang pakaian untuk aku dan Ling-moi. Jangan khawatir, kalau urusanku sudah selesai, pasti harganya akan kuganti, juga akan kuberi imbalan tinggalnya Ling-moi di sini.”
“Aih, tidak usah sungkan, taihiap. Keponakanku pemilik rumah makan itu akan memberikan uang berapa saja yang kubutuhkan untuk keperluanmu.”
Bibi Cili lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah nyonya rumah pergi, barulah Sie Liong menarik tangan Ling Ling, dirangkulnya gadis yang masih nampak gelisah itu.
“Ling-moi, dengarkan baik-baik. Engkau tahu bahwa kita menghadapi orang-orang yang selain amat jahat akan tetapi juga lihai bukan main. Aku tidak mungkin dapat mendiamkan saja segerombolan manusia itu mengumbar nafsu melakukan kejahatan. Sudah menjadi tugasku untuk menentang mereka yang melakukan kejahatan. Oleh karena itu, aku harus menemui Kim Sim Lama dan membasmi gerombolannya. Dan sungguh tidak mungkin kalau aku harus membawamu serta. Amat berbahaya bagimu. Nah, karena itulah terpaksa aku harus meninggalkanmu lagi di sini, bukan untuk waktu bulanan atau berhari-hari. Aku berangkat pagi, sorenya tentu kembali.”
“Akan tetapi, Liong-ko.... setelah apa yang kita alami selama ini, tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dirimu?”
“Aku dapat menjaga diri, Ling Ling. Andaikata terjadi apa-apa dengan diriku, hal itu tentu sudah dikehendaki oleh Tuhan dan engkau atau aku atau siapapun juga tidak akan mampu mencegah-nya.”
“Biarpun aku tidak dapat menolongmu, akan tetapi aku dapat melihatmu, koko! Biar aku harus matipun, kalau bersamamu, aku tidak takut dan aku rela! Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku....”
Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun masuk ke dalam rumah itu dengan muka pucat dan napas memburu. Ling Ling mengenalnya sebagai anak laki-laki yang suka disuruh-suruh bibi Cili, yaitu anak tetangga sebelah.
“A-kian, ada apakah?” tanyanya melepaskan rangkulan Sie Liong dari pundaknya.
“Ci-ci.... celaka, cici.... bibi Cili.... bibi.... Cili....”
“Ada apa dengan bibi Cili?” Sie Liong bertanya kepada anak itu.
“Ia.... ia tadi ditangkap oleh beberapa orang dan dipaksa naik sebuah kereta dan dilarikan keluar kota....”
Sie Liong segera dapat menduga siapa yang melakukan hal itu. Tentu anak buah Kim-sim-pang yang agaknya tahu akan hubungan antara dia dan bibi Cili, maka wanita itu ditangkap.
“Ling-moi, aku harus menyelamatkan bibi Cili....” katanya dan sebelum Ling Ling mampu menjawab, Sie Liong sudah meloncat keluar dari rumah itu. Dia tahu ke mana harus mengejar. Tak salah lagi, wanita malang itu tentu akan dibawa ke sarang Kim-sim-pang!
Sementara itu, anak yang membawa kabar segera meninggalkan Ling Ling karena dia ketakutan dan bersembunyi ke dalam rumahaya sendiri. Ling Ling duduk termenung. Ucapan terakhir Sie Liong masih terngiang di telinganya. Bagaimanapun juga, ia harus mengakui kebenaran ucapan itu. Bahkan kini sudah nampak bukti kebenarannya.
Gerombolan penjahat itu telah menculik bibi Cili! Kalau Sie Liong diikutinya, tentu pendekar itu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa. Ia harus tahu diri. Ia harus dapat memaklumi tugas seorang pendekar! Ia telah terlalu mementingkan diri sendiri. Tidak mungkin seorang pendekar menjadi miliknya sendiri. Seorang pendekar adalah milik masyarakat, milik mereka yang tertindas, mereka yang lemah dan sengsara karena kejahatan orang lain.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh berkelebatnya bayangan orang. Tadinya dengan girang dan penuh harap ia bangkit menyambut karena disangkanya Sie Liong yang datang. Akan tetapi ternyata yang datang adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.
Seorang pemuda yang tampan dan memiliki sinar mata tajam dan aneh. Ling Ling hendak menjerit akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, ia roboh terkulai dalam keadaan tertotok lemas dan tidak mampu bersuara. Di lain saat, tubuhnya sudah dipondong oleh pemuda itu yang membawanya lari melalui pintu belakang dengan gerakan cepat sekali.
Sie Liong melakukan pengejaran dengan cepat keluar kota. Tak lama kemudian, tepat diduganya, dia melihat sebuah kereta kecil yang ditarik dua ekor kuda dilarikan keluar kota. Dia mempercepat larinya dan sebentar saja dia sudah berhasil menyusul dan sekali dia melompat, dia telah berada di depan kuda yang menarik kereta dan biarpun dia hanya mempunyai sebuah tangan saja, namun tangan yang mengandung tenaga dahsyat itu sekali tangkap telah membuat kuda terbesar berhenti dan meringkik ketakutan.
Dari dalam kereta berlompatan keluar empat orang laki-laki, juga kusir kereta itu melompat turun. Mereka berlima sudah memegang senjata golok dan tanpa banyak cakap lagi, mereka sudah menyerang dan mengeroyok Sie Liong! Akan tetapi, pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang kosong, tubuhnya berputar seperti sebuah gasing.
“Plak-plak-plak-plak-plak....!”
Lima orang itu bergelimpangan dan roboh tak mampu bangkit kembali. Sambaran ujung lengan baju tadi telah membuat mereka mengalami patah tulang pundak atau rahang. Golok mereka beterbangan dan mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak mampu atau tidak berani bangkit lagi. Sie Liong tidak memperdulikan mereka, lalu menghampiri kereta dan membuka pintunya. Bibi Cili duduk di dalam kereta ketakutan dan menangis.
Sie Liong membimbingnya turun dari kereta.
“Jangan takut, bibi. Mari kita pulang,” katanya.
Wanita itu hanya mengangguk, dan berjalan secepatnya untuk meninggalkan tempat itu dan pulang ke rumahnya. Sie Liong mengikutinya. Mereka tidak bercakap-cakap. Bibi Cili masih ketakutan, dan Sie Liong menduga-duga, mengapa gerombolan itu hendak menculik bibi Cili.
Setelah mereka memasuki rumah bibi Cili, barulah Sie Liong tahu bahwa dia telah tertipu! Ling Ling telah lenyap! Dan sebagai gantinya, dia mendapatkan sehelai kertas di atas meja, tertancap sebatang pisau belati. Cepat direnggutnya kertas itu dan dibaca tulisannya.
Pendekar Bongkok!
Kalau engkau menghendaki kekasihmu selamat, datanglah ke kuil kami!
Kim Sim Lama
Sie Liong mengepal surat itu dalam tangan kanannya. Matanya mengeluarkan sinar mencorong dan dia berkata lirih,
“Kim Sim Lama, kalau engkau mengganggu Ling Ling, demi Tuhan, kubunuh engkau!” Dan tubuhnya berkelebat lenyap dari depan bibi Cili yang menjadi semakin ketakutan.
“Ling-moi, kenapa engkau masih selalu mengharapkan aku, ingin hidup bersamaku? Lihat baik-baik, aku seorang laki-laki yang cacat ganda, ya bongkok ya buntung lengan kiriku. Apa yang kau lihat pada diri seorang cacat seperti aku? Apa yang kau harapkan dari seorang seperti aku?”
“Liong-koko, aku.... aku cinta padamu, koko. Biar, aku tidak malu mengaku bahwa aku cinta padamu. Aku memujamu, dan engkaulah satu-satunya laki-laki yang kucinta, bahkan satu-satunya manusia yang kumiliki. Engkau memang cacat, cacat tubuhmu, akan tetapi engkaulah orang yang sebaik-baiknya bagiku. Engkau matahari hidupku. Tanpa engkau, hidupku akan gulita. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sampingmu koko, tentu saja.... kalau.... kalau engkau sudi menerima aku, seorang gadis yang bodoh dan buruk, yatim piatu pula.”
“Ling Ling....”
Sie Liong merangkul dan mendekap muka itu pada dadanya penuh kebahagiaan. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang manusia lain yang demikian mencintanya. Dia dapat merasakan benar curahan kasih sayang Ling Ling melalui pandang matanya, melalui sikapnya, melalui suaranya, melalui sentuhannya.
“Ling Ling, akupun cinta padamu. Aku.... aku ingin memperisterimu....”
“Liong-koko! Betapa bahagia hatiku. Aku mau melakukan apa saja asal boleh mendampingimu selama hidupku!”
Sie Liong tersenyum.
“Sekarang yang paling penting engkau membersihkan dirimu dulu dari lumpur itu, bereskan rambutmu dan pakaianmu. Nah, cepat, aku tunggu di sini. Setelah itu, kita pergi ke rumah bibi Cili dan bercakap-cakap.”
Ling Ling telah memperoleh kembali kegembiraannya. Ia bangkit, tersenyum penuh kebahagiaan, menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata membayangkan cinta kasih sepenuhnya, kemudian ia berlari-lari menuruni tepi telaga, dan membersihkan muka dan leher, dan tangannya dari lumpur. Juga rambutnya.
Tak lama kemudian, mereka sudah pergi dari tempat itu. Biarpun pakaian Ling Ling masih butut, akan tetapi tidak terlalu kotor karena tadi sudah dicucinya, juga rambutnya disanggul.
Karena Sie Liong sendiri juga belum sempat berganti sejak keluar dari dalan kuburan, maka keduanya kelihatan seperti dua orang petani yang baru kembali dari sawah ladang, dengan pakaian ternoda lumpur.
Sambil berjalan menuju ke rumah bibi Cili di Lasha sambil bercakap-cakap Ling Ling menceritakan semua pengalamannya, betapa karena gelisah memikirkan Sie Liong yang tak kunjung pulang, akhirnya ia melarikan diri meninggalkan rumah bibi Cili untuk mencari Sie Liong.
Ia terpaksa menyamar sebagai seorang jembel gila untuk menghindarkan diri dari gangguan pria-pria jahat, presis seperti yang telah diduga oleh Sie Liong. Sampai kemudian dia diganggu tiga orang pemuda itu dan nyaris diperkosa.
“Akan tetapi, engkau sudah menyamar sebagai seorang jembel gila, bagaimana tiga orang itu masih ingin mengganggumu?” Sie Liong bertanya heran.
Ling Ling tersipu.
“Salahku sendiri. Tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu, Liong-ko. Karena itu, aku merasa yakin bahwa hari ini aku akan bertemu denganmu. Pagi tadi, melihat bayanganku di air, aku merasa terkejut dan khawatir membayangkan bertemu denganmu dalam keadaan seperti jembel gila yang kotor. Karena keadaan sunyi, aku lalu mandi bersih dan mencuci pakaianku, lalu memasuki guha. Agaknya, ketika mandi itu, mereka telah melihatku, dan ketika aku memasuki guha, mereka lalu menyerangku dan hendak memaksaku....”
“Ah, kita harus berterima kasih kepada Tuhan atas segala berkahNya kepada kita!”
Seru Sie Liong dan gadis itu demikian terheran sehingga ia berhenti melangkah dan memandang wajah Sie Liong dengan heran.
“Berkah? Koko, engkau nyaris tewas, lengan kirimu buntung, dan aku menderita sengsara, menjadi jembel gila kemudian nyaris diperkosa orang, dan engkau mengatakan bahwa kita berterima kasih kepada Tuhan atas segala berkah-Nya?”
Sie Liong juga memandang kepada kekasihnya dan tersenyum sambil mengangguk.
“Benar, Ling-moi. Itulah berkah-Nya. Bagaimanapun juga ternyata kita berdua masih selamat dan masih dapat saling bertemu, dan yang lebih membahagiakan lagi bagiku, biarpun kini lengan kiriku buntung, engkau masih tetap mencintaku.”
“Liong-koko....” Ling Ling berkata penuh haru. “Sampai matipun cintaku kepadamu tidak akan pernah berkurang, apalagi hilang. Akan tetapi pendapatmu tentang berkah Tuhan itu sungguh membingungkan hatiku. Jelas bahwa kita berdua baru saja tertimpa kesengsaraan, dan engkau masih menganggapnya sebagai berkah.”
“Betapa tidak, Ling-moi? Kita hidup di dunia inipun merupakan berkah Tuhan! Lihat saja sinar matahari yang menghidupkan, hawa udara untuk bernapas, lihat air, angin dan tanah yang menumbuhkan segala keperluan hidup kita! Lihat panca indria kita, mata, telinga, hidung, mulut dan segala perasaan, masih dilengkapi lagi dengan hati akal pikiran. Semua itu berlimpah dengan berkah-Nya. Apapun yang terjadi kepada diri kita sudah dikehendaki oleh Tuhan! Dan segala kehendak Tuhan pun terjadilah! Dan segala kehendak Tuhan merupakan berkah.
Otak kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengukur, untuk menilai, untuk membuka tabir rahasia yang menyelubungi pekerjaan yang dilakukan kekuasaan Tuhan. Akal pikiran kita bergelimang nafsu daya rendah, maka apabila kita menilai, penilaian itupun bergelimang nafsu dan tentu saja hanya ingin senang sendiri. Penilaian seperti itu menimbulkan baik buruk, untung rugi. Kita tidak tahu apakah artinya suatu peristiwa yang menimpa diri kita. Yang nampak buruk belum tentu buruk, mungkin mengandung hikmah, mengandung berkah tersembunyi. Yang nampak baik belum tentu seperti yang dinilainya, mungkin mengandung ancaman. Jadi, apapun yang terjadi pada diri kita, mari kita serahkan kepada kekuasaan Tuhan dengan penuh kepasrahan, dan mari kita bersukur dan berterima kasih kepada Tuhan.”
Ling Ling hanya mengangguk, akan tetapi ia masih bingung untuk dapat menerima maksud dari ucapan itu.
Bibi Cili menerima mereka dengan gembira, akan tetapi juga dengan khawatir, takut kalau-kalau pemuda bongkok yang kini buntung pula lengan kirinya itu menjadi marah. Ia sudah tahu bahwa pemuda bongkok itu adalah Pendekar Bongkok yang lihai sekali. Walaupun kini lengan kirinya buntung, ia masih merasa takut.
“Aih, taihiap, nona Ling ini membikin saya bingung setengah mati. Ia pergi tanpa pamit dan saya tidak tahu ke mana ia pergi. Sekarang, tahu-tahu telah kembali dengan taihiap, dan.... ih, pakaiannya seperti ini....”
Sie Liong tersenyum.
“Kami tidak menyalahkan engkau, bibi. Bahkan aku berterima kasih sekali kepadamu. Kedatangan kami ini pertama untuk minta bantuan agar mencarikan pakaian untuk kami, ke dua kalinya sekali lagi aku akan menitipkan Ling-moi di sini, hanya untuk beberapa hari saja.”
“Liong-koko! Apa artinya kata-katamu ini? Engkau.... hendak menitipkan aku.... hendak meninggalkan aku lagi?”
suara itu sudah mengandung isak dan wajah itu berubah pucat, matanya terbelalak penuh protes.
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada bibi Cili.
“Pergilah, bibi. Carikan beberapa pasang pakaian untuk aku dan Ling-moi. Jangan khawatir, kalau urusanku sudah selesai, pasti harganya akan kuganti, juga akan kuberi imbalan tinggalnya Ling-moi di sini.”
“Aih, tidak usah sungkan, taihiap. Keponakanku pemilik rumah makan itu akan memberikan uang berapa saja yang kubutuhkan untuk keperluanmu.”
Bibi Cili lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah nyonya rumah pergi, barulah Sie Liong menarik tangan Ling Ling, dirangkulnya gadis yang masih nampak gelisah itu.
“Ling-moi, dengarkan baik-baik. Engkau tahu bahwa kita menghadapi orang-orang yang selain amat jahat akan tetapi juga lihai bukan main. Aku tidak mungkin dapat mendiamkan saja segerombolan manusia itu mengumbar nafsu melakukan kejahatan. Sudah menjadi tugasku untuk menentang mereka yang melakukan kejahatan. Oleh karena itu, aku harus menemui Kim Sim Lama dan membasmi gerombolannya. Dan sungguh tidak mungkin kalau aku harus membawamu serta. Amat berbahaya bagimu. Nah, karena itulah terpaksa aku harus meninggalkanmu lagi di sini, bukan untuk waktu bulanan atau berhari-hari. Aku berangkat pagi, sorenya tentu kembali.”
“Akan tetapi, Liong-ko.... setelah apa yang kita alami selama ini, tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dirimu?”
“Aku dapat menjaga diri, Ling Ling. Andaikata terjadi apa-apa dengan diriku, hal itu tentu sudah dikehendaki oleh Tuhan dan engkau atau aku atau siapapun juga tidak akan mampu mencegah-nya.”
“Biarpun aku tidak dapat menolongmu, akan tetapi aku dapat melihatmu, koko! Biar aku harus matipun, kalau bersamamu, aku tidak takut dan aku rela! Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku....”
Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun masuk ke dalam rumah itu dengan muka pucat dan napas memburu. Ling Ling mengenalnya sebagai anak laki-laki yang suka disuruh-suruh bibi Cili, yaitu anak tetangga sebelah.
“A-kian, ada apakah?” tanyanya melepaskan rangkulan Sie Liong dari pundaknya.
“Ci-ci.... celaka, cici.... bibi Cili.... bibi.... Cili....”
“Ada apa dengan bibi Cili?” Sie Liong bertanya kepada anak itu.
“Ia.... ia tadi ditangkap oleh beberapa orang dan dipaksa naik sebuah kereta dan dilarikan keluar kota....”
Sie Liong segera dapat menduga siapa yang melakukan hal itu. Tentu anak buah Kim-sim-pang yang agaknya tahu akan hubungan antara dia dan bibi Cili, maka wanita itu ditangkap.
“Ling-moi, aku harus menyelamatkan bibi Cili....” katanya dan sebelum Ling Ling mampu menjawab, Sie Liong sudah meloncat keluar dari rumah itu. Dia tahu ke mana harus mengejar. Tak salah lagi, wanita malang itu tentu akan dibawa ke sarang Kim-sim-pang!
Sementara itu, anak yang membawa kabar segera meninggalkan Ling Ling karena dia ketakutan dan bersembunyi ke dalam rumahaya sendiri. Ling Ling duduk termenung. Ucapan terakhir Sie Liong masih terngiang di telinganya. Bagaimanapun juga, ia harus mengakui kebenaran ucapan itu. Bahkan kini sudah nampak bukti kebenarannya.
Gerombolan penjahat itu telah menculik bibi Cili! Kalau Sie Liong diikutinya, tentu pendekar itu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa. Ia harus tahu diri. Ia harus dapat memaklumi tugas seorang pendekar! Ia telah terlalu mementingkan diri sendiri. Tidak mungkin seorang pendekar menjadi miliknya sendiri. Seorang pendekar adalah milik masyarakat, milik mereka yang tertindas, mereka yang lemah dan sengsara karena kejahatan orang lain.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh berkelebatnya bayangan orang. Tadinya dengan girang dan penuh harap ia bangkit menyambut karena disangkanya Sie Liong yang datang. Akan tetapi ternyata yang datang adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.
Seorang pemuda yang tampan dan memiliki sinar mata tajam dan aneh. Ling Ling hendak menjerit akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, ia roboh terkulai dalam keadaan tertotok lemas dan tidak mampu bersuara. Di lain saat, tubuhnya sudah dipondong oleh pemuda itu yang membawanya lari melalui pintu belakang dengan gerakan cepat sekali.
Sie Liong melakukan pengejaran dengan cepat keluar kota. Tak lama kemudian, tepat diduganya, dia melihat sebuah kereta kecil yang ditarik dua ekor kuda dilarikan keluar kota. Dia mempercepat larinya dan sebentar saja dia sudah berhasil menyusul dan sekali dia melompat, dia telah berada di depan kuda yang menarik kereta dan biarpun dia hanya mempunyai sebuah tangan saja, namun tangan yang mengandung tenaga dahsyat itu sekali tangkap telah membuat kuda terbesar berhenti dan meringkik ketakutan.
Dari dalam kereta berlompatan keluar empat orang laki-laki, juga kusir kereta itu melompat turun. Mereka berlima sudah memegang senjata golok dan tanpa banyak cakap lagi, mereka sudah menyerang dan mengeroyok Sie Liong! Akan tetapi, pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang kosong, tubuhnya berputar seperti sebuah gasing.
“Plak-plak-plak-plak-plak....!”
Lima orang itu bergelimpangan dan roboh tak mampu bangkit kembali. Sambaran ujung lengan baju tadi telah membuat mereka mengalami patah tulang pundak atau rahang. Golok mereka beterbangan dan mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak mampu atau tidak berani bangkit lagi. Sie Liong tidak memperdulikan mereka, lalu menghampiri kereta dan membuka pintunya. Bibi Cili duduk di dalam kereta ketakutan dan menangis.
Sie Liong membimbingnya turun dari kereta.
“Jangan takut, bibi. Mari kita pulang,” katanya.
Wanita itu hanya mengangguk, dan berjalan secepatnya untuk meninggalkan tempat itu dan pulang ke rumahnya. Sie Liong mengikutinya. Mereka tidak bercakap-cakap. Bibi Cili masih ketakutan, dan Sie Liong menduga-duga, mengapa gerombolan itu hendak menculik bibi Cili.
Setelah mereka memasuki rumah bibi Cili, barulah Sie Liong tahu bahwa dia telah tertipu! Ling Ling telah lenyap! Dan sebagai gantinya, dia mendapatkan sehelai kertas di atas meja, tertancap sebatang pisau belati. Cepat direnggutnya kertas itu dan dibaca tulisannya.
Pendekar Bongkok!
Kalau engkau menghendaki kekasihmu selamat, datanglah ke kuil kami!
Kim Sim Lama
Sie Liong mengepal surat itu dalam tangan kanannya. Matanya mengeluarkan sinar mencorong dan dia berkata lirih,
“Kim Sim Lama, kalau engkau mengganggu Ling Ling, demi Tuhan, kubunuh engkau!” Dan tubuhnya berkelebat lenyap dari depan bibi Cili yang menjadi semakin ketakutan.
**** 118 ****
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar