Ads

Kamis, 26 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 101

“Huh, tikus-tikus macam kalian ini tidak patut menyebut diri pendekar-pendekar!”

Bentakan itu dikeluarkan oleh seorang gadis yang berdiri sambil bertolak pinggang, menghadapi tiga orang laki-laki yang menyeringai gembira. Pagi itu masih agak gelap, matahari masih terlampau rendah untuk dapat mengusir kegelapan yang ditimbulkan oleh pohon-pohon yang lebat dalam hutan itu.

Seorang gadis yang usianya antara delapan belas atau sembilan belas tahun. Tubuhnya padat ramping dan tingginya sedang. Pakaiannya sederhana, bukan hanya potongannya melainkan juga terbuat dari kain kasar, akan tetapi justeru pakaian sederhana ini bahkan menonjolkan kecantikannya dan keindahan bentuk tubuhnya. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dua dan digelung ke atas, tanpa perhiasan, hanya ditusuk dengan dua potong bambu sebesar sumpit. Sepatunya dari kulit, menutupi seluruh kaki sampai ke betis.

Melihat sikap dan dandanannya, mudah diduga bahwa ia adalah seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan jauh, biasa menempuh dan menghadapi bahaya, seorang gadis kang-ouw. Akan tetapi, tidak nampak sebuahpun senjata menempel di tubuhnya. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, apalagi pada saat ia sedang marah seperti itu.

Hidungnya yang kecil mancung itu dapat bergerak-gerak sedikit cupingnya, dan mulutnya yang cemberut itu berbibir merah basah, tanda bahwa ia sehat dan segar. Kedua pipinya, pada tonjolan pipi di tepi bawah mata nampak merah sekali seperti diberi pemerah muka, padahal pipi itu merah asli seperti juga bibirnya.

Tiga orang laki-laki itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun dan biarpun dimaki oleh gadis itu, mereka tetap bergembira dan tersenyum-senyum genit. Dari pandang mata mereka, sikap dan bau mulut mereka, mudah diketahui bahwa mereka sedang mabok atau kebanyakan minum arak di pagi itu. Sepagi itu sudah mabok, ini merupakan tanda orang-orang yang sudah menjadi hamba minuman keras dan dalam keadaan mabok seperti itu, biasanya orang tidak lagi sadar akan apa yang mereka lakukan, meniadakan sopan santun dan watak-watak asli mereka akan nampak keluar tanpa hambatan.

“Heh-heh, nona manis. Apa salahnya kalau kami mengajak engkau bersenang-senang di pagi hari yang sunyi dan sedingin ini? Ha-ha!” seorang di antara mereka yang matanya sipit sekali berkata.

“Bercumbu sedikit tiada salahnya, nona. Kami para pendekarpun suka bermain cinta, hi-hik!” kata orang ke dua yang hidungnya bengkok seperti hidung burung kakatua.

“Ha-ha-ha, benar, benar! Pendekarpun laki-laki biasa yang suka bercanda dengan gadis cantik seperti engkau, nona. Dan tahulah engkau? Kedua pipimu begitu merah dan apa artinya kalau seorang gadis manis merah pipinya?” Orang ke tiga yang jenggotnya lebat berkata.

“Artinya?” sambung yang pertama. “Artinya gadis itu minta dicium pipinya, ha-ha!”

Mereka bertiga tertawa bergelak, terbahak-bahak sambil memegangi perut.
“Ha-ha, akan tetapi jangan engkau yang mencium. Mukamu penuh brewok, kasihan ia akan mati kegelian,” kata pula yang sipit dan kembali mereka tertawa-tawa.

Gadis itu membanting-banting kakinya.
“Keparat! Kalian bertiga ini pantasnya anggauta gerombolan penjahat, sama sekali tidak pantas berada di tempat ini, di antara para pendekar yang mengadakan pertemuan. Kalau tidak ingat bahwa mungkin sekali kalian ini pendekar-pendekar yang tersesat dan bahwa sekarang akan diadakan pertemuan antara para orang gagah, tentu sudah kuhancurkan mulut kalian yang busuk itu!”

Sambil berkata demikian, gadis yang menahan kemarahannya itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.

Akan tetapi, tiga orang itu menggerakkan tubuh mereka dan tahu-tahu mereka sudah berlompatan menghadang di depan gadis itu. Dari cara mereka bergerak melompat, dapat diketahui bahwa tiga orang pria ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang lumayan.

“Wah, wah, nanti dulu, nona!” kata yang bermata sipit, yang paling tua dan agaknya menjadi pimpinan di antara mereka.

“Kalian mau apa!” bentak gadis itu dengan kemarahan yang hampir tak dapat dipertahankannya lagi.

“Nona manis, engkau sungguh tidak adil. Kami bertiga bertemu denganmu, menjamahpun tidak, mengganggupun tidak, hanya memuji-muji kecantikanmu. Untuk pujian itu, sudah sepatutnya kalau kami menerima hadiah. Sebaliknya, engkau memaki-maki dan menghina kami. Karena itu, tidak boleh engkau pergi sebelum kami menerima ganti rugi atas perlakuanmu yang tidak adil kepada kami.”

“Hemm, apa yang kalian kehendaki?”

“Tidak banyak, hanya masing-masing dari kami menerima satu ciuman saja darimu.”

Si mata sipit menyeringai dan dua orang temannya mengangguk-angguk dengan jakun turun naik karena mereka sudah membayangkan betapa akan sedapnya menerima sebuah ciuman dari dara yang manis dan jelita ini.

Kini kemarahan dara itu tidak dapat ditahannya lagi. Mukanya menjadi merah dan matanya mencorong seolah-olah mengeluarkan api.

“Keparat jahanam bermulut busuk! Sekali lagi, pergilah sebelum aku terpaksa menghajar kalian!”

“He-he-he, ia mau menghajar kita!” si mata sipit tertawa.

Dua orang kawannya tertawa pula.
“Biarlah, dihajar oleh tangan yang halus itu aku siap! Sudah lama aku tidak diusap tangan halus.”

“Dan akupun ingin dipijiti jari-jari mungil itu, heh-heh!”






“Pergilah....!”

Gadis itu menggerakkan tubuhnya dan kaki tangannya bergerak cepat sekali. Terdengar suara plak-plak beberapa kali dan tubuh tiga orang itu terpelanting, dibarengi keluhan mereka.

Mereka terbelalak, masing-masing meraba pipi mereka yang menjadi bengkak oleh tamparan nona tadi. Yang membuat mereka terkejut adalah cepatnya tangan itu bergerak, sehingga berturut-turut mereka kena ditampar tanpa mereka dapat mengelak atau menangkis sama sekali. Dan karena tamparan itu memang membuat pipi bengkak dan muka panas, nyeri rasanya, ditambah lagi rasa malu karena sudah ditampar oleh seorang gadis muda, tiga orarg itupun menjadi marah.

“Berani kau memukul kami?” Mereka bangkit berdiri dan mengepung gadis itu.

Kemudian, sambil berteriak marah mereka mulai maju dan dari serangan mereka, dapat dilihat bahwa mereka masih mempunyai niat kotor karena serangan mereka itu bukan pukulan melainkan cengkeraman-cengkeraman. Agaknya mereka itu ingin membalas tamparan si nona dengan cengkeraman untuk menangkap tubuh yang denok itu atau merobek pakaiannya! Akan tetapi, mereka kecelik kalau mengira bahwa mereka berhadapan dengan seekor domba betina muda.

Nona itu ternyata memiliki gerakan yang amat gesit dan dengan lincahnya tubuh yang ramping itu berloncatan ke sana-sini dan semua terkaman itu hanya mengenai angin belaka. Kemudian, kaki yang kecil itu bergerak tiga kali berturut-turut dan untuk ke dua kalinya, tiga orang setengah mabok itu terpelanting dan mengaduh-aduh! Si dara itu sama sekali bukan seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, melainkan seekor macan betina yang galak dan kuat.

Baru sekarang tiga orang itu sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang dara yang lihai. Akan tetapi, dasar mereka memang memiliki watak yang buruk, mereka tidak menyadari kesalahan mereka, sebaliknya dengan penuh kemarahan tiga orang itu bangkit lagi dan mereka mencabut senjata mereka yaitu sebatang golok tipis dan dengan senjata di tangan mereka kini mengurung si dara dengan wajah bengis.

Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak nampak gentar menghadapi ancaman tiga orang laki-laki yang memegang golok itu. Bahkan ia berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang dan memandang dengan senyum simpul mengejek, akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Agaknya ia sama sekali tidak khawatir karena dalam dua gebrakan tadi saja gadis ini sudah yakin benar bahwa tiga orang lawannya hanya galak aksinya saja akan tetapi sesungguhnya merupakan gentong-gentong kosong yang nyaring suaranya.

“Hemm, kalian memang perlu dihajar lebih keras lagi agar bertobat!” katanya dengan senyum tak pernah meninggalkan wajah yang manis.

Tiga orang itu kini sudah kehilangan selera mereka untuk menggoda dan berbuat kurang ajar. Kini yang ada dalam benak mereka hanyalah membalas dan kalau perlu membunuh gadis yang telah membikin malu mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat mereka terpelanting roboh tadi.

“Haiiiittt....!”

Si mata sipit sudah menerjang dengan gerakan goloknya yang membentuk gulungan sinar terang. Dua orang temannya agaknya tidak mau ketinggalan dan dari kanan kiri merekapun menyerang dengan golok mereka. Sungguh tiga orang ini tak tahu malu, menyerang seorang gadis bertangan kosong dengan golok mereka secara keroyokan seperti itu.

Namun, gadis itu sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar golok. Tiga orang itu menjadi semakin bernafsu ketika golok mereka membabat udara hampa saja dalam penyerangan pertama mereka, maka mereka menyusulkan serangan-serangan berikutnya yang datang dengan bertubi-tubi. Gadis itu tetap mengelak ke sana-sini mencari kesempatan untuk membalas dan kurang lebih sepuluh jurus kemudian, tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nyaring sekali.

Tiga orang pengeroyoknya terkejut, sejenak seperti menjadi lumpuh oleh suara yang menusuk telinga dan menyayat perasaan hati mereka itu. Dan pada saat itulah si gadis lihai menurunkan tangan membalas. Tiga kali ia memukul dan tiga orang itu roboh berpelantingan sambil mengaduh-aduh dan golok mereka terlepas dari tangan kanan karena lengan kanan itu seketika lumpuh dan pundak mereka nyeri. Kiranya gadis itu tadi memukul ke arah pundak kanan dan membuat tulang pundak mereka remuk dan lengan itu tentu saja menjadi lumpuh seketika.

“Hemm, aku masih mengampuni nyawa kalian, dan mudah-mudahan pelajaran ini membuat kalian bertobat!” kata si gadis dengan kata-kata yang tegas.

Akan tetapi, pada saat itu bermunculan belasan orang dikepalai oleh dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan yang memegang sebatang tongkat baja. Melihat tiga orang yang mengaduh-aduh itu, belasan orang ini lalu mengurung si gadis yang memandang dengan sikap tenang namun waspada.

Dua orang kakek itu menghampiri tiga orang yang terluka, lalu menggunakan jari tangan mereka menotok beberapa jalan darah dekat pundak untuk mengurangi rasa nyeri. Kemudian mereka bangkit lagi dan menghadapi si gadis yang berdiri dengan sikap tenang itu.

“Nona, siapakah engkau yang begitu berani melukai tiga orang murid kami?” seorang di antara mereka bertanya, sikapnya tenang dan angkuh seolah-olah sikap seorang locianpwe kepada seorang yang tingkatanya lebih muda dan rendah.

Melihat jubah putih dari dua orang tosu itu dan gambar bunga teratai putih di atas dasar biru bundar di dada, gadis itu mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara halus akan tetapi mengandung nada mengejek.

“Siapa adanya aku tidak perlu dibicarakan, akan tetapi kalau tidak salah, ji-wi adalah orang-orang Pek-lian-pai yang sangat terkenal, bukan? Dan tiga orang yang menjadi murid ji-wi itu adalah anggauta-anggauta Pek-lian-pai. Akan tetapi mengapa mereka bersikap seperti penjahat-penjahat rendah yang suka mengganggu wanita? Apakah memang para murid Pek-lian-pai diajar untuk kurang ajar terhadap wanita?”

Wajah dua orang kakek itu berobah merah dan tosu ke dua yang bertubuh gemuk pendek menghentakkan tongkatnya di atas tanah.

“Siancai, nona muda yang bermulut lancang! Mana mungkin murid-murid kami melakukan hal yang rendah? Akan kutanya mereka!”

Dia lalu menoleh kepada tiga orang yang masih menyeringai itu.
“Coba katakan, apakah benar kalian mengganggu wanita? Hayo jawab sebenarnya!”

Si mata sipit yang mewakili dua orang kawannya cepat menjawab.
“Sama sekali tidak, susiok! Kami mana berani mengganggu wanita? Kami bertemu dengan nona ini dan karena merasa bahwa di antara kami dan nona ini terdapat persamaan paham, kami menganggapnya sebagai seorang sahahat dan kami menyapanya. akan tetapi ia marah-marah dan memaki-maki kami, bahkan lalu menyerang dan melukai kami.”

Tosu pendek gendut itu kembali memandang gadis itu dengan alis berkerut. Akan tetapi gadis itu telah mendahuluinya dan berkata sambil tersenyum mengejek.

“Aku mendengar bahwa Pek-lian-pai mempunyai dasar Agama Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) yang menjadi cabang dari Agama To-kauw. Mengambil gambar teratai putih untuk menunjukkan bahwa Pek-lian-pai putih bersih. Akan tetapi siapa kira, murid-muridnya selain pemabok-pemabok dan pengganggu wanita, juga pembohong-pembohong besar dan pengecut, tidak berani mengakui kesalahan dan tidak mau mempertanggung jawabkan perbuatan mereka!”

Si tosu gendut marah. Matanya terbelalak dan tongkatnya digerakkan, melintang di depan dadanya.

“Hemm, engkau ini bocah perempuan lancang mulut dan sombong, agaknya mengandalkan sedikit kepandaian untuk menghina Pek-lian-pai! Majulah, hendak pinto melihat sampai di mana kelihaianmu.”

Setelah berkata demikian, kakek gendut itu menancapkan tongkatnya di atas tanah dan dia menerjang maju, mengirim tamparan ke arah pundak gadis itu. Bagaimanapun juga, sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, dia merasa malu kalau harus menghadapi seorang gadis remaja dengan senjatanya, dan ketika menyerangpun dia hanya menampar pundak karena tidak bermaksud mencelakai, melainkan hanya memberi hajaran saja kepada gadis muda yang dianggapnya sombong dan keterlaluan telah berani melukai tiga orang murid Pek-lian-pai itu.

Agaknya kakek ini merasa yakin bahwa tamparannya itu tentu akan berhasil, karena bukan tamparan biasa, melainkan jurus ilmu silat Pek-lian-pai yang lihai, tamparan yang dilanjutkan dengan cengkeraman dan dilakukan dengan amat cepat, juga mengandung tenaga sin-kang yang cukup kuat.

Akan tetapi kakek gendut itu kecelik. Dengan gerakan indah namun cepat sekali, juga dilakukan seenaknya, dengan merendahkan tubuh dan miring lalu menggeser kaki ke belakang, gadis itu sudah mampu menghindarkan serangannya itu dengan amat baiknya.

Hal ini membuat si tosu penasaran. Kakinya melangkah ke depan dan dia mengirim serangan ke dua, kaki menendang ke arah lutut dilanjutkan cengkeraman ke arah pundak dengan tangan kiri dan totokan jari tangan kanan ke arah leher. Sungguh merupakan serangkaian serangan yang amat berbahaya!

Kembali kakek itu kecelik. Dengan gerakan tubuh yang amat lincah, gadis itu dapat menghindarkan diri pula dengan amat baiknya dan tiga serangan beruntun itupun semua hanya mengenai tempat kosong belaka.

Setelah lewat belasan jurus serangan yang semua dapat dihindarkan gadis itu dengan elakan yang lincah, tiba-tiba ketika kakek itu menghantamkan tangan kanannya dari atas ke arah gadis itu karena diapun sudah mulai penasaran dan kini menyerang sungguh-sungguh, gadis itu mengangkat tangan kirinya menangkis.

Melihat ini, kakek Pek-lian-pai menjadi girang. Inilah yang diharapkan sejak tadi. Gadis itu terlalu lincah gerakannya sehingga sukarlah mengenai tubuhnya, seperti menyerang seekor kupu-kupu yang lincah saja.

Akan tetapi kalau gadis itu menangkis, dia akan dapat menghajar gadis itu dengan beradunya kedua lengan. Biarlah gadis itu akan menerima hukuman dan tulang lengannya akan patah. Maka, melihat gadis itu mengangkat tangan menangkis, diapun segera mengerahkan tenaga sin-kang ke dalam lengan kanan yang ditangkis.

“Dukkk....!”

Dua lengan bertemu dan kakek itu terkejut bukan main karena pertemuan lengan yang diharapkan akan dapat mematahkan tulang lengan lawan atau setidaknya menbuat gadis itu roboh, sebaliknya malah membuat dia terhuyung ke belakang dengan lengan terasa nyeri sekali. Ada semacam tenaga aneh yang amat kuat menangkis tenaganya dan tenaga itu bahkan mendorongnya sehingga tanpa dapat dipertahankannya dia terhuyung ke belakang.

“Totiang, apakah engkau masih hendak melanjutkan kesesatanmu?”

Gadis itu membentak, kelihatan marah. Dalam pertemuan tenaga yang membuat kakek itu terhuyung tadi, ia sama sekali tidak bergoyah, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dalam hal sin-kangpun gadis itu lebih lihai.

Namun tosu gendut itu memang tidak tahu diri atau memang sudah nekat karena merasa malu untuk mengaku kalah. Dia meloncat ke belakang, mencari tongkat yang tadi menancap di tanah dan dengan tongkat melintang dia menerjang maju lagi. Tongkat itu membentuk gulungan sinar dan mengeluarkan suara angin mendesir ketika bergerak memyambar ke arah kepala gadis itu!

“Wuuuuttt....!”

Tongkat menyambar luput dan kini kakek ke dua yang tinggi kurus sudah ikut pula menyerang dengan tongkatnya, menusuk ke arah belakang lutut gadis itu dengan maksud merobohkannya. Gadis itu terkejut. Nyaris belakang lututnya tertotok, maka iapun meloncat jauh ke belakang dan tangan kanannya bergerak ke arah pinggangnya. Nampak sinar keemasan menyilaukan mata dan gadis itu ternyata telah memegang sebatang suling terbuat dari emas yang indah sekali!

“Hemm, kalian tidak bisa diberi hati, harus dihajar. Majulah!” Gadis itu kini menantang.

Dua orang kakek itupun merasa penasaran sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-pai, masa menghadapi seorang gadis remaja saja tidak mampu menang? Keduanya tidak tahu malu lagi karena terdorong rasa penasaran untuk dapat mengalahkan gadis itu.

Akan tetapi sebelum bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda remaja berusia dua puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, berwajah ramah penuh senyum cerah. Pemuda ini segera menyelinap di antara mereka dan menghadapi dua orang kakek itu sambil mengangkat kedua tangan ke atas, lalu menjura dengan hormat.

“Ji-wi totiang harap sabar dulu. Harap ji-wi pikirkan baik-baik, apakah sudah cukup pantas kalau ji-wi melanjutkan perkelahian ini?” pemuda itu bertanya dengan suara lantang.

Melihat sikap pemuda ini yang mudah diduga tentu seorang pendekar, dua orang tosu itu merasa ragu-ragu dan si tinggi kurus bertanya.

“Orang muda, mengapa engkan mencampuri urusan kami dan apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu tadi?”

“Ji-wi totiang adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai dan kedatangan ji-wi di tempat ini bersama anak buah ji-wi tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot yang akan diadakan di tempat ini, bukan?”

“Benar, lalu apa hubungannya dengan urusan kami menghadapi gadis jahat itu?”

“Totiang, harap jangan keliru menilai orang. Nona ini sama sekali bukan orang jahat, melainkan puteri pendekar sakti Suling Emas, Kam-locianpwe. Ia adalah seorang pendekar wanita yang lihai, dan tentu kehadirannya juga ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar patriot. Totiang, kalau pertemuan para pendekar dan patriot diawali dengan perkelahian antara kita sendiri, mana mungkin kita bersatu menghadapi pemerintah penjajah?”

Dua orang tosu itu kelihatan terkejut. Biarpun mereka belum pernah berkenalan atau berjumpa namun nama besar pendekar sakti Suling Emas sudah pernah mereka dengar. Pantas saja gadis itu lihai bukan main.

“Tapi, nona ini telah melukai tiga orang murid kami,” bantah si gendut untuk menempatkan pihak sendiri di sudut yang menguntungkan.

“Tentu saja aku melukai dan menghajar tiga orang itu yang berani bersikap kurang ajar menggangguku!” bantah gadis itu. “Kalau bukan tiga orang mabok itu menggangguku, perlu apa aku mengotorkan tangan terhadap mereka?”

Pemuda itu mengangkat kedua tangan menyabarkan kedua pihak.
“Ji-wi totiang, harap sudahi saja perkara kecil ini. Bagaimanapun juga, nona ini adalah seorang pendekar dan tidak mungkin tanpa sebab ia berkelahi dengan murid-murid ji-wi, dan ternyata bahwa murid-murid ji-wi dalam keadaan mabok. Kita sama-sama tahu bagaimana sikap laki-laki yang sedang mabok kalau melihat wanita muda dan cantik. Kalau sampai terdengar oleh para pendekar dan patriot lain, tentu nama Pek-lian-pai akan menjadi merosot saja kalau perkelahian dengan puteri Kam-locian-pwe ini dilanjutkan.”

Memang dua orang tosu Pek-lian-pai itu sudah dapat menduga bahwa murid-murid mereka tentu yang lebih dulu menggoda nona yang cantik ini. Mereka tadi turun tangan hanya karena merasa marah melihat murid-murid mereka dipatahkan tulangnya, dan juga karena malu sebelum dapat membalas nona itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa nona itu adalah puteri pendekar sakti Suling Emas, mereka sudah dapat melihat bahwa kalau dilanjutkan pertikaian itu, tentu nama mereka akan rusak nama karena membela tiga orang murid mabok!

“Baik, kami akan sudahi saja urusan ini. Akan tetapi siapakah engkau, orang muda?” Tosu tinggi kurus bertanya.

“Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!”

Tiba-tiba gadis itu berkata, seperti hendak membalas ketika pemuda itu tadi memperkenalkannya sebagai puteri pendekar Suling Emas.

Tentu saja dua orang kakek Pek-lian-pai itu semakin terkejut. Cucu Pendekar Pulau Es? Mereka tidak berani lagi banyak lagak dan sambil menjura mereka lalu mengundurkan diri dan membentak tiga orang murid mereka yang menjadi gara-gara pertikaian itu. Setelah mereka pergi, pemuda itu membalikkan tubuh, menghadapi gadis itu.

Mereka berdiri saling berpandangan, sampai lama tidak dapat mengeluarkan suara, dua pasang mata itu bertemu, bertaut dan seolah-olah mereka menjadi gagu seketika. Bayangan dan kenangan lama muncul di dalam pikiran mereka dan tiba-tiba keduanya mengeluarkan seruan hampir berbareng.

“Bi Eng....!”

“Ceng Liong....!”

Keduanya melangkah maju mengulur tangan, akan tetapi tiba-tiba Bi Eng berhenti dan ia berdiri memandang dengan muka berobah merah sekali. Teringat ia bahwa yang berada di depannya bukan anak-anak lagi, bukan remaja yang pernah dikenalnya beberapa tahun yang lalu, melainkan seorang pemuda dewasa yang gagah perkasa! Dan ia sendiri sudah menjadi seorang gadis dewasa, bahkan menjadi seorang calon isteri, tunangan pemuda yang kini menjadi murid ayahnya, yaitu Sim Houw!

Melihat keraguan di wajah gadis itu, Ceng Liong juga menghentikan langkahnya. Kini mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua meter saja dan Ceng Liong mengamati wajah itu dengan hati penuh kagum. Dia terpesona oleh sepasang mata itu, oleh hidung dan mulut itu. Bi Eng telah menjadi seorang gadis yang menurut penglihatannya teramat cantik.

Belum pernah ada seorang gadis yang begini menarik hatinya. Jantungnya berdebar tegang, penuh kegembiraan dan juga harapan ketika dia teringat akan janjinya kepada mendiang Hek-i Mo-ong bahwa kelak dia akan menjadi suami Bi Eng! Dan dia maklum pada saat dia memandang wajah itu bahwa dia akan berbahagia sekali apabila harapan gurunya itu terlaksana. Dia jatuh cinta kepada gadis ini sekarang! Dan Ceng Liong merasa terkejut sendiri mengikuti jalan pikirannya.

“Bi Eng.... ah, tak kusangka akan bertemu dengan engkau di sini! Hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi, engkau.... sudah begini besar....!”

Bi Eng memandang kepadanya dan gadis itu tersenyum. Tersirap darah dan jantung Ceng Liong melihat lesung pipit di sebelah kiri mulut itu. Betapa manisnya!

“Ceng Liong, engkau bilang tidak dapat mengenalku akan tetapi engkau bisa memberi tahu kepada kakek-kakek Pek-lian-pai itu bahwa aku puteri pendekar Kam!”

”Memang tadinya aku tidak mengenalmu, dan baru aku teringat ketika engkau mengeluarkan suling emas itu.”

Bi Eng mengangguk-angguk.
“Dan engkaupun bukan anak-anak lagi, sudah menjadi seorang pemuda dewasa.”

“Akan tetapi engkau langsung menganalku.”

“Yang berobah hanya tubuh dan mukamu, akan tetapi mata dan senyumanmu yang nakal itu masih sama.”

“Bi Eng, kalau tidak salah dugaanku, engkau datang ke sini tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot di Hutan Cemara, bukan?”

Gadis itu mengangguk.
“Benar, dan tentu engkaupun datang untuk keperluan itu, bukan? Apakah engkau datang bersama orang tuamu? Apakah para pendekar keluarga Pulau Es ikut datang menghadiri pertemuan itu?”

“Tidak, aku datang seorang diri saja. Orang tuaku mewakilkan kepadaku. Dan engkau? Apakah Kam-locianpwe dan isterinya juga hadir?”

Bi Eng menggeleng kepalanya.
“Tidak, Ceng Liong. Aku datang bersama.... guruku.”

Tiba-tiba wajah gadis itu berobah merah. Hampir saja dia tadi menyebut “mertuaku”, bukan “guruku”.

Jawaban ini mengherankan hati pemuda itu.
“Bi Eng! Engkau adalah puteri tunggal Kam-locianpwe yang memiliki kepandaian setinggi langit dan kurasa mewarisi ilmu-ilmu ayah bundamu saja sudah membuat engkau menjadi orang yang sukar dicari tandingannya. Dan engkau masih mempunyai seorang guru lain daripada ayah bundamu?”

Bi Eng bertolak pinggang dan memandang pemuda itu dengan senyum mengejek.
“Ceng Liong, engkau sejak dahulu banyak lagak dan tidak mau bercermin melihat diri sendiri. Apa anehnya kalau aku mempunyai seorang guru lain? Tengok dirimu sendiri. Engkau cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kurang bagaimanakah keluarga para pendekar Pulau Es? Namun ternyata engkau masih berguru kepada mendiang Hek-i Mo-ong!”

Ceng Liong tersenyum. Gadis ini masih galak dan tidak mau kalah kalau bicara. Akan tetapi dia seperti diingatkan kepada mendiang Hek-i Mo-ong dan diapun menarik napas panjang.

“Hek-i Mo-ong memang seorang datuk sesat, akan tetapi nasibnya buruk sekali. Aku merasa kasihan kepadanya.”

“Akan tetapi dia berwatak baik, dia pernah menyelamatkan aku. Sayang dia menjadi datuk sesat....”

“Dan dia mati ketika berhadapan dengan keluangamu.”

“Akan tetapi, bukan ayah yang membunuhnya! Hek-i Mo-ong sendiri yang menyerang ayah padahal dia dalam keadaan luka parah sehingga gerakan serangannya itu menewaskannya sendiri!” Bi Eng membantah.