Ads

Kamis, 26 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 105

Tubuh jenderal yang tinggi besar itu terdorong ke belakang dan terhuyung, sedangkan tubuh Tek Ciang sebaliknya sedikitpun tidak terguncang. Tentu saja jenderal itu menjadi terkejut bukan main. Juga semua panglima yang hadir merasa kagum bukan main. Mereka mengenal jenderal itu sebagai seorang yang memliki tenaga raksasa, akan tetapi kini beradu tangan dengan pemuda itu terdorong dan terhuyung sedangkan pemuda itu sendiri tak tergoyah sedikitpun! Baru segebrakan itu saja sudah membuktikan bahwa pemuda itu memang sesungguhnya seorang yang kuat sekali. Hal inipun diketahui oleh Cao-goanswe, maka diapun berlutut lagi memberi hormat kepada kaisar.

“Harap paduka ketahui bahwa ilmu silat dan ketangguhan Louw-sicu ini boleh diandalkan untuk membantu hamba dalam penyerangan itu.”

Kaisar Kian Liong juga bukan seorang yang asing dalam hal ilmu silat. Di waktu mudanya kaisar ini sebagai seorang pangeran suka sekali merantau dan berkenalan dengan orang-orang kang-ouw. Oleh karena itu, sekali melihat pertandingan tadi, walaupun hanya segebrakan, namun dia sudah tahu bahwa Louw Tek Ciang adalah orang yang memiliki kekuatan lebih besar dari pada jenderalnya itu. Tentu saja Kaisar Kian Liong menjadi girang sekali dan segera memerintahkan jenderal Cao dibantu oleh Tek Ciang untuk segera berangkat mempersiapkan pasukan yang kuat agar pada waktunya dapat melakukan pengepungan dan penyergapan.

Berita tentang dipersiapkannya pasukan besar oleh Jenderal Cao ini dan ditangkapnya Gan-ciangkun sekeluarga, sampai pula ke telinga Jenderal Kao Cin Liong. Jenderal muda ini terkejut bukan main, apalagi mendengar bahwa pasukan itu sudah berangkat pagi-pagi sekali. Dia cepat memberitahukan hal ini kepada isterinya dan ayah ibunya yang masih berada di rumahnya, juga kepada Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Mendengar ini, keluarga inipun terkejut sekali. Para pendekar itu harus diselamatkan, apalagi diingat bahwa Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka hadir pula dalam pertemuan di Hutan Cemara itu. Maka, berangkatlah mereka dengan cepat mengejar pasukan pemerintah agar dapat tiba di hutan itu lebih dulu daripada para perajurit pemerintah.

Kita kembali ke hutan itu. Para pendekar yang tahu bahwa hutan itu sudah dikepung pasukan yang besar, sebagian menjadi panik juga. Akan tetapi Sim Hong Bu sudah meloncat ke depan dan berseru.

“Harap saudara sekalian tenang dan siap mempertahankan diri. Inilah ujian pertama bagi kita dan demi perjuangan yang suci, kalau perlu kita siap mengorbankan nyawa!”

Ucapan ini disambut dengan gembira dan bangkitlah semangat para pendekar itu. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan siap menghadapi serbuan pasukan besar yang sudah mengepung hutan itu.

“Kita berpencar dan bersembunyi, memecah-belah kekuatan mereka dan membuka jalan darah untuk menyelamatkan diri!” kembali Sim Hong Bu berseru dan ternyata dalam keadaan terancam bahaya itu pendekar ini memperlihatkan ketenangan, ketabahan dan kepandaiannya untuk memimpin.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring.
“Tahan dulu....!” dan muncullah Kao Cin Liong, Kao Kok Cu, Wan Ceng, Puteri Milana, Gak Bun Beng yang masing-masing mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua agar tenang. “Saudara-saudara, dengarlah dulu sebelum turun tangan!”

Yang bicara ini adalah Puteri Milana. Wanita yang sudah nenek-nenek ini nampak masih anggun dan gagah, suaranya nyaring penuh wibawa, membuat semua pendekar terkejut dan memandang kepada rombongan yang baru tiba ini. Melihat mereka ini, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka juga bergabung.

“Siapakah mereka itu.?”

Bi Eng bertanya kepada Ceng Liong yang masih berdiri di dekatnya. Ceng Liong juga terkejut melihat hadirnya semua keluarganya itu. Dia melihat betapa Ciang Bun juga kini sudah menggabungkan diri dengan mereka. Hampir lengkaplah keluarga para pendekar Pulau Es berkumpul di situ! Mendengar pertanyaan kekasihnya, Ceng Liong menjawab lirih.

“Mereka adalah keluarga para pendekar Pulau Es.”

“Ahhh....? Yang mana ayahmu dan ibumu.?” gadis itu bertanya penuh kagum karena rambongan itu memang nampak gagah perkasa.

“Itulah ayah dan ibu, dan itu bibi Puteri Milana bersama suaminya, dan di sana itu paman Suma Kian Lee dan isterinya.”

“Siapakah orang gagah berpakaian panglima itu?”

“Dia itu kakak iparku, Jenderal Kao Cin Liong bersama enci Suma Hui, isterinya. Dan kakek berlengan satu itu adalah Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya pula.”

“Ahh....!”

Bi Eng tiada hentinya mengeluarkan seruan kaget dan kagum. Ia sudah pernah mendengar nama-nama itu disebut dan dikagumi ayah ibunya, dan baru sekarang ia dapat melihat mereka semua.

Munculnya keluarga para pendekar Pulau Es ini memang mengejutkan semua orang, terutama sekali mereka yang sudah mengenal beberapa di antara anggauta keluarga itu.

Pimpinan Pek-lian-kauw yang baru saja mengalami kekalahan dan penghinaan, mengenal pula Puteri Milana yang menjadi musuh besar mereka. Ci Hong Tosu bangkit dan mengangkat tongkatnya sambil berseru.

“Mereka adalah keluarga Pulau Es! Mereka sudah mengkhianati kita! Merekalah yang membawa pasukan pemerintah. Siapa tidak mengenal Puteri Milana, puteri Mancu yang dahulu sudah banyak membasmi teman-teman kita yang berjuang untuk mengusir penjajah?”

Teriakan tosu ini tentu saja membangkitkan amarah di dalam hati para pendekar, akan tetapi karena yang bicara adalah tosu Pek-lian-kauw yang tadi sudah memperlihatkan perangai buruk, sebagian besar para pendekar masih ragu-ragu.

“Saudara sekalian, dengarkan dulu kata-kataku baru kalian boleh mengambil keputusan apa yang akan kalian lakukan!” Puteri Milana berkata lagi dengan lantang. “Rencana kalian untuk memberontak adalah suatu perbuatan bodoh yang tidak tepat pada waktunya. Apa yang akan kalian capai dengan pemberontakan? Hanya perang besar yang akan membuat rakyat jelata menderita. Puluhan ribu orang tewas, rakyat kehilangan keluarga, harta benda dan ketenteraman hidup. Karena itu, sebelum terlambat, kami datang untuk memperingatkan dan menyadarkan kalian agar menyerah dan jangan melawan!”






“Kami adalah patriot-patriot yang tidak takut mati. Kami berjuang untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan Bangsa Mancu. Engkau seorang puteri Mancu tentu saja membela pemerintahan bangsamu!”

“Aku bukan puteri Mancu. Aku puteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”

“Tetapi ibumu puteri Nirahai, puteri Mancu!” bentak kepala rombongan Pek-lian-pai.

“Cu-wi, dengarlah baik-baik!” Kini Cin Liong yang berseru nyaring. “Lihatlah aku. Aku adalah Jenderal Kao Cin Liong, akan tetapi aku datang bukan sebagai pemimpin pasukan untuk menyerbu kalian, melainkan aku datang untuk menyadarkan kalian. Sebagai seorang panglima aku tahu benar akan keadaan pemerintah. Di bawah pimpinan Sri Baginda Kaisar Kian Liong, harus diakui bahwa negara mengalami kemajuan dan taraf hidup rakyat tidak sengsara. Pula pemerintah ini selalu menentang golongan jahat dan melindungi rakyat.”

“Engkau penjilat orang Mancu! Huh, tak tahu malu!” terdengar pula teriakan dari golongan Pat-kwa-pai dan Thian-lian-pai.

Akan tetapi Cin Liong masih bersikap tenang.
“Cu-wi adalah orang-orang yang gagah perkasa, bukan orang-orang ceroboh yang tidak memperhitungkan setiap tindakan. Kita harus memakai perhitungan apa untungnya dan apa ruginya kalau kita bertindak. Camkanlah, kalau kalian melakukan pemberontakan, ruginya sudah jelas. Rakyat akan menderita karena perang, karena perang mengakibatkan kematian dan kehilangan, juga menimbulkan merajalelanya kejahatan karena kurang adanya penjagaan keamanan. Juga, keadaan pemerintah sekarang amatlah kuatnya, setiap pemberontakan sama artinya dengan bunuh diri. Apalagi kalian sekarang sudah dikepung oleh sepuluh ribu orang pasukan! Melawan berarti mati semua. Dan apakah keuntungannya memberontak tidak pada saatnya yang tepat? Cita-cita boleh muluk, akan tetapi andaikata dapat menang, hal yang sungguh tidak mungkin terjadi dalam keadaan seperti sekarang di waktu rakyat belum siap. Andaikata menang, belum tentu kalian akan mendapatkan seorang pengganti kaisar yang baik, sebaik sri baginda kaisar sekarang ini!”

“Aha, enak saja bagimu untuk bicara, Jenderal Kao Cin Liong. Lalu tindakan kami seperti apakah yang akan kau anggap gagah? Apakah kami harus berlutut menyerahkan diri dan minta ampun kepada orang Mancu? Ha-ha, itukah yang akan kau anggap sebagai perbuatan gagah?”

Kao Cin Liong memandang kepada kakek yang bicara ini. Kakek ini bukan lain adalah Bu-taihiap! Pernah terjadi sesuatu antara dia dan keluarga ini, suatu perasaan tidak enak ketika dia menolak perjodohan yang dikehendaki keluarga itu antara dia dan Bu Siok Lan, seorang puteri dari Bu-taihiap (baca ceritaSULING EMAS DAN NAGA SILUMAN ).

Dengan sikap ramah Cin Liong memberi hormat kepada Bu Seng Kin atau Bu-taihiap.
“Harap Bu-locianpwe suka melihat kenyataan dan tidak mendahulukan prasangka. Saya bersama semua keluarga Pulau Es datang bukan untuk menentang cu-wi, juga bukan untuk membantu pemberontakan, melainkan untuk mengingatkan akan bahayanya rencana cu-wi ini.”

“Nanti dulu, orang muda!”

Tiba-tiha terdengar suara Sim Hong Bu lantang. Orang gagah ini sudah melangkah maju dan dengan sinar mata mencorong dia menentang rombongan keluarga Pulau Es.

“Aku merasa heran sekali melihat betapa keluarga para Pendekar Pulau Es dapat bersikap seperti ini!” Dia menatap tajam ke arah Suma Kian Bu yang pernah dihubunginya. “Kalau kita takut menghadapi bahaya dan kematian dalam suatu perjuangan, berarti kita pengecut dan bukan patriot sejati. Setiap perjuangan tentu akan menjatuhkan korban. Setiap pembaharuan harus berani meruntuhkan lebih dulu yang lama. Siapa yang tidak tahu akan hal ini? Kerugian dan kematian yang diderita dalam setiap perjuangan merupakan pupuk bagi perjuangan itu sendiri!”

Kini Suma Kian Bu yang dipandang tajam oleh Sim Hong Bu, maju dan menjura kepada Sim Hong Bu.

“Saudara Sim memang seorang gagah perkasa dan tidak ada seorangpun meragukan kegagahanmu dan jiwa patriotmu. Saudara Sim, seperti pernah kita bicara, aku sendiripun mengerti tentang jiwa patriot yang berkobar di hati kalian. Bahkan aku menyetujui kalau negara dibebaskan dari penjajahan. Akan tetapi, kini akupun melihat bahwa hal itu harus dilakukan dengan perhitungan yang masak, tidak secara sembrono saja. Kita harus dapat melihat keadaan dan ingat, perjuangan ini adalah perjuangan rakyat, bukan perjuangan beberapa gelintir pendekar saja. Dan untuk gerakan yang amat besar itu dibutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar jujur dan mencinta rakyat. Cobalah saudara lihat, apakah orang-orang seperti dari Pek-lian-kauw dan perkumpulan yang lain yang selalu memberontak karena kepentingan pribadi itu dapat dijadikan teman seperjuangan? Nah, karena itu, aku Suma Kian Bu mewakili seluruh keluarga para pendekar Pulau Es untuk minta pengertian dan kesadaran cu-wi dan menyerah saja tanpa perlawanan.”

“Bukan berarti kita takut, melainkan kita sadar dan bertindak bijaksana menghindarkan jatuhnya banyak korban dengan sia-sia,” sambung Suma Kian Lee.

“Saya sendiri yang akan menghadap sri baginda mintakan ampun bagi kita semua!” kata Jenderal Kao Cin Liong.

“Akupun akan menghadap sri baginda, memohon agar sri baginda membebaskan cu-wi semua dan menghabiskan urusan ini karena bagaimanapun juga, cu-wi belum memberontak, baru mengadakan pertemuan dan kalau cu-wi tidak melawan pasukan yang mengepung, maka dosa cu-wi tidaklah begitu besar.”

“Omong kosong!” Tiba-tiba Bu-taihiap berseru keras sekali. “Heh, para keluarga pendekar Pulau Es, dengarlah baik-baik! Aku sudah banyak mendengar akan kehebatan dan nama besar keluarga Pulau Es, juga aku sudah lama mendengar kehebatan nama Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi tidak kusangka bahwa mereka ini ternyata hanyalah penjilat-penjilat kaisar atau pengecut-pengecut lemah. Kalau memang kalian hendak menjadi antek kaisar Bangsa Mancu, majulah, kami tidak takut mati. Mati bagi kami merupakan suatu kebanggaan karena kami mati untuk membela bangsa dan tanah air!”

Ucapan Bu-taihiap ini kembali membangkitkan semangat para pendekar dan mereka bersorak menyambut ucapan ini. Akan tetapi banyak pula di antara mereka yang tidak terbawa emosi dan dapat mempergunakan akal budinya untuk melihat kebenaran dalam ucapan para keluarga pendekar Pulau Es tadi. Dan mereka ini menggeser tempat berdiri mereka, mendekati kelompok keluarga pendekar Pulau Es di mana termasuk pula keluarga Kao. Sebagian lagi yang dibakar emosi berdiri di belakang Bu-taihiap yang berdiri gagah bersama empat orang isterinya.

“Kita lawan sampai mati....!”

Bu Seng Kin berseru dan kembali disambut sorak-sorai oleh seratus orang lebih mereka yang mendukungnya.

Sim Hong Bu yang sudah terbakar pula semangatnya oleh sikap Bu-taihiap, meloncat ke depan, di samping Bu-taihiap dan menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat mengerikan ketika Po-kiam dicabutnya dan diapun berteriak.

“Kita adalah patriot-patriot sejati! Sekaranglah saatnya kita membuktikan bahwa kita berjuang bukan guna kepentingan diri sendiri, bahkan rela berkorban nyawa!”

Sikap Sim Hong Bu ini menambah semangat mereka dan kembali para pendekar menyambut dengan sorak-sorai.

Melihat ini Sim Houw putera Sim Hong Bu juga melompat ke dekat ayahnya dan bersikap gagah penuh semangat.

“Eng-moi.!”

Tiba-tiba Ceng Liong berseru keras melihat Bi Eng tiba-tiba saja meloncat pula ke depan, ke dekat guru dan tunangannya. Muka dara itu pucat, akan tetapi sinar matanya penuh semangat dan iapun sudah melolos suling emasnya.

Pada saat itu terdengar bunyi terompet susul menyusul dan pasukan yang mengepung itu mulai bergerak maju memasuki hutan cemara itu. Penyergapan dimulai! Tadi, Kao Cin Liong menemui Jenderal Cao Hui dan minta Cao-goanswe menangguhkan dulu penyergapan karena dia hendak membujuk dan menyadarkan para pendekar.

Cao-goanswe amat segan kepada rekannya ini maka dia memberi waktu habis terbakarnya sebatang hio. Dan agaknya waktu yang ditangguhkan itu sudah lewat dan kini terpaksa Gao-goanswe mulai menggerakkan pasukannya menyerbu ke dalam hutan!

Melihat ini, Puteri Milana berseru.
“Saudara-saudara yang sadar harap berdiri di belakang kami!”

Mereka yang tadi merasakan benarnya omongan keluarga para pendekar Pulau Es, segera berkumpul di belakang keluarga itu dan Puteri Milana segera minta kepada keluarganya untuk berdiri mengelilingi mereka untuk memberi perlindungnn. Adapun para pendekar lainnya yang mendukung Sim Hong Bu dan Bu-taihiap, sudah mencabut senjata masing-masing dan berpencaran untuk menyambut serbuan para perajurit pemerintah.

“Liong-ji....!”

Teng Siang In berseru keras ketika melihat puteranya meloncat dan menyelinap bersama para pendekar yang hendak melawan pasukan!

“Ibu, aku harus melindungi Eng-moi!” hanya itulah jawaban Ceng Liong dan ibu ini diam-diam merasa khawatir sekali.

Ia tadi melihat betapa puteranya berdiri di dekat seorang gadis gagah yang juga ikut maju bersama para pendekar melawan pemerintah dan tahulah ibu ini bahwa tentu puteranya itu telah jatuh hati kepada gadis pemberontak itu. Diam-diam ia merasa gelisah sekali, akan tetapi karena iapun bertugas melindungi para pendekar yang sudah sadar dan tidak melawan, ia tidak dapat meninggalkan tempat itu.

Pula, apa yang dapat dilakukannya kalau memang puteranya itu jatuh cinta kepada gadis pemberontak itu dan kini puteranya hendak melindunginya? Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena pada saat itu pertempuran sudah terjadi dengan amat serunya. Ketika ada pasukan yang menghampiri rambongan mereka yang mengelilingi para pendekar yang tidak ingin melawan, Milana dan Ceng Liong bergantian berseru.

“Jangan serang kami! Kami orang sendiri!”

Para perajurit tentu saja mengenal Jenderal Kao Cin Liong dan juga sebagian besar perajurit yang sudah bertugas lama mengenal Puteri Milana, maka pasukan tidak ada yang berani menyerang rombongan yang memang tidak melawan ini.

Akan tetapi, pasukan menghadapi perlawanan yang amat hebat dari para pendekar yang dipimpin oleh Bu-taihiap dan Sim Hong Bu! Biarpun jumlahnya jauh lebih banyak, namun kini pasukan itu menghadapi orang-orang yang selain memiliki ilmu kepandaian silat, juga bersemangat tinggi dan para pendekar itu melakukan perlawanan nekat dan mati-matian.

Mereka telah terbakar semangatnya oleh sikap dan kata-kata Bu-taihiap dan Sim Hong Bu sehingga mereka itu tidak ingat apa-apa lagi kecuali melawan dan melawan!

Hutan Cemara yang biasanya sunyi dan bersih itu, kini berobah menjadi tempat yang gaduh dan kotor oleh darah! Bagaikan orang-orang membabat rumput saja, para pendekar itu mengamuk dan para perajurit itu roboh bergelimpangan. Terutama sekali amukan Bu-taihiap dan empat orang isterinya.

Segera mayat para perajurit berserakan dan bertumpuk-tumpuk di sekitar mereka. Tak kalah hebatnya adalah amukan Sim Hong Bu dan puteranya, Sim Houw. Pedang Pek-kong Po-kiam di tangan Sim Hong Bu bagaikan telah berobah menjadi seekor naga, seekor naga yang haus darah.

Darah muncrat-muncrat dan membanjiri tanah ketika pendekar ini mengamuk dengan pedangnya. Sim Houw yang baru saja kembali dari gemblengan yang diterimanya dari pendekar sakti Kam Hong, juga mengamuk hebat. Dia bahkan lebih lihai daripada ayahnya dan biarpun pedangnya bukan merupakan sebuah pusaka yang sehebat dan seampuh Pek-kong Po-kiam, akan tetapi pedang itu dapat bergerak lebih hebat lagi.

Hanya saja, agaknya pemuda ini tidak begitu bernafsu untuk membunuh banyak orang, maka gerakannya tidak begitu ganas dan biarpun setiap orang lawan yang menghadapinya tentu roboh, akan tetapi pedangnya tidak menjatuhkan korban sebanyak yang roboh oleh Pek-kong Po-kiam di tangan ayahnya.

Pedang Pek-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Putih) memang tidak sedahsyat Koai-liong Po-kiam yang telah diminta kembali oleh Cu Han Bu, akan tetapi pedang inipun bukan pedang biasa. Sim Hong Bu memperoleh pedang ini dari seorang tosu pertapa yang merasa kagum akan semangat perjuangannya.

Sementara itu, Bi Eng juga mengamuk dengan suling emasnya. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu dara ini berhadapan dengan Ceng Liong!

“Eng-moi, jangan.!” kata pemuda itu dan Bi Eng terpaksa menghentikan gerakan suling emasnya ketika ia melihat pemuda yang dicintanya itu menghadang di depannya.

“Liong-ko, minggirlah. Biarkan aku membantu para pejuang!” kata Bi Eng, suaranya gemetar dan matanya basah.

Gadis ini memang sedang merasa gelisah dan bingung sekali. Tak disangkanya bahwa terjadi perpecahan antara para pendekar, terutama sekali antara gurunya dan keluarga Ceng Liong!

“Eng-moi, jangan.... demi aku.... demi cinta kita, jangan lanjutkan.!”

Ceng Liong berkeras menahannya. Suling emas itu digengam erat-erat di tangan kanan Bi Eng dan ia menghadapi kekasihnya dengan muka pucat.

“Koko, kenapa engkau menentangku? Menentang kami? Kenapa....? Jangan halangi aku dan minggirlah, biarkan aku melawan para penjajah, aku tidak takut mati.!”

“Eng-moi, ingatlah, sadarlah. Lihatlah baik-baik. Kalau keluarga Pulau Es memang menentang kalian, tentu kami sudah bergerak dan melawan kalian. Apakah kalian akan mampu berbuat banyak kalau begitu? Lihat, kami diam saja. Kami tidak membantu kalian, akan tetapi kamipun tidak menentang kalian. Eng-moi, marilah. Mari engkau ikut denganku pergi, Eng-moi. Kita pergi jauh sekali, meninggalkan semua kerusuhan dan keributan, semua bunuh-membunuh yang haus darah ini. Lihat, tidak mengerikankah semua ini.?” Ceng Liong membuka kedua tangannya menunjuk ke empat penjuru.

Memang amat mengerikan melihat mayat-mayat berserakan dan darah membanjir di sekitar tempat itu. Akan tetapi, Bi Eng yang dikuasai semangat perlawanan yang hebat itu tidak mudah dibujuk.

“Koko, aku harus melawan mereka! Aku harus mempunyai setia kawan terhadap para pendekar. Dan engkau.... engkau seorang gagah perkasa, mari berjuang bersamaku, koko!”

“Tidak, Eng-moi, ingatlah, engkau keliru. Mereka semua itu keliru. Sekarang aku sudah sadar bahwa semua ini merupakan perbuatan tergesa-gesa dan gegabah, tidak diperhitungkan masak-masak dan tiada gunanya lagi. Mari kita pergi saja dari sini, Eng-moi.”

“Tidak, koko, aku harus membunuh anjing-anjing Mancu itu, sebanyak mungkin!” Gadis itu menggerakkan sulingnya sehingga nampak sinar berkelebat.

“Aih, Eng-moi, kenapa engkau tidak mendengarkan kata-kataku? Baiklah, Eng-moi kalau memang engkau begitu haus darah, nah, ini dadaku. Kau bunuhlah aku lebih dahulu daripada melihat engkau akhirnya akan tertawan atau terbunuh dan aku menjadi menyesal dan berduka.”

Suma Ceng Liong melangkah maju mendekati gadis itu. Wajah Bi Eng menjadi pucat sekali dan suling yang sudah diangkatnya itu turun kembali, matanya terbelalak memandang wajah Ceng Liong. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan akhirnya gadis yang gagah perkasa dan penuh semangat itu menjadi bingung dan gelisah, lalu menangis!

“Kam-siocia (nona Kam), apakah orang ini mengganggumu?” terdengar bentakan dan nampak sinar berkilat menyambar ke arah leher Ceng Liong.

Pemuda ini terkejut, tahu bahwa yang menyerangnya adalah seorang yang amat lihai, maka diapun melempar tubuh ke belakang dan pedang itu meluncur bagaikan kilat menyambar.

Penyerangnya itu adalah Sim Houw, pemuda putera Sim Hong Bu yang menjadi calon suami atau tunangan Bi Eng! Dan pemuda itu memang hebat sekali. Begitu serangannya luput, pedangnya sudah membalik dan meluncur lagi seperti kilat menyambar-nyambar, pedangnya lenyap membentuk sinar bergulung-gulung menyilaukan mata.

Inilah ilmu pedang gabungan dari Koai-liong Kiam-sut dan Sin-sauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari pendekar sakti Kam Hong. Memang belum sempurna benar dia menggabung kedua ilmu itu, akan tetapi biarpun belum sempurna, keampuhannya sudah hebat. Sinar pedang itu bergulung-gulung dan mengeluarkan suara seperti suling ditiup!

Tentu saja Ceng Liong merasa terkejut sekali dan cepat diapun menggerakkan tubuhnya mencelat ke sana-sini untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut yang memancar dari sinar pedang lawan itu. Dia sudah mengenal kehebatan Sim Hong Bu, akan tetapi tidak pernah disangkanya bahwa putera pendekar itu sedemikian hebatnya ilmu pedangnya.

Juga terjadi semacam keraguan dan kebingungan di dalam hati Ceng Liong. Dia sudah mengenal pemuda ini sebagai calon suami kekasihnya. Maka, kini dia merasa tidak enak hati sekali. Bagaimanapun juga, dia sudah merampas calon isteri pemuda ini, maka ada semacam perasaan bersalah terhadapnya dan kini dia merasa sungkan untuk melawan.

Maka, biarpun Sim Houw menyerangnya bertubi-tubi, Ceng Liong hanya berloncatan ke sana-sini untuk mengelak saja, masih merasa ragu-ragu untuk membalas. Padahal, kalau hanya bertahan saja tanpa balas menyerang terhadap seorang lawan seperti Sim Houw, sungguh amat berbahaya sekali. Pedang pemuda itu bagaikan seekor naga mengamuk dan sebentar saja gulungan sinar pedang itu menutup semua jalan keluar Ceng Liong. Pemuda ini masih bertahan, melempar dirinya ke belakang dan bergulingan di atas tanah.

“Brettt....!”

Biarpun kulit tubuhnya belum tersayat, akan tetapi ujung bajunya terobek ujung pedang. Barulah Ceng Liong benar-benar merasa terkejut sekarang. Jarang ada lawan yang akan mampu merobek ujung bajunya dengan pedang, dan hal ini saja membuktikan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh.

“Tringgg....!”

Tiba-tiba nampak api berpijar ketika pedang di tangan Sim Houw yang masih terus mengejar Ceng Liong itu tertangkis sebatang suling emas.

“Nona Kam.... kau.... kenapa.?”

Sim Houw terkejut sekali dan terbelalak memandang wajah Bi Eng. Biarpun gadis ini dengan resmi menjadi tunangannya, bahkan di antara mereka masih ada hubungan perguruan karena dia digembleng ayah gadis itu dan sebaliknya gadis itu menjadi murid ayahnya, namun mereka berdua tidak pernah bergaul dan Sim Houw adalah seorang pemuda pemalu yang tidak pernah bergaul dengan wanita.

Oleh karena itu dia merasa sungkan dan malu dan menyebut gadis itu dengan sebutan “nona”. Tentu saja pemuda ini merasa kaget dan heran sekali melihat betapa tunangannya itu menangkis pedangnya yang hendak menyerang laki-laki yang membuat tunangannya tadi nampak bingung dan menangis!

“Sim-koko, jangan serang dia!” kata Bi Eng dengan mata masih basah dengan air mata.

Pada saat itu empat orang perajurit pemerintah datang menerjang. Pedang di tangan Sim Houw dan suling di tangan Bi Eng bergerak membentuk sinar dan robohlah empat orang perajurit itu tanpa dapat bangun maupun bergerak lagi.

“Eng-moi, mari kita pergi.!” kata Ceng Liong.

Bi Eng nampak ragu-ragu dan Ceng Liong lalu memegang tangan gadis itu, menariknya pergi dari situ. Melihat ini, Sim Houw memandang bengong dan bingung.

Pada saat itu, terdengar teriakan ayahnya. Sim Houw cepat membalikkan tubuhnya dan terkejut bukan main melihat ayahnya dikeroyok oleh puluhan orang perwira dan perajurit pemerintah. Di antara para perwira yang rata-rata lihai itu terdapat seorang laki-laki yang gerakannya aneh dan lihai sekali, yang memainkan sebatang pedang, dan membuatnya terkejut karena dia seperti mengenal gerakan-gerakan yang mirip dengan Koai-liong Kiam-sut!

Ayahnya bukan hanya terdesak, akan tetapi agaknya sudah terluka parah. Tubuhnya mandi darah dan biarpun pedang Pek-kong Po-kiam masih amat hebat dan merobohkan lagi beberapa orang, namun luka-luka di tubuhnya akibat anak panah dan bacokan-bacokan membuat ayahnya terhuyung-huyung.

Kiranya, betapapun lihainya Sim Hong Bu, menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang tak pernah berkurang jumlahnya karena setiap kali ada yang roboh, ada pula penggantinya yang maju, akhirnya kakek ini kehabisan tenaga dan berkurang kecepatannya sehingga dia terluka oleh beberapa batang anak panah dan senjata lawan. Apalagi ketika Louw Tek Ciang membantu belasan orang perwira yang mengeroyok pendekar ini, keadaan Sim Hong Bu benar-benar repot.

“Ayah....!”

Sim Houw berteriak dan lari menghampiri tempat dimana ayahnya terkurung ketat itu dan diapun mengamuk. Pedang di tangannya mengeluarkan suara melengking-lengking dan banyak perajurit dan perwira roboh oleh sinar pedangnya.