Ads

Selasa, 29 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 084

Maya membuka matanya. Sudah matikah dia? Pertama yang berkelebat dalam pikirannya adalah bahwa dia terseret ke dalam air yang gelap lalu ia tidak ingat apa-apa lagi. Tentu sudah mati. Akan tetapi mengapa dia berada di atas perahu? Dan ada enam orang perajurit di perahu itu, perahu yang didayung cepat. Tidak! Dia tentu belum mati. Ataukah perahu ini perahu yang akan menyeberangkannya ke alam baka dan enam orang itu malaikat-malaikat? Tak mungkin. Mana ada malaikat berpakaian seperti perajurit dunia! Keparat, tentu mereka ini yang membuat ia terjatuh ke air dan mereka yang menyeretnya ke dalam air sehingga dia pingsan dan tertawan.

Dia menjadi marah dan menggerakkan tangan.... akan tetapi, kedua tangan dan kedua kakinya tidak dapat digerakkan. Terbelenggu! Ia mengerahkan tenaga, akan tetapi dia lelah sekali sehingga tenaganya masih belum cukup untuk mematahkan belenggu, dan ketika ia memandang, kiranya belenggu itu terbuat daripada baja yang tebal dan kuat sekali! Maya pura-pura masih pingsan dan tidak bergerak, diam-diam mengumpulkan hawa murni ke lengannya.

Perahu itu kini menempel pada sebuah perahu besar. Dia membuka mata memperhatikan.

"Wah, dia sudah sadar!" kata seorang di antara mereka yang kebetulan menengok dan melihat Maya membuka mata.

Karena sudah ketahuan, Maya tidak berpura-pura lagi. Dengan gerakan tubuhnya, ia berhasil bangun duduk.

"Siapa kalian? Mengapa aku kalian tangkap?" Akan tetapi ketika melihat pakaian seragam mereka adalah tentara laut Kerajaan Sung, ia lalu berkata, "Hemm.... kalian tentu anjing-anjing Kerajaan Sung!"

"Perempuan liar. Bangunlah dan ikut kami menghadap panglima, atau engkau lebih suka kami seret ke atas perahu?"

Karena belum mendapat kesempatan mematahkan belenggunya, Maya bangkit berdiri dan tiba-tiba kedua kakinya membuat gerakan menendang sambil meloncat. Akibatnya, dua orang perajurit terlempar ke dalam air!

"Wah! Wah! Awas...., betina ini liar sekali!"

Seru seorang di antara mereka dan kini dari atas perahu besar meloncat turun banyak perajurit. Tubuh Maya diringkus dan dia dipaksa naik ke atas perahu besar. Dua orang perajurit yang bertubuh kuat memegang ujung rantai yang membelenggu kedua tangannya, dan setengah diseret Maya dibawa memasuki ruangan besar di atas perahu. Biarlah, pikirnya, biar aku dihadapkan panglima mereka. Kalau nanti ada kesempatan, dia akan membasmi anjing-anjing ini!

Dengan dada membusung dan kepala tegak Maya berjalan terpincang-pincang karena kedua kakinya dibelenggu, memasuki ruangan. Ketika ia melihat dua orang panglima duduk di atas kursi dalam ruangan itu, matanya terbelalak. Ia mengenal mereka! Mereka adalah panglima-panglima perahu besar yang telah ditolongnya! Bahkan panglima muda yang kini sudah bangkit berdiri adalah panglima muda yang ditolongnya dari tangan Si Dampit yang lihai!

Juga panglima besar yang berjenggot itu memandang dengan kaget.
"Engkau....? Engkau pendekar wanita penolong kami....!" Ia lalu membentak anak buahnya, "Apakah kalian ini buta dan gila semua? Hayo cepat lepaskan belenggunya!"

"Krek! Krekkk!"

Tiba-tiba Maya yang sudah berhasil mengumpulkan kembali tenaganya, sekali mengerahkan telah mematahkan belenggu kaki tangannya! Dia melangkah maju dan termanyum.

"Ciangkun, selamat berjumpa!"

Panglima besar itu meloncat dari tempat duduknya dan cepat menjura.
"Selamat datang, Li-hiap!"

Dan kepada anak buahnya ia membentak,
"Lihat apakah yang telah kalian lakukan, orang-orang tolol! Menawan dan membelenggu penolong kami! Seolah-olah belenggu kalian itu ada artinya bagi Li-hiap yang sakti!" Kemudian ia membentak makin nyaring, "Hayo cepat berlutut, minta ampun kepada Li-hiap!"






Enam orang itu yang dua tertendang tadi sudah ikut naik, cepat menjatuhkan diri dan seperti burung-burung saling sahut mereka berseru,

"Mohon maaf kepada Li-hiap, karena kami tidak tahu maka...."

Maya menggerakkan tangannya.
"Sudahlah! Salahku sendiri yang kurang pandai berenang sehingga mudah kalian bekuk!"

"Li-hiap, silakan duduk!"

Panglima muda yang brewok cepat menyerahkan kursinya dan ia memandang kagum. Ketika ia ditolong dari tangan lawan dampit yang lihai dia tidak dapat melihat jelas wajah penolongnya. Kini ia kagum bukan main melihat bahwa penolongnya hanyalah seorang dara remaja yang masih amat muda lagi cantik jelita seperti bidadari!

"Lekas ambil pakaian bersih dan kering untuk Li-hiap! Dan sediakan meja perjamuan!"

Panglima besar itu memberi perintah. Sibuklah anak buahnya mempersiapkan barang-barang yang diperintahkan itu.

"Li-hiap, silakan berganti pakaian kering dulu. Nanti kita bicara,"

Panglima tua itu mempersilakan. Tanpa sungkan-sungkan Maya lalu memasuki kamar di perahu yang ditunjuk dan berganti pakaian. Panglima besar itu berbisik-bisik dengan wajah serius dengan pembantunya, panglima muda brewok.

"Wah, betapa lucunya aku berpakaian seperti ini!"

Maya yang sudah selesai berganti pakaian dan keluar dari kamar, tertawa memandangi pakaian panglima yang dipakainya.

"Engkau gagah sekali dan patut dalam pakaian itu, Li-hiap. Hanya kurang pedangnya. Silakan memakai pedangku."

Panglima tua itu menyambut dan meloloskan sabuk pedangnya kemudian menghampiri Maya dan memakaikan sabuk pedang itu di punggung Maya sehingga dara itu tampak makin gagah perkasa.

Atas ajakan penuh hormat dari kedua orang panglima itu, Maya kini dijamu dan sambil makan minum mereka bercakap-cakap. Atas pertanyaan panglima tua itu, Maya menjawab,

"Namaku Maya dan kuharap Ciangkun jangan menanyakan siapa guruku dan dari mana asal-usulku karena hal itu takkan dapat kuterangkan. Seandainya aku tidak melihat sendiri betapa pasukan Ciangkun bertempur melawan pasukan-pasukan Sung, tentu aku tidak akan dapat duduk semeja dengan kalian. Ciangkun siapakah, dan mengapa pula pasukan Ciangkun bertempur melawan Pasukan Sung yang menjadi musuhku?"

Wajah panglima tua itu berseri mendengar bahwa dara perkasa yang menjadi penolongnya ini menganggap Kerajaan Sung sebagai musuhnya. Dia menyuguhkan secawan arak, setelah arak yang disuguhkan sebagai penghormatan itu diminum, dia berkata,

"Namaku Bu Gi Hoat, dan dia ini adalah pembantuku, Panglima Muda Lai Sek. Tadinya aku adalah seorang panglima besar Kerajaan Sung yang ditugaskan memimpin armada menjaga pantai timur. Kini kami menjadi musuh Kerajaan Sung yang makin menyuram dan penuh kelaliman."

"Hemm...., jadi Ciangkun memberontak terhadap Kerajaan Sung? Mengapa?"

Panglima she Bu itu menarik napas panjang.
"Selama beberapa keturunan, nenek moyangku adalah pembesar-pembesar militer yang setia kepada kerajaan. Akan tetapi, sekarang ini Kerajaan Sung mengalami kesuraman hebat karena kelemahan Kaisar yang dipengaruhi oleh menteri-menteri dorna, thaikam-thaikam dan panglima-panglima jahat macam Suma-goanswe. Karena itu, banyak sekali panglima yang memberontak, pembesar-pembesar daerah yang berdiri sendiri. Aku pun tidak dapat tinggal diam, apalagi semenjak Menteri Kam yang amat kami hormati itu difitnah dan tewas oleh kekejian Kerajaan Sung. Kami harus membunuh Kaisar dan kaki tangannya yang lalim dan membentuk kerajaan baru yang bebas daripada penindasan para pembesar korup."

Maya mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa girang karena kini mendapat kesempatan untuk membasmi musuh-musuhnya, terutama Kerajaan Sung! Apalagi karena jelas bahwa panglima ini bersetiakawan dengan pek-hunya, Menteri Kam. Tanpa ragu-ragu lagi ia berkata,

"Kalau begitu, aku siap membantumu, Ciangkun!"

Bukan main girangnya hati panglima itu. Ia mengisi cawan arak dan mengajak Maya minum kemudian berkata,

"Sungguh sudah menjadi kehendak Tuhan agaknya bahwa Kerajaan Sung yang buruk itu mesti hancur sehingga hari ini Tuhan sendiri yang mengirim Lihiap untuk membantu kami! Belum juga aku berani mengutarakan maksud hatiku minta bantuanmu, engkau telah menyatakan hendak membantu. Terima kasih, Li-hiap, terima kasih!"

"Ah, engkau terlalu sungkan, Ciangkun. Memang aku pun berniat membasmi Kerajaan Sung yang kubenci sehingga kebetulan sekali kerja sama ini. Kalau Bu-ciangkun setuju, berilah aku pasukan yang cukup banyak dan kuat, dan sekarang juga aku akan membawa pasukan itu menyerbu ke kota raja Sung!"

Hampir saja kedua orang panglima perang itu tertawa bergelak mendengar ucapan ini. Betapa dangkalnya pengetahuan dara ini tentang perang. Begitu mudahnya hendak membawa pasukan menyerbu ke kota raja, seolah-olah jalan ke kota raja Sung itu halus lunak tanpa rintangan.

Perjalanan ribuan li itu sebelum ditempuh sepersepuluhnya sudah akan menghadapi pasukan-pasukan besar musuh yang amat banyak jumlahnya. Dara ini bicara tentang perang seperti orang membalikkan tangan saja mudahnya! Akan tetapi karena maklum bahwa tentu saja dara semuda ini sama sekali tidak mengerti tentang perang dan agar jangan menyinggung perasaan kedua orang panglima itu hanya saling pandang dan menahan kegelian hati mereka.

"Li-hiap, serahkan urusan perang kepadaku karena perang melawan Kerajaan Sung tidaklah semudah itu. Mereka masih memiliki bala tentara yang kuat dan besar jumlahnya. Akan tetapi, kau akan kuangkat menjadi panglima muda dan kuserahi pasukan yang hendaknya kau gembleng menjadi pasukan istimewa yang kuat dan percayalah kami hanya mengandalkan kegagahan Li-hiap dengan pasukanmu untuk mendobrak pihak musuh di garis depan."

Maya mengangguk.
"Terserah kepadamu, Ciangkun. Bagiku, asal aku mendapat kesempatan membasmi pasukan Sung, cukuplah. Lebih banyak lebih baik."

"Bagus! Mulai sekarang engkau adalah seorang panglima dan sudah selayaknya kalau engkau sebagai pembantuku yang kupercaya, sebagai pembantu utama di samping Lai-ciangkun, tahu akan kedudukan dan siasat kita."

Dengan panjang lebar Bu-ciangkun lalu memberi tahu kepada pembantunya yang baru ini bahwa dia telah mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu yang besar dan kuat agar bersama-sama mereka dapat menyerang ke selatan. Mendengar ini, Maya tidak ambil peduli. Baginya, bersekutu dengan Mancu pun tidak menjadi soal asal dia dapat membalas kepada Kerajaan Sung, Yucen dan Mongol!

"Boleh saja bersekutu dengan orang Mancu. Bu-tai-ciangkun. Asal jangan bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Yucen saja. Kedua bangsa itu pun masih musuhku!"

Bu-ciangkun tertawa bergelak. Gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa sekali, akan tetapi tidak berpengalaman sama sekali, bahkan masih memiliki sifat kekanak-kanakan dan jujur,

"Ha-ha-ha! Jangan khawatir, Li-ciangkun (Panglima Wanita)! Kami tidak mempunyai hubungan dengan bangsa Mongol! Sedangkan bangsa Yucen yang sekarang telah mendirikan Kerajaan Cin juga merupakan musuh kita karena dia merupakan penjajah yang mengancam bangsa dan negara. Di dalam pertempuran yang akan kau hadapi, engkau bahkan akan melawan Bangsa Yucen dan juga pasukan Kerajaan Sung."

"Bagus!" Maya, girang sekali. "Lekas siapkan pasukan untukku, Tai-ciangkun. Akan kulatih mereka!"

Demikianlah, mulai hari itu, Maya mengepalai lima ratus orang pasukan dengan sepuluh orang perwira pembantunya. Dara ini dahulu adalah seorang Puteri Khitan dan dia sudah sering kali melihat, bahkan mengikuti cara ayahnya dan para panglima Khitan melatih tentaranya, maka kini dengan baik sekali ia dapat melatih pasukan di bawah perintahnya. Mereka dia beri pelajaran ilmu berkelahi dengan menurunkan beberapa jurus yang lihai dari ilmu silatnya. Juga para perwira pembantunya ia latih sendiri dengan beberapa jurus ilmu silat sehingga mereka pun menjadi lihai.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar