Ads

Selasa, 29 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 085

Mula-mula Bu-ciangkun terkejut dan terheran-heran, juga girang menyaksikan cara Maya melatih pasukannya. Diam-diam ia lalu menyebar para penyelidik dan tak lama kemudian dia mendengar bahwa puteri Raja Khitan yang bernama Maya tidak ketahuan kemana perginya semenjak ikut bersama Menteri Kam Liong yang tewas dikeroyok oleh tentara Sung.

Diam-diam ia menjadi girang dan kagum sekali. Tidak salah lagi, melihat bentuk wajahnya, Maya yang kini menjadi panglimanya itulah Puteri Maya, puteri Khitan dari Raja Khitan dan keponakan dari mendiang Menteri Kam Liong! Akan tetapi karena dara itu sudah menyatakan tidak akan menceritakan riwayatnya, ia pun diam-diam saja, bahkan tidak memberitahukan dugaannya itu kepada siapapun juga.

Setelah selesai menggembleng pasukan di tepi pantai sampai dua bulan lamanya, pada suatu pagi Bu-ciangkun mengumpulkan para panglimanya yang berjumlah lima orang,

"Barisan Mancu yang menjadi sekutu kita berjanji akan menyambut kita di pantai ini untuk bergabung kemudian bergerak ke selatan. Akan tetapi, telah sebulan mereka terlambat dan kurirnya juga belum tampak. Aku khawatir kalau-kalau ada perubahan keadaan, maka sebaiknya seorang di antara kalian harus membawa pasukan untuk menghubungi mereka di perbatasan Mancu. Akan tetapi selain perjalanan itu jauh, melalui daerah-daerah yang kering dan sukar, juga ada bahayanya akan bertemu dengan pasukan-pasukan Mongol, terutama sekali pasukan Kerajaan Cin. Siapakah di antara kalian yang sanggup melakukan tugas berat ini?"

Seperti telah diduganya, dan juga diharapkannya maka dia sengaja menyebutkan bahaya pasukan Mongol dan Yucen. Maya segera berdiri sigap dan menjawab,

"Aku sanggup!"

Empat orang panglima yang lain telah mengenal kelihaian panglima wanita itu, maka mereka tidak berani berebut, bahkan Li-ciangkun yang brewok dan dapat menangkap isi hati panglimanya, segera berkata,

"Memang tugas berat ini paling tepat dilakukan oleh Li-ciangkun dengan pasukan mautnya."

Bu-ciangkun mengangguk-angguk.
"Akan kubuatkan surat untuk pimpinan barisan Mancu yang berada di perbatasan. Li-ciangkun tentu maklum bahwa suratku ini sama harganya dengan nyawa."

"Baiklah, Tai-ciangkun. Akan kujaga dengan taruhan nyawaku sendiri. Harap jangan khawatir."

"Selain mengadakan hubungan dengan mereka dan menyerahkan suratku, di sepanjang jalan harap Li-ciangkun mencari tenaga-tenaga dari rakyat yang sekiranya akan dapat memperkuat kedudukan kita dan dapat membantu perjuangan kita."

"Baik!" jawab Maya yang teringat, akan rakyat Khitan.

Kalau dia bisa bertemu dengan rakyat Khitan dan membujuk mereka masuk menjadi perajurit di bawah pimpinannya, betapa akan senang hatinya. Diam-diam timbul keinginan hatinya melihat rakyatnya bangkit di bawah pimpinannya untuk membangun kembali Kerajaan Khitan yang besar dan jaya!

Karena persediaan kuda amat terbatas, pasukan yang dipimpin Maya sebanyak lima ratus orang itu hanya membawa seratus ekor kuda. Maya dan sepuluh orang perwiranya tentu saja mempunyai masing-masing seekor kuda, adapun seratus ekor kuda itu akan ditunggangi lima ratus orang secara bergilir, lima orang perajurit untuk setiap kuda seekor.

Maka berangkatlah pasukan itu dengan megahnya, dipimpin oleh Panglima Muda Maya yang menunggang kuda putih berada di depan, diapit dua orang pengawal pembawa bendera. Amat gagah dan barisan itu pun bergerak rapi, yang berjalan kaki di depan, yang berkuda, seratus orang banyaknya, di belakang. Bu-ciangkun sendiri mengantar berangkatnya pasukan istimewa ini sampai di luar daerah perkemahan.

Dua buah bendera itu berkibar-kibar. Yang sebuah bertuliskan nama pasukan yang diberi oleh Bu-ciangkun sendiri, yaitu "Pasukan Maut"! Dan bendera yang sebuah lagi bertuliskan nama panglimanya, yaitu Panglima Wanita Maya!

Perjalanan ke barat dimulai. Oleh gemblengan-gemblengan keras Maya selama dua bulan, tubuh anak buah pasukan kuat-kuat dan semangat mereka juga besar. Mereka semua merasa bangga menjadi perajurit Pasukan Maut, mempunyai seorang panglima yang mereka tahu amat sakti, melebihi kegagahan Bu-tai-ciangkun sendiri, seperti seekor naga betina.






Belasan hari kemudian, pasukan itu telah tiba di daerah kering tandus dan di sana-sini mereka melalui padang pasir yang tidak berapa luas. Ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang mulai memperlihatkan kesuburan, tiba-tiba mereka diserbu oleh pasukan Yucen yang berjaga di situ karena daerah itu sebagian telah dikuasai oleh tentara Yucen.

"Basmi anjing-anjing Yucen!"

Maya berteriak, suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan dan terdengar oleh semua anak buahnya sehingga mereka bertempur seperti harimau-harimau kelaparan, pasukan Yucen yang terdiri dari tiga ratus orang lebih dan mengira bahwa yang mereka serbu adalah pasukan Sung yang dianggap melanggar wilayah, menjadi kewalahan. Apalagi ketika Maya sendiri turun dari kudanya dan mengamuk, pedangnya membabati tentara musuh seperti orang membabat rumput saja, pasukan Yucen menjadi gentar.

Komandan Yucen mengeluarkan aba-aba untuk mundur, akan tetapi dengan gerakan kilat, Maya melompat, pedangnya memenggal leher seorang perwira musuh dan tangan kirinya mencengkeram leher baju Panglima Yucen itu terus menariknya dari atas kuda. Panglima itu terkejut dan meronta, heran dan kaget melihat bahwa yang menawannya adalah seorang dara jelita yang masih muda. Akan tetapi keringatnya mengucur deras ketika ia mendengar dara itu mendesis bengis,

"Engkau Panglima Yucen keparat. Ingatkah kepada ayahku Raja Talibu dari Khitan?"

Wajah panglima itu pucat dan ia menggeleng-gelengkan kepala,
"Aku.... aku tidak....!"

Akan tetapi kata-katanya terhenti dan lehernya terbabat putus oleh pedang Maya. Dara perkasa ini melompat ke atas batu besar, membawa kepala Panglima Yucen sambil berseru,

"Heii.... anjing-anjing Yucen! Lihat kepala siapa ini?"

Suaranya yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang amat nyaringnya dan makin paniklah tentara Yucen mendengar dan melihat kepala pemimpin mereka, sebaliknya makin bersemangatlah Pasukan Maut itu sehingga mereka mengamuk, membunuhi musuh yang kocar-kacir dan lari berserabutan.

"Hidup Maya Li-ciangkun!" Sorak para perajurit dan mereka mengejar musuh yang melarikan diri.

Hanya setelah ada perintah Maya saja para perajurit berhenti mengejar. Ketika Maya memerintahkan para perwira menghitung, dalam perang pertama ini pasukannya kehilangan dua puluh orang akan tetapi membunuh lebih dari seratus orang musuh. Ini merupakan kemenangan besar dan perajurit yang terluka dirawat baik-baik, sedangkan yang tewas lalu dikubur. Mayat-mayat para perajurit Yucen dibiarkan saja berserakan. Maya lalu memerintahkan pasukannya bergerak maju lagi dan beristirahat serta bermalam di atas bukit, di sebelah hutan.

Biarpun baru saja Maya mendapatkan kemenangan yang gemilang, namun dia tidak menjadi lengah. Teringat ia akan nasihat ayahnya dahulu kepada para panglimanya bahwa saat-saat sehabis mendapat kemenangan adalah saat-saat yang berbahaya. Anak buah menjadi mabok kemenangan, bangga dan terlalu percaya kepada kekuatan sendiri. Hal ini menimbulkan kelengahan dan biasanya, musuh akan mempergunakan kesempatan itu untuk balas menyerang. Karena itu, dia mengatur penjagaan ketat, penjaga-penjaga tersembunyi yang disebar sampai jauh di lereng bukit itu secara bergilir.

Juga dia tidak melupakan para penjaga ini yang dikirim ransum, bahkan mereka menerima pesan Maya pribadi agar tidak lengah dan tetap waspada menjaga kemungkinan musuh menyergap selagi mereka beristirahat.

Perhitungan Maya memang tepat. Benar saja, menjelang tengah malam, datanglah para penjaga di lereng utara yang mengabarkan bahwa dia menyaksikan gerakan barisan besar yang datang dari utara. Mereka datang dengan jalan kaki dan tidak memasang obor, bahkan tidak menerbitkan suara berisik, tanda bahwa mereka hendak menyergap tempat istirahat mereka secara mendadak!

Berita ini diterima dengan kaget oleh para perwira dan anak buah mereka yang berada di situ. Mereka sudah meloncat bangun dan menyambar senjata tajam masing-masing. Maya membentak,

"Mengapa kalian? Panik? Lupakah akan nasihatku bahwa kepanikan ini merupakan jalan menuju kekalahan? Dengarkan siasatku!" Ia menuding kepada empat orang pembantunya berturut-turut. "Kalian berempat, cepat membawa semua pasukan diam-diam meninggalkan puncak dari jurusan selatan, barat dan timur, lalu bersembunyi dan menanti sampai ada tanda bunyi kelenengan segera mengepung puncak karena pada saat ini musuh sudah berkumpul di dekat puncak! Dan kalian berempat," ia menuding kepada empat orang perwira lain, "dalam jarak tiga ratus meter dari sini, pasanglah tali-tali di atas tanah satu kaki tingginya, hubungkan tali itu dengan kelenengan-kelenengan kuda yang dipasang di atas pohon. Cepat kalian delapan orang lakukan perintahku ini."

Delapan orang perwira itu memberi hormat dan berlari keluar. Maya memandang kepada dua orang perwiranya. Ia tersenyum dan sepasang matanya berkilat tertimpa sinar api unggun.

"Dan kalian berdua kumpulkan pasukan pengawalku ke sini, buat api unggun yang besar, nyalakan semua lampu penerangan, bawa dua guci arak wangi, guci besar itu, dan suruh para pengawal membawa alat tetabuhan dan mainkan musik di sini!"

Perintah itu terdengar aneh sekali sehingga beberapa detik lamanya kedua orang perwira itu memandang pimpinan mereka sambil melongo.

"Cepat!"

Maya membentak dan barulah dua orang itu bergegas pergi melakukan perintah. Tak lama kemudian tampak api unggun yang besar dan terdengarlah bunyi musik yang-kim, gembreng dan suling memecahkan kesunyian puncak bukit itu, dan bau arak wangi memenuhi udara.

Para pengawal yang jumlahnya dua puluh orang itu bermain musik sambil bernyanyi-nyanyi, akan tetapi hati mereka berdebar-debar tegang dan mata mereka melotot ketika melihat Maya menyiram-nyiramkan arak wangi di sekitar tempat itu sehingga bau arak itu menyengat hidung!

Pasukan Maut telah melakukan gerakan cepat dan tanpa mengeluarkan suara meninggalkan puncak bukit seperti yang diperintahkan Maya. Ketika mereka mendengar suara musik dan nyanyian, mencium bau arak wangi dari puncak, mereka melongo dan saling pandang.

Sudah gilakah pemimpin mereka yang hebat itu? Pasukan disuruh lari turun puncak, hal ini dapat dimengerti untuk menghindarkan sergapan pihak musuh yang besar jumlahnya. Akan tetapi pemimpin mereka tinggal di puncak, hanya ditemani dua puluh orang pengawal, dua orang perwira dan perajurit-perajurit yang terluka siang tadi, kini berpesta-pora minum arak wangi dan bernyanyi-nyanyi bermain musik!

Akan tetapi delapan orang perwira itu, setelah yang empat orang selesai memimpin pasukan memasang tali dan kelenengan, percaya penuh kepada panglima mereka dan dengan diam-diam mereka siap melakukan gerakan mengurung puncak, menanti bunyi kelenengan-kelenengan yang ratusan banyaknya dan mereka pasang di sekeliling puncak.

Kalau para perajurit Pasukan Maut terheran-heran mendengar bunyi musik nyanyian dan mencium bau arak wangi, sebaliknya para panglima, perwira dan perajurit Yucen menjadi girang sekali. Bersenang-senanglah, berpestalah karena kemenanganmu siang tadi, pikir mereka puas, dan berpestalah untuk kematian kalian karena sebentar lagi kalian akan terbasmi habis, demikian pikir mereka sambil melakukan gerakan mengurung puncak, merayap naik dengan hati-hati.

Pasukan mereka terdiri dari lima ratus orang pilihan, dan mereka sudah memperhitungkan bahwa lima ratus orang tentara musuh tentu telah berkurang dalam perang tadi dan selain kelelahan juga mereka itu mabok kemenangan dan lengah.

Pengurungan mereka telah dekat dengan puncak. Perintah berbisik telah dikeluarkan Panglima yang membagi-bagi pasukan menyerang kubu-kubu lawan. Dari tempat mereka sudah tampak api unggun besar di depan kemah panglima, tampak bendera panglima musuh berkibar di atas kemah besar dan ketika mereka merayap maju lagi, tampak bayangan orang bermain musik, bernyanyi-nyanyi, bahkan ada yang menari-nari.

Mereka tidak mau menyerang dengan anak panah, karena keadaan terlalu gelap dan hal itu hanya akan membikin musuh sempat mempersiapkan diri. Mereka hendak menyerbu diam-diam dan tinggal menyembelihi saja musuh yang sedang enak-enak tidur atau yang sudah mabok arak wangi! Hal ini memang sudah diperhitungkan Maya ketika dara perkasa ini mengatur siasatnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar