Thian-te Tok-ong yang usianya sudah delapan puluh dua tahun itu terkekeh-kekeh.
"Dan kau mau bilang bahwa belasan orang yang membunuh, memperkosa dan merampok, membakari rumah penduduk itu tidak kejam?"
"Mereka juga kejam seperti setan, tapi kalau suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita? Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"
"Ho-ho-ho, kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan punggung mereka dan memuji-muji perbuatan mereka?"
"Bukan begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu tidak sudi membunuh tidak suka menggunakan kekerasan!"
"Hemm, kau kira engkau ini pintar dan baik, ya? Bocah tolol. Kau lihat, mengapa penduduk dusun ini sampai dibunuh, diperkosa dan dirampok? Karena mereka lemah! Coba mereka itu kuat, coba mereka itu mempelajari ilmu silat, tentu para perampok itu tidak akan mampu mencelakai mereka. Jangan bilang kalau hidup tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban kekerasan!"
Yo Han tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajaknya pergi.
Di sepanjang perjalanan pulang ke guha, anak itu termenung. Hatinya tidak senang. Gurunya membunuhi orang begitu saja walaupun orang-orang itu perampok kejam.
Mereka tiba di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong menarik muridnya dan meloncat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak belukar.
Mereka melihat seekor harimau menubruk seekor kijang, menerkam leher kijang itu yang menjerit-jerit dan meronta-ronta. Namun, kuku-kuku dan gigi-gigi runcing tajam itu menghunjam leher dan pundak, darah dihisap dan rontaan itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol korbannya memasuki semak belukar.
Thian-te Tok-ong memandang muridnya.
"Bagaimana pendapatmu, Yo Han? Apakah harimau itu kejam? Dan andaikata kijang itu mampu melawan dan menang, atau mampu melarikan diri, bukankah berarti ia tidak akan menjadi korban?"
"Harimau itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"
"Ha-ha-ha! Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati kelaparan! Untuk itu dia sudah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan, kuku runcing dan gigi tajam. Dia tidak dapat hidup dengan makan rumput! Sebaliknya, kijang pun ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup memang perjuangan, Yo Han. Siapa kuat dia bertahan!"
"Dan kau mau bilang bahwa belasan orang yang membunuh, memperkosa dan merampok, membakari rumah penduduk itu tidak kejam?"
"Mereka juga kejam seperti setan, tapi kalau suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita? Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"
"Ho-ho-ho, kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan punggung mereka dan memuji-muji perbuatan mereka?"
"Bukan begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu tidak sudi membunuh tidak suka menggunakan kekerasan!"
"Hemm, kau kira engkau ini pintar dan baik, ya? Bocah tolol. Kau lihat, mengapa penduduk dusun ini sampai dibunuh, diperkosa dan dirampok? Karena mereka lemah! Coba mereka itu kuat, coba mereka itu mempelajari ilmu silat, tentu para perampok itu tidak akan mampu mencelakai mereka. Jangan bilang kalau hidup tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban kekerasan!"
Yo Han tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajaknya pergi.
Di sepanjang perjalanan pulang ke guha, anak itu termenung. Hatinya tidak senang. Gurunya membunuhi orang begitu saja walaupun orang-orang itu perampok kejam.
Mereka tiba di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong menarik muridnya dan meloncat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak belukar.
Mereka melihat seekor harimau menubruk seekor kijang, menerkam leher kijang itu yang menjerit-jerit dan meronta-ronta. Namun, kuku-kuku dan gigi-gigi runcing tajam itu menghunjam leher dan pundak, darah dihisap dan rontaan itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol korbannya memasuki semak belukar.
Thian-te Tok-ong memandang muridnya.
"Bagaimana pendapatmu, Yo Han? Apakah harimau itu kejam? Dan andaikata kijang itu mampu melawan dan menang, atau mampu melarikan diri, bukankah berarti ia tidak akan menjadi korban?"
"Harimau itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"
"Ha-ha-ha! Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati kelaparan! Untuk itu dia sudah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan, kuku runcing dan gigi tajam. Dia tidak dapat hidup dengan makan rumput! Sebaliknya, kijang pun ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup memang perjuangan, Yo Han. Siapa kuat dia bertahan!"
"Teecu tidak suka! Yang kuat selalu menang dan hendak berkuasa saja. Yang kuat selalu jahat dan ingin memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Karena itu, teecu tidak suka belajar silat, tidak suka menggunakan kekerasan karena hal itu akan membuat teecu menjadi jahat!"
"Yo Han, kau lihat apa ini?"
"Suhu memegang tongkat!"
"Apakah tongkat ini merupakan senjata untuk melakukan kekerasan?"
"Tentu. saja!"
"Jadi engkau tidak suka memegang tongkat?"
"Tidak."
"Kalau kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau tidak mampu melarikan diri, lalu engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih merupakan senjata kekerasan yang jahat? Ataukah merupakan alat pelindung diri yang akan menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila? Hayo jawab!"
Yo Han menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik.
"Kalau aku memegang tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk membela diri dan mengusir anjing itu, bukan untuk memukul, melukai apalagi membunuhnya!"
"Nah, demikian pula dengan ilmu silat anak keras kepala! Apa kau kira kalau kita mempelajari ilmu silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul, menjadi perampok-perampok, menjadi penjahat dan tukang menyiksa dan membunuh orang? Kalau kita mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita lakukan. Pertama, kita dapat membela diri, melindungi keselamatan diri dari serangan orang jahat, ke dua, kita dapat membantu orang-orang yang ditindas dan disiksa orang lain, dan ke tiga, terutama sekali, kita dapat mengangkat martabat dan kedudukan kita, menjadi orang yang terpandang di dalam dunia!"
Yo Han mengerutkan alisnya. Ada sebagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang terakhir itu dia sama sekali tidak setuju.
"Bagaimanapun juga, orang-orang yang pandai silat selalu berkelahi dan bermusuhan saja, Suhu. Tidak seperti kaum petani yang tidak pandai silat."
"Ha-ha-ha, soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah saja dipukuli dan dibunuh tanpa melawan!"
"Sudahlah, Suhu. Teecu tidak suka bicara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau belajar silat!" kata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu, tentang nyawa teecu, berada di tangan Tuhan dan teecu yakin benar akan hal ini!"
"Huh, bocah aneh, tolol tapi.... benar juga." kakek itu menggumam.
Sudah sering dia melihat Yo Han yang tidak pandai silat itu tidak mempan diserang racun, bahkan kebal terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang melindunginya. Dia sendiri adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya kekuasaan di luar dirinya. Kekuasan Tuhan? Dia tidak percaya karena tidak dapat melihatnya! Dia tidak sadar bahwa perasaan sayang dan cintanya terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan yang tidak dipercayanya itu!
"Yo Han, kau lihat apa ini?"
"Suhu memegang tongkat!"
"Apakah tongkat ini merupakan senjata untuk melakukan kekerasan?"
"Tentu. saja!"
"Jadi engkau tidak suka memegang tongkat?"
"Tidak."
"Kalau kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau tidak mampu melarikan diri, lalu engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih merupakan senjata kekerasan yang jahat? Ataukah merupakan alat pelindung diri yang akan menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila? Hayo jawab!"
Yo Han menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik.
"Kalau aku memegang tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk membela diri dan mengusir anjing itu, bukan untuk memukul, melukai apalagi membunuhnya!"
"Nah, demikian pula dengan ilmu silat anak keras kepala! Apa kau kira kalau kita mempelajari ilmu silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul, menjadi perampok-perampok, menjadi penjahat dan tukang menyiksa dan membunuh orang? Kalau kita mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita lakukan. Pertama, kita dapat membela diri, melindungi keselamatan diri dari serangan orang jahat, ke dua, kita dapat membantu orang-orang yang ditindas dan disiksa orang lain, dan ke tiga, terutama sekali, kita dapat mengangkat martabat dan kedudukan kita, menjadi orang yang terpandang di dalam dunia!"
Yo Han mengerutkan alisnya. Ada sebagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang terakhir itu dia sama sekali tidak setuju.
"Bagaimanapun juga, orang-orang yang pandai silat selalu berkelahi dan bermusuhan saja, Suhu. Tidak seperti kaum petani yang tidak pandai silat."
"Ha-ha-ha, soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah saja dipukuli dan dibunuh tanpa melawan!"
"Sudahlah, Suhu. Teecu tidak suka bicara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau belajar silat!" kata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu, tentang nyawa teecu, berada di tangan Tuhan dan teecu yakin benar akan hal ini!"
"Huh, bocah aneh, tolol tapi.... benar juga." kakek itu menggumam.
Sudah sering dia melihat Yo Han yang tidak pandai silat itu tidak mempan diserang racun, bahkan kebal terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang melindunginya. Dia sendiri adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya kekuasaan di luar dirinya. Kekuasan Tuhan? Dia tidak percaya karena tidak dapat melihatnya! Dia tidak sadar bahwa perasaan sayang dan cintanya terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan yang tidak dipercayanya itu!
**** 026 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================