Sambil tetap menggandeng tangan Yo Han, Sin Hong terus melangkah tanpa menoleh sampai mereka keluar dari Pao-teng. Pemuda ini tidak ingin melihat cucuran air mata di pipi murid keponakannya yang nampak penuh duka. Tanpa perlu sepatah kata pun, dia sudah mengerti isi hati puteri suheng-nya itu.
“Ahh, langkah kita berbeda dan jalan kita pun tak sama…, tidak mungkin kita bisa sama-sama melangkah beriringan….,” bisik hatinya.
Sin Hong benar-benar berjalan tanpa tujuan dan hanya menurutkan kemauan kakinya melangkah saja, yang penting baginya adalah meninggalkan Pao-teng secepatnya. Yo Han berjalan mengikuti suhu-nya, mengiringi sedikit di belakangnya sebab begitu keluar dari batas dusun Pao-teng tangannya sudah dilepaskan oleh Sin Hong. Karena itulah, dan disebabkan pula pemuda ini sudah terbiasa berkelana seorang diri, maka Sin Hong tidak menyadari lagi akan keberadaan Yo Han. Pikirannya mengembara mengenangkan dua wajah yang sama cantik jelita.
Pertama terbayang di benaknya wajah Suma Lian, puteri dari Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng. Selama hidupnya dapat dikatakan bahwa dara lincah jenaka ini merupakan gadis pertama yang dekat dengannya. Sekian lama mereka melakukan perjalanan bersama, bercakap-cakap dan saling bersenda gurau, sehingga hubungan keduanya sudah bagaikan sahabat lama.
Lalu muncul wajah gadis yang kedua, wajah Kao Hong Li yang cantik manis dan gagah perkasa, puteri dari Kao Cin Liong dengan Suma Hui. Walau pun dia mengenal gadis itu belum sedekat seperti dengan Suma Lian, namun secara hubungan justru Hong Li lebih dekat dengannya. Dara ini adalah puteri suheng-nya, cucu dari dua di antara tiga orang gurunya, atau dengan kata lain murid keponakannya sendiri.
Alangkah mudah bagi dirinya untuk jatuh cinta kepada salah satu di antara dua gadis itu. Keduanya sama cantik jelita dan berwatak gagah, sama memperlakukannya dengan sangat baik dan manis budi, juga sama-sama keturunan pendekar sakti paling terkenal pada jamannya, yang satu keturunan Pulau Es, yang satunya lagi bahkan keturunan Istana Gurun Pasir, tempat di mana dia mempelajari semua kepandaiannya.
Lalu dia membandingkan dengan dirinya sendiri yang hanya seorang pemuda yatim piatu, bahkan sebatang kara sama sekali, tanpa sanak tiada saudara, hanya putera dari seorang piauwsu yang tak terkenal, dan sekarang hidup berkelana tanpa memiliki apa pun. Ahhh…
Apa lagi sudah jelas bahwa sejak kecil Suma Lian sudah ditunangkan, telah dijodohkan oleh neneknya dengan Gu Hong Beng, suheng-nya sendiri, seorang pendekar tampan yang gagah perkasa. Keadaan Hong Li bahkan lebih parah lagi. Dara ini adalah puteri dari suheng-nya, cucu dari dua di antara guru-gurunya di Istana Gurun Pasir, yang berarti masih terhitung sebagai murid keponakannya sendiri!
“Suhu, kita hendak ke mana?” Yo Han yang berjalan di belakangnya, tiba-tiba bertanya.
Suara anak itu menyeret Sin Hong kembali ke alam nyata.
“Eh.... oh.... ke.... luar kota!” katanya agak gagap karena pertanyaan itu demikian tiba-tiba. “Kita merantau kemanapun kaki kita membawa kita, Yo Han. Aku tidak mempunyai tempat tinggal tetap, aku miskin tidak ada rumah tiada harta, tidak ada pekerjaan. Engkau berani ikut dengan aku dalam keadaan tidak punya apa-apa begini, menempuh kehidupan yang melarat dan sukar?”
“Kenapa tidak berani, Suhu? Kalau Suhu berani, aku pun berani!” jawabnya dengan gagah dan Sin Hong tersenyum.
Mereka melanjutkan perjalanan, kini keluar dari dusun itu menuju ke selatan, sampai lama tidak berkata-kata.
“Suhu, kenapa Suhu menolak ajakan enci Hong Li tadi? Ia baik sekali dan ia amat sayang kepada Suhu.”
Sin Hong terkejut dan menghentikan langkahnya, menunduk dan menatap wajah anak itu. Wajah yang tampan dan sinar mata itu demikian gagah, juga terbuka.
“Yo Han, bagaimana engkau tahu bahwa ia sayang kepadaku?”
“Jelas sekali, Suhu. Ia menangis ketika berpisah, itu tandanya cinta, tandanya berat untuk berpisah. Kenapa Suhu tidak mau menerima ajakannya dan tinggal di sana sehingga Suhu selalu dapat dekat dengan enci Hong Li?”.
Si Hong mengerutkan alisnya.
“Hemm, apakah engkau ingin tinggal di sana?”
Yo Han menggeleng kepala.
“Aku bicara untuk Suhu. Aku sendiri, aku akan tinggal di manapun menurut perintah Suhu, dan sebaiknya kalau aku tinggal bersama Suhu.”
“Tidur di dalam hutan? Di bawah pohon? Di alam terbuka?”
“Biar di bawah jembatan pun aku suka, asal bersama Suhu.”
Sin Hong tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, anak baik. Kalau begitu mari kita songsong kehidupan baru! Tinggalkan semua kehidupan lama, lupakan semua masa lalu! Hatiku menjadi semakin besar dan tabah karena ada engkau di sampingku! Hayo kita hadapi segala tantangan dan rintangan dalam hidup ini, muridku!”
“Baik, Suhu, teecu (murid) siap!” kata Yo Han dan keduanya melanjutkan perjalanan, melangkah dengan tegap dan dengan wajah cerah memandang jauh ke depan!
Setelah tiba di tempat sunyi, Sin Hong menyuruh muridnya berhenti.
“Kita berhenti sebentar di sini. Duduklah, Yo Han, ada sesuatu yang akan kukatakan kepadamu.”
Melihat sikap suhunya yang serius, Yo Han lalu duduk di atas rumput di bawah pohon. Sedangkan Sin Hong duduk di atas akar pohon itu. Sejenak dia memandang wajah muridnya dan hatinya dipenuhi rasa iba. Dan sudah mengambil keputusan untuk menceritakan semuanya kepada anak ini, agar dia tidak perlu menyimpan rahasia lagi. Dia percaya seorang anak seperti Yo Han ini akan mampu menerima keadaan yang bagaimana pahit pun.
“Yo Han, engkau tahu, untuk apakah engkau menjadi muridku dan hendak mempelajari ilmu silat?”
“Untuk menjadi seorang gagah, seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, Suhu,”
“Ahh, langkah kita berbeda dan jalan kita pun tak sama…, tidak mungkin kita bisa sama-sama melangkah beriringan….,” bisik hatinya.
Sin Hong benar-benar berjalan tanpa tujuan dan hanya menurutkan kemauan kakinya melangkah saja, yang penting baginya adalah meninggalkan Pao-teng secepatnya. Yo Han berjalan mengikuti suhu-nya, mengiringi sedikit di belakangnya sebab begitu keluar dari batas dusun Pao-teng tangannya sudah dilepaskan oleh Sin Hong. Karena itulah, dan disebabkan pula pemuda ini sudah terbiasa berkelana seorang diri, maka Sin Hong tidak menyadari lagi akan keberadaan Yo Han. Pikirannya mengembara mengenangkan dua wajah yang sama cantik jelita.
Pertama terbayang di benaknya wajah Suma Lian, puteri dari Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng. Selama hidupnya dapat dikatakan bahwa dara lincah jenaka ini merupakan gadis pertama yang dekat dengannya. Sekian lama mereka melakukan perjalanan bersama, bercakap-cakap dan saling bersenda gurau, sehingga hubungan keduanya sudah bagaikan sahabat lama.
Lalu muncul wajah gadis yang kedua, wajah Kao Hong Li yang cantik manis dan gagah perkasa, puteri dari Kao Cin Liong dengan Suma Hui. Walau pun dia mengenal gadis itu belum sedekat seperti dengan Suma Lian, namun secara hubungan justru Hong Li lebih dekat dengannya. Dara ini adalah puteri suheng-nya, cucu dari dua di antara tiga orang gurunya, atau dengan kata lain murid keponakannya sendiri.
Alangkah mudah bagi dirinya untuk jatuh cinta kepada salah satu di antara dua gadis itu. Keduanya sama cantik jelita dan berwatak gagah, sama memperlakukannya dengan sangat baik dan manis budi, juga sama-sama keturunan pendekar sakti paling terkenal pada jamannya, yang satu keturunan Pulau Es, yang satunya lagi bahkan keturunan Istana Gurun Pasir, tempat di mana dia mempelajari semua kepandaiannya.
Lalu dia membandingkan dengan dirinya sendiri yang hanya seorang pemuda yatim piatu, bahkan sebatang kara sama sekali, tanpa sanak tiada saudara, hanya putera dari seorang piauwsu yang tak terkenal, dan sekarang hidup berkelana tanpa memiliki apa pun. Ahhh…
Apa lagi sudah jelas bahwa sejak kecil Suma Lian sudah ditunangkan, telah dijodohkan oleh neneknya dengan Gu Hong Beng, suheng-nya sendiri, seorang pendekar tampan yang gagah perkasa. Keadaan Hong Li bahkan lebih parah lagi. Dara ini adalah puteri dari suheng-nya, cucu dari dua di antara guru-gurunya di Istana Gurun Pasir, yang berarti masih terhitung sebagai murid keponakannya sendiri!
“Suhu, kita hendak ke mana?” Yo Han yang berjalan di belakangnya, tiba-tiba bertanya.
Suara anak itu menyeret Sin Hong kembali ke alam nyata.
“Eh.... oh.... ke.... luar kota!” katanya agak gagap karena pertanyaan itu demikian tiba-tiba. “Kita merantau kemanapun kaki kita membawa kita, Yo Han. Aku tidak mempunyai tempat tinggal tetap, aku miskin tidak ada rumah tiada harta, tidak ada pekerjaan. Engkau berani ikut dengan aku dalam keadaan tidak punya apa-apa begini, menempuh kehidupan yang melarat dan sukar?”
“Kenapa tidak berani, Suhu? Kalau Suhu berani, aku pun berani!” jawabnya dengan gagah dan Sin Hong tersenyum.
Mereka melanjutkan perjalanan, kini keluar dari dusun itu menuju ke selatan, sampai lama tidak berkata-kata.
“Suhu, kenapa Suhu menolak ajakan enci Hong Li tadi? Ia baik sekali dan ia amat sayang kepada Suhu.”
Sin Hong terkejut dan menghentikan langkahnya, menunduk dan menatap wajah anak itu. Wajah yang tampan dan sinar mata itu demikian gagah, juga terbuka.
“Yo Han, bagaimana engkau tahu bahwa ia sayang kepadaku?”
“Jelas sekali, Suhu. Ia menangis ketika berpisah, itu tandanya cinta, tandanya berat untuk berpisah. Kenapa Suhu tidak mau menerima ajakannya dan tinggal di sana sehingga Suhu selalu dapat dekat dengan enci Hong Li?”.
Si Hong mengerutkan alisnya.
“Hemm, apakah engkau ingin tinggal di sana?”
Yo Han menggeleng kepala.
“Aku bicara untuk Suhu. Aku sendiri, aku akan tinggal di manapun menurut perintah Suhu, dan sebaiknya kalau aku tinggal bersama Suhu.”
“Tidur di dalam hutan? Di bawah pohon? Di alam terbuka?”
“Biar di bawah jembatan pun aku suka, asal bersama Suhu.”
Sin Hong tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, anak baik. Kalau begitu mari kita songsong kehidupan baru! Tinggalkan semua kehidupan lama, lupakan semua masa lalu! Hatiku menjadi semakin besar dan tabah karena ada engkau di sampingku! Hayo kita hadapi segala tantangan dan rintangan dalam hidup ini, muridku!”
“Baik, Suhu, teecu (murid) siap!” kata Yo Han dan keduanya melanjutkan perjalanan, melangkah dengan tegap dan dengan wajah cerah memandang jauh ke depan!
Setelah tiba di tempat sunyi, Sin Hong menyuruh muridnya berhenti.
“Kita berhenti sebentar di sini. Duduklah, Yo Han, ada sesuatu yang akan kukatakan kepadamu.”
Melihat sikap suhunya yang serius, Yo Han lalu duduk di atas rumput di bawah pohon. Sedangkan Sin Hong duduk di atas akar pohon itu. Sejenak dia memandang wajah muridnya dan hatinya dipenuhi rasa iba. Dan sudah mengambil keputusan untuk menceritakan semuanya kepada anak ini, agar dia tidak perlu menyimpan rahasia lagi. Dia percaya seorang anak seperti Yo Han ini akan mampu menerima keadaan yang bagaimana pahit pun.
“Yo Han, engkau tahu, untuk apakah engkau menjadi muridku dan hendak mempelajari ilmu silat?”
“Untuk menjadi seorang gagah, seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, Suhu,”
“Hemmm, tahukah engkau bahwa seorang gagah harus pertama-tama mengalahkan kelemahan hati sendiri? Bahwa seorang gagah berani menghadapi segala hal sulit, dan tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam duka dan putus asa?”
Anak itu mengangguk, matanya yang jeli dan tajam memandang wajah gurunya penuh selidik.
“Aku tahu, Suhu. Agaknya Suhu akan bicara mengenai ayah dan ibuku! Apakah mereka telah tewas?”
Bukan main anak ini, pikir Sin Hong. Cerdik bukan main! Dia pun mengangguk.
“Mereka tewas sebagai pendekar-pendekar perkasa, muridku!”
Dan dengan singkat dia menceritakan betapa ayah dan ibu anak itu tewas di tangan para pimpinan pemberontak dan betapa pula pembunuh itu pun kini telah terbasmi habis. Setelah dia selesai bercerita, dia melihat betapa wajah anak itu merah sekali dan kedua matanya mencorong.
“Muridku, seorang pendekar tidak seharusnya hanyut dalam kedukaan, akan tetapi melepaskan perasaan duka melalui tangis tidak dilarang!”
Baru saja Sin Hong berkata demikian, Yo Han menubruk kaki gurunya dan menangis tersedu-sedu, Sin Hong membiarkannya saja, mengelus kepala muridnya sambil tersenyum. Tak lama kemudian, dia membimbing tangan muridnya dan mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata.
Pada suatu hari, Sin Hong dan Yo Han memasuki sebuah kota di Propinsi An-hui. Kota ini adalah kota Lu-jiang. Sebuah telaga kecil berada di dekat kota ini, dan sebuah sungai mengalir menuju ke selatan di mana sungai itu akan menumpahkan airnya dalam Sungai Yang-ce yang besar.
Sin Hong amat tertarik melihat keindahan pemandangan di luar kota ini, di daerah perbukitan yang merupakan bagian terbelakang dari perbukitan lembah Sungai Yang-ce. Apalagi ketika melihat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, sebuah kuil yang berdiri di atas bukit kecil di luar kota Lujiang, dengan sebuah menara kecil tinggi, dia merasa tertarik dan mengambil keputusan untuk berhenti di tempat itu untuk beberapa lamanya.
Kadang-kadang dia membutuhkan tempat yang baik untuk memberi pendidikan dan pelajaran ilmu silat kepada muridnya. Dan selama perantauannya bersama Yo Han, hari, pekan dan bulan lewat dengan cepat sekali dan tahu-tahu kini Yo Han telah berusia kurang lebih sembilan tahun.
Sudah hampir dua tahun mereka merantau dan belum juga dia memperoleh sebuah tempat yang dianggap cukup menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal dan belum juga dia dapat memutuskan pekerjaan apakah yang akan dilakukan. Karena dia bukan orang yang memiliki banyak uang, maka mereka harus berhemat, ada kalanya mereka bekerja membantu di kuil-kuil hanya sekedar mendapatkan makan, dan pakaian mereka pun sudah mulai ditambal-tambal!
Sin Hong membiarkan keadaan mereka seperti itu karena hal ini merupakan gemblengan batin bagi muridnya, dan ternyata Yo Han sama sekali tidak pernah mengeluh, biarpun pakaiannya sudah bertambal-tambal dan kadang-kadang Sin Hong sengaja mengajak muridnya itu makan sehari sekali saja, bahkan pernah mereka berpuasa sampai dua hari dua malam! Melihat sikap Yo Han yang tabah, tak pernah mengeluh, hati Sin Hong merasa semakin suka kepada anak itu.
Mereka memasuki kuil tua dan memilih tempat yang tidak bocor dan tidak begitu kotor, diruangan samping kiri. Yo Han lalu tanpa diperintah membersihkan tempat itu, menyapu dengan daun-daun kering dan mengumpulkan jerami untuk menjadi tilam agar lantai itu tidak terlalu lembab untuk diduduki atau pun ditiduri. Sin Hong mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan menyerahkannya kepada muridnya.
“Yo Han, pergilah ke kota dan beli makanan dan sedikit arak.”
“Baik, Suhu, akan tetapi teecu (murid) hendak membuat api unggun dan memasak air lebih dulu untuk dibuat air teh. Bukankah Suhu sudah merasa haus?”
Sin Hong tersenyum. Tidak rugi mempunyai seorang murid seperti Yo Han. Anak itu selalu memperhatikan keperluannya dan amat berbakti kepadanya. Tidak pernah dia merasa bahwa kehadiran Yo Han dalam kehidupannya menjadi beban. Bahkan sebaliknya, dalam diri anak itu dia menemukan seorang murid, seorang kawan, seorang pembantu, bahkan seorang penghibur karena anak itu pandai sekali memancing kegembiraannya.
Yo Han lincah dan kadang-kadang jenaka dan nakal, akan tetapi tidak pernah membikin marah dan selalu siap melayani gurunya.
“Biarlah aku sendiri yang akan membuat air teh, Yo Han. Sejak kemarin engkau belum makan, tentu sudah lapar. Belilah roti kering dan dendeng, seguci kecil arak dan kalau engkau ingin membeli buah-buahan segar untukmu, belilah. Boleh kau habiskan uang itu membeli makanan.”
Yo Han mengangguk dan mengantungi beberapa keping uang itu, lalu berpamit dan pergilah dia dengan cepat, setengah berlari, menuju ke kota yang temboknya sudah nampak dari situ. Kuil itu berada di atas bukit kecil dan dari situ dapat nampak kota Lu-jiang. Sin Hong mengikuti muridnya dengan pandang matanya sambil tersenyum.
Yo Han tentu saja merasa lapar. Sejak kemarin siang dia belum makan, hanya minum air sumber saja karena suhunya mengajak dia berjalan terus. Dia bukan anak bodoh. Dia tahu bahwa suhunya amat sayang kepadanya dan bahwa suhunya adalah seorang pendekar yang budiman. Kalau suhunya membiarkan dia kurang makan, bahkan kadang-kadang berpuasa, hal itu bukan karena gurunya itu hendak menganiayanya. Suhunya sendiri pun sama-sama tidak makan, dan dia tahu bahwa suhunya menahan lapar hanya untuk kepentingannya! Untuk menggemblengnya! Maka dia merasa semakin berterima kasih kepada gurunya itu, satu-satunya orang di dunia ini yang baik kepadanya, pengganti ayah ibunya, pengganti keluarganya!
Mengingat kebaikan gurunya ini, hatinya menjadi gembira dan dia berloncatan menuju ke kota, membayangkan apa yang akan dibelinya. Dia sama sekali tidak mengingat akan kesukaan dirinya sendiri. Tidak! Dia akan membeli roti kering dan dendeng serta arak, kemudian sisa uang itu akan dibelikan buah jeruk yang manis, kesukaan gurunya!
Ketika berloncatan dan berlarian, dia melihat tiga orang anak yang usianya sebaya atau hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, bermain-main di tepi jalan. Dia tidak memperhatikan karena dia sedang melamun tentang apa yang akan dibelinya untuk menyenangkan hati gurunya dan baru dia terkejut bukan main ketika terdengar suara anjing menyalak dan seekor anjing berbulu putih telah menggigit kakinya!
Yo Han sudah mulai dilatih oleh gurunya, berlatih kuda-kuda, pengerahan tenaga, dan langkah-langkah kaki yang menjadi dasar ilmu silat. Kini ketika dia merasa betapa kakinya menjadi sasaran moncong anjing yang terbuka, dia cepat menarik kaki kiri yang hendak digigit, lalu kaki kanannya menendang ke arah perut anjing yang tidak berapa besar itu.
“Hukkk! Kaing.... kaing....!”
Anjing itu terlempar bergulingan dan menguik-nguik kesakitan. Barulah Yo Han tahu bahwa yang ditendangnya itu hanyalah seekor anak anjing yang bulunya putih dan bagus sekali!
“Keparat kejam! Kau kurang ajar sekali, berani menendang anjing kesayangan kami yang tidak bersalah!”
Yo Han menengok dan ternyata tiga orang anak laki-laki yang tadi bermain-main di tepi jalan, kini sudah berdiri menghadapinya dengan sikap marah sekali. Kiranya anjing itu milik mereka, pikirnya dengan hati menyesal.
“Tapi.... tapi.... ia tadi akan menggigit kakiku....“ Dia membela diri.
“Menggigit? Huh, anak anjing kecil itu hanya mengajakmu main-main. Ia tidak pernah menggigit, kalau menggigit pun hanya main-main, tidak sakit. Akan tetapi dengan kejam engkau telah menendangnya!” kata seorang di antara mereka yang terkecil, yang kini sudah memondong anjing yang kelihatan ketakutan itu sambil mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang.
Yo Han merasa semakin menyesal.
“Maaf.... aku.... aku tadi terkejut sekali, melihat ada anjing hendak menggigit kakiku sambil menyalak, aku tidak melihat bahwa anjing itu hanya anak anjing. Karena kaget aku lalu menendangnya. Maafkanlah aku.”
Dia teringat akan nasihat gurunya bahwa kalau dia melakukan suatu kesalahan, biar terhadap seorang anak kecil sekalipun, dia harus berani menyatakan penyesalannya dan minta maaf.
“Enak saja minta maaf! Apakah kalau sudah minta maaf, anjing kami itu lalu sudah tidak merasa nyeri lagi oleh tendanganmu tadi? Huh, engkau tentu anak jembel yang datang dari luar kota maka tidak mengenal kami dan berani berbuat kurang ajar!” bentak seorang di antara mereka yang paling besar, usianya kurang lebih dua belas tahun sambil bertolak pinggang.
Kini, Yo Han melihat bahwa tiga orang anak itu bersikap gagah dan pakaian mereka ringkas seperti pakaian yang biasa dipergunakan untuk berlatih silat. Kembali Yo Han meminta maaf, sekali ini dia merangkap kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat.
“Saya merasa bersalah dan saya menyesal sekali telah lengah dan terburu nafsu, menendang anjing kecil yang tidak bersalah itu. Harap kalian suka memaafkan saya.” Dia mengatur kata-katanya dengan sopan dan merendahkan diri.
“Orang yang melakukan kesalahan harus dihukum!” bentak orang ke dua yang usianya sebaya dengan Yo Han. “Kau layak dipukul!”
Yo Han menarik napas panjang. Nasib, pikirnya. Akan tetapi, semua nasihat gurunya masih bergema di telinganya, maka dia pun mengangguk dan pasrah.
“Kalau kalian masih merasa penasaran dan sakit hati, nah, tamparlah mukaku sebagai hukuman atas kesalahanku menendang anjing kalian tadi. Silakan!” Dia memanjangkan leher, memberikan mukanya untuk ditampar.
“Bagus kalau kau tahu diri! Memang kami ingin memukulmu!” kata anak terbesar.
“Mari, Sute, kita hajar anak jembel ini sampai dia bertobat!”
Yo Han yang sudah mengambil keputusan untuk menyerahkan mukanya untuk ditampar sebagai penebusan kesalahannya, memejamkan kedua mata dan siap menerima tamparan yang bagaimana keras pun pada mukanya.
“Plakkk! Dukkk! Desss....!”
Tubuh Yo Han terpelanting ke atas tanah dan dia membuka mata, menggoyang-goyang kepalanya yang terasa pening, mengelus dada dan perut. Dia tidak hanya mendapatkan satu kali tamparan, akan tetapi juga dadanya dipukul dan perutnya ditendang! Yo Han merasa penasaran sekali. Mereka itu keterlaluan, pikirnya.
Sekali maju tiga orang menyerangnya dan memukul dengan keras, sungguh tidak sepadan dengan kesalahannya tadi. Akan tetapi karena dia teringat akan kesalahannya, dia pun menahan kemarahannya dan mengusap bibirnya yang berdarah karena ujung bibir itu pecah terkena tamparan yang amat keras, lalu dia bangkit berdiri.
“Aku sudah menerima hukuman. Kesalahanku sudah terbayar lunas sekarang.”
Katanya dan dia hendak melanjutkan perjalanannya ke kota untuk membeli makanan dan minuman seperti yang dipesan gurunya. Akan tetapi tiba-tiba anak terbesar menarik bajunya, di sentakkan ke belakang sehingga Yo Han hampir jatuh.
“Hemmm, kau hendak lari ke mana? Tidak boleh pergi sebelum kami selesai denganmu!”
Sepasang alis Yo Han yang hitam dan tebal itu berkerut dan sepasang mata itu mencorong penuh selidik ketika Yo Han menatap wajah anak laki-laki yang tubuhnya gempal itu.
“Bukankah kalian sudah memukul aku sebagai hukuman atas kesalahanku? Kalian mau apalagi dan mengapa menahan aku?”
“Kesalahanmu ada dua macam. Pertama, engkau menendang anjing kami dan untuk itu memang kami tadi sudah menghukum kamu dengan pukulan. Akan tetapi kesalahan kedua, belum lunas, dan harus dibayar sekarang.”
“Kesalahan yang mana lagi?” Yo Han bertanya penasaran.
“Engkau tidak menghargai kami, tidak menghormati kami. Ketahuilah bahwa kami adalah murid-murid Ngo-heng Bukoan, dan kau bersikap kurang ajar kepada kami. Inilah kesalahanmu ke dua dan untuk ini, engkau harus berlutut dan menyebut kami tuan-tuan muda dan minta maaf atas sikapmu yang kurang ajar itu.”
Wajah Yo Han berubah merah. Suhunya selalu menekankan bahwa dia haruslah rendah hati dan mengalah, akan tetapi tidak boleh rendah diri dan pengecut. Tiga orang anak ini jelas hendak menghinanya dan kalau dia mentaati perintah mereka, berlutut minta maaf, berarti dia rendah diri dan penakut. Mereka itu sewenang-wenang dan sombong, maka tidak perlu dihormati, bahkan layak kalau ditentang.
“Aku tidak mengenal siapa kalian, dan andaikata sudah mengenal sekalipun, aku tidak biasa menjilat orang yang kedudukannya lebih tinggi. Aku tidak merasa bersalah dengan sikapku, maka sudahlah, aku masih banyak urusan dan harus pergi tidak dapat melayani kalian lebih lama lagi!” Berkata demikian Yo Han membalikkan tubuh dan hendak pergi.
“Jembel sombong! Engkau memang harus dipukul sampai setengah mati baru tahu rasa!” bentak anak terbesar.
Yo Han maklum bahwa dirinya diserang. Dia membalik dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi pukulan anak itu cepat dan tepat. Elakannya kurang cepat dan pundaknya kena tonjokan yang membuat tubuhnya terjengkang! Akan tetapi sekali ini, Yo Han sudah marah sekali. Dia meloncat bangun dan melihat seorang di antara mereka sudah menerjangnya lagi, dia pun menyambut dengan tendangan.
“Uukkk!”
Anak itu kena ditendang pahanya dan terpelanting. Dua orang kawannya segera maju mengeroyok dan anak yang tertendang itu pun sudah bangkit lagi dan ikut mengeroyok, Yo Han dikeroyok tiga! Kasihan anak ini. Tiga orang lawannya telah pandai bermain silat, sedangkan dia baru mempelajari langkah-langkah dasar saja.
Melawan mereka satu lawan satu saja belum tentu dia menang, apalagi dikeroyok tiga. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan mereka. Akan tetapi, Yo Han memiliki keberanian luar biasa dan tahan uji benar-benar. Biarpun sudah puluhan kali dia jatuh bangun, tubuhnya memar dan babak belur, pakaiannya robek-robek, dia tidak pernah mengeluarkan keluhan dan setiap kali jatuh, dia bangun kembali, meloncat dan melawan lagi mati-matian!
Hal ini membuat tiga orang lawannya menjadi bingung dan agak gentar. Mereka mengira bahwa dengan beberapa kali dirobohkan saja, anak jembel itu akan berlutut minta ampun. Akan tetapi siapa kira, sudah puluhan kali jatuh, anak itu tetap melawan. Apalagi minta ampun, mengeluh pun tiduk pernah!
Karena gentar, mereka agak lengah dan begitu Yo Han berhasil mencengkeram dan menjambak rambut seorang di antara mereka, dia membanting anak itu, menggumulnya dengan kedua tangan menjambak rambut dan dia membentur-benturkan kepala anak itu di atas tanah! Dia tidak peduli akan pukulan bertubi-tubi yang dilakukan dua orang anak lain pada tubunnya. Dia tetap menunggangi anak yang dijambaknya, dan dibentur-benturkannya kepala itu.
Tiba-tiba anak terbesar menolong sutenya dengan merangkul leher Yo Han dengan lengannya dan menjepitnya. Karena lehernya terjepit dan dia tidak dapat bernapas, Yo Han gelagapan dan terpaksa melepaskan anak yang dijambaknya tadi.
Anak itu sudah mulai menangis dan daun telinganya robek dan berdarah. Yo Han meronta-ronta, lalu berhasil membalikkan kepalanya, lalu dia membuka mulut dan menggigit pergelangan tangan anak yang memitingnya!
Digigitnya sekuat tenaga. Mulutnya merasakan darah yang asin, gigitannya semakin kuat dan anak terbesar itu berteriak-teriak, mengaduh kesakitan. Baru setelah anak ketiga menghantam pelipis Yo Han yang membuatnya pening, gigitannya terlepas dan anak yang digigit pergelangan tangannya tadi, meloncat bangun dan menangis, memegang lengan yang tadi digigit.
Tangisnya bukan hanya karena rasa nyeri, melainkan karena khawatir melihat betapa dari pergelangan tangan yang tergigit itu bercucuran darah yang banyak sekali! Dua orang sutenya juga bingung dan takut, lalu mereka bertiga melarikan diri ke kota, diikuti anjing bulu putih.
Yo Han membereskan pakaiannya. Akan tetapi tidak dapat dibereskan lagi karena pakaian yang tua itu sudah compang-camping, maka dia hanya mengebut-ngebutkan bagian yang kotor oleh tanah dan debu saja. Akan tetapi, tiba-tiba wajahnya berubah agak khawatir ketika tangannya merogoh saku baju dan tidak menemukan beberapa keping uang kecil pemberian gurunya! Kantung itu telah robek dan uangnya entah jatuh ke mana. Dia mulai mencari-cari di sekitar tempat itu namun sia-sia. Karena tidak dapat menemukan uang itu, akhirnya terpaksa dia kembali ke bukit di mana suhunya menanti di kuil tua.
Sin Hong sedang membuat minuman teh ketika melihat munculnya Yo Han. Dia merasa heran karena cepatnya anak itu sudah kembali, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kekagetan melihat anak itu tidak membawa apa-apa, pakaiannya robek-robek dan mukanya penuh benjolan biru, tubuhnya babak-belur. Akan tetapi Sin Hong bersikap tenang-tenang saja ketika bertanya.
“Yo Han, apakah yang telah terjadi denganmu?”
Yo Han duduk di atas lantai, di depan gurunya.
“Maaf, Suhu, uang pemberian Suhu hilang sehingga teecu tidak dapat membeli apa-apa.”
“Hemmm, dan pakaianmu robek-robek, tubuhmu babak-belur.“
“Teecu.... telah berkelahi, Suhu.”
Sin Hong memandang muridnya dengan alis berkerut. Dia merasa yakin bahwa kalau sampai muridnya itu terpaksa berkelahi, sudah pasti muridnya itu tidak berada di pihak yang salah. Akan tetapi dia sudah berulang kali memberi nasihat agar muridnya menjauhkan diri dari perkelahian dan permusuhan, maka kini dia bersikap keren.
“Ceritakan semua!”
“Sebelum tiba di pintu gerbang kota, teecu melihat tiga orang anak sebaya teecu bermain-main di tepi jalan. Tiba-tiba ada anjing menyalak dan akan menggigit kaki teecu. Karena terkejut dan takut digigit, teecu menendang perut anjing itu. Baru ternyata kemudian bahwa anjing itu hanyalah seekor anak anjing dan tiga orang anak itu pemiliknya. Mereka adalah murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka marah. Teecu sudah minta maaf dan teecu mempersilakan mereka menghukum teecu. Mereka bertiga memukul teecu satu kali sampai teecu roboh. Teecu menerima hukuman yang keterlaluan itu dan hendak pergi, akan tetapi mereka melarang. Mereka mengatakan bahwa teecu mempunyai kesalahan lagi, yaitu tidak menghormati mereka sebagai murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka mengharuskan teecu berlutut minta ampun. Teecu tidak sudi dan hendak pergi, lalu mereka menyerang dan memukuli teecu. Terpaksa teecu melawan.”
“Dan kau kalah?”
“Mereka bertiga itu pandai silat, Suhu, sedangkan teecu belum bisa. Teecu dihujani pukulan dan tendangan, sampai roboh puluhan kali, akan tetapi karena teecu tidak merasa bersalah, teecu melawan terus. Akhirnya teecu dapat menghajar mereka, dan mereka melarikan diri sambil menangis.”
Sin Hong terbelalak, memandang tidak percaya.
“Mereka lari sambil menangis? Bagaimana engkau menghajar mereka?”
“Teecu dapat menjambak rambut seorang di antara mereka dan membentur-benturkan di atas tanah, ketika seorang lagi memiting leher teecu, teecu dapat menggigit pergelangan tangannya. Darahnya keluar banyak sekali dan mereka melarikan diri, yang dua orang itu menangis. Akan tetapi, uang itu hilang dan harap Suhu maafkan teecu.”
Sin Hong menahan ketawannya. Dia teringat akan sikap mendiang ayah Yo Han. Ayah Yo Han yang bernama Yo Jin itu sungguh merupakan seorang pria yang amat mengagumkan. Seorang petani dusun sederhana, sedikit pun tidak pandai ilmu silat, akan tetapi memiliki ketabahan melebihi seorang pendekar yang pandai silat! Kalau membela kebenaran, Yo Jin ini tidak berkedip sedikit pun juga biarpun diancam maut! Dan agaknya kenekatan dan ketabahan itu kini menurun kepada Yo Han.
“Anak bodoh! Sudah berapa kali kukatakan bahwa engkau tidak boleh berkelahi?”
Dibentak demikian, Yo Han menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
“Harap Suhu maafkan teecu. Teecu bersalah dan bersedia menerima hukuman!”
Sin Hong tersenyum dalam batinnya. Anak ini memang hebat, pikirnya.
“Sudahlah, Yo Han. Engkau memang hanya membela diri, akan tetapi bela diri seperti itu adalah konyol. Untung engkau tidak dipukuli sampai mati. Kalau tadi engkau melarikan diri kembali ke sini, aku tidak akan menganggap engkau penakut. Orang berani harus memakai perhitungan, kalau hanya berani dan nekat tanpa perhitungan, orang itu akan mati konyol. Kalau orang melarikan diri dari bahaya yang tidak dapat ditentang dengan kepandaiannya, bukan berarti dia pengecut, melainkan dia mempergunakan kecerdikannya. Berani membuta bukanlah gagah namanya, melainkan bodoh dan konyol.”
“Maaf, Suhu. Teecu memang bersalah dan teecu tadi pun bingung dan ragu karena teecu tidak pernah melupakan nasihat Suhu. Akan tetapi, bayangkan saja Suhu, andaikata teecu tidak melawan dan melarikan diri, bukankah teecu akan dianggap takut? Padahal, teecu adalah murid Suhu yang memiliki kesaktian, bukankah kalau teecu lari, berarti teecu membikin malu kepada Suhu?”
Sin Hong tersenyum.
“Membanggakan kepandaian guru atau kepandaian sendiri merupakan kesombongan, Yo Han. Sudahlah, jangan kau kira aku pelit dan tidak suka mengajarkan silat kepadamu. Selama ini, aku menggembleng tubuhmu agar memiliki kekuatan. Kalau engkau tidak memiliki kekuatan, bagaimana mungkin engkau dapat bertahan dipukuli oleh tiga orang yang lebih pandai darimu, sampai puluhan kali jatuh bangun akan tetapi tetap dapat melawan? Apa artinya memiliki kepandaian silat tinggi kalau tubuhnya lemah? Nah, sekarang engkau mengerti mengapa sampai kini aku belum mengajarkan ilmu silat, hanya penggemblengan kekuatan tubuh dan daya tahan, juga dasar langkah-langkah ilmu silat. Mulai hari ini, aku akan mulai mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan.”
Anak itu mengangguk, matanya yang jeli dan tajam memandang wajah gurunya penuh selidik.
“Aku tahu, Suhu. Agaknya Suhu akan bicara mengenai ayah dan ibuku! Apakah mereka telah tewas?”
Bukan main anak ini, pikir Sin Hong. Cerdik bukan main! Dia pun mengangguk.
“Mereka tewas sebagai pendekar-pendekar perkasa, muridku!”
Dan dengan singkat dia menceritakan betapa ayah dan ibu anak itu tewas di tangan para pimpinan pemberontak dan betapa pula pembunuh itu pun kini telah terbasmi habis. Setelah dia selesai bercerita, dia melihat betapa wajah anak itu merah sekali dan kedua matanya mencorong.
“Muridku, seorang pendekar tidak seharusnya hanyut dalam kedukaan, akan tetapi melepaskan perasaan duka melalui tangis tidak dilarang!”
Baru saja Sin Hong berkata demikian, Yo Han menubruk kaki gurunya dan menangis tersedu-sedu, Sin Hong membiarkannya saja, mengelus kepala muridnya sambil tersenyum. Tak lama kemudian, dia membimbing tangan muridnya dan mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata.
Pada suatu hari, Sin Hong dan Yo Han memasuki sebuah kota di Propinsi An-hui. Kota ini adalah kota Lu-jiang. Sebuah telaga kecil berada di dekat kota ini, dan sebuah sungai mengalir menuju ke selatan di mana sungai itu akan menumpahkan airnya dalam Sungai Yang-ce yang besar.
Sin Hong amat tertarik melihat keindahan pemandangan di luar kota ini, di daerah perbukitan yang merupakan bagian terbelakang dari perbukitan lembah Sungai Yang-ce. Apalagi ketika melihat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, sebuah kuil yang berdiri di atas bukit kecil di luar kota Lujiang, dengan sebuah menara kecil tinggi, dia merasa tertarik dan mengambil keputusan untuk berhenti di tempat itu untuk beberapa lamanya.
Kadang-kadang dia membutuhkan tempat yang baik untuk memberi pendidikan dan pelajaran ilmu silat kepada muridnya. Dan selama perantauannya bersama Yo Han, hari, pekan dan bulan lewat dengan cepat sekali dan tahu-tahu kini Yo Han telah berusia kurang lebih sembilan tahun.
Sudah hampir dua tahun mereka merantau dan belum juga dia memperoleh sebuah tempat yang dianggap cukup menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal dan belum juga dia dapat memutuskan pekerjaan apakah yang akan dilakukan. Karena dia bukan orang yang memiliki banyak uang, maka mereka harus berhemat, ada kalanya mereka bekerja membantu di kuil-kuil hanya sekedar mendapatkan makan, dan pakaian mereka pun sudah mulai ditambal-tambal!
Sin Hong membiarkan keadaan mereka seperti itu karena hal ini merupakan gemblengan batin bagi muridnya, dan ternyata Yo Han sama sekali tidak pernah mengeluh, biarpun pakaiannya sudah bertambal-tambal dan kadang-kadang Sin Hong sengaja mengajak muridnya itu makan sehari sekali saja, bahkan pernah mereka berpuasa sampai dua hari dua malam! Melihat sikap Yo Han yang tabah, tak pernah mengeluh, hati Sin Hong merasa semakin suka kepada anak itu.
Mereka memasuki kuil tua dan memilih tempat yang tidak bocor dan tidak begitu kotor, diruangan samping kiri. Yo Han lalu tanpa diperintah membersihkan tempat itu, menyapu dengan daun-daun kering dan mengumpulkan jerami untuk menjadi tilam agar lantai itu tidak terlalu lembab untuk diduduki atau pun ditiduri. Sin Hong mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan menyerahkannya kepada muridnya.
“Yo Han, pergilah ke kota dan beli makanan dan sedikit arak.”
“Baik, Suhu, akan tetapi teecu (murid) hendak membuat api unggun dan memasak air lebih dulu untuk dibuat air teh. Bukankah Suhu sudah merasa haus?”
Sin Hong tersenyum. Tidak rugi mempunyai seorang murid seperti Yo Han. Anak itu selalu memperhatikan keperluannya dan amat berbakti kepadanya. Tidak pernah dia merasa bahwa kehadiran Yo Han dalam kehidupannya menjadi beban. Bahkan sebaliknya, dalam diri anak itu dia menemukan seorang murid, seorang kawan, seorang pembantu, bahkan seorang penghibur karena anak itu pandai sekali memancing kegembiraannya.
Yo Han lincah dan kadang-kadang jenaka dan nakal, akan tetapi tidak pernah membikin marah dan selalu siap melayani gurunya.
“Biarlah aku sendiri yang akan membuat air teh, Yo Han. Sejak kemarin engkau belum makan, tentu sudah lapar. Belilah roti kering dan dendeng, seguci kecil arak dan kalau engkau ingin membeli buah-buahan segar untukmu, belilah. Boleh kau habiskan uang itu membeli makanan.”
Yo Han mengangguk dan mengantungi beberapa keping uang itu, lalu berpamit dan pergilah dia dengan cepat, setengah berlari, menuju ke kota yang temboknya sudah nampak dari situ. Kuil itu berada di atas bukit kecil dan dari situ dapat nampak kota Lu-jiang. Sin Hong mengikuti muridnya dengan pandang matanya sambil tersenyum.
Yo Han tentu saja merasa lapar. Sejak kemarin siang dia belum makan, hanya minum air sumber saja karena suhunya mengajak dia berjalan terus. Dia bukan anak bodoh. Dia tahu bahwa suhunya amat sayang kepadanya dan bahwa suhunya adalah seorang pendekar yang budiman. Kalau suhunya membiarkan dia kurang makan, bahkan kadang-kadang berpuasa, hal itu bukan karena gurunya itu hendak menganiayanya. Suhunya sendiri pun sama-sama tidak makan, dan dia tahu bahwa suhunya menahan lapar hanya untuk kepentingannya! Untuk menggemblengnya! Maka dia merasa semakin berterima kasih kepada gurunya itu, satu-satunya orang di dunia ini yang baik kepadanya, pengganti ayah ibunya, pengganti keluarganya!
Mengingat kebaikan gurunya ini, hatinya menjadi gembira dan dia berloncatan menuju ke kota, membayangkan apa yang akan dibelinya. Dia sama sekali tidak mengingat akan kesukaan dirinya sendiri. Tidak! Dia akan membeli roti kering dan dendeng serta arak, kemudian sisa uang itu akan dibelikan buah jeruk yang manis, kesukaan gurunya!
Ketika berloncatan dan berlarian, dia melihat tiga orang anak yang usianya sebaya atau hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, bermain-main di tepi jalan. Dia tidak memperhatikan karena dia sedang melamun tentang apa yang akan dibelinya untuk menyenangkan hati gurunya dan baru dia terkejut bukan main ketika terdengar suara anjing menyalak dan seekor anjing berbulu putih telah menggigit kakinya!
Yo Han sudah mulai dilatih oleh gurunya, berlatih kuda-kuda, pengerahan tenaga, dan langkah-langkah kaki yang menjadi dasar ilmu silat. Kini ketika dia merasa betapa kakinya menjadi sasaran moncong anjing yang terbuka, dia cepat menarik kaki kiri yang hendak digigit, lalu kaki kanannya menendang ke arah perut anjing yang tidak berapa besar itu.
“Hukkk! Kaing.... kaing....!”
Anjing itu terlempar bergulingan dan menguik-nguik kesakitan. Barulah Yo Han tahu bahwa yang ditendangnya itu hanyalah seekor anak anjing yang bulunya putih dan bagus sekali!
“Keparat kejam! Kau kurang ajar sekali, berani menendang anjing kesayangan kami yang tidak bersalah!”
Yo Han menengok dan ternyata tiga orang anak laki-laki yang tadi bermain-main di tepi jalan, kini sudah berdiri menghadapinya dengan sikap marah sekali. Kiranya anjing itu milik mereka, pikirnya dengan hati menyesal.
“Tapi.... tapi.... ia tadi akan menggigit kakiku....“ Dia membela diri.
“Menggigit? Huh, anak anjing kecil itu hanya mengajakmu main-main. Ia tidak pernah menggigit, kalau menggigit pun hanya main-main, tidak sakit. Akan tetapi dengan kejam engkau telah menendangnya!” kata seorang di antara mereka yang terkecil, yang kini sudah memondong anjing yang kelihatan ketakutan itu sambil mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang.
Yo Han merasa semakin menyesal.
“Maaf.... aku.... aku tadi terkejut sekali, melihat ada anjing hendak menggigit kakiku sambil menyalak, aku tidak melihat bahwa anjing itu hanya anak anjing. Karena kaget aku lalu menendangnya. Maafkanlah aku.”
Dia teringat akan nasihat gurunya bahwa kalau dia melakukan suatu kesalahan, biar terhadap seorang anak kecil sekalipun, dia harus berani menyatakan penyesalannya dan minta maaf.
“Enak saja minta maaf! Apakah kalau sudah minta maaf, anjing kami itu lalu sudah tidak merasa nyeri lagi oleh tendanganmu tadi? Huh, engkau tentu anak jembel yang datang dari luar kota maka tidak mengenal kami dan berani berbuat kurang ajar!” bentak seorang di antara mereka yang paling besar, usianya kurang lebih dua belas tahun sambil bertolak pinggang.
Kini, Yo Han melihat bahwa tiga orang anak itu bersikap gagah dan pakaian mereka ringkas seperti pakaian yang biasa dipergunakan untuk berlatih silat. Kembali Yo Han meminta maaf, sekali ini dia merangkap kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat.
“Saya merasa bersalah dan saya menyesal sekali telah lengah dan terburu nafsu, menendang anjing kecil yang tidak bersalah itu. Harap kalian suka memaafkan saya.” Dia mengatur kata-katanya dengan sopan dan merendahkan diri.
“Orang yang melakukan kesalahan harus dihukum!” bentak orang ke dua yang usianya sebaya dengan Yo Han. “Kau layak dipukul!”
Yo Han menarik napas panjang. Nasib, pikirnya. Akan tetapi, semua nasihat gurunya masih bergema di telinganya, maka dia pun mengangguk dan pasrah.
“Kalau kalian masih merasa penasaran dan sakit hati, nah, tamparlah mukaku sebagai hukuman atas kesalahanku menendang anjing kalian tadi. Silakan!” Dia memanjangkan leher, memberikan mukanya untuk ditampar.
“Bagus kalau kau tahu diri! Memang kami ingin memukulmu!” kata anak terbesar.
“Mari, Sute, kita hajar anak jembel ini sampai dia bertobat!”
Yo Han yang sudah mengambil keputusan untuk menyerahkan mukanya untuk ditampar sebagai penebusan kesalahannya, memejamkan kedua mata dan siap menerima tamparan yang bagaimana keras pun pada mukanya.
“Plakkk! Dukkk! Desss....!”
Tubuh Yo Han terpelanting ke atas tanah dan dia membuka mata, menggoyang-goyang kepalanya yang terasa pening, mengelus dada dan perut. Dia tidak hanya mendapatkan satu kali tamparan, akan tetapi juga dadanya dipukul dan perutnya ditendang! Yo Han merasa penasaran sekali. Mereka itu keterlaluan, pikirnya.
Sekali maju tiga orang menyerangnya dan memukul dengan keras, sungguh tidak sepadan dengan kesalahannya tadi. Akan tetapi karena dia teringat akan kesalahannya, dia pun menahan kemarahannya dan mengusap bibirnya yang berdarah karena ujung bibir itu pecah terkena tamparan yang amat keras, lalu dia bangkit berdiri.
“Aku sudah menerima hukuman. Kesalahanku sudah terbayar lunas sekarang.”
Katanya dan dia hendak melanjutkan perjalanannya ke kota untuk membeli makanan dan minuman seperti yang dipesan gurunya. Akan tetapi tiba-tiba anak terbesar menarik bajunya, di sentakkan ke belakang sehingga Yo Han hampir jatuh.
“Hemmm, kau hendak lari ke mana? Tidak boleh pergi sebelum kami selesai denganmu!”
Sepasang alis Yo Han yang hitam dan tebal itu berkerut dan sepasang mata itu mencorong penuh selidik ketika Yo Han menatap wajah anak laki-laki yang tubuhnya gempal itu.
“Bukankah kalian sudah memukul aku sebagai hukuman atas kesalahanku? Kalian mau apalagi dan mengapa menahan aku?”
“Kesalahanmu ada dua macam. Pertama, engkau menendang anjing kami dan untuk itu memang kami tadi sudah menghukum kamu dengan pukulan. Akan tetapi kesalahan kedua, belum lunas, dan harus dibayar sekarang.”
“Kesalahan yang mana lagi?” Yo Han bertanya penasaran.
“Engkau tidak menghargai kami, tidak menghormati kami. Ketahuilah bahwa kami adalah murid-murid Ngo-heng Bukoan, dan kau bersikap kurang ajar kepada kami. Inilah kesalahanmu ke dua dan untuk ini, engkau harus berlutut dan menyebut kami tuan-tuan muda dan minta maaf atas sikapmu yang kurang ajar itu.”
Wajah Yo Han berubah merah. Suhunya selalu menekankan bahwa dia haruslah rendah hati dan mengalah, akan tetapi tidak boleh rendah diri dan pengecut. Tiga orang anak ini jelas hendak menghinanya dan kalau dia mentaati perintah mereka, berlutut minta maaf, berarti dia rendah diri dan penakut. Mereka itu sewenang-wenang dan sombong, maka tidak perlu dihormati, bahkan layak kalau ditentang.
“Aku tidak mengenal siapa kalian, dan andaikata sudah mengenal sekalipun, aku tidak biasa menjilat orang yang kedudukannya lebih tinggi. Aku tidak merasa bersalah dengan sikapku, maka sudahlah, aku masih banyak urusan dan harus pergi tidak dapat melayani kalian lebih lama lagi!” Berkata demikian Yo Han membalikkan tubuh dan hendak pergi.
“Jembel sombong! Engkau memang harus dipukul sampai setengah mati baru tahu rasa!” bentak anak terbesar.
Yo Han maklum bahwa dirinya diserang. Dia membalik dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi pukulan anak itu cepat dan tepat. Elakannya kurang cepat dan pundaknya kena tonjokan yang membuat tubuhnya terjengkang! Akan tetapi sekali ini, Yo Han sudah marah sekali. Dia meloncat bangun dan melihat seorang di antara mereka sudah menerjangnya lagi, dia pun menyambut dengan tendangan.
“Uukkk!”
Anak itu kena ditendang pahanya dan terpelanting. Dua orang kawannya segera maju mengeroyok dan anak yang tertendang itu pun sudah bangkit lagi dan ikut mengeroyok, Yo Han dikeroyok tiga! Kasihan anak ini. Tiga orang lawannya telah pandai bermain silat, sedangkan dia baru mempelajari langkah-langkah dasar saja.
Melawan mereka satu lawan satu saja belum tentu dia menang, apalagi dikeroyok tiga. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan mereka. Akan tetapi, Yo Han memiliki keberanian luar biasa dan tahan uji benar-benar. Biarpun sudah puluhan kali dia jatuh bangun, tubuhnya memar dan babak belur, pakaiannya robek-robek, dia tidak pernah mengeluarkan keluhan dan setiap kali jatuh, dia bangun kembali, meloncat dan melawan lagi mati-matian!
Hal ini membuat tiga orang lawannya menjadi bingung dan agak gentar. Mereka mengira bahwa dengan beberapa kali dirobohkan saja, anak jembel itu akan berlutut minta ampun. Akan tetapi siapa kira, sudah puluhan kali jatuh, anak itu tetap melawan. Apalagi minta ampun, mengeluh pun tiduk pernah!
Karena gentar, mereka agak lengah dan begitu Yo Han berhasil mencengkeram dan menjambak rambut seorang di antara mereka, dia membanting anak itu, menggumulnya dengan kedua tangan menjambak rambut dan dia membentur-benturkan kepala anak itu di atas tanah! Dia tidak peduli akan pukulan bertubi-tubi yang dilakukan dua orang anak lain pada tubunnya. Dia tetap menunggangi anak yang dijambaknya, dan dibentur-benturkannya kepala itu.
Tiba-tiba anak terbesar menolong sutenya dengan merangkul leher Yo Han dengan lengannya dan menjepitnya. Karena lehernya terjepit dan dia tidak dapat bernapas, Yo Han gelagapan dan terpaksa melepaskan anak yang dijambaknya tadi.
Anak itu sudah mulai menangis dan daun telinganya robek dan berdarah. Yo Han meronta-ronta, lalu berhasil membalikkan kepalanya, lalu dia membuka mulut dan menggigit pergelangan tangan anak yang memitingnya!
Digigitnya sekuat tenaga. Mulutnya merasakan darah yang asin, gigitannya semakin kuat dan anak terbesar itu berteriak-teriak, mengaduh kesakitan. Baru setelah anak ketiga menghantam pelipis Yo Han yang membuatnya pening, gigitannya terlepas dan anak yang digigit pergelangan tangannya tadi, meloncat bangun dan menangis, memegang lengan yang tadi digigit.
Tangisnya bukan hanya karena rasa nyeri, melainkan karena khawatir melihat betapa dari pergelangan tangan yang tergigit itu bercucuran darah yang banyak sekali! Dua orang sutenya juga bingung dan takut, lalu mereka bertiga melarikan diri ke kota, diikuti anjing bulu putih.
Yo Han membereskan pakaiannya. Akan tetapi tidak dapat dibereskan lagi karena pakaian yang tua itu sudah compang-camping, maka dia hanya mengebut-ngebutkan bagian yang kotor oleh tanah dan debu saja. Akan tetapi, tiba-tiba wajahnya berubah agak khawatir ketika tangannya merogoh saku baju dan tidak menemukan beberapa keping uang kecil pemberian gurunya! Kantung itu telah robek dan uangnya entah jatuh ke mana. Dia mulai mencari-cari di sekitar tempat itu namun sia-sia. Karena tidak dapat menemukan uang itu, akhirnya terpaksa dia kembali ke bukit di mana suhunya menanti di kuil tua.
Sin Hong sedang membuat minuman teh ketika melihat munculnya Yo Han. Dia merasa heran karena cepatnya anak itu sudah kembali, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kekagetan melihat anak itu tidak membawa apa-apa, pakaiannya robek-robek dan mukanya penuh benjolan biru, tubuhnya babak-belur. Akan tetapi Sin Hong bersikap tenang-tenang saja ketika bertanya.
“Yo Han, apakah yang telah terjadi denganmu?”
Yo Han duduk di atas lantai, di depan gurunya.
“Maaf, Suhu, uang pemberian Suhu hilang sehingga teecu tidak dapat membeli apa-apa.”
“Hemmm, dan pakaianmu robek-robek, tubuhmu babak-belur.“
“Teecu.... telah berkelahi, Suhu.”
Sin Hong memandang muridnya dengan alis berkerut. Dia merasa yakin bahwa kalau sampai muridnya itu terpaksa berkelahi, sudah pasti muridnya itu tidak berada di pihak yang salah. Akan tetapi dia sudah berulang kali memberi nasihat agar muridnya menjauhkan diri dari perkelahian dan permusuhan, maka kini dia bersikap keren.
“Ceritakan semua!”
“Sebelum tiba di pintu gerbang kota, teecu melihat tiga orang anak sebaya teecu bermain-main di tepi jalan. Tiba-tiba ada anjing menyalak dan akan menggigit kaki teecu. Karena terkejut dan takut digigit, teecu menendang perut anjing itu. Baru ternyata kemudian bahwa anjing itu hanyalah seekor anak anjing dan tiga orang anak itu pemiliknya. Mereka adalah murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka marah. Teecu sudah minta maaf dan teecu mempersilakan mereka menghukum teecu. Mereka bertiga memukul teecu satu kali sampai teecu roboh. Teecu menerima hukuman yang keterlaluan itu dan hendak pergi, akan tetapi mereka melarang. Mereka mengatakan bahwa teecu mempunyai kesalahan lagi, yaitu tidak menghormati mereka sebagai murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka mengharuskan teecu berlutut minta ampun. Teecu tidak sudi dan hendak pergi, lalu mereka menyerang dan memukuli teecu. Terpaksa teecu melawan.”
“Dan kau kalah?”
“Mereka bertiga itu pandai silat, Suhu, sedangkan teecu belum bisa. Teecu dihujani pukulan dan tendangan, sampai roboh puluhan kali, akan tetapi karena teecu tidak merasa bersalah, teecu melawan terus. Akhirnya teecu dapat menghajar mereka, dan mereka melarikan diri sambil menangis.”
Sin Hong terbelalak, memandang tidak percaya.
“Mereka lari sambil menangis? Bagaimana engkau menghajar mereka?”
“Teecu dapat menjambak rambut seorang di antara mereka dan membentur-benturkan di atas tanah, ketika seorang lagi memiting leher teecu, teecu dapat menggigit pergelangan tangannya. Darahnya keluar banyak sekali dan mereka melarikan diri, yang dua orang itu menangis. Akan tetapi, uang itu hilang dan harap Suhu maafkan teecu.”
Sin Hong menahan ketawannya. Dia teringat akan sikap mendiang ayah Yo Han. Ayah Yo Han yang bernama Yo Jin itu sungguh merupakan seorang pria yang amat mengagumkan. Seorang petani dusun sederhana, sedikit pun tidak pandai ilmu silat, akan tetapi memiliki ketabahan melebihi seorang pendekar yang pandai silat! Kalau membela kebenaran, Yo Jin ini tidak berkedip sedikit pun juga biarpun diancam maut! Dan agaknya kenekatan dan ketabahan itu kini menurun kepada Yo Han.
“Anak bodoh! Sudah berapa kali kukatakan bahwa engkau tidak boleh berkelahi?”
Dibentak demikian, Yo Han menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
“Harap Suhu maafkan teecu. Teecu bersalah dan bersedia menerima hukuman!”
Sin Hong tersenyum dalam batinnya. Anak ini memang hebat, pikirnya.
“Sudahlah, Yo Han. Engkau memang hanya membela diri, akan tetapi bela diri seperti itu adalah konyol. Untung engkau tidak dipukuli sampai mati. Kalau tadi engkau melarikan diri kembali ke sini, aku tidak akan menganggap engkau penakut. Orang berani harus memakai perhitungan, kalau hanya berani dan nekat tanpa perhitungan, orang itu akan mati konyol. Kalau orang melarikan diri dari bahaya yang tidak dapat ditentang dengan kepandaiannya, bukan berarti dia pengecut, melainkan dia mempergunakan kecerdikannya. Berani membuta bukanlah gagah namanya, melainkan bodoh dan konyol.”
“Maaf, Suhu. Teecu memang bersalah dan teecu tadi pun bingung dan ragu karena teecu tidak pernah melupakan nasihat Suhu. Akan tetapi, bayangkan saja Suhu, andaikata teecu tidak melawan dan melarikan diri, bukankah teecu akan dianggap takut? Padahal, teecu adalah murid Suhu yang memiliki kesaktian, bukankah kalau teecu lari, berarti teecu membikin malu kepada Suhu?”
Sin Hong tersenyum.
“Membanggakan kepandaian guru atau kepandaian sendiri merupakan kesombongan, Yo Han. Sudahlah, jangan kau kira aku pelit dan tidak suka mengajarkan silat kepadamu. Selama ini, aku menggembleng tubuhmu agar memiliki kekuatan. Kalau engkau tidak memiliki kekuatan, bagaimana mungkin engkau dapat bertahan dipukuli oleh tiga orang yang lebih pandai darimu, sampai puluhan kali jatuh bangun akan tetapi tetap dapat melawan? Apa artinya memiliki kepandaian silat tinggi kalau tubuhnya lemah? Nah, sekarang engkau mengerti mengapa sampai kini aku belum mengajarkan ilmu silat, hanya penggemblengan kekuatan tubuh dan daya tahan, juga dasar langkah-langkah ilmu silat. Mulai hari ini, aku akan mulai mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan.”