“Bibi yang gagah dan cantik. Namaku Tan Sian Li dan orang memberi julukan kepadaku Si Bangau Merah!”
“Si Bangau Merah? Puteri Pendekar Bangau Putih? Heh-heh, sungguh tepat sekali, Sian Li, siapakah orang-orang yang lain ini? Perkenalkan mereka kepadaku.”
“Aku sendiri pun belum sempat berkenalan dengan yang lain,” kata Sim Houw kepada isterinya. “Pertama-tama saya harap Toanio suka memperkenalkan diri. Agaknya Toanio mengenal keadaan keluarga kami, akan tetapi kami tidak tahu siapa Toanio.”
“Kukira Paman dan Bibi tentu mengenal Bibi Gak. Suaminya adalah mendiang Beng-san Sian-eng. Dan ini adalah puteranya Gak Ciang Hun.”
“Aih, kiranya isterinya sepasang Locianpwe kembar, Sepasang Garuda dari Beng-san?” seru Sim Houw, “Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat.”
Juga Can Bi Lan memberi hormat kepada Nyonya Gak yang cepat membalas penghormatan itu, diturut oleh puteranya.
“Dan siapakah pemuda ini? Sepintas lalu tadi aku melihat betapa hebatnya dia ketika melawan pengeroyokan lawan yang lihai. Aku yakin dia ini pun bukan orang sembarangan!” kata Sim Houw sambil memandang kepada Yo Han yag sejak tadi diam saja.
Akan tetapi diam-diam Yo Han mengamati wajah Can Bi Lan. Pernah dia mendengar cerita mendiang ibunya ketika dia masih kecil tentang seorang Sumoi dari ibunya yang berjuluk Siauw Kwi (Setan Cilik). Mendiang ibunya sendiri pernah manjadi seorang tokoh sesat berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), dan Sumoi dari ibunya itu kalau tidak salah ingat bernama Can Bi Lan. Wanita ini adalah Sumoi dari mendiang ibunya!
Sian Li yang merasa bangga dan suka pamer segera memperkenalkan Yo Han
“Pernahkah Paman dan Bibi dalam perantauan kalian mendengar nama besar Sin-ciang Tai-hiap di daerah ini? Nah, inilah orangnya. Namanya Yo Han!”
“Tentu saja kami pernah mendengarnya!” kata Can Bi Lan kagum. “Seorang pendekar yang tidak pernah membunuh, seorang pendekar budiman yang menaklukkan orang-orang jahat dan menyadarkan mereka. Masih begini muda? Sungguh tak kusangka!”
“Sin-ciang Tai-hiap, engkau masih begini muda sudah membuat nama besar. Tentu gurumu seorang yang sakti dan terkenal sekali!” kata Sim Houw.
“Dan ayah ibumu tentu juga tokoh-tokoh dunia persilatan!” sambung Can Bi Lan.
Yo Han memberi hormat kepada suami isteri itu dan kemudian berkata kepada Can Bi Lan,
“Bibi Guru, teecu Yo Han menghaturkan hormat. Mendiang Ibu adalah Ciong Siu Kwi.”
“Aihhh....!” Bi Lan berseru dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu.
“Suci....? Aku mendengar bahwa Suci menikah dengan seorang pemuda sederhana she Yo.... dan mereka tewas sebagai orang-orang gagah di tangan para pemberontak. Kiranya engkau.... ah, engkau keponakanku....!” Bi Lan maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, penuh rasa kagum dan juga bangga. “Sukurlah, akhirnya Suci meninggalkan seorang keturunan yang begini gagah perkasa dan berjiwa pendekar! Aku ikut merasa bangga, Yo Han!”
Rombongan itu lalu duduk di atas akar dan batu, bercakap-cakap dengan gembira, saling menceritakan pengalaman masing-masing. Karena mereka adalah orang-orang segolongan, bahkan diantara mereka masih ada hubungan, baik kekeluargaan maupun perguruan, maka tentu saja suasana menjadi akrab sekali.
Nyonya Gak atau Souw Hui Lin menceritakan betapa kedua orang suaminya, Si kembar Gak jit Kong dan Gak Goat Kong yang dikenal dengan julukan Beng-san Sian-eng, telah meninggal dunia dan ia hidup berdua dengan putera tunggalnya yaitu Gak Ciang Hun yang kini sudah berusia dua puluh delapan tahun.
“Pertemuan dengan kalian semua membuat aku terkenang kembali ke kampung halaman,” kata Nyonya Gak sambil menghela mapas panjang. “Semenjak kematian suamiku, aku mengajak Ciang Hun merantau, karena aku merasa hidupku kosong. Ternyata aku hanya mengejar bayangan belaka. Kelahiran dan kematian merupakan kodrat Tuhan yang tidak dapat dimengerti oleh kita. Kita hanya menerima dan menjalani saja, tidak kuasa mengatur, maka kematian merupakan hal wajar yang tidak perlu disedihkan terus menerus. Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san.”
“Si Bangau Merah? Puteri Pendekar Bangau Putih? Heh-heh, sungguh tepat sekali, Sian Li, siapakah orang-orang yang lain ini? Perkenalkan mereka kepadaku.”
“Aku sendiri pun belum sempat berkenalan dengan yang lain,” kata Sim Houw kepada isterinya. “Pertama-tama saya harap Toanio suka memperkenalkan diri. Agaknya Toanio mengenal keadaan keluarga kami, akan tetapi kami tidak tahu siapa Toanio.”
“Kukira Paman dan Bibi tentu mengenal Bibi Gak. Suaminya adalah mendiang Beng-san Sian-eng. Dan ini adalah puteranya Gak Ciang Hun.”
“Aih, kiranya isterinya sepasang Locianpwe kembar, Sepasang Garuda dari Beng-san?” seru Sim Houw, “Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat.”
Juga Can Bi Lan memberi hormat kepada Nyonya Gak yang cepat membalas penghormatan itu, diturut oleh puteranya.
“Dan siapakah pemuda ini? Sepintas lalu tadi aku melihat betapa hebatnya dia ketika melawan pengeroyokan lawan yang lihai. Aku yakin dia ini pun bukan orang sembarangan!” kata Sim Houw sambil memandang kepada Yo Han yag sejak tadi diam saja.
Akan tetapi diam-diam Yo Han mengamati wajah Can Bi Lan. Pernah dia mendengar cerita mendiang ibunya ketika dia masih kecil tentang seorang Sumoi dari ibunya yang berjuluk Siauw Kwi (Setan Cilik). Mendiang ibunya sendiri pernah manjadi seorang tokoh sesat berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), dan Sumoi dari ibunya itu kalau tidak salah ingat bernama Can Bi Lan. Wanita ini adalah Sumoi dari mendiang ibunya!
Sian Li yang merasa bangga dan suka pamer segera memperkenalkan Yo Han
“Pernahkah Paman dan Bibi dalam perantauan kalian mendengar nama besar Sin-ciang Tai-hiap di daerah ini? Nah, inilah orangnya. Namanya Yo Han!”
“Tentu saja kami pernah mendengarnya!” kata Can Bi Lan kagum. “Seorang pendekar yang tidak pernah membunuh, seorang pendekar budiman yang menaklukkan orang-orang jahat dan menyadarkan mereka. Masih begini muda? Sungguh tak kusangka!”
“Sin-ciang Tai-hiap, engkau masih begini muda sudah membuat nama besar. Tentu gurumu seorang yang sakti dan terkenal sekali!” kata Sim Houw.
“Dan ayah ibumu tentu juga tokoh-tokoh dunia persilatan!” sambung Can Bi Lan.
Yo Han memberi hormat kepada suami isteri itu dan kemudian berkata kepada Can Bi Lan,
“Bibi Guru, teecu Yo Han menghaturkan hormat. Mendiang Ibu adalah Ciong Siu Kwi.”
“Aihhh....!” Bi Lan berseru dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu.
“Suci....? Aku mendengar bahwa Suci menikah dengan seorang pemuda sederhana she Yo.... dan mereka tewas sebagai orang-orang gagah di tangan para pemberontak. Kiranya engkau.... ah, engkau keponakanku....!” Bi Lan maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, penuh rasa kagum dan juga bangga. “Sukurlah, akhirnya Suci meninggalkan seorang keturunan yang begini gagah perkasa dan berjiwa pendekar! Aku ikut merasa bangga, Yo Han!”
Rombongan itu lalu duduk di atas akar dan batu, bercakap-cakap dengan gembira, saling menceritakan pengalaman masing-masing. Karena mereka adalah orang-orang segolongan, bahkan diantara mereka masih ada hubungan, baik kekeluargaan maupun perguruan, maka tentu saja suasana menjadi akrab sekali.
Nyonya Gak atau Souw Hui Lin menceritakan betapa kedua orang suaminya, Si kembar Gak jit Kong dan Gak Goat Kong yang dikenal dengan julukan Beng-san Sian-eng, telah meninggal dunia dan ia hidup berdua dengan putera tunggalnya yaitu Gak Ciang Hun yang kini sudah berusia dua puluh delapan tahun.
“Pertemuan dengan kalian semua membuat aku terkenang kembali ke kampung halaman,” kata Nyonya Gak sambil menghela mapas panjang. “Semenjak kematian suamiku, aku mengajak Ciang Hun merantau, karena aku merasa hidupku kosong. Ternyata aku hanya mengejar bayangan belaka. Kelahiran dan kematian merupakan kodrat Tuhan yang tidak dapat dimengerti oleh kita. Kita hanya menerima dan menjalani saja, tidak kuasa mengatur, maka kematian merupakan hal wajar yang tidak perlu disedihkan terus menerus. Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san.”
Gak Ciang Hun memandang kepada ibunya dengan mata bersinar dan wajah berseri.
Selama ini dia menghibur hati ibunya yang menjadi berduka sekali karena kematian kedua orang ayahnya, namun betapa pun dia membujuk, ibunya tidak mau kembali ke Beng-san yang katanya hanya akan membuat ia berduka dan teringat kepada ayah-ayahnya.
Akan tetapi sekarang, ibunya sudah menyadari dan bahkan ingin kembali. Tentu saja Ciang Hun menjadi girang bukan main. Kalau ibunya sudah mau kembali ke Beng-san, tentu dia dapat memikirkan untuk berumah tangga, tidak seperti sekarang ini, selama hampir dua tahun hanya merantau ke sana sini tanpa tempat tinggal yang tetap.
“Bagaimana dengan engkau, Sian Li?” tanya Can Bi Lan kepada gadis itu.
Sian Li bercerita tentang pengalamannya, betapa ia bersama mendiang Sian Lun yang menjadi suhengnya meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi berkunjung ke Bhutan bersama Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Betapa kemudian ia dan suhengnya bertemu dengan Lulung Lama sehingga mengalami banyak hal yang hebat.
“Dan dimana sekarang suhengmu itu?” tanya Sim Houw.
Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang kepada Yo Han. Berat rasa hatinya untuk menceritakan penyelewengan yang dilakukan suhengnya itu, apalagi mengingat bahwa dalam saat terakhir hidupnya, Sian Lun telah menyadari kesesatannya dan bahkan mengorbankan nyawa untuknya. Melihat gadis itu memandang kepadanya seperti orang minta bantuan, Yo Han lalu menjawab untuknya.
“Sayang sekali, dalam pertentangan menghadapi persekutuan pemberontak itu, Liem Sian Lun telah tewas di tangan para pimpinan penjahat yang lihai.”
Gak Ciang Hun dan ibunya menunduk. Mereka dapat menduga bahwa suheng dari Si Bangau Merah itu telah menyeleweng, namun mereka tidak ingin mencampuri urusan itu dan diam saja.
Sim Houw menghela napas panjang.
“Memang demikianlah resiko menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Kalau pihak penjahat lebih kuat, mungkin saja seorang pendekar akan mengorbankan nyawanya, mati muda. Akan tetapi kematian seperti itu tidaklah sia-sia, karena dia mati dalam membela kebenaran, dia seorang pahlawan kemanusiaan.”
“Lalu sekarang engkau hendak pergi kemana Sian Li?” tanya Can Bi Lan yang kelihatan amat sayang kepada gadis berpakaian merah itu.
“Aku ingin segera pulang ke rumah Paman Suma Ceng Liong, Bibi, karena sudah lama meninggalkan dusun Hong-cun. Ayah dan Ibu tentu akan merasa khawatir kalau mereka datang menjemputku dan aku belum pulang. Dan Han-ko akan ikut denganku karena dia pun sudah merasa rindu kepada Ayah Ibuku.”
Mereka semua memandang kepada Yo Han dan pemuda ini mengangguk membenarkan.
”Kasihan kalau adik Sian Li harus pulang seorang diri, padahal ketika pergi ia bersama mendiang suhengnya. Selain itu, saya ingin bertemu dengan ayah ibunya, yaitu guru-guru saya yang pertama.”
“Paman dan Bibi sendiri hendak pergi ke manakah?”
Sian Li bertanya kepada suami isteri itu. Dan mereka semua merasa heran karena pertanyaan itu agaknya membuat suami isteri itu seperti termenung, bahkan ada bayangan kesedihan meliputi wajah mereka.
Akan tetapi Can Bi Lan memiliki dasar watak yang lincah dan gembira, maka ia tidak membiarkan wajahnya muram terlalu lama. Segera ia tersenyum lagi dan setelah menghela napas panjang, ia lalu berkata,
“Biarlah kami ceritakan keadaan kami karena kalian bukan orang luar, melainkan masih terhitung anggauta keluarga sendiri. Mungkin kalian sudah mendengar tentang nama kami, akan tetapi tentu merasa heran mengapa selama ini kami berdua tidak pernah memperlihatkan diri, bahkan seperti mengasingkan diri dari dunia persilatan. Sesunguhnya ada musibah besar menimpa keluarga kami. Terjadinya kurang lebih dua puluh tahun lalu. Ketika itu, anak tunggal kami, seorang anak perempuan yang baru berusia tiga tahun, telah lenyap dari rumah kami.”
“Ahhh....!” Mereka yang mendengarkan cerita itu berseru kaget. “Apakah sampai sekarang belum juga dapat ditemukan, Bibi?” tanya Sian Li.
Can Bi Lan menggeleng kepala sambil menghela napas.
“Adik Bi Lan, bagaimana mungkin peristiwa seperti itu dapat menimpa suami isteri yang sakti seperti kalian? Apa yang telah terjadi dengan puterimu?” tanya Nyonya Gak dengan terkejut, penasaran dan heran. Sukar membayangkan ada orang berani menculik puteri dari suami isteri Pendekar Suling Naga!
Bi Lan kembali menghela napas.
“Ketika itu, anak kami Sim Hui Eng yang baru berusia tiga tahun diasuh oleh seorang pelayan di taman belakang rumah dan tiba-tiba kami mendengar jeritan pelayan kami di taman belakang. Kami cepat lari ke sana dan mendapatkan pelayan kami telah tewas tanpa luka. Setelah kami memeriksa dengan teliti, ternyata ia telah tewas oleh tepukan pada ubun-ubun kepalanya yang merusak isi kepala tanpa menimbulkan luka, dan anak kami lenyap tanpa bekas. Di atas tanah terdapat tulisan yang mungkin sudah ditulis lebih dahulu, yang menyatakan bahwa kalau kami melakukan pengejaran, anak kami akan dibunuhnya seperti orang itu membunuh pelayan kami.”
Bi Lan menghentikan ceritanya dan memejamkan mata, agaknya masih ngeri membayangkan apa yang terjadi pada diri anaknya.
“Terkutuk! Bibi, siapakah pelaku yang jahat itu?” Gak Ciang Hun berseru marah.
Kini Sim Houw yang menjawab, suaranya tetap tenang walaupun terdengar jelas bahwa pendekar ini pun menahan kesedihan hatinya.
“Kami sampai sekarang belum dapat menduga siapa pelakunya. Kami berdua dengan sangat hati-hati melakukan pencarian, takut kalau ancamannya itu dilaksanakan penculik itu. Namun, ternyata orang itu memang lihai bukan main karena sampai sekarang, dua puluh tahun telah lewat dan kami berdua belum juga berhasil menemukan Hui Eng. Kami tidak tahu pria atau wanita yang menculik anak kami itu, apalagi namanya.
Semua masih gelap bagi kami. Namun kami menduga bahwa perbuatan ini tentu merupakan balas dendam. Di waktu muda kami banyak menentang para tokoh sesat dan tentu mereka itu ada diantaranya yang mendendam kepada kami. Akan tetapi karena banyak sekali tokoh sesat yang pernah kami tentang, kami tidak tahu benar siapa penculik itu. Kami sudah menyelidiki di seluruh penjuru, sampai ke tempat ini, namun tidak pernah berhasil.”
Suami isteri itu menunduk dan jelas bahwa mereka menderita tekanan batin yang amat hebat.
“Luar biasa!” Sian Li berseru. ”Kenapa sama benar dengan yang telah terjadi padaku? Paman dan Bibi, ketika aku masih kecil, berusia empat tahun, aku pun diculik orang dari taman! Akan tetapi untung ada Han-ko ini, kalau tidak, mungkin nasibku sama dengan puteri Paman dan Bibi, sampai sekarang tidak dapat bertemu lagi dengan orang tuaku!”
Sim Houw dan Bi Lan memandang kaget dan heran.
“Siapa yang menculikmu ketika itu?”
Tanya mereka hampir berbareng karena tentu saja mereka merasa tertarik mendengar terjadinya peristiwa yang serupa dengan apa yang terjadi pada diri anak mereka.
“Yang menculik aku adalah Ang I Moli Tee Kui Cu, puteri dari mendiang Tee Kok dari Yunan, ketua Ang I Mo-pang. Akan tetapi Ang I Moli juga menjadi tokoh Pek-lian-kauw dan sekarang ia telah mati dihukum pemerintah karena bersekutu dengan pemberontak. Nah, ketika aku diculik, Han-koko masih tinggal bersama orang tuaku dan dia inilah yang membebaskan aku dari tangan Ang I Moli dengan menggantikan aku dengan dirinya sendiri.”
“Aih, Li-moi. Ketika engkau diculik, engkau sedang bermain-main denganku, maka aku merasa bertanggung jawab,” kata Yo Han ketika semua mata memandang kepadanya dengan kagum.
Cerita Sian Li itu membuat suami isteri itu saling pandang dan berpikir.
“Hemmm, kami kira memang ada persamaannya. Tentu penculik itu juga mendendam kepada orang tuamu,” kata Sim Houw. “Akan tetapi, kami tidak berhasil menemukan kembali anak kami, padahal kini ia tentu telah berusia dua puluh tiga tahun dan kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengannya.”
“Yang membuat hatiku terasa hancur kalau membayangkan adalah keadaannya yang tidak menentu itu. Kami akan merasa lebih bersedih kalau ia sampai dibawa sesat oleh penculiknya, lebih sedih daripada kalau andaikata ia sudah terbunuh,” kata Bi Lan dan nyonya ini nampak berduka sekali.
Yo Han yang sejak tadi mendengarkan merasa iba sekali.
“Maaf, Paman dan Bibi, peristiwa itu telah berlalu selama dua puluh tahun. Kini puteri Jiwi (Kalian) tentu sudah merupakan seorang gadis dewasa berusia dua puluh tiga tahun. Namanya pun mungkin sudah diganti nama baru oleh penculiknya. Bagaimana Paman dan Bibi akan dapat mengenalnya andaikata bertemu dengannya, apalagi kalau ia menggunakan nama baru?”
Bi Lan memandang kepada pemuda itu.
“Kami pun sudah berpikir demikian. Nama memang bisa saja diganti, akan tetapi ada dua buah tanda pada tubuh anak kami itu yang tidak mungkin dipunyai oleh anak lain. Di pundak kirinya terdapat sebuah tahi lalat hitam yang jelas dan di telapak kaki kanannya terdapat tanda noda merah sebesar ibu jari kaki. Dengan adanya dua tanda itu, kami tentu akan dapat mengenal anak kami.”
Tanpa mengelurkan sepatah pun kata Yo Han mencatat semua itu di dalam hatinya. Dia akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menemukan Sim Hui Eng untuk suami isteri yang sudah menderita duka selama dua puluh tahun itu.
Tak lama kemudian, mereka terpecah menjadi tiga rombongan. Sim Houw dan Can Bi Lan meninggalkan tempat itu, untuk kembali ke Lok-yang, tempat tinggal mereka, karena sudah terlalu lama mereka meningalkan rumah dalam perantauan mereka mencari anak mereka dan juga untuk menghibur diri.
Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga pergi kembali ke Beng-san di mana mereka masih mempunyai sebuah rumah peninggalan beng-san Siang-eng yang makamnya juga berada di puncak gunung itu. Adapun Sian Li diantar Yo Han melakukan perjalanan pulang ke dusun Hong-cun di luar kota Cin-an.
Selama ini dia menghibur hati ibunya yang menjadi berduka sekali karena kematian kedua orang ayahnya, namun betapa pun dia membujuk, ibunya tidak mau kembali ke Beng-san yang katanya hanya akan membuat ia berduka dan teringat kepada ayah-ayahnya.
Akan tetapi sekarang, ibunya sudah menyadari dan bahkan ingin kembali. Tentu saja Ciang Hun menjadi girang bukan main. Kalau ibunya sudah mau kembali ke Beng-san, tentu dia dapat memikirkan untuk berumah tangga, tidak seperti sekarang ini, selama hampir dua tahun hanya merantau ke sana sini tanpa tempat tinggal yang tetap.
“Bagaimana dengan engkau, Sian Li?” tanya Can Bi Lan kepada gadis itu.
Sian Li bercerita tentang pengalamannya, betapa ia bersama mendiang Sian Lun yang menjadi suhengnya meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi berkunjung ke Bhutan bersama Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Betapa kemudian ia dan suhengnya bertemu dengan Lulung Lama sehingga mengalami banyak hal yang hebat.
“Dan dimana sekarang suhengmu itu?” tanya Sim Houw.
Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang kepada Yo Han. Berat rasa hatinya untuk menceritakan penyelewengan yang dilakukan suhengnya itu, apalagi mengingat bahwa dalam saat terakhir hidupnya, Sian Lun telah menyadari kesesatannya dan bahkan mengorbankan nyawa untuknya. Melihat gadis itu memandang kepadanya seperti orang minta bantuan, Yo Han lalu menjawab untuknya.
“Sayang sekali, dalam pertentangan menghadapi persekutuan pemberontak itu, Liem Sian Lun telah tewas di tangan para pimpinan penjahat yang lihai.”
Gak Ciang Hun dan ibunya menunduk. Mereka dapat menduga bahwa suheng dari Si Bangau Merah itu telah menyeleweng, namun mereka tidak ingin mencampuri urusan itu dan diam saja.
Sim Houw menghela napas panjang.
“Memang demikianlah resiko menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Kalau pihak penjahat lebih kuat, mungkin saja seorang pendekar akan mengorbankan nyawanya, mati muda. Akan tetapi kematian seperti itu tidaklah sia-sia, karena dia mati dalam membela kebenaran, dia seorang pahlawan kemanusiaan.”
“Lalu sekarang engkau hendak pergi kemana Sian Li?” tanya Can Bi Lan yang kelihatan amat sayang kepada gadis berpakaian merah itu.
“Aku ingin segera pulang ke rumah Paman Suma Ceng Liong, Bibi, karena sudah lama meninggalkan dusun Hong-cun. Ayah dan Ibu tentu akan merasa khawatir kalau mereka datang menjemputku dan aku belum pulang. Dan Han-ko akan ikut denganku karena dia pun sudah merasa rindu kepada Ayah Ibuku.”
Mereka semua memandang kepada Yo Han dan pemuda ini mengangguk membenarkan.
”Kasihan kalau adik Sian Li harus pulang seorang diri, padahal ketika pergi ia bersama mendiang suhengnya. Selain itu, saya ingin bertemu dengan ayah ibunya, yaitu guru-guru saya yang pertama.”
“Paman dan Bibi sendiri hendak pergi ke manakah?”
Sian Li bertanya kepada suami isteri itu. Dan mereka semua merasa heran karena pertanyaan itu agaknya membuat suami isteri itu seperti termenung, bahkan ada bayangan kesedihan meliputi wajah mereka.
Akan tetapi Can Bi Lan memiliki dasar watak yang lincah dan gembira, maka ia tidak membiarkan wajahnya muram terlalu lama. Segera ia tersenyum lagi dan setelah menghela napas panjang, ia lalu berkata,
“Biarlah kami ceritakan keadaan kami karena kalian bukan orang luar, melainkan masih terhitung anggauta keluarga sendiri. Mungkin kalian sudah mendengar tentang nama kami, akan tetapi tentu merasa heran mengapa selama ini kami berdua tidak pernah memperlihatkan diri, bahkan seperti mengasingkan diri dari dunia persilatan. Sesunguhnya ada musibah besar menimpa keluarga kami. Terjadinya kurang lebih dua puluh tahun lalu. Ketika itu, anak tunggal kami, seorang anak perempuan yang baru berusia tiga tahun, telah lenyap dari rumah kami.”
“Ahhh....!” Mereka yang mendengarkan cerita itu berseru kaget. “Apakah sampai sekarang belum juga dapat ditemukan, Bibi?” tanya Sian Li.
Can Bi Lan menggeleng kepala sambil menghela napas.
“Adik Bi Lan, bagaimana mungkin peristiwa seperti itu dapat menimpa suami isteri yang sakti seperti kalian? Apa yang telah terjadi dengan puterimu?” tanya Nyonya Gak dengan terkejut, penasaran dan heran. Sukar membayangkan ada orang berani menculik puteri dari suami isteri Pendekar Suling Naga!
Bi Lan kembali menghela napas.
“Ketika itu, anak kami Sim Hui Eng yang baru berusia tiga tahun diasuh oleh seorang pelayan di taman belakang rumah dan tiba-tiba kami mendengar jeritan pelayan kami di taman belakang. Kami cepat lari ke sana dan mendapatkan pelayan kami telah tewas tanpa luka. Setelah kami memeriksa dengan teliti, ternyata ia telah tewas oleh tepukan pada ubun-ubun kepalanya yang merusak isi kepala tanpa menimbulkan luka, dan anak kami lenyap tanpa bekas. Di atas tanah terdapat tulisan yang mungkin sudah ditulis lebih dahulu, yang menyatakan bahwa kalau kami melakukan pengejaran, anak kami akan dibunuhnya seperti orang itu membunuh pelayan kami.”
Bi Lan menghentikan ceritanya dan memejamkan mata, agaknya masih ngeri membayangkan apa yang terjadi pada diri anaknya.
“Terkutuk! Bibi, siapakah pelaku yang jahat itu?” Gak Ciang Hun berseru marah.
Kini Sim Houw yang menjawab, suaranya tetap tenang walaupun terdengar jelas bahwa pendekar ini pun menahan kesedihan hatinya.
“Kami sampai sekarang belum dapat menduga siapa pelakunya. Kami berdua dengan sangat hati-hati melakukan pencarian, takut kalau ancamannya itu dilaksanakan penculik itu. Namun, ternyata orang itu memang lihai bukan main karena sampai sekarang, dua puluh tahun telah lewat dan kami berdua belum juga berhasil menemukan Hui Eng. Kami tidak tahu pria atau wanita yang menculik anak kami itu, apalagi namanya.
Semua masih gelap bagi kami. Namun kami menduga bahwa perbuatan ini tentu merupakan balas dendam. Di waktu muda kami banyak menentang para tokoh sesat dan tentu mereka itu ada diantaranya yang mendendam kepada kami. Akan tetapi karena banyak sekali tokoh sesat yang pernah kami tentang, kami tidak tahu benar siapa penculik itu. Kami sudah menyelidiki di seluruh penjuru, sampai ke tempat ini, namun tidak pernah berhasil.”
Suami isteri itu menunduk dan jelas bahwa mereka menderita tekanan batin yang amat hebat.
“Luar biasa!” Sian Li berseru. ”Kenapa sama benar dengan yang telah terjadi padaku? Paman dan Bibi, ketika aku masih kecil, berusia empat tahun, aku pun diculik orang dari taman! Akan tetapi untung ada Han-ko ini, kalau tidak, mungkin nasibku sama dengan puteri Paman dan Bibi, sampai sekarang tidak dapat bertemu lagi dengan orang tuaku!”
Sim Houw dan Bi Lan memandang kaget dan heran.
“Siapa yang menculikmu ketika itu?”
Tanya mereka hampir berbareng karena tentu saja mereka merasa tertarik mendengar terjadinya peristiwa yang serupa dengan apa yang terjadi pada diri anak mereka.
“Yang menculik aku adalah Ang I Moli Tee Kui Cu, puteri dari mendiang Tee Kok dari Yunan, ketua Ang I Mo-pang. Akan tetapi Ang I Moli juga menjadi tokoh Pek-lian-kauw dan sekarang ia telah mati dihukum pemerintah karena bersekutu dengan pemberontak. Nah, ketika aku diculik, Han-koko masih tinggal bersama orang tuaku dan dia inilah yang membebaskan aku dari tangan Ang I Moli dengan menggantikan aku dengan dirinya sendiri.”
“Aih, Li-moi. Ketika engkau diculik, engkau sedang bermain-main denganku, maka aku merasa bertanggung jawab,” kata Yo Han ketika semua mata memandang kepadanya dengan kagum.
Cerita Sian Li itu membuat suami isteri itu saling pandang dan berpikir.
“Hemmm, kami kira memang ada persamaannya. Tentu penculik itu juga mendendam kepada orang tuamu,” kata Sim Houw. “Akan tetapi, kami tidak berhasil menemukan kembali anak kami, padahal kini ia tentu telah berusia dua puluh tiga tahun dan kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengannya.”
“Yang membuat hatiku terasa hancur kalau membayangkan adalah keadaannya yang tidak menentu itu. Kami akan merasa lebih bersedih kalau ia sampai dibawa sesat oleh penculiknya, lebih sedih daripada kalau andaikata ia sudah terbunuh,” kata Bi Lan dan nyonya ini nampak berduka sekali.
Yo Han yang sejak tadi mendengarkan merasa iba sekali.
“Maaf, Paman dan Bibi, peristiwa itu telah berlalu selama dua puluh tahun. Kini puteri Jiwi (Kalian) tentu sudah merupakan seorang gadis dewasa berusia dua puluh tiga tahun. Namanya pun mungkin sudah diganti nama baru oleh penculiknya. Bagaimana Paman dan Bibi akan dapat mengenalnya andaikata bertemu dengannya, apalagi kalau ia menggunakan nama baru?”
Bi Lan memandang kepada pemuda itu.
“Kami pun sudah berpikir demikian. Nama memang bisa saja diganti, akan tetapi ada dua buah tanda pada tubuh anak kami itu yang tidak mungkin dipunyai oleh anak lain. Di pundak kirinya terdapat sebuah tahi lalat hitam yang jelas dan di telapak kaki kanannya terdapat tanda noda merah sebesar ibu jari kaki. Dengan adanya dua tanda itu, kami tentu akan dapat mengenal anak kami.”
Tanpa mengelurkan sepatah pun kata Yo Han mencatat semua itu di dalam hatinya. Dia akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menemukan Sim Hui Eng untuk suami isteri yang sudah menderita duka selama dua puluh tahun itu.
Tak lama kemudian, mereka terpecah menjadi tiga rombongan. Sim Houw dan Can Bi Lan meninggalkan tempat itu, untuk kembali ke Lok-yang, tempat tinggal mereka, karena sudah terlalu lama mereka meningalkan rumah dalam perantauan mereka mencari anak mereka dan juga untuk menghibur diri.
Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga pergi kembali ke Beng-san di mana mereka masih mempunyai sebuah rumah peninggalan beng-san Siang-eng yang makamnya juga berada di puncak gunung itu. Adapun Sian Li diantar Yo Han melakukan perjalanan pulang ke dusun Hong-cun di luar kota Cin-an.
**** 059 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================