Ads

Selasa, 05 April 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 058

Yo Han maklum bahwa dia diserang oleh banyak orang pandai, maka dia mengerahkan gin-kangnya dan tubuhnya berkelebat bagaikan seekor burung walet cepatnya, berloncatan dan mengelak dari hujan senjata yang menyambar dari segenap penjuru itu.

Dia harus memberi waktu kepada Sian Li untuk dapat lolos terlebih dahulu sebelum dia sendiri melarikan diri. Sebaliknya dia memancing datangnya semua tokoh di tempat itu agar pelarian Sian Li dapat berjalan lancar. Sian Lun telah tewas dan tidak perlu dipikirkan lagi. Sambil berloncatan mengelak, kaki tangannya bergerak dengan tamparan dan tendangan. Beberapa orang pengeroyok terpelanting. Usahanya memang berhasil. Semua tokoh yang dirinya memiliki kepandaian yang tinggi saja yang hanya mengepung dengan senjata di tangan, tanpa berani lancang ikut mengeroyok.

Akan tetapi Yo Han tetap merasa khawatir karena belum juga nampak Lulung Lama dan Pek-Sian Sam-Li ikut mengeroyok. Dia khawatir kalau-kalau empat orang yang paling lihai itu menjadi penghalang bagi lolosnya Sian Li yang tadi dibantu oleh Cu Ki Bok.

Kekhawatiran Yo Han itu memang terbukti benar, Cu Ki Bok, berhasil membawa Sian Li lari sampai ke dekat pagar bambu runcing dan tidak pernah ada penjaga yang berani menghalanginya. Mereka berhenti di bawah pagar bambu runcing.

“Nah, engkau loncatlah ke atas dan cepat tinggalkan tempat ini, Sian Li,” kata Cu Ki Bok, suaranya agak gemetar.

Sian Li memegang tangan pemuda itu. Ia dapat mendengar getaran suara itu dan ia pun terharu.

“Akan tetapi bagaimana dengan engkau sendiri, Ki Bok? Mereka akan tahu bahwa engkau telah membebaskan aku, dan tentu engkau akan celaka.”

Ki Bok tersenyum dan menggeleng kepala.
”Aku cukup penting bagi perjuangan Suhu dan kawan-kawan. Kesalahanku itu kecil saja karena engkau bukanlah orang Mancu, bukan musuh penting. Sudahlah, aku dapat menjaga diriku sendiri, Sian Li kau pergilah.!”

Sian Li melepaskan pegangan tangannya, melangkah ke arah pagar bambu, akan tetapi terhenti lagi dan menengok.

“Ki Bok....” ia meragu.

“Ada apa lagi, Sian Li. Cepat-cepatlah, jangan sampai mereka datang mengejar.”

“Aku hanya ingin minta maaf padamu.”

“Minta maaf? Untuk apa?” Ki Bok memandang heran.

“Engkau begitu mencintaiku dan sudah kau buktikan dengan pertolongan ini, akan tetapi aku.... aku tidak dapat membalas cintamu. Maafkan aku, Ki Bok.”

Cu Ki Bok tertawa, namun suara ketawanya sumbang,
“Sudah nasibku Sian Li, cinta tak dapat bertepuk sebelah tangan. Engkau tidak bersalah. Cinta tidak dapat dipaksakan, hanya aku yang tidak tahu diri. Nah, pergilah dan jangan pikirkan aku lagi.”

Tiba-tiba mereka melihat beberapa bayangan berkelebat dan Ki Bok terbelalak ketika melihat bahwa gurunya, Lulung Lama, ketiga Pek-Lian Sam-li dan belasan orang pembantu mereka telah mengepung tempat itu!

“Omitohud, tidak kusangka bahwa muridku yang paling kupercaya, sekarang bahkan mengkhianatiku! Sungguh seperti memelihara anak harimau, ketika kecil dan lemah dirawat dan dipelihara, setelah besar dan kuat hendak menubruk pemeliharanya sendiri. Engkau murid murtad!”

“Suhu, teecu hendak membebaskan Nona Tan Sian Li karena ia tidak bersalah, dan karena teecu tidak tega melihat ia celaka. Suhu, ia bukan musuh kita, dan membebaskannya tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan perjuangan kita. Bagaimana Suhu dapat mengatakan bahwa teecu murtad dan pengkhianat? Suhu, kalau Suhu menghendaki agar perjuangan kita mendapat dukungan para pendekar di dunia kang-ouw, sebaiknya Suhu membebaskan Nona ini.”

Terdengar suara tawa merdu, disambung suara Ji Kim, orang ke tiga Pek-lian Sam-li yang cantik manis dan lincah.

“Hi-hi-hik…., apakah Losuhu masih belum mengerti? Muridmu itu telah tergila-gila kepada gadis ini, dan orang yang tergila-gila seperti dia itu mau berbuat apa saja untuk orang yang dicintainya. Kalau perlu melawan guru sendiri demi membela wanita yang dicintainya, heh-heh!”

“Benar sekali, Losuhu. Muridmu ini tidak ada harganya sama sekali, bahkan berbahaya karena sewaktu-waktu dia dapat mengkhianati kita,” kata Ji Kui.

Cu Ki Bok marah sekali dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka tiga orang wanita itu.

“Pek-Lian Sam-li, kalian ini hanya tamu akan tetapi tidak tahu diri! Aku tahu mengapa kalian membenciku, karena aku tidak sudi melayani rayuan kalian, bukan? Kalian sungguh menjemukan, kalian perempuan-perempuan hina yang berkedok pejuang!”

“Ki Bok tutup mulutmu!” Lulung Lama membentak.

Sian Li yang sejak tadi mendengarkan saja, kini melangkah maju dan ia pun berseru nyaring.

“Ucapan Ki Bok benar! Tiga orang wanita jalang ini tak tahu malu! Ki bok seribu kali lebih berharga daripada mereka ini, Losuhu.”

“Hi-hik, engkau sudah mau mampus masih banyak lagak!” bentak Ji kui, dan bersama adiknya ia sudah menyerang ke arah Sian Li.

Gadis berpakaian merah ini, bergerak cepat, mengelak dan biarpun ia bertangan kosong, ia membalas dengan serangan yang dahsyat.

“Ki Bok, pinceng tidak mungkin dapat membiarkan engkau kelak mengkhianatiku. Nah, terimalah hukumanku ini!’

Pendeta Lama itu menerjang kedepan dan menghantam dengan tangan kanan ke arah kepala murid sendiri.






“Suhu....!”

Ki Bok berseru dan cepat melempar tubuhnya ke belakang. Biarpun dia sudah mengelak cepat, namun angin pukulan itu masih menyambar dahsyat dan tubuhnya terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter lebih.

“Ki Bok....! Losuhu engkau tidak boleh membunuhnya!”

Sian Li berteriak, akan tetapi tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu sudah menyerangnya dari tiga penjuru dan biarpun ia dapat menangkis dan mengelak, tetap saja ia terhuyung ke belakang.

Seorang penjaga yang memegang pedang menyambutnya dengann tusukan pedangnya, Sian Li adalah seorang gadis gemblengan. Biarpun ia kurang pengalaman dan ilmu-ilmunya belum masak benar, namun ia telah mewarisi ilmu-ilmu hebat. Ketika ada angin tusukan pedang menyambar tubuh bagian iga dari samping, ia masih dapat menekuk tubuhnya sehingga pedang lewat dekat iganya, dan kakinya menendang, pergelangan tangan yang memegang pedang itu terkena sambaran ujung kakinya. Tangannya juga cepat merenggut dan pedang itu sudah berpindah ke tangannya! Begitu memegang pedang, senjata menyambar dan penyerangnya tadi pun roboh oleh pedangnya sendiri.

Dengan pedang di tangan, Sian Li mengamuk, memainkan Liong-siauw Kiam-sut dengan pedang rampasan itu. Namun Pek-lian Sam-li yang juga sudah menggunakan pedang, mengepung dan megeroyoknya, membuat Sian Li tak mungkin lagi dapat mendekati Ki Bok lagi.

Pemuda itu bangkit berdiri setelah tadi terguling-guling, hanya untuk melihat suhunya sudah berdiri di depannya, kini dengan sepasang senjata gelang roda besar di kedua tangan, matanya mencorong marah, penuh nafsu membunuh.

“Suhu, ampunkan teecu.”

Cu Ki Bok meratap. Dia tidak takut mati konyol di tangan gurunya sendiri, hanya untuk kesalahan sekecil itu. Kalau diingat betapa sejak kecil dia diperlakukan dengan baik oleh Lulung Ma, sungguh penasaran kalau sekarang terancam maut di tangan orang yang selama ini dianggap sebagai pengganti orang tuanya, yang menyayang dan disayangnya.

Agaknya Lulung Lama juga tidak tega untuk membunuh pemuda yang selama ini menjadi tumpuan harapan dan yang disayangnya, selama ini setia kepadanya itu, maka dia nampak ragu-ragu.

“Losuhu, ingat, dia agaknya pun berbaik dengan Sin-ciang Tai-hiap. Dia berbahaya, seperti musuh dalam selimut!” teriak Ji Kim yang merasa kecewa dan sakit hati karena selamanya baru sekali ia dan encinya ditolak pria, yaitu ketika mereka gagal merayu Ki Bok.

Mendengar teriakan ini bangkit kembali kemarahan Lulung Lama. Memang muridnya ini yang menerima Yo Han.

“Mampuslah....!” bentaknya dan dia pun menyerang dengan sepasang rodanya.

Ki Bok terkejut bukan main, berusaha untuk mengelak. Dia tetap tidak mau melawan gurunya dan hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari cengkeraman maut. Namun, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan gurunya, maka sebuah tendangan kaki Lulung Lama mencium lutut kanannya dan dia pun terpelanting.

“Sian Li, larilah.... cepat....!”

Dia masih sempat berteriak sebelum sebuah roda di tangan kiri Lulung Lama menghantam kepalanya dan pemuda itu tewas seketika. Lulung Lama berdiri seperti patung, memandang ke arah pemuda yang kepalanya retak dan tewas itu, dan baru dia merasa menyesal bukan main.

“Ki Bok.... omitohud.... apa yang kulakukan ini? Ki Bok....” dia mengeluh.

Seolah menjawab kata-katanya, terdengar sorak-sorai riuh sekali dan nampak obor-obor dinyalakan di luar pagar bambu kemudian terdengar suara hiruk pikuk ketika pagar bambu yang mengelilingi perkampungan itu dijebol orang dari luar. Perkampungan itu diserbu orang dari luar.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Lulung Lama ketika pagar itu jebol, dia melihat banyak pendeta Lama diantara para penyerbu yang terdiri dari pasukan Tibet!

“Celaka.!”

Serunya, maklum bahwa sarangnya diserbu oleh pasukan pemerintah Tibet bersama anak buah Dalai Lama. Dia pun cepat lari ke bangunan induk untuk memimpin anak buahnya mengadakan perlawanan.

Akan tetapi, dengan kaget Lulung Lama melihat bahwa para penyerbu bukan hanya pasukan Tibet dan para pendeta Lama saja yang menyerbu, melainkan juga puluhan orang Kang-ouw. Orang-orang kang-ouw itu kini membantu Yo Han yang dikeroyok dan yang tadi mengamuk.

Maklumlah Lulung Lama bahwa dia harus melawan mati-matian, maka sambil mengeluarkan teriakan menantang, dia sudah menyerbu ke arah Yo Han yang kini dia ketahui adalah Sin-ciang Tai-hiap sendiri. Yo Han menyambut senjata roda di tangan Lulung Lama dan terjadilah perkelahian hebat diantara mereka.

Sementara itu, ketika melihat serbuan pasukan Tibet dan para pendeta Lama, juga orang-orang kang-ouw, Sian Li menjadi girang sekali dan ia tidak jadi melarikan diri. Bahkan ia lalu menggunakan suling emasnya yang tadi ia terima kembali dari Cu Ki Bok untuk membantu para penyerbu, mengamuk dan mencari-cari Pangeran Gulam Sing yang amat dibencinya untuk membalas kematian suhengnya.

Gadis ini menerima sebuah suling berselaput emas dari Kam Bi Eng, nenek yang menggemblengnya dan biarpun ia juga pandai memainkan pedang namun ia lebih suka kalau memegang suling ini sebagai senjatanya.

Akhirnya Sian Li menemukan orang yang dicari-carinya. Ternyata Pangeran Gulam Sing yang tinggi besar brewok dan gagah perkasa itu, dengan senjata yang mengerikan, yaitu golok melengkung yang amat tajam, sedang bertanding melawan Gak Ciang Hun dan ibunya.

Pangeran Nepal itu memang tangguh, dan terutama sekali dia memiliki tenaga raksasa yang membuat Ciang Hun dan ibunya kewalahan. Setiap kali senjata ibu dan anak itu bertemu dengan golok melengkung, tentu pedang mereka terpental.

Hanya setelah Ciang Hun mengerahkan tenaga Sin-kangnya, barulah dia berani beradu senjata, akan tetapi ibunya tidak berani mengadu senjata secara langsung, hanya mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengeroyok.

“Pangeran jahanam!”

Sian Li berseru dan sekali lompat, tubuhnya menjadi bayangan merah dan suling emasnya mengeluarkan bunyi melengking ketika ia menotok ke arah leher pangeran yang tinggi besar itu.

“Ha-ha-ha, Si Bangau Merah datang. Bagus, mari kita main-main sebentar, nona manis!” kata pangeran itu dalam bahasa yang patah-patah.

Goloknya digerakkan dengan pengerahan tenaga, dihantamkan ke arah suling emas yang menusuk lehernya, dengan maksud agar senjata di tangan nona pakaian merah itu terpental dan lepas.

Akan tetapi Sian Li bukan seorang gadis bodoh. Ia sudah tahu bahwa lawannya ini memiliki tenaga yang amat besar, maka ia menarik kembali sulingnya dan secepat kilat, sulingnya yang lepas dari tangkisan lawan itu sudah menotok ke arah ulu hati lawan!

Pada saat yang bersamaan, Gak Ciang Hun dan ibunya, Souw Hui Lian atau Nyonya Gak, telah menyerang pula dengan pedang mereka dari kanan kiri. Melihat dirinya diserang ole tiga orang lawan yang tidak boleh dipandang ringan, Pangeran Gulam Sing mengeluarkan bentakan nyaring, bentakan yang mengandung kekuatan sihir dan tiga orang lawan itu tergetar seperti kehilangan tenaga dan di lain saat, kaki Pangeran Nepal itu sudah merobohkan Nyonya Gak dengan tedangannya yang mengenai paha.

Goloknya menyambar ke arah Gak Ciang Hun yang masih sempat melempar diri ke belakang sehingga serangan itu luput, dan tangan kiri pangeran Nepal itu mencengkeram ke arah kepala Sian Li!

Gadis ini terkejut. Tadi ketika Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan, ia pun tergetar dan seperti kehilangan tenaga sehingga tusukan sulingnya gagal, dan kini tiba-tiba lengan yang panjang itu telah terjulur cepat dan tangan yang besar itu sudah mencengkeram ke arah kepalanya! Sian Li cepat miringkan kepala mengelak, dan tangan itu terus menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kirinya dan terdengar pangeran itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, Nona merah, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku....eh....!”

Dia terkejut karena tiba-tiba saja cengkeraman tangannya itu tertolak ke belakang oleh tenaga dahsyat dari sinar emas yang menyambar ke arah tangannya itu. Dia cepat meloncat ke belakang dan ketika dia mengangkat muka, dia melihat bahwa di situ telah berdiri seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, berpakaian sederhana.

Melihat pria ini sama sekali tidak mengesankan, akan tetapi sepasang matanya mencorong penuh wibawa. Pria itu memandang kepada Sian Li yang tadi terkejut dan juga lega bahwa ada orang yang menyelamatkannya dan terdengar dia berkata,

“Nona, biarlah aku yang menghadapi orang Nepal ini.”

Pangeran Gulam Sing yang menjadi marah tidak memberi kesempatan kepada lawan yang tangguh itu untuk banyak bicara. Dengan geram dia sudah mengeluarkan bentakan nyaring disertai kekuatan sihirnya sambil menggerakkan golok melengkung untuk menyerang.

Akan tetapi pria itu bersikap tenang saja, agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakan itu dan dia sudah mencabut kembali sebatang suling dari ikat pinggangnya. Suling itu terbuat dari kayu, akan tetapi mengkilap sepeti emas, dan ketika dia gerakkan, maka terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup orang. Dan golok melengkung itu tertolak keras ketika bertemu suling, membuat Pangeran Gulam Sing menjadi terkejut. Dia pun mengamuk dan menyerang membabi buta, dilayani oleh pria yang sederhana itu.

Sian Li, Nyonya Gak,dan Ciang Hun memandang kagum. Terutama sekali Sian Li yang kini melongo dan terheran-heran. Ia dapat melihat dengan jelas bahwa suling itu dimainkan oleh Si Pria tiada bedanya sama sekali dengan permainannya sendiri, itulah Liong-siauw-kiam-sut (ilmu Pedang Suling Naga)! Dimainkan dengan perlahan saja, akan tetapi anehnya, golok melengkung itu sama sekali tidak mampu banyak berlagak lagi setelah berhadapan dengan permainan suling pria itu!

Sian Li teringat akan neneknya, yaitu Kam Bi Eng, istri kakek Suma Ceng Liong. Seperti itulah kalau Nenek Kam Bi Eng memainkan sulingnya! Dan biarpun ia sendiri telah digembleng nenek itu dan telah menguasai Liong-siauw-kiam-sut, namun tentu saja tingkatnya masih jauh. Mungkin ia telah menguasai gerakannya, namun “isinya” belum matang sehingga tenaga yang dikandung dalam gerakannya masih belum begitu kuat.

Akan tetapi, Sian Li tak sempat banyak melamun karena seperti juga Ciang Hun dan ibunya, ia sudah harus berkelahi lagi dengan anak buah Pangeran Gulam Sing, yaitu orang-orang Nepal yang juga terpaksa harus menggerakkan senjata menyambut para penyerbu. Terjadilah pertempuran hebat di malam itu.

Pria yang baru tiba itu memang hebat. Pangeran Gulam Sing yang gagah perkasa itu pun tidak mampu menandinginya. Belum juga lima puluh jurus, setelah Pangeran Nepal itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, dia sudah terdesak dan terhimpit oleh gulungan sinar suling di tangan orang itu.

Maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawan ini, tiba-tiba Pangeran Gulam Sing mengeluarkan teriakan nyaring dan kakinya yang panjang dan besar itu melakukan tendangan-tendangannya yang ampuh sekali. Kedua kaki itu bertubi-tubi melakukan tendangan, menyambar dari bawah ke atas, dari kanan kiri dan mendatangkan angin yang menyambar-nyambar.

Namun, lawannya agaknya tidak menjadi terkejut melihat ilmu tendangan yang amat dahsyat itu. Tubuhnya mencelat ke atas dan setelah berjungkir balik, dia pun meluncur turun dan didahului oleh sinar sulingnya, menyambut tendangan kaki Gulam Sing!

“Tukk! Tukk!”

Gulam Sing terjengkang, kedua kakinya roboh. Saat itu dipergunakan oleh Sian Li yang sejak tadi mengamati jalannya perkelahian itu sambil menjaga diri dari serangan anak buah Gulam Sing, untuk meloncat ke dekat Gulam Sing. Sulingnya menyambar dan sebelum Pangeran Nepal itu sempat mengelak, suling di tangan Sian Li telah menotok tengkuknya dari samping dan pangeran Nepal itu pun terkulai.

“Awaaas....!”

Pria itu cepat menyambar lengan Sian Li dan ditariknya. Untung dia bertindak cepat karena saat itu, dalam keadaan sekarat Gulam Sing masih mampu melontarkan goloknya ke arah Sian Li. Demikian kuat dan cepatnya lemparan golok itu sehingga andaikata Sian Li tidak ditarik orang tadi, tentu dara ini akan menjadi korban sambaran golok. Melihat robohnya Gulam Sing. Anak buahnya menjadi panik dan mereka lari cerai berai, disambut oleh pasukan Tibet.

“Gak-twako dan Bibi, mari kita bantu Han-ko!” kata Sian Li dan ia pun menghadapi pria itu sambil memberi hormat. ”Paman yang gagah perkasa, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau Paman suka, kami harap Paman suka membantu kami sampai selesai!”

Pria itu tersenyum.
“Aku hanya kebetulan lewat dan mendengar keributan disini, aku datang dan melihat engkau tadi terancam, Nona. Mari, aku ikut di belakang kalian.”

Sian Li, Ciang Hun, Nyonya Gak dan diikuti pria itu lalu mencari Yo Han. Sementara itu, Yo Han yang tadi bertanding melawan Lulung Lama, tidak menggunakan waktu terlalu lama. Biarpun Lulung Lama dibantu oleh Pek-lian Sam-li namun Yo Han dapat mendesak mereka dengan gerakan yang aneh. Dia menggunakan ilmu Bu-kek-hoat-keng dan begitu empat orang lawannya menyerangnya, mereka itu bahkan terjengkang sendiri. Makin hebat mereka menyerang, semakin kuat pula mereka tertolak dan terbanting!

Memang ilmu yang diwarisi oleh Yo Han dari mendiang Kekek Ciu Lam Hok ini merupakan ilmu yang luar biasa. Ilmu ini dapat menghimpun tenaga sakti yang mengandung daya tolak luar biasa sehingga setiap orang penyerang apalagi kalau hatinya dibakar kebencian dan kemarahan, tentu akan terpukul sendiri oleh serangannya yang membalik.

Pada saat itu, para pendeta Lama telah berdatangan dan melihat Lulung Lama terjengkang berkali-kali setiap menyerang Yo Han, para pendeta Lama itu lalu menubruk dan meringkus pemberontak itu. Akan tetapi terhadap Pek-lian Sam-li, baru pendeta Lama dan pasukan tidak memberi ampun.

Tiga orang wanita ini dikeroyok dan di bawah hujan senjata, mereka pun tewas. Demikian pula dua orang pembantu Gulam Sing, yaitu Badhu dan Sagha, juga para tosu Pek-lian-lauw yang menjadi kawan-kawan Pek-lian Sam-li semua tewas.

Ketika Yo Han melihat Sian Li, Ciang Hun dan Nyonya Gak, juga seorang pria sederhana datang hendak membantunya, dia yang sedang meneriaki para orang kang-ouw untuk menghentikan pertempuran, segera berkata kepada mereka.

“Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita tidak perlu mencampuri pertempuran antara pasukan Tibet yang menangkapi para pemberontak.”

Orang-orang kang-ouw itu lalu meninggalkan tempat itu, lari cerai berai setelah mendengar perintah dari Sin-ciang Tai-hiap yang mereka taati. Adapun Sian Li, Ciang Hun dan ibunya, juga pria itu, segera mengikuti Yo Han melarikan diri keluar dari kancah pertempuran itu dan mereka menuruni bukit itu. Setelah mereka tiba di kaki bukit, malam mulai berganti pagi dan mereka berhenti di tempat sunyi untuk istirahat.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Li untuk sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada pria yang telah menolongnya.

“Paman, terima kasih atas bantuan Paman. Kalau tidak ada Paman, mungkin aku telah menjadi korban golok Pangeran Gulam Sing yang lihai.” Ia mengamati wajah pria itu dengan kagum dan heran sekali, ”permainan senjata suling dari Paman itu sedemikian hebatnya, padahal gerakannya serupa benar dengan permainanku. Kalau boleh aku mengetahui, siapa nama Paman yang terhormat?”

Tiba-tiba Nyonya Gak berkata,
“Sian Li, apakah engkau tidak pernah mendengar tentang pendekar sakti yang berjuluk Suling Naga? Aku berani bertaruh bahwa kita semua kini berhadapan dengan pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw. Benarkah dugaanku itu, saudara yang gagah perkasa?”

Mendengar itu, pria yang sederhana itu lalu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada Souw Hui Lian atau Nyonya Gak.

“Toanio mempunyai penglihatan tajam dan pandangan luas. Saya yang rendah memang bernama Sim Houw. Kalau boleh saya mengenal, siapakah Toanio dan siapa pula orang-orang muda yang gagah perkasa ini?”

Mendengar bahwa pria itu bernama Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga, Sian Li mengeluarkan seruan girang dan cepat ia lalu memberi hormat.

“Aihhh, kiranya Locianpwe yang nama besarnya sudah sering kudengar dari Bibi Nenek Kam Bi Eng!”

Kini Sim Houw tersenyum lebar.
“Aha, kiranya engkau menguasai Liong-siauw-kiam-sut dari Sumoi Kam Bi Eng! Nona baju merah, siapakah engkau dan siapa pula orang tuamu?” Sim Houw memandang dengan wajah berseri karena hatinya girang bukan main.

“Locianpwe, kita semua berada diantara orang sendiri. Mungkin Locianpwe tidak mengenal Ayahku. Ayahku bernama Tan Sin Hong.!”

“Ayahnya berjuluk Pek-ho-eng (Pendekar Bangau Putih), murid Istana Gurun Pasir!” kata nyonya Gak gembira.

“Hebat!” Sim Houw berseru girang, “Kiranya ayahmu pendekar yang namanya terkenal itu. Sungguh girang sekali aku dapat bertemu denganmu, Nona baju merah!”

“Locianpwe, namaku Sian Li. Tan Sian Li. Adapun ibuku bernama Kao Hong Li.”

“She Kao....? Apa hubungannya dengan bekas Panglima Kao Cin Liong di Pao-teng?”

“Dia adalah Kakekku!” Sian Li berseru gembira.

Sim Houw tertawa bergelak, bukan main girang rasa hatinya. Tiba-tiba dia mengambil sulingnya dan meniup suling kayu berbentuk naga itu dan terdengarlah suara suling yang melengking-lengking, merdu dan halus, akan tetapi mengandung getaran yang amat kuat sehingga menimbulkan gelombang suara yang mencapai tempat jauh. Dan tiba-tiba terdengar suara suling yang lebih lembut dan melengking tinggi, walaupun tidak sekuat suara suling yang ditiup oleh Sim Houw, namun cukup jelas terdengar dari tempat itu.

Suara suling yang menjawab itu dengan cepat terdengar semakin dekat dan tak lama kemudian, muncullah seorang wanita cantik. Wanita itu berusia empat puluh tahun, namun nampak manis dan jauh lebih muda, matanya membayangkan kelincahan dan kejenakaan, juga kecerdikan.

“Aih, aku sudah mulai tidak sabar menunggumu dan disini ternyata terdapat banyak orang. Siapakah mereka ini?” tanya wanita itu sambil memandang kepada semua orang satu demi satu.

“Lihatlah, Nona baju merah ini adalah puteri dari Pendekar Bangau Putih, dan ibunya adalah puteri bekas panglima Cin Liong. Juga, ia telah menguasai Liong-siauw-kiam-sut yang dipelajarinya dari Sumoi Kam Bi Eng. Hebat tidak?” kata Sim Houw kepada wanita itu yang bukan lain adalah isterinya yang bernama Can Bi Lan.

Can Bi Lan yang berwatak jenaka dan gembira itu segera maju dan memegang lengan Sian Li.

“Aih, betapa gagahnya kau! Siapa namamu, Nona merah?”

Gembira sekali hati Sian Li bertemu dengan suami isteri yang namanya pernah ia dengar dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu.