Sore itu, seperti yang mereka lakukan selama beberapa hari ini, Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, duduk di serambi luar dan bercakap-cakap, sambil kadang-kadang mereka melayangkan pandang mata ke jalan di depan rumah mereka. Mereka setiap hari menanti dengan hati mengharap-harap kembalinya murid-murid mereka, yaitu Liem Sian Lun dan Tan Sian Li.
“Kenapa mereka belum juga pulang?” gumam Suma Ceng Liong. “Dalam waktu sebulan lagi, tahun baru tiba dan tentu Sin Hong dan Hong Li akan datang berkunjung untuk menjemput puteri mereka. Sungguh tidak enak kalau mereka datang, Sian Li belum juga pulang.”
“Kenapa mesti merasa tidak enak?” bantah isterinya. “Sian Li bukan pergi sendiri, melainkan diajak oleh Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Pula, ada Sian Lun yang menemaninya agar ia tidak pulang seorang diri. Andaikata mereka terlambat dan ayah ibu Sian Li yang datang lebih dahulu, mereka tentu akan dapat mengerti.”
“Engkau benar. Sin Hong dan Hong Li adalah orang-orang bijaksana. Buktinya biarpun mereka berdua sendiri memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak menolak permintaan kita untuk mendidik anak mereka selama lima tahun. Bahkan sebelum anak dan mantu kita datang, aku akan minta bantuan mereka untuk menyusun daftar nama dari mereka yang hendak kuundang dalam perayaan ulang tahun ke enam puluh yang akan kupergunakan untuk suatu pertemuan besar berikut keluarga mereka semua.”
Isterinya memandang dengan wajah berseri.
“Jadikah rencanamu untuk mengumpulkan demikian banyaknya keluarga dari tiga perguruan besar itu?”
“Kenapa tidak? Kalau tidak dikumpulkan agar mereka saling berkenalan, tentu anak cucu mereka tidak akan saling mengenal dan hubungan baik antara ketiga keluarga besar itu akan terputus. Sayang sekali, bukan? Sejak dahulu, nama besar dari keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Gunung Naga telah dikenal diseluruh dunia persilatan. Kini keturunan mereka cerai berai, padahal diantara ketiga perguruan besar itu telah terjalin hubungan kekeluargaan yang amat erat.”
Isterinya mengangguk setuju. Mereka sendiri adalah gabungan dari dua keluarga besar.
Suma Ceng Liong adalah cucu dalam dari Pendekar Pulau Es, putera dari Pendekar Siluman Kecil. Sedangan Kam Bi Eng adalah puteri dari Kam Hong Si Pendekar Suling Emas dan Bu Ci Sian yang terhitung murid ayah mertuanya pula.
“Pasti akan menggembirakan sekali dan merupakan peristiwa besar kalau cita-citamu itu sampai terlaksana, “ katanya.
“Kenapa tidak? Tentu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng, sudah menerima suratku dan tak lama lagi mereka tentu akan tiba di sini. Hubungan kekeluargaan harus diperbaiki, tidak seperti sekarang ini. Bertahun-tahun di antara keluarga tidak sempat bertemu karena terpisah jauh. Ingat saja kematian ayahmu. Sampai-sampai kita sendiri tidak mengetahui! Orang tentu akan menganggap aku seorang mantu yang sama sekali tidak berbakti, ayah mertua meninggal sampai dikebumikan tidak tahu sama sekali.
Isterinya menyentuh lengan suaminya.
“Sudahlah, tidak perlu lagi disesalkan hal itu. Ibu sendiri mengatakan bahwa memang sengaja Ibu tidak mengabarkan tentang kematian Ayah, sesuai dengan pesan terakhir dari Ayah. Dan aku mengenal watak Ayah. Dahulu Ayah seringkali bicara tentang kematian sebagai perjalanan pulang kampung! Ayah tidak setuju kalau orang meninggal ditangisi dan dikabungi, yang dikatakan semua itu hanya upacara pura-pura dan palsu belaka. Sepatutnya keluarga bersukur kalau ada orang yang dikasihinya “pulang kampung” karena terbebas dari siksa dunia. Yah, Ayah memang aneh dan kukira setiap orang berilmu tinggi di dalam ini mempunyai keanehan masing-masing yang tidak mereka sadari bahwa mereka berbeda dengan orang-orang awam.”
“Engkau benar, isteriku. Aku tidak menyesali peristiwa itu, hanya alangkah baiknya kalau sebelum mati, kita selalu memiliki hubungan yang akrab dengan keluarga besar kita.”
Percakapan mereka terhenti seketika karena pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda menuju ke rumah itu. Ketika nampak dua ekor yang ditunggangi Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, suami itu cepat bangkit berdiri dengan wajah berseri. Mereka memang sedang menanti-nanti kedatangan mereka. Setiap tahun sekali, sejak Sian Li berada di situ, Sin Hong dan Hong Li pasti datang berkunjung, yaitu menjelang hari raya sin-cia (tahun baru), dan kunjungan mereka sekali ini adalah untuk menjemput kembali puteri mereka yag sudah tiba waktunya untuk pulang setelah berada di bawah bimbingan kakek dan nenek itu selama lima tahun.
Tan Sin Hong yang kini sudah berusia empat puluh tahun itu masih nampak gagah dengan pakaian yang sederhana berwarna serba putih, yang membuat dia dijuluki Pendekar Bangau Putih di dunia persilatan. Sedangkan isterinya, Kao Hong Li yang berusia tiga puluh sembilan tahun itu masih nampak muda, cantik, lincah dan gagah. Dengan sigapnya mereka berdua meloncat turun dari atas punggung kuda, dan dua orang pelayan yang mengenal kewajiban dan mengenal pula dua orang tamu itu sudah berlari-lari menyambut dan mereka segera mengurus dua ekor kuda itu.
Sin Hong dan Hong Li cepat maju memberi hormat kepada tuan dan nyonya rumah, yang disambut dengan ramah dan gembira.
“Aha, kami memang sudah menanti-nanti kalian!” kata Suma Ceng Liong sambil membalas penghormatan mereka. “Mari silakan duduk di dalam.”
“Harap kalian jangan kecewa, Sian Li tidak turut menyambut karena ia masih belum pulang,” kata Kam Bi Eng sambil tersenyum melihat suami isteri itu melihat-lihat ke sekeliling, mencari-cari.
“Bibi, ia pergi kemanakah?” tanya Hong Li heran.
“Duduklah dan nanti kita bicara,” kata Suma Ceng Liong yang mengajak dua orang tamunya duduk di ruangan sebelah dalam.
Setelah mereka semua duduk, berceritalah kakek dan nenek itu tentang kunjungan Suma Cian Bun dan Gangga Dewi dan betapa Sian Lun ikut kedua orang itu berpesiar ke Bhutan.
“Ke Bhutan?” Kao Hong Li berseru kaget. “Akan tetapi tempat itu jauh dan perjalanannya amat berbahaya!” juga suaminya terkejut mendengar bahwa puteri mereka pergi ke Bhutan melalui pegunungan dan gurun yang berbahaya.
“Sian Li mendesak dan kami tidak dapat mencegahnya. Apalagi ia pergi bersama Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan ia pun ditemani suhengnya, Liem Sian Lun. Kami pikir, mereka berdua sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup dapat menjaga diri. Pula, bukankah amat penting bagi mereka untuk meluaskan pengalaman mereka!” kata Suma Ceng Liong.
“Kenapa mereka belum juga pulang?” gumam Suma Ceng Liong. “Dalam waktu sebulan lagi, tahun baru tiba dan tentu Sin Hong dan Hong Li akan datang berkunjung untuk menjemput puteri mereka. Sungguh tidak enak kalau mereka datang, Sian Li belum juga pulang.”
“Kenapa mesti merasa tidak enak?” bantah isterinya. “Sian Li bukan pergi sendiri, melainkan diajak oleh Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Pula, ada Sian Lun yang menemaninya agar ia tidak pulang seorang diri. Andaikata mereka terlambat dan ayah ibu Sian Li yang datang lebih dahulu, mereka tentu akan dapat mengerti.”
“Engkau benar. Sin Hong dan Hong Li adalah orang-orang bijaksana. Buktinya biarpun mereka berdua sendiri memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak menolak permintaan kita untuk mendidik anak mereka selama lima tahun. Bahkan sebelum anak dan mantu kita datang, aku akan minta bantuan mereka untuk menyusun daftar nama dari mereka yang hendak kuundang dalam perayaan ulang tahun ke enam puluh yang akan kupergunakan untuk suatu pertemuan besar berikut keluarga mereka semua.”
Isterinya memandang dengan wajah berseri.
“Jadikah rencanamu untuk mengumpulkan demikian banyaknya keluarga dari tiga perguruan besar itu?”
“Kenapa tidak? Kalau tidak dikumpulkan agar mereka saling berkenalan, tentu anak cucu mereka tidak akan saling mengenal dan hubungan baik antara ketiga keluarga besar itu akan terputus. Sayang sekali, bukan? Sejak dahulu, nama besar dari keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Gunung Naga telah dikenal diseluruh dunia persilatan. Kini keturunan mereka cerai berai, padahal diantara ketiga perguruan besar itu telah terjalin hubungan kekeluargaan yang amat erat.”
Isterinya mengangguk setuju. Mereka sendiri adalah gabungan dari dua keluarga besar.
Suma Ceng Liong adalah cucu dalam dari Pendekar Pulau Es, putera dari Pendekar Siluman Kecil. Sedangan Kam Bi Eng adalah puteri dari Kam Hong Si Pendekar Suling Emas dan Bu Ci Sian yang terhitung murid ayah mertuanya pula.
“Pasti akan menggembirakan sekali dan merupakan peristiwa besar kalau cita-citamu itu sampai terlaksana, “ katanya.
“Kenapa tidak? Tentu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng, sudah menerima suratku dan tak lama lagi mereka tentu akan tiba di sini. Hubungan kekeluargaan harus diperbaiki, tidak seperti sekarang ini. Bertahun-tahun di antara keluarga tidak sempat bertemu karena terpisah jauh. Ingat saja kematian ayahmu. Sampai-sampai kita sendiri tidak mengetahui! Orang tentu akan menganggap aku seorang mantu yang sama sekali tidak berbakti, ayah mertua meninggal sampai dikebumikan tidak tahu sama sekali.
Isterinya menyentuh lengan suaminya.
“Sudahlah, tidak perlu lagi disesalkan hal itu. Ibu sendiri mengatakan bahwa memang sengaja Ibu tidak mengabarkan tentang kematian Ayah, sesuai dengan pesan terakhir dari Ayah. Dan aku mengenal watak Ayah. Dahulu Ayah seringkali bicara tentang kematian sebagai perjalanan pulang kampung! Ayah tidak setuju kalau orang meninggal ditangisi dan dikabungi, yang dikatakan semua itu hanya upacara pura-pura dan palsu belaka. Sepatutnya keluarga bersukur kalau ada orang yang dikasihinya “pulang kampung” karena terbebas dari siksa dunia. Yah, Ayah memang aneh dan kukira setiap orang berilmu tinggi di dalam ini mempunyai keanehan masing-masing yang tidak mereka sadari bahwa mereka berbeda dengan orang-orang awam.”
“Engkau benar, isteriku. Aku tidak menyesali peristiwa itu, hanya alangkah baiknya kalau sebelum mati, kita selalu memiliki hubungan yang akrab dengan keluarga besar kita.”
Percakapan mereka terhenti seketika karena pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda menuju ke rumah itu. Ketika nampak dua ekor yang ditunggangi Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, suami itu cepat bangkit berdiri dengan wajah berseri. Mereka memang sedang menanti-nanti kedatangan mereka. Setiap tahun sekali, sejak Sian Li berada di situ, Sin Hong dan Hong Li pasti datang berkunjung, yaitu menjelang hari raya sin-cia (tahun baru), dan kunjungan mereka sekali ini adalah untuk menjemput kembali puteri mereka yag sudah tiba waktunya untuk pulang setelah berada di bawah bimbingan kakek dan nenek itu selama lima tahun.
Tan Sin Hong yang kini sudah berusia empat puluh tahun itu masih nampak gagah dengan pakaian yang sederhana berwarna serba putih, yang membuat dia dijuluki Pendekar Bangau Putih di dunia persilatan. Sedangkan isterinya, Kao Hong Li yang berusia tiga puluh sembilan tahun itu masih nampak muda, cantik, lincah dan gagah. Dengan sigapnya mereka berdua meloncat turun dari atas punggung kuda, dan dua orang pelayan yang mengenal kewajiban dan mengenal pula dua orang tamu itu sudah berlari-lari menyambut dan mereka segera mengurus dua ekor kuda itu.
Sin Hong dan Hong Li cepat maju memberi hormat kepada tuan dan nyonya rumah, yang disambut dengan ramah dan gembira.
“Aha, kami memang sudah menanti-nanti kalian!” kata Suma Ceng Liong sambil membalas penghormatan mereka. “Mari silakan duduk di dalam.”
“Harap kalian jangan kecewa, Sian Li tidak turut menyambut karena ia masih belum pulang,” kata Kam Bi Eng sambil tersenyum melihat suami isteri itu melihat-lihat ke sekeliling, mencari-cari.
“Bibi, ia pergi kemanakah?” tanya Hong Li heran.
“Duduklah dan nanti kita bicara,” kata Suma Ceng Liong yang mengajak dua orang tamunya duduk di ruangan sebelah dalam.
Setelah mereka semua duduk, berceritalah kakek dan nenek itu tentang kunjungan Suma Cian Bun dan Gangga Dewi dan betapa Sian Lun ikut kedua orang itu berpesiar ke Bhutan.
“Ke Bhutan?” Kao Hong Li berseru kaget. “Akan tetapi tempat itu jauh dan perjalanannya amat berbahaya!” juga suaminya terkejut mendengar bahwa puteri mereka pergi ke Bhutan melalui pegunungan dan gurun yang berbahaya.
“Sian Li mendesak dan kami tidak dapat mencegahnya. Apalagi ia pergi bersama Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan ia pun ditemani suhengnya, Liem Sian Lun. Kami pikir, mereka berdua sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup dapat menjaga diri. Pula, bukankah amat penting bagi mereka untuk meluaskan pengalaman mereka!” kata Suma Ceng Liong.
Mendengar penjelasan itu, Sin Hong dan Hong Li dapat menerimanya dan mereka pun menjadi tenang kembali. Bagaimanapun juga, mereka berdua dahulu pun merupakan petualang-petualang yang malang-melintang di dunia kang-ouw. Hanya pengalaman di dunia kang-ouw saja yang membuat seseorang menjadi matang, pikir mereka dan mereka pun menghilangkan kekhawatiran mereka.
“Akan tetapi, menurut perhitungan kami, dalam hari-hari mendatang ini ia dan Sian Lun tentu akan segera datang”, kata Kam Bi Eng.
“Kalau begitu, biarlah kami menunggu kedatangan di sini, Bibi!” kata Hong Li.
Suma Ceng Liong tersenyum.
“Itulah yang kuharapkan karena aku ingin minta bantuan kalian berdua untuk melengkapi catatan daftar keluarga yang akan kami kumpulkan pada hari ulang tahunku yang keenam puluh. Aku ingin agar tidak ada anggauta keluarga yang terlewat. Yang kumaksudkan dengan keluarga adalah keluarga tiga perguruan besar, yaitu keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, keluarga Lembah Gunung Naga, dan sekalian murid-murid mereka.”
Sin Hong dan Hong Li ikut gembira mendengar niat ini. Sebuah niat yang baik sekali dan pasti pesta pertemuan yang amat menggembirakan. Membayangkan saja akan bertemu muka dengan seluruh keluarga tiga perguruan itu sudah membuat mereka merasa tegang dan gembira.
Selama beberapa hari menanti datangnya Sian Li, dan Sian Lun, suami isteri itu membantu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyusun daftar para anggauta keluarga.
Tentu saja hanya yang mereka ingat dan kenal. Keluarga dari tiga perguruan itu telah menjadi amat luas dan banyak sehingga untuk dapat mengetahui seluruh anggauta keluarga dengan lengkap memakan waktu lama dan harus bertanya-tanya kepada anggauta keluarga lain.
“Kita mulai dari keluarga Istana Pulau Es,” kata Suma Ceng Liong dengan sikap gembira.
Di depan empat orang itu, di atas meja, telah dipersiapkan sebuah buku daftar untuk mencatat nama dan alamat keluarga yang akan diundang.
“Sebaiknya kita susun dari anggauta keluarga paling tua berikut keluarga masing-masing,” usul isterinya.
“Benar sekali,” kata Suma Ceng Liong sambil mengingat-ingat. “Sekarang ini anggauta keluarga Istana Pulau Es yang paling tua tentulah Enci Suma Hui.”
Hong Li mengangguk senang.
“Memang agaknya Ibuku yang paling tua diantara keluarga Suma.”
“Nah, kita mulai dengan nama Enci Suma Hui, dan suaminya juga kebetulan merupakan anggauta tertua dari keluarga Istana Gurun Pasir,” kata Suma Ceng Liong. “Kita mulai dengan keluarga mereka di tempat teratas, dan tentu saja anak cucu dan para murid mereka.”
Dengan bantuan isterinya dan dua orang tamunya, Suma Ceng Liong mulai menyusun daftar keluarga yang dikirim undangan untuk pertemuan besar itu. Setelah bekerja beberapa hari lamanya, tersusunlah daftar sementara seperti berikut.
Keluarga Istana Pulau Es terdiri dari.
Suma Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, yang tinggal di kota Pao-teng dan anak mereka Kao Hong Li yang bersama suaminya, Tan Sin Hong tinggal di kota Ta-tung bersama puteri mereka, Tan Sian Li.
Suma Ciang Bun bersama isterinya, Gangga Dewi kini tinggal di istana Kerajaan Bhutan, yaitu kota raja Thim-phu. Tidak diketahui apakah keduanya mempunyai murid ataukah tidak.
Kemudian Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun luar kota Cin-an, bersama seorang murid mereka bernama Liem Sian Lun. Puteri mereka, Suma Lian bersama suaminya, Gu Hong Beng, tinggal di kota Ping-san, di selatan Pao-teng tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai murid pula.
Nyonya Gak dapat dibilang masih keluarga Istana Pulau Es, karena ia adalah isteri dari dua saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu putera dari mendiang Gak Bun Beng dan Puteri Milana, yaitu masih puteri Pendekar Super Sakti. Maka Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga masuk dalam daftar undangan. Kini ibu dan anak itu tinggal di puncak Beng-san.
Adapun keluarga Istana Gurun Pasir yang tertua adalah Kao Cin Liong, suami Suma Hui yang sudah masuk urutan pertama dari daftar itu. Ayah Kao Cin Liong, mendiang Kao Kok Cu mempunyai murid, yaitu Can Bi Lan yang kini bersama suaminya Sim Houw, tinggal di Lok-yang, dan ada puteri mereka, Sim Hui Eng, yang kabarnya lenyap ketika berusia tiga tahun, demikian yang diketahui Suma Ceng Liong.
Sepanjang yang diketahuinya, Sim Houw dan Can Bi Lan mempunyai seorang putera pertama Sim Hok Bu, namun anak itu meninggal dalam usia delapan tahun karena penyakit. Kalau pun masih ada murid-murid dari keluarga Istana Gurun Pasir, hal itu tidak diketahui sama sekali oleh mereka berempat dan harus mereka selidiki dulu dengan menanyakan kepada anggauta keluarga lain.
Keluarga lain yang mereka catat adalah keluarga dari Lembah Gurun Naga, atau keturunan dari perguruan Suling Emas. Setelah Kam Hong meninggal dunia, maka yang tertua tentu saja adalah Bu Ci Sian ibu Kam Bi Eng, nenek yang kini tinggal seorang diri di puncak Bukit Nelayan menunggui makam suaminya. Tidak diketahui jelas siapa murid mereka bahkan Kam Bi Eng sendiri juga tidak tahu karena ibunya tidak pernah memberitahu.
Kemudian ada Cu Kun Tek yang bersama isterinya, Pouw Li Sian murid Gak Bun Beng, tinggal di Lembah Gunung Naga sebagai pewaris keluarga Cu. Tidak diketahui dengan pasti keadaan mereka dan siapa saja yang masih terhitung murid atau keluarga perguruan Suling Emas dan Naga Siluman ini.
"Jangan dilupakan nama Yo Han," Sin Hong mengingatkan. "Biarpun dia putera Yo Jin dan Ciong Siu Kwi yang tidak ada sangkut pautnya dengan ketiga perguruan, namun Yo Han pernah menjadi murid kami berdua, dan dia bahkan pernah kami anggap seperti anak sendiri."
Suma Ceng Liong mengangguk dan dia pun mencatat nama Yo Han. Masih jauh daripada lengkap daftar itu, hanya mereka catat nama-nama yang mereka kenal saja.
Pada hari ke lima, muncullah Tan Sian Li bersama Yo Han. Pagi hari itu, Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li sedang duduk di serambi depan. Mereka berempat menengok dan begitu melihat Sian Li, mereka melompat bangun dan memandang dengan wajah berseri.
"Ibu....! Ayah....!"
Sian Li berteriak begitu melihat ayah ibunya, lalu berlari menghampiri mereka dan di lain saat ia sudah berpelukan dengan ibunya. Mereka gembira bukan main sampai melupakan Yo Han yang berdiri termangu, hatinya diliputi keharuan ketika dia melihat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li.
Karena mereka semua sedang asyik dan sibuk, dia pun tidak berani mengganggu dan hanya berdiri di bawah, di luar serambi sambil memandang. Setelah Sian Li memberi hormat kepada ayah ibunya dan kepada Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, barulah dua orang tua ini berseru heran, dan memandang kepada Yo Han.
"Sian Li, mana Sian Lun? Dan dia itu.... siapa dia yang datang bersamamu?" tanya Suma Ceng Liong dengan suara heran.
Kao Hong Li yang masih merangkul puterinya juga memandang kepada Yo Han dan bertanya,
"Sian Li, engkau datang bersama siapakah?"
Dalam perjalanan mereka, Yo Han pernah menasihatkan Sian Li untuk melapor kepada Suma Ceng Liong dan isterinya bahwa suhengnya itu tewas sebagai seorang pendekar dan tidak bercerita tentang penyelewengannya. Kini Sian Li, yang tidak biasa berbohong, dengan muka ditundukkan lalu berkata, suaranya lirih.
"Ayah Ibu, Kakek dan Nenek, dengan menyesal sekali aku harus mengabarkan bahwa Suheng Liem Sian Lun telah.... tewas."
Tentu saja empat orang itu terkejut mendengar ini. terutama sekali Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mendengar betapa murid mereka tewas, keduanya saling pandang, lalu mengamati wajah Sian Li dan Kam Bi Eng bertanya.
"Tewas? Sian Lun.... tewas? Apa yang terjadi? Siapa yang telah berani membunuhnya?"
"Panjang ceritanya."
Sian Li mengeluh kemudian ia menceritakan betapa dalam perjalanan ke Bhutan itu mereka bertemu dengan Lulung Lama dan kemudian ketika mereka pulang dari Bhutan, mereka bahkan terlibat dan bentrok dengan persekutuan pemberontak yang terdiri dari para Lama Jubah Hitam, Pangeran Gulam Sing dari Nepal, para pengemis Tongkat Hitam, dan orang-orang Pek-lian-kauw.
"Kami terlibat dengan mereka, terjadi bentrokan, bahkan aku sendiri pernah tertawan oleh mereka. Dan dalam pertempuran itu, Suheng tewas di tangan Pangeran Gulam Sing dari Nepal. Kami dibantu oleh pasukan Tibet dan para orang kang-ouw, dan bahkan kami mendapat bantuan dari Bibi Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun. Bahkan di sana kami bertemu dan dibantu oleh Paman Sim Houw, Pendekar Suling Naga."
Dengan panjang lebar Sian Li menceritatkan tentang pertempuran yang akhirnya dapat membasmi para pemberontak itu.
"Beberapa kali aku terancam behaya maut dan tentu aku sudah tewas pula seperti Suheng kalau saja tidak dibantu olehnya," katanya sebagai penutup sambil menuding ke arah Yo Han yang masih berdiri di luar sambil mendengarkan dan menundukkan mukanya.
"Sian Li, siapakah dia?" Kao Hong Li bertanya kepada puterinya sambil mengamati wajah yang menunduk itu.
"Ayah dan Ibu, benarkah kalian tidak mengenalnya?" tanya Sian Li sambil tertawa.
Karena Sin Hong dan Hong Li kini mengamati wajahnya, Yo Han segera menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada mereka, berkata dengan suara terharu.
"Suhu dan Subo, harap maafkan teecu."
"Yo Han....!" suami isteri itu berteriak.
Jadi mereka sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu adalah Yo Han walaupun mereka merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing bagi mereka. Kini, mereka segera mengenalnya dan keduanya cepat keluar dari serambi dan Sin Hong dengan girang menarik tangan Yo Han dan disuruhnya bangkit berdiri.
"Yo Han, terima kasih kepada Tuhan bahwa engkau dalam keadaan sehat dan baik!"
Seru Sin Hong, wajahnya berseri karena gembira melihat pemuda itu yang pernah membuat dia merasa prihatin sekali karena kepergiannya. Dia kadang merasa berdosa kepada Yo Jin dan Bi Kwi, ayah ibu pemuda itu yang telah mempercayakan Yo Han kepadanya.
"Yo Han, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa!" seru Hong Li yang sebenarnya juga merasa sayang kepada murid yang pandai membawa diri ini.
"Ayah, ibu, kalian tidak tahu bahwa Han-ko sekarang telah menjadi Sin-ciang Tai-hiap yang memiliki kesaktian hebat! Kalau tidak ada dia, tentu aku tidak akan dapat pulang hari ini!" Sian Li memuji, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
"Benarkah? Luar biasa sekali! Bukankah sejak kecil engkau tidak suka mempelajari ilmu silat, Yo Han?" tegur Sin Hong.
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang masih tertegun mendengar kematian murid mereka, segera mengajak mereka semua untuk masuk dan bicara di dalam. Setelah semua duduk di ruangan dalam, barulah Yo Han menceritakan pengalamannya sejak dia dibawa pergi Ang I Moli sebagai penukaran atau tebusan atas diri Sian Li yang dibebaskan oleh iblis betina itu. Betapa dia kemudian menyadari akan perlunya membekali diri dengan ilmu kepandaian agar dapat menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menyadarkan mereka yang mengambil jalan sesat.
"Thian-li-pang?" kata Suma Ceng Liong mengingat-ingat. "Seingatku, Thian-li-pang di Bukit Naga adalah perkumpulan para patriot yang menentang pemerintah. Mereka terkenal gagah perkasa dan di antara para pemimpinnya terdapat orang-orang yang sakti. Akan tetapi, aku pernah mendengar bahwa Thian-li-pang kemudian menjadi perkumpulan yang tidak bersih namanya. Para muridnya suka melakukan hal-hal yang jahat, bahkan kabarnya pernah mengadu domba perguruan-perguruan silat yang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai. Kabarnya perkumpulan itu diselewengkan oleh dua orang tokohnya yang berjuluk Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong. Entah sampai di mana kebenaran berita itu."
Sin Hong dan isterinya terkejut.
"Yo Han, benarkah itu? Dan engkau menjadi murid Thian-li-pang yang tersesat itu?" tanya Sin Hong sambil menatap wajah pemuda itu penuh selidik.
"Apa yang diucapkan Suma Locianpwe memang benar, Thian-li-pang adalah perkumpulan yang anti pemerintah, anti penjajah, akan tetapi setelah Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong yang memegang pimpinan, perkumpulan itu dibawa menyeleweng ke jalan sesat. Memang mula-mula teecu dipaksa menjadi murid dua orang datuk itu. Akan tetapi kemudian teecu bertemu dengan orang ketiga dari para datuk Thian-li-pang yang kemudian menjadi guru teecu yang sebenarnya.
Beliau bernama Ciu Lam Hok dan di sana beliau menjadi orang hukuman yang disiksa oleh dua orang suhengnya Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong itu. Kaki tangannya dibuntungi dan beliau dihukum di dalam sumur yang amat dalam. Teecu berhasil bertemu dan menjadi muridnya. Seteleh beliau meninggal karena usia tua, teecu berhasil keluar.
Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong saling menyalahkan ketika mendengar akan kematian Suhu Ciu Lam Hok dan mereka saling serang sendiri sampai keduanya tewas. Teecu yang menerima tugas dari mendiang Suhu untuk meluruskan kembali Thian-li-pang, berhasil menundukkan dan membujuk para pimpinan dan sekarang teecu yakin bahwa Thian-li-pang telah kembali ke jalan benar."
"Ciu Lam Hok....? Hem, tidak pernah aku mendengar nama itu. Yang terkenal hanyalah Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong," kata Suma Ceng Liong.
"Ayah, nama Han-ko sebagai Sin-ciang Tai-hiap di daerah barat sudah sangat terkenal. Dibandingkan dengan dia, kemampuanku tidak ada artinya."
"Aih, Li-moi, harap jangan terlalu memuji. Engkau membuat aku menjadi malu saja."
Pujian yang tiada hentinya dari Sian Li membuat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li kagum, akan tetapi juga penasaran. Rasanya tidak mungkin Yo Han memiliki kepandaian yang melebihi Sian Li. Akan tetapi mereka tidak memperlihatkan perasaan penasaran ini, hanya tersenyum gembira.
"Sian Li, ceritakan yang lebih jelas tentang kematian suhengmu."
Kam Bi Eng yang masih belum dapat menghilangkan perasaan dukanya atas kematian Sian Lun, tiba-tiba berkata. Suma Ceng Liong mengangguk-angguk membenarkan permintaan isterinya.
Sian Li mengerutkan alisnya. Berat tugas ini terasa olehnya. Ia seorang yang tidak suka berbohong, tidak biasa membohong akan tetapi sekali ini, terpaksa ia harus berbohong Yo Han yang mengajarkan kepadanya bahwa untuk urusan ini, amat bijaksanalah kalau ia berbohong. Bagaimanapun juga, Sian Lun telah tewas, dan harus ia akui bahwa dalam saat terakhir, Sian Lun telah menebus penyelewengannya dengan perbuatan gagah, yaitu membelanya sampai mengorbankan nyawa.
Kalau ia menceritakan penyelewengan Sian Lun, hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya bahkan tentu akan membuat kakek dan nenek itu merasa menyesal bukan main. Bagaimanapun juga, amat sukar baginya untuk berbohong seluruhnya, maka ia pun mengambil "jalan tengah".
Sian Li menceritakan lebih jelas semua pengalamannya bersama Sian Lun ketika mereka terlibat dalam pertentangan dengan persekutuan pemberontak itu.
"Aku dan Suheng tertawan musuh yang selain lihai juga amat banyak jumlahnya,” katanya. "Kemudian mereka itu, dengan kekuatan sihir mereka, menyihir Suheng dan mempengaruhi Suheng sehingga nampaknya Suheng suka membantu mereka. Apalagi mereka itu menggunakan dalih perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, pada saat terakhir, Suheng dapat membebaskan diri dari pengaruh sihir, kemudian Suheng mengamuk dengan gagah perkasa. Akan tetapi, lawannya, Pangeran Gulam Sing dari Nepal memang tangguh bukan main sehingga akhirnya Suheng roboh dan tewas. Aku sendiri terbebas dari maut karena ada Han-ko yang mengamuk di dekatku dan yang melindungi aku."
Suma Ceng Liong menghela napas panjang.
"Sudahlah, memang sudah nasibnya mati muda. Bagaimanapun juga, kita tidak perlu menyesali kematiannya karena dia gugur sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku bahkan kecewa tidak dapat melawan gerombolan itu di samping Sian Lun."
"Hemm, ingin aku mencoba kepandaian pangeran Nepal itu!" kata Kam Bi Eng dengan gemas dan dengan kedua mata agak marah karena ia menahan tangisnya.
“Kita tidak perlu mengingat lagi pangeran itu karena dia sudah tertangkap oleh pasukan Tibet dan sudah pasti akan dihukum mati," kata Sian Li.
Setelah tinggal di situ selama dua hari dua malam, Sin Hong dan Hong Li lalu mengajak puteri mereka dan juga Yo Han untuk pulang ke Ta-tung. Mereka berjanji untuk membantu Suma Ceng Liong menyebar undangan kepada para sanak keluarga yang akan diundang menghadiri perayaan ulang tahun sekalian mengadakan pertemuan besar keluarga itu.
Di sepanjang perjalanan, Sin Hong dan Hong Li kembali minta kepada Sian Li dan Yo Han untuk menceritakan lagi dengan terperinci semua pengalamannya. Bahkan Yo Han juga harus menceritakan semua pengalamannya, yang didengarkan pula oleh Sian Li karena kepada gadis itu, sebelumnya Yo Han hanya menceritakan garis besarnya saja.
Ada rasa khawatir dalam hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li ketika mereka melihat sikap yang diperlihatkan Sian Li terhadap Yo Han di sepanjang perjalanan menuju pulang itu. Mereka melihat betapa mesra dan manisnya sikap Sian Li kepada Yo Han. Memang mereka mengetahui bahwa sejak kecil, Sian Li amat sayang kepada Yo Han yang juga menyayangnya. Akan tetapi, dahulu kesayangan mereka adalah seperti kesayangan antara kakak dan adik, dan hal itu pun tidak aneh karena sejak Sian Li masih bayi, Yo Han yang mengasuhnya dan menjadi teman bermain.
Akan tetapi ketika itu mereka masih kecil dan sekarang mereka bukan kanak-kanak lagi. Yo Han telah menjadi seorang laki-laki yang dewasa, sedangkan Sian Li telah berusia tujuh belas tahun, bagaikan setangkai bunga mulai berkembang dan mekar menjadi dewasa.
Kemesraan yang diperlihatkan Sian Li terhadap Yo Han membuat suami isteri itu khawatir, apalagi melihat betapa sinar mata Sian Li kalau memandang Yo Han demikian penuh rasa kagum. Dan Yo Han telah merupakan seorang laki-laki yang tampan, gagah dan halus budi, sifat yang mudah sekali menjatuhkan hati setiap orang gadis.
Mereka berdua dilanda kekhawatiran yang sama seperti dulu ketika Sian Li masih kecil. Khawatir kalau Sian Li terpengaruh! Walaupun yang mereka khawatirkan itu berbeda. Dahulu mereka khawatir kalau Sian Li ketularan watak Yo Han yang tidak suka belajar ilmu silat sehingga Sian Li juga akan malas belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah. Sekarang mereka khawatir kalau puteri mereka itu akan jatuh cinta kepada Yo Han, cinta seorang wanita terhadap seorang pria!
Setiap kali mendapat kesempatan bicara berdua, yaitu di waktu malam dalam sebuah kamar rumah penginapan di mana mereka berdua berada, mereka berbisik-bisik membicarakan puteri mereka dan Yo Han dan keduanya memang sudah sepakat dan satu hati.
"Tidak dapat disangkal bahwa Yo Han memang telah menjadi seorang pemuda yang ganteng, tampan dan halus budi. Kalau dilihat dari keadaan lahiriahnya, memang tidak akan mengecewakan andaikata dia menjadi suami anak kita," kata Hong Li.
“Akan tetapi, menurut perhitungan kami, dalam hari-hari mendatang ini ia dan Sian Lun tentu akan segera datang”, kata Kam Bi Eng.
“Kalau begitu, biarlah kami menunggu kedatangan di sini, Bibi!” kata Hong Li.
Suma Ceng Liong tersenyum.
“Itulah yang kuharapkan karena aku ingin minta bantuan kalian berdua untuk melengkapi catatan daftar keluarga yang akan kami kumpulkan pada hari ulang tahunku yang keenam puluh. Aku ingin agar tidak ada anggauta keluarga yang terlewat. Yang kumaksudkan dengan keluarga adalah keluarga tiga perguruan besar, yaitu keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, keluarga Lembah Gunung Naga, dan sekalian murid-murid mereka.”
Sin Hong dan Hong Li ikut gembira mendengar niat ini. Sebuah niat yang baik sekali dan pasti pesta pertemuan yang amat menggembirakan. Membayangkan saja akan bertemu muka dengan seluruh keluarga tiga perguruan itu sudah membuat mereka merasa tegang dan gembira.
Selama beberapa hari menanti datangnya Sian Li, dan Sian Lun, suami isteri itu membantu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyusun daftar para anggauta keluarga.
Tentu saja hanya yang mereka ingat dan kenal. Keluarga dari tiga perguruan itu telah menjadi amat luas dan banyak sehingga untuk dapat mengetahui seluruh anggauta keluarga dengan lengkap memakan waktu lama dan harus bertanya-tanya kepada anggauta keluarga lain.
“Kita mulai dari keluarga Istana Pulau Es,” kata Suma Ceng Liong dengan sikap gembira.
Di depan empat orang itu, di atas meja, telah dipersiapkan sebuah buku daftar untuk mencatat nama dan alamat keluarga yang akan diundang.
“Sebaiknya kita susun dari anggauta keluarga paling tua berikut keluarga masing-masing,” usul isterinya.
“Benar sekali,” kata Suma Ceng Liong sambil mengingat-ingat. “Sekarang ini anggauta keluarga Istana Pulau Es yang paling tua tentulah Enci Suma Hui.”
Hong Li mengangguk senang.
“Memang agaknya Ibuku yang paling tua diantara keluarga Suma.”
“Nah, kita mulai dengan nama Enci Suma Hui, dan suaminya juga kebetulan merupakan anggauta tertua dari keluarga Istana Gurun Pasir,” kata Suma Ceng Liong. “Kita mulai dengan keluarga mereka di tempat teratas, dan tentu saja anak cucu dan para murid mereka.”
Dengan bantuan isterinya dan dua orang tamunya, Suma Ceng Liong mulai menyusun daftar keluarga yang dikirim undangan untuk pertemuan besar itu. Setelah bekerja beberapa hari lamanya, tersusunlah daftar sementara seperti berikut.
Keluarga Istana Pulau Es terdiri dari.
Suma Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, yang tinggal di kota Pao-teng dan anak mereka Kao Hong Li yang bersama suaminya, Tan Sin Hong tinggal di kota Ta-tung bersama puteri mereka, Tan Sian Li.
Suma Ciang Bun bersama isterinya, Gangga Dewi kini tinggal di istana Kerajaan Bhutan, yaitu kota raja Thim-phu. Tidak diketahui apakah keduanya mempunyai murid ataukah tidak.
Kemudian Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun luar kota Cin-an, bersama seorang murid mereka bernama Liem Sian Lun. Puteri mereka, Suma Lian bersama suaminya, Gu Hong Beng, tinggal di kota Ping-san, di selatan Pao-teng tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai murid pula.
Nyonya Gak dapat dibilang masih keluarga Istana Pulau Es, karena ia adalah isteri dari dua saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu putera dari mendiang Gak Bun Beng dan Puteri Milana, yaitu masih puteri Pendekar Super Sakti. Maka Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga masuk dalam daftar undangan. Kini ibu dan anak itu tinggal di puncak Beng-san.
Adapun keluarga Istana Gurun Pasir yang tertua adalah Kao Cin Liong, suami Suma Hui yang sudah masuk urutan pertama dari daftar itu. Ayah Kao Cin Liong, mendiang Kao Kok Cu mempunyai murid, yaitu Can Bi Lan yang kini bersama suaminya Sim Houw, tinggal di Lok-yang, dan ada puteri mereka, Sim Hui Eng, yang kabarnya lenyap ketika berusia tiga tahun, demikian yang diketahui Suma Ceng Liong.
Sepanjang yang diketahuinya, Sim Houw dan Can Bi Lan mempunyai seorang putera pertama Sim Hok Bu, namun anak itu meninggal dalam usia delapan tahun karena penyakit. Kalau pun masih ada murid-murid dari keluarga Istana Gurun Pasir, hal itu tidak diketahui sama sekali oleh mereka berempat dan harus mereka selidiki dulu dengan menanyakan kepada anggauta keluarga lain.
Keluarga lain yang mereka catat adalah keluarga dari Lembah Gurun Naga, atau keturunan dari perguruan Suling Emas. Setelah Kam Hong meninggal dunia, maka yang tertua tentu saja adalah Bu Ci Sian ibu Kam Bi Eng, nenek yang kini tinggal seorang diri di puncak Bukit Nelayan menunggui makam suaminya. Tidak diketahui jelas siapa murid mereka bahkan Kam Bi Eng sendiri juga tidak tahu karena ibunya tidak pernah memberitahu.
Kemudian ada Cu Kun Tek yang bersama isterinya, Pouw Li Sian murid Gak Bun Beng, tinggal di Lembah Gunung Naga sebagai pewaris keluarga Cu. Tidak diketahui dengan pasti keadaan mereka dan siapa saja yang masih terhitung murid atau keluarga perguruan Suling Emas dan Naga Siluman ini.
"Jangan dilupakan nama Yo Han," Sin Hong mengingatkan. "Biarpun dia putera Yo Jin dan Ciong Siu Kwi yang tidak ada sangkut pautnya dengan ketiga perguruan, namun Yo Han pernah menjadi murid kami berdua, dan dia bahkan pernah kami anggap seperti anak sendiri."
Suma Ceng Liong mengangguk dan dia pun mencatat nama Yo Han. Masih jauh daripada lengkap daftar itu, hanya mereka catat nama-nama yang mereka kenal saja.
Pada hari ke lima, muncullah Tan Sian Li bersama Yo Han. Pagi hari itu, Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li sedang duduk di serambi depan. Mereka berempat menengok dan begitu melihat Sian Li, mereka melompat bangun dan memandang dengan wajah berseri.
"Ibu....! Ayah....!"
Sian Li berteriak begitu melihat ayah ibunya, lalu berlari menghampiri mereka dan di lain saat ia sudah berpelukan dengan ibunya. Mereka gembira bukan main sampai melupakan Yo Han yang berdiri termangu, hatinya diliputi keharuan ketika dia melihat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li.
Karena mereka semua sedang asyik dan sibuk, dia pun tidak berani mengganggu dan hanya berdiri di bawah, di luar serambi sambil memandang. Setelah Sian Li memberi hormat kepada ayah ibunya dan kepada Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, barulah dua orang tua ini berseru heran, dan memandang kepada Yo Han.
"Sian Li, mana Sian Lun? Dan dia itu.... siapa dia yang datang bersamamu?" tanya Suma Ceng Liong dengan suara heran.
Kao Hong Li yang masih merangkul puterinya juga memandang kepada Yo Han dan bertanya,
"Sian Li, engkau datang bersama siapakah?"
Dalam perjalanan mereka, Yo Han pernah menasihatkan Sian Li untuk melapor kepada Suma Ceng Liong dan isterinya bahwa suhengnya itu tewas sebagai seorang pendekar dan tidak bercerita tentang penyelewengannya. Kini Sian Li, yang tidak biasa berbohong, dengan muka ditundukkan lalu berkata, suaranya lirih.
"Ayah Ibu, Kakek dan Nenek, dengan menyesal sekali aku harus mengabarkan bahwa Suheng Liem Sian Lun telah.... tewas."
Tentu saja empat orang itu terkejut mendengar ini. terutama sekali Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mendengar betapa murid mereka tewas, keduanya saling pandang, lalu mengamati wajah Sian Li dan Kam Bi Eng bertanya.
"Tewas? Sian Lun.... tewas? Apa yang terjadi? Siapa yang telah berani membunuhnya?"
"Panjang ceritanya."
Sian Li mengeluh kemudian ia menceritakan betapa dalam perjalanan ke Bhutan itu mereka bertemu dengan Lulung Lama dan kemudian ketika mereka pulang dari Bhutan, mereka bahkan terlibat dan bentrok dengan persekutuan pemberontak yang terdiri dari para Lama Jubah Hitam, Pangeran Gulam Sing dari Nepal, para pengemis Tongkat Hitam, dan orang-orang Pek-lian-kauw.
"Kami terlibat dengan mereka, terjadi bentrokan, bahkan aku sendiri pernah tertawan oleh mereka. Dan dalam pertempuran itu, Suheng tewas di tangan Pangeran Gulam Sing dari Nepal. Kami dibantu oleh pasukan Tibet dan para orang kang-ouw, dan bahkan kami mendapat bantuan dari Bibi Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun. Bahkan di sana kami bertemu dan dibantu oleh Paman Sim Houw, Pendekar Suling Naga."
Dengan panjang lebar Sian Li menceritatkan tentang pertempuran yang akhirnya dapat membasmi para pemberontak itu.
"Beberapa kali aku terancam behaya maut dan tentu aku sudah tewas pula seperti Suheng kalau saja tidak dibantu olehnya," katanya sebagai penutup sambil menuding ke arah Yo Han yang masih berdiri di luar sambil mendengarkan dan menundukkan mukanya.
"Sian Li, siapakah dia?" Kao Hong Li bertanya kepada puterinya sambil mengamati wajah yang menunduk itu.
"Ayah dan Ibu, benarkah kalian tidak mengenalnya?" tanya Sian Li sambil tertawa.
Karena Sin Hong dan Hong Li kini mengamati wajahnya, Yo Han segera menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada mereka, berkata dengan suara terharu.
"Suhu dan Subo, harap maafkan teecu."
"Yo Han....!" suami isteri itu berteriak.
Jadi mereka sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu adalah Yo Han walaupun mereka merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing bagi mereka. Kini, mereka segera mengenalnya dan keduanya cepat keluar dari serambi dan Sin Hong dengan girang menarik tangan Yo Han dan disuruhnya bangkit berdiri.
"Yo Han, terima kasih kepada Tuhan bahwa engkau dalam keadaan sehat dan baik!"
Seru Sin Hong, wajahnya berseri karena gembira melihat pemuda itu yang pernah membuat dia merasa prihatin sekali karena kepergiannya. Dia kadang merasa berdosa kepada Yo Jin dan Bi Kwi, ayah ibu pemuda itu yang telah mempercayakan Yo Han kepadanya.
"Yo Han, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa!" seru Hong Li yang sebenarnya juga merasa sayang kepada murid yang pandai membawa diri ini.
"Ayah, ibu, kalian tidak tahu bahwa Han-ko sekarang telah menjadi Sin-ciang Tai-hiap yang memiliki kesaktian hebat! Kalau tidak ada dia, tentu aku tidak akan dapat pulang hari ini!" Sian Li memuji, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
"Benarkah? Luar biasa sekali! Bukankah sejak kecil engkau tidak suka mempelajari ilmu silat, Yo Han?" tegur Sin Hong.
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang masih tertegun mendengar kematian murid mereka, segera mengajak mereka semua untuk masuk dan bicara di dalam. Setelah semua duduk di ruangan dalam, barulah Yo Han menceritakan pengalamannya sejak dia dibawa pergi Ang I Moli sebagai penukaran atau tebusan atas diri Sian Li yang dibebaskan oleh iblis betina itu. Betapa dia kemudian menyadari akan perlunya membekali diri dengan ilmu kepandaian agar dapat menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menyadarkan mereka yang mengambil jalan sesat.
"Thian-li-pang?" kata Suma Ceng Liong mengingat-ingat. "Seingatku, Thian-li-pang di Bukit Naga adalah perkumpulan para patriot yang menentang pemerintah. Mereka terkenal gagah perkasa dan di antara para pemimpinnya terdapat orang-orang yang sakti. Akan tetapi, aku pernah mendengar bahwa Thian-li-pang kemudian menjadi perkumpulan yang tidak bersih namanya. Para muridnya suka melakukan hal-hal yang jahat, bahkan kabarnya pernah mengadu domba perguruan-perguruan silat yang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai. Kabarnya perkumpulan itu diselewengkan oleh dua orang tokohnya yang berjuluk Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong. Entah sampai di mana kebenaran berita itu."
Sin Hong dan isterinya terkejut.
"Yo Han, benarkah itu? Dan engkau menjadi murid Thian-li-pang yang tersesat itu?" tanya Sin Hong sambil menatap wajah pemuda itu penuh selidik.
"Apa yang diucapkan Suma Locianpwe memang benar, Thian-li-pang adalah perkumpulan yang anti pemerintah, anti penjajah, akan tetapi setelah Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong yang memegang pimpinan, perkumpulan itu dibawa menyeleweng ke jalan sesat. Memang mula-mula teecu dipaksa menjadi murid dua orang datuk itu. Akan tetapi kemudian teecu bertemu dengan orang ketiga dari para datuk Thian-li-pang yang kemudian menjadi guru teecu yang sebenarnya.
Beliau bernama Ciu Lam Hok dan di sana beliau menjadi orang hukuman yang disiksa oleh dua orang suhengnya Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong itu. Kaki tangannya dibuntungi dan beliau dihukum di dalam sumur yang amat dalam. Teecu berhasil bertemu dan menjadi muridnya. Seteleh beliau meninggal karena usia tua, teecu berhasil keluar.
Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong saling menyalahkan ketika mendengar akan kematian Suhu Ciu Lam Hok dan mereka saling serang sendiri sampai keduanya tewas. Teecu yang menerima tugas dari mendiang Suhu untuk meluruskan kembali Thian-li-pang, berhasil menundukkan dan membujuk para pimpinan dan sekarang teecu yakin bahwa Thian-li-pang telah kembali ke jalan benar."
"Ciu Lam Hok....? Hem, tidak pernah aku mendengar nama itu. Yang terkenal hanyalah Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong," kata Suma Ceng Liong.
"Ayah, nama Han-ko sebagai Sin-ciang Tai-hiap di daerah barat sudah sangat terkenal. Dibandingkan dengan dia, kemampuanku tidak ada artinya."
"Aih, Li-moi, harap jangan terlalu memuji. Engkau membuat aku menjadi malu saja."
Pujian yang tiada hentinya dari Sian Li membuat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li kagum, akan tetapi juga penasaran. Rasanya tidak mungkin Yo Han memiliki kepandaian yang melebihi Sian Li. Akan tetapi mereka tidak memperlihatkan perasaan penasaran ini, hanya tersenyum gembira.
"Sian Li, ceritakan yang lebih jelas tentang kematian suhengmu."
Kam Bi Eng yang masih belum dapat menghilangkan perasaan dukanya atas kematian Sian Lun, tiba-tiba berkata. Suma Ceng Liong mengangguk-angguk membenarkan permintaan isterinya.
Sian Li mengerutkan alisnya. Berat tugas ini terasa olehnya. Ia seorang yang tidak suka berbohong, tidak biasa membohong akan tetapi sekali ini, terpaksa ia harus berbohong Yo Han yang mengajarkan kepadanya bahwa untuk urusan ini, amat bijaksanalah kalau ia berbohong. Bagaimanapun juga, Sian Lun telah tewas, dan harus ia akui bahwa dalam saat terakhir, Sian Lun telah menebus penyelewengannya dengan perbuatan gagah, yaitu membelanya sampai mengorbankan nyawa.
Kalau ia menceritakan penyelewengan Sian Lun, hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya bahkan tentu akan membuat kakek dan nenek itu merasa menyesal bukan main. Bagaimanapun juga, amat sukar baginya untuk berbohong seluruhnya, maka ia pun mengambil "jalan tengah".
Sian Li menceritakan lebih jelas semua pengalamannya bersama Sian Lun ketika mereka terlibat dalam pertentangan dengan persekutuan pemberontak itu.
"Aku dan Suheng tertawan musuh yang selain lihai juga amat banyak jumlahnya,” katanya. "Kemudian mereka itu, dengan kekuatan sihir mereka, menyihir Suheng dan mempengaruhi Suheng sehingga nampaknya Suheng suka membantu mereka. Apalagi mereka itu menggunakan dalih perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, pada saat terakhir, Suheng dapat membebaskan diri dari pengaruh sihir, kemudian Suheng mengamuk dengan gagah perkasa. Akan tetapi, lawannya, Pangeran Gulam Sing dari Nepal memang tangguh bukan main sehingga akhirnya Suheng roboh dan tewas. Aku sendiri terbebas dari maut karena ada Han-ko yang mengamuk di dekatku dan yang melindungi aku."
Suma Ceng Liong menghela napas panjang.
"Sudahlah, memang sudah nasibnya mati muda. Bagaimanapun juga, kita tidak perlu menyesali kematiannya karena dia gugur sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku bahkan kecewa tidak dapat melawan gerombolan itu di samping Sian Lun."
"Hemm, ingin aku mencoba kepandaian pangeran Nepal itu!" kata Kam Bi Eng dengan gemas dan dengan kedua mata agak marah karena ia menahan tangisnya.
“Kita tidak perlu mengingat lagi pangeran itu karena dia sudah tertangkap oleh pasukan Tibet dan sudah pasti akan dihukum mati," kata Sian Li.
Setelah tinggal di situ selama dua hari dua malam, Sin Hong dan Hong Li lalu mengajak puteri mereka dan juga Yo Han untuk pulang ke Ta-tung. Mereka berjanji untuk membantu Suma Ceng Liong menyebar undangan kepada para sanak keluarga yang akan diundang menghadiri perayaan ulang tahun sekalian mengadakan pertemuan besar keluarga itu.
Di sepanjang perjalanan, Sin Hong dan Hong Li kembali minta kepada Sian Li dan Yo Han untuk menceritakan lagi dengan terperinci semua pengalamannya. Bahkan Yo Han juga harus menceritakan semua pengalamannya, yang didengarkan pula oleh Sian Li karena kepada gadis itu, sebelumnya Yo Han hanya menceritakan garis besarnya saja.
Ada rasa khawatir dalam hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li ketika mereka melihat sikap yang diperlihatkan Sian Li terhadap Yo Han di sepanjang perjalanan menuju pulang itu. Mereka melihat betapa mesra dan manisnya sikap Sian Li kepada Yo Han. Memang mereka mengetahui bahwa sejak kecil, Sian Li amat sayang kepada Yo Han yang juga menyayangnya. Akan tetapi, dahulu kesayangan mereka adalah seperti kesayangan antara kakak dan adik, dan hal itu pun tidak aneh karena sejak Sian Li masih bayi, Yo Han yang mengasuhnya dan menjadi teman bermain.
Akan tetapi ketika itu mereka masih kecil dan sekarang mereka bukan kanak-kanak lagi. Yo Han telah menjadi seorang laki-laki yang dewasa, sedangkan Sian Li telah berusia tujuh belas tahun, bagaikan setangkai bunga mulai berkembang dan mekar menjadi dewasa.
Kemesraan yang diperlihatkan Sian Li terhadap Yo Han membuat suami isteri itu khawatir, apalagi melihat betapa sinar mata Sian Li kalau memandang Yo Han demikian penuh rasa kagum. Dan Yo Han telah merupakan seorang laki-laki yang tampan, gagah dan halus budi, sifat yang mudah sekali menjatuhkan hati setiap orang gadis.
Mereka berdua dilanda kekhawatiran yang sama seperti dulu ketika Sian Li masih kecil. Khawatir kalau Sian Li terpengaruh! Walaupun yang mereka khawatirkan itu berbeda. Dahulu mereka khawatir kalau Sian Li ketularan watak Yo Han yang tidak suka belajar ilmu silat sehingga Sian Li juga akan malas belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah. Sekarang mereka khawatir kalau puteri mereka itu akan jatuh cinta kepada Yo Han, cinta seorang wanita terhadap seorang pria!
Setiap kali mendapat kesempatan bicara berdua, yaitu di waktu malam dalam sebuah kamar rumah penginapan di mana mereka berdua berada, mereka berbisik-bisik membicarakan puteri mereka dan Yo Han dan keduanya memang sudah sepakat dan satu hati.
"Tidak dapat disangkal bahwa Yo Han memang telah menjadi seorang pemuda yang ganteng, tampan dan halus budi. Kalau dilihat dari keadaan lahiriahnya, memang tidak akan mengecewakan andaikata dia menjadi suami anak kita," kata Hong Li.