Sebuah kereta berhenti di halaman depan gedung istana Pangeran Mahkota Tao Kuang. Setelah kepala jaga memeriksa siapa yang berada di dalam kereta itu, dia memberi hormat dan kereta itu diperbolehkan masuk sampai ke pintu depan istana.
Pangeran Tao Kuang sedang bercakap-cakap dengan Kwi Hong, Kai-ong dan Han Li di ruangan perpustakaan yang luas ketika penjaga melapor akan kedatangan tamu-tamu berkereta itu.
Mendengar siapa yang datang berkunjung, Pangeran Mahkota tersenyum dan berseri wajahnya, lalu mengajak mereka semua untuk keluar menyambut.
“Kalian ikutlah, akan kuperkenalkan kepada seorang pangeran adik sepupuku yang menjadi sahabat baikku! Dialah satu-satunya orang di kalangan kelurga kami yang kupercaya sepenuhnya.” katanya kepada Kai-ong dan Han Li.
Ketika mereka di luar, mereka semua melihat tiga orang berada di serambi depan. Seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tampan dan lembut sikapnya, seorang wanita cantik yang agung dan anggun, berusia sebaya dengan pria itu. Dan di belakang mereka berjalan seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Begitu melihat mereka, Han Li berubah air mukanya, menjadi kikuk dan salah tingkah karena ia mengenal mereka itu sebagai suami isteri Pangeran Cia-Sun dan isterinya, Sim Hui Eng dan putera mereka, Cia Kun. Suami Isteri dan putera mereka itu belum lama ini telah datang ke Bukit Naga untuk meminang dirinya yang hendak dijodohkan dengan putera mereka itu!
Begitupun Kwi Hong. Ketika ia melihat siapa yang datang, kedua pipinya menjadi kemerahan karena ayah bundanya pernah bertanya kepadanya, bagaimana kalau ia dijodohkan dengan putera Cia Sun, saudara sepupu ayahnya. Sudah lebih dari tiga tahun dara ini tidak pernah bertemu dengan Cia Kun dan kini pemuda itu telah menjadi seorang dewasa yang ganteng! Demikian pula Cia Kun, dia terheran melihat Han Li berada di situ dan dia juga terpesona melihat Kwi Hong yang kini demikian cantik jelita.
Pangeran Cia Sun beserta isterinya juga merasa heran melihat Han Li.
“Bukankah engkau Yo Han Li? Bagaimana bisa berada di sini?”
Sebelum Han Li dapat menjawab, Pangeran Tao Kuang berkata sambil tertawa,
“Bagus, kiranya kalian sudah saling mengenal sehingga tidak perlu kuperkenalkan lagi”
“Akan tetapi siapa Locianpwe ini? Kami tidak mengenalnya.”
“Ah, Paman ini adalah seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw, Dinda Pangeran. Tentu engkau pernah mendengar akan julukan Kai-ong, bukan?”
“Bukankah Kai-ong Lu Tong Ki?” tanya Pangeran Cia Sun.
“Benar, dia dan muridnya, nona Han Li, menjadi tamu kehormatan kami. Paman Lu, ini adalah Pangeran Cia Sun yang dahulu sering bertualang di dunia kang-ouw.”
Pangeran Cia Sun dan pengemis tua itu saling memberi hormat.
“Nah, marilah kita semua masuk ke dalam dan bicara disana!” kata Pangeran Tao Kuang dengan ramah.
Mereka semua diajak masuk ruangan tamu yang luas dan sejuk karena banyak jendelanya sehingga hawa dapat masuk dengan leluasa.
“Kanda Pangeran, kedatangan kami untuk menjenguk Kanda karena kami mendengar bahwa Kanda diserbu orang-orang yang hendak membunuh. Kami bersyukur sekali mendengar bahwa Kanda Pangeran terlepas dari bahaya maut.”
“Benar, Adinda Pangeran. Semua ini adalah jasanya Tao Keng Han dan nona Souw Cu In yang membongkar rencana pemberontakan dan pembunuhan itu. Karena kami telah mengetahui lebih dulu, maka kami sekeluarga dibantu Paman Lu dan muridnya Han Li telah bersiap-siap. Juga penjagaan oleh pasukan dilakukan dengan ketat. Dengan ayahanda Kaisar pun demikian. Bahkan sepasang pendekar itu menyamar sebagai pengawal pribadi Kaisar.”
“Ah, kami merasa gembira sekali mendengar itu, Kanda. Untuk itu, biarlah kuucapkan selamat dan menyulangi Kanda dengan tiga cawan arak!”
Karena memang disitu sudah dipersiapkan dan disediakan arak, maka kedua orang pangeran, diikuti yang lain minum tiga cawan arak.
“Bagaimanapun juga, kalau tidak ada bantuan nona Yo Han Li dan gurunya, tetap saja kami terancam bahaya maut. Mereka berdua yang dapat menandingi pihak pemberontak itu.”
Cia Sun tersenyum memandang kepada Han Li.
“Tentu saja. Han Li adalah puteri Si Tangan Sakti Yo Han dan isterinya Si Bangau Merah Tan Sian Li. Apalagi sekarang menjadi murid Kai-ong! Tentu ilmu kepandaiannya menjadi luar biasa sekali!”
“Aih, Paman Cia terlalu memujiku, membuat aku merasa malu saja.”
“Li-moi, ayahku hanya berkata sebenarnya, mengapa harus malu? Dan aku percaya bahwa Hong-moi sekarang tentu telah menjadi seorang gadis yang lihai pula. Kabarnya Hong-moi menerima pelajaran dari para ahli silat yang menjadi panglima pengawal, berganti-ganti guru sehingga tentu memiliki banyak macam ilmu silat!” kata Cia Kun sambil memandang adik sepupunya itu dengan sinar mata penuh kagum.
Pemuda ini sudah mendengar dari ayahnya bahwa pinangan mereka atas diri Han Li ditolak halus oleh orang tua gadis itu, maka dia tidak mengharapkan lagi dan perhatiannya beralih kepada Kwi Hong yang tidak kalah cantiknya dibandingkan Han Li.
“Aih, Kun-ko, engkau pandai memuji orang. Mana aku dapat dibandingkan dengan enci Han Li? Dibandingkan dengan engkau saja aku sudah kalah jauh! Selain Paman Pangeran Cia sendiri memilikl ilmu yang tinggi, Bibi yang menjadi ibumu memiliki ilmu silat yang lebih hebat pula. Engkau tentu telah mewarisi semua ilmunya!”
”Ah, Ayah dan terutama ibu memang pandai, akan tetapi aku yang bodoh, tidak maju-maju dalam pelajaran ilmu silat,” bantah Cia Kun sambil memandang kepada adik sepupunya itu dengan senyum.
“Kwi Hong, kenapa engkau tidak mengajak Han Li dan Cia Kun untuk bicara di taman? .Biarkan kami yang tua-tua bicara disini.” kata Pangeran Tao Kuang kepada puterinya.
Pangeran Tao Kuang sedang bercakap-cakap dengan Kwi Hong, Kai-ong dan Han Li di ruangan perpustakaan yang luas ketika penjaga melapor akan kedatangan tamu-tamu berkereta itu.
Mendengar siapa yang datang berkunjung, Pangeran Mahkota tersenyum dan berseri wajahnya, lalu mengajak mereka semua untuk keluar menyambut.
“Kalian ikutlah, akan kuperkenalkan kepada seorang pangeran adik sepupuku yang menjadi sahabat baikku! Dialah satu-satunya orang di kalangan kelurga kami yang kupercaya sepenuhnya.” katanya kepada Kai-ong dan Han Li.
Ketika mereka di luar, mereka semua melihat tiga orang berada di serambi depan. Seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tampan dan lembut sikapnya, seorang wanita cantik yang agung dan anggun, berusia sebaya dengan pria itu. Dan di belakang mereka berjalan seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Begitu melihat mereka, Han Li berubah air mukanya, menjadi kikuk dan salah tingkah karena ia mengenal mereka itu sebagai suami isteri Pangeran Cia-Sun dan isterinya, Sim Hui Eng dan putera mereka, Cia Kun. Suami Isteri dan putera mereka itu belum lama ini telah datang ke Bukit Naga untuk meminang dirinya yang hendak dijodohkan dengan putera mereka itu!
Begitupun Kwi Hong. Ketika ia melihat siapa yang datang, kedua pipinya menjadi kemerahan karena ayah bundanya pernah bertanya kepadanya, bagaimana kalau ia dijodohkan dengan putera Cia Sun, saudara sepupu ayahnya. Sudah lebih dari tiga tahun dara ini tidak pernah bertemu dengan Cia Kun dan kini pemuda itu telah menjadi seorang dewasa yang ganteng! Demikian pula Cia Kun, dia terheran melihat Han Li berada di situ dan dia juga terpesona melihat Kwi Hong yang kini demikian cantik jelita.
Pangeran Cia Sun beserta isterinya juga merasa heran melihat Han Li.
“Bukankah engkau Yo Han Li? Bagaimana bisa berada di sini?”
Sebelum Han Li dapat menjawab, Pangeran Tao Kuang berkata sambil tertawa,
“Bagus, kiranya kalian sudah saling mengenal sehingga tidak perlu kuperkenalkan lagi”
“Akan tetapi siapa Locianpwe ini? Kami tidak mengenalnya.”
“Ah, Paman ini adalah seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw, Dinda Pangeran. Tentu engkau pernah mendengar akan julukan Kai-ong, bukan?”
“Bukankah Kai-ong Lu Tong Ki?” tanya Pangeran Cia Sun.
“Benar, dia dan muridnya, nona Han Li, menjadi tamu kehormatan kami. Paman Lu, ini adalah Pangeran Cia Sun yang dahulu sering bertualang di dunia kang-ouw.”
Pangeran Cia Sun dan pengemis tua itu saling memberi hormat.
“Nah, marilah kita semua masuk ke dalam dan bicara disana!” kata Pangeran Tao Kuang dengan ramah.
Mereka semua diajak masuk ruangan tamu yang luas dan sejuk karena banyak jendelanya sehingga hawa dapat masuk dengan leluasa.
“Kanda Pangeran, kedatangan kami untuk menjenguk Kanda karena kami mendengar bahwa Kanda diserbu orang-orang yang hendak membunuh. Kami bersyukur sekali mendengar bahwa Kanda Pangeran terlepas dari bahaya maut.”
“Benar, Adinda Pangeran. Semua ini adalah jasanya Tao Keng Han dan nona Souw Cu In yang membongkar rencana pemberontakan dan pembunuhan itu. Karena kami telah mengetahui lebih dulu, maka kami sekeluarga dibantu Paman Lu dan muridnya Han Li telah bersiap-siap. Juga penjagaan oleh pasukan dilakukan dengan ketat. Dengan ayahanda Kaisar pun demikian. Bahkan sepasang pendekar itu menyamar sebagai pengawal pribadi Kaisar.”
“Ah, kami merasa gembira sekali mendengar itu, Kanda. Untuk itu, biarlah kuucapkan selamat dan menyulangi Kanda dengan tiga cawan arak!”
Karena memang disitu sudah dipersiapkan dan disediakan arak, maka kedua orang pangeran, diikuti yang lain minum tiga cawan arak.
“Bagaimanapun juga, kalau tidak ada bantuan nona Yo Han Li dan gurunya, tetap saja kami terancam bahaya maut. Mereka berdua yang dapat menandingi pihak pemberontak itu.”
Cia Sun tersenyum memandang kepada Han Li.
“Tentu saja. Han Li adalah puteri Si Tangan Sakti Yo Han dan isterinya Si Bangau Merah Tan Sian Li. Apalagi sekarang menjadi murid Kai-ong! Tentu ilmu kepandaiannya menjadi luar biasa sekali!”
“Aih, Paman Cia terlalu memujiku, membuat aku merasa malu saja.”
“Li-moi, ayahku hanya berkata sebenarnya, mengapa harus malu? Dan aku percaya bahwa Hong-moi sekarang tentu telah menjadi seorang gadis yang lihai pula. Kabarnya Hong-moi menerima pelajaran dari para ahli silat yang menjadi panglima pengawal, berganti-ganti guru sehingga tentu memiliki banyak macam ilmu silat!” kata Cia Kun sambil memandang adik sepupunya itu dengan sinar mata penuh kagum.
Pemuda ini sudah mendengar dari ayahnya bahwa pinangan mereka atas diri Han Li ditolak halus oleh orang tua gadis itu, maka dia tidak mengharapkan lagi dan perhatiannya beralih kepada Kwi Hong yang tidak kalah cantiknya dibandingkan Han Li.
“Aih, Kun-ko, engkau pandai memuji orang. Mana aku dapat dibandingkan dengan enci Han Li? Dibandingkan dengan engkau saja aku sudah kalah jauh! Selain Paman Pangeran Cia sendiri memilikl ilmu yang tinggi, Bibi yang menjadi ibumu memiliki ilmu silat yang lebih hebat pula. Engkau tentu telah mewarisi semua ilmunya!”
”Ah, Ayah dan terutama ibu memang pandai, akan tetapi aku yang bodoh, tidak maju-maju dalam pelajaran ilmu silat,” bantah Cia Kun sambil memandang kepada adik sepupunya itu dengan senyum.
“Kwi Hong, kenapa engkau tidak mengajak Han Li dan Cia Kun untuk bicara di taman? .Biarkan kami yang tua-tua bicara disini.” kata Pangeran Tao Kuang kepada puterinya.
“Ah, taman bunga sedang indah karena bunga-bunga sedang mekar, di mana hawanya sejuk sekali. Mari, enci Han Li dan kanda Cia Kun, kita bermain-main dan bicara di sana!”
Karena ajakan nona rumah ini, Han Li dan Cia Kun tidak dapat menolak dan pergilah tiga orang muda itu ke taman bunga.
Setelah tiga orang muda itu pergi, bertanyalah Cia Sun kepada Pangeran Tao Kuang,
“Kanda Pangeran, sebetulnya apakah yang telah terjadi? Siapa yang mendalangi pemberontakan itu?”
Pangeran Tao Kuang menghela napas panjang.
“Sungguh memalukan kalau dipikir. Yang menjadi dalangnya adalah Tao Seng dan Tao San.”
“Bukankah mereka dihukum buang ketika hendak membunuhmu dahulu itu, Kanda Pangeran?” tanya Cia Sun.
“Benar, akan tetapi hukuman mereka telah habis. Mereka lalu kembali ke kota raja dan menyamar sebagai orang-orang hartawan. Kita mengetahui akan hal itu akan tetapi mendiamkan saja. Bagaimanapun juga mereka adalah saudara-saudara kita dan hukuman bagi mereka sudah habis. Akan tetapi sungguh tidak disangka sama sekali, diam-diam mereka menghimpun kekuatan, mempergunakan datuk-datuk dan tokoh-tokoh sesat untuk membunuh ayahanda Kaisar dan aku sendiri. Dan engkau tahu siapa yang membongkar rahasia mereka?”
“Kakanda tadi sudah memberitahu bahwa yang membongkar rahasia itu adalah seorang bernama Tao Keng Han dan nona Souw Cu In.”
“Benar dan tahukah engkau siapa Tao Keng Han itu? Dia adalah keponakan kita sendiri, yaitu putera dari kakanda Tao Seng.”
Pangeran Mahkota Tao Kuang lalu menceritakan betapa Keng Han hendak membunuhnya karena pemuda itu dihasut oleh ayahnya sendiri yang menyamar sebagai Hartawan Ji. Akan tetapi akhirnya pemuda itu dapat disadarkan akan kekeliruannya dan bahwa dia terkena hasutan.
Cia Sun mendengarkan dengan bercampur kagum.
“Jadi pemuda itu musuh ayahnya sendiri dan memushi ayahnya sediri dan membongkar rahasia pemberontakannya kepadamu?”
“Benar. Akan tetapi bukan berarti bahwa dia membenci ayah kandungnya. Dia berbuat demikian karena melihat bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar. Sekarang dia hendak mencari ayahnya untuk dibujuk pulang ke Khitan. Ibunya adalah puteri kepala suku Khitan.”
Pangeran Cia Sun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Benar hebat pemuda itu. Dia tentu seorang pendekar yang besar!”
“Dia memang berjiwa pendekar dan menurut keponakanmu Kwi Hong, ilmu silatnya hebat sekali sehingga dia mampu mengalahkan para datuk sesat. Karena itu maka aku minta agar dia dan nona Souw Cu In yang juga lihai sekali untuk melindungi Kaisar dan tarnyata mereka berhasil merobohkan banyak penjahat yang menyamar sebagai perajurit pengawal, akan tetapi sayang, para datuk yang memimpin penyerbuan itu dapat kabur.
Rencana pemberontakan itu keji sekali. Mereka hendak membunuh ayahanda Kaisar dan aku, dan mereka mempersiapkan pasukan di luar dan di dalam kota raja, berhasil pula mempengaruhi seorang panglima. Tujuan mereka, kalau Kaisar dan aku sudah tewas, istana akan dikuasainya dan dengan dalih singgasana kosong dan dia yang berhak duduk sebagai kakakku yang tertua, Pangeran Tao Seng akan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar.”
“Keterlaluan sekali kanda Tao Seng itu. Dan sekarang, apakah dia, sudah tertangkap kembali?”
“Belum, begitu gerakan mereka gagal, dia sudah menghilang entah ke mana. Para penyelidik sedang mencarinya dan kalau tertangkap, sekali ini tentu akan di jatuhi hukuman mati.”
“Aku. dapat menduga siapa datuk-datuk sesat yang dipergunakan para pemberontak itu. Mereka tentu termasuk Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka adalah datuk-datuk yang tersesat, mau melakukan apa saja asalkan pahalanya besar.” kata Kai-ong Lu Tong Ki yang sejak tadi diam saja.
“Hemmm, tiga nama datuk itu sudah terkenal sekali. Kalau hanya menerima upah harta saja tentu mereka tidak mau membantu pemberontakan,” kata isteri Pangeran Cia Sun yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia kang-ouw maka ia mengenal pula tiga orang datuk yang disebutkan tadi. “Kurasa mereka itu mendapatkan janji akan diberi kedudukan tinggi kalau Pangeran Tao Seng berhasil menjadi Kaisar.”
Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk-angguk.
“Dugaan itu tepat sekali. Tidak dapat disangsikan lagi, mereka tentu diberi janji yang muluk-muluk.”
“Akan tetapi masih ada satu hal lagi yang amat mengherankan hatiku, Kanda Tao Kuang.”
“Apa yang kau herankan?”
“Hadirnya Yo Han Li di tempat ini. Kalau Locianpwe Kai-ong tidak aneh berada di sini sebagai tamu karena aku tahu bahwa Kanda Pangeran suka menghargai orang pandai. Akan tetapi Han Li, ia masih terhitung keponakanku sendiri karena ayahnya adalah kakak angkatku. Akan tetapi biarpun demikian, ayahnya itu juga ketua Thian-li-pang yang jelas merupakan perkumpulan para pejuang yang sewaktu-waktu dapat memberontak. Bukankah tersiar berita bahwa para penyerang yang hendak membunuh kaisar itu mengaku orang Thian-li-pang?”
Pangeran Tao Kuang tersenyum.
“Berita itu bohong dan yang membongkar rahasianya adalah nona Yo Han Li. Ia tidak mengenal orang-orang itu sebagai anggauta Thian-li-pang, bahkan kemudian diketahui bahwa para penyerang itu adalah orang-orang Pek-lian-pai dan Patkwa-pai. Tadinya aku pun sangat dan curiga kepada nona Yo, akan tetapi selama ia di sini ia memperlihatkan sikap yang baik sekali, bahkan cocok dengan Kwi Hong. Karena itu, aku sepenuhnya menanggung bahwa nona Yo tidak berpihak kepada pemberontakan, bahkan ia pun ikut turun tangan melawan ketika gerombolan penjahat itu menyerbu ke istana ini.”
Pangeran Cia Sun mengangguk-anggup, dan Liang Siok Cu, selir Pangeran Tao Kuang yang mendampingi mereka bercakap-cakap, menambahkan,
“Menurut penglihatanku, nona Yo sama sekali tidak jahat. Bahkan ia baik sekali, sopan dan ramah. Dengan terus terang ia pernah mengatakan kepada aku dan Kwi Hong, bahwa ayahnya memang pemimpin Thian-li-pang dan berjiwa patriot, akan tetapi sama sekali tidak membenci keluarga Kaisar. Yang dibencinya adalah penjajahan dan sekarang mereka hanya bergerak melindungi rakyat dari penindasan pejabat yang menyeleweng atau gangguan gerombolan perampok. Itulah sebabnya mengapa ia mau tinggal di sini menjadi tamu kami, bahkan telah ikut membantu menyelamatkan kami dari serbuan para pembunuh.”
Kembali Cia Sun mengangguk-angguk.
“Aku sudah mengenal baik siapa itu Yo Han. Pendekar Tangan Sakti itu memang seorang pendekar tulen yang budiman. Hampir tidak pernah dia membunuh orang. Orang-orang jahat hanya dia kalahkan dan dia taklukkan dan diampuni asalkan mau mengubah jalan hidup mereka yang menyeleweng.”
Sementara itu, di taman bunga juga terjadi percakapan yang menarik hati.
“Taman begini indah, hawa begini sejuk, sungguh tepat sekali untuk menulis sajak, meniup suling dan menabuh yangkim, atau karena kita belum mempersiapkan peralatannya, bagaimana kalau kita isi dengan mempertunjukkan ilmu silat kita masing-masing?” kata Kwi Hong dengan gembira.
“Bagus!” Cia Kun memuji. “Sebaiknya engkau yang mengusulkan, engkau yang lebih dulu mulai, Hong-moi!”
“Tidak, sebaiknya kalau enci Han Li yang mulai, mengingat bahwa ilmu silatnya yang paling tinggi di antara kita. Marilah, enci Han Li, bermainlah silat agar membuka mata, kami yang bodoh!” kata pula Kwi Hong sambil menarik-narik tangan Han Li.
Han Li tersenyum.
“Sudah lajim di mana-mana bahwa pria harus mengalah kepada wanita. Karena kita berdua wanita dan yang pria hanya Kun-ko, maka sepantasnyalah kalau dia mangalah dan bermain silat lebih dulu.”
Kwi Hong bertepuk tangan dan bersorak.
“Setuju sekali. Nah, Kun-ko, kalau engkau menolak berarti engkau seorang laki-laki yang tidak bijaksana, tidak mau mengalah terhadap wanita!”
Menghadapi serangan Kwi Hong ini, Cia Kun menyeringai dan tidak mampu membantah lagi.
“Baiklah aku akan mengalah. Aku mainkan ilmu pedang yang kupelajari dari ibuku.”
Kwi Hong bertepuk tangan.
“Wah, tentu hebat sekali!”
Cia Kun, mengeluarkan sebatang pedang dari punggungnya dan mencabut sebuah kipas putih dari pinggangnya, lalu berkata sambil tersenyum.
“Ibuku biasanya memainkan pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri. Karena aku tidak memainkan kebutan seperti seorang pendeta, ibu lalu mengganti kebutan itu dengan kipas. Nah, aku mulai, akan tetapi harap jangan ditertawakan!”
Cia Kun lalu melompat ke bagian yang luas dekat kolam ikan dan mulailah dia bermain pedang dan kipas. Gerakannya cepat dan indah sekali, seperti orang menari-nari dan terdengar suara berdesing dari pedangnya. Kipasnya melakukan totokan-totokan yang cepat dan kuat, kadang dikembangkan untuk menangkis serangan lawan.
Pemuda itu memainkan ilmu pedangnya yang sebanyak tiga puluh enam jurus itu, lalu berhenti. Lehernya sedikit berkeringat akan tetapi pernapasannya biasa saja tanda bahwa dia telah menguasai ilmu itu dengan baik dan dapat mengatur pernapasannya ketika berlatih tadi.
Kwi Hong bertepuk tangan, diikuti Han Li. Dan Han Li berkata,
“Sungguh kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!”
“Aih, Li-moi, jangan memuji di mulut akan tetapi menertawakan di hati!” kata Cia Sun sambil menyimpan kembali pedang dan kipasnya.
“Siapa menertawakan, Kun-ko? Tiga tahun yang lalu, ketika engkau dan orang tuamu datang berkunjung engkau juga memperlihatkan ilmu silatmu, akan tetapi sungguh jauh bedanya dengan yang kau mainkan tadi. Dalam waktu tiga tahun saja ilmu silatmu telah maju pesat sekali.”
“Terima kasih atas pujianmu, Li-moi”
“Haiii, kalian ini agaknya sudah lama berkenalani” kata Kwi Hong sambil memandang wajah kakak misannya.
“Tentu saja!” jawab Cia Kun sambil tersenyum. “Bahkan Han Li ini boleh dibilang adikku sendiri. Ayahku dan ayahnya adalah saudara angkat!”
“Ah, pantas saja kalian demikian akrab. Nah, enci Han Li, sekarang tiba giliranmu untuk menunjukkan kepandaianmu!” kata Kwi Hong gembira. Tadi ia merasa bangga dan kagum sekali melihat ilmu pedang yang dimainkan kakak misannya.
“Ih, apakah engkau tidak mengenal lagi sopan santun, adik Kwi Hong. Engkau adalah nona rumah dan aku hanya tamu, maka sudah selayaknya kalau nona rumah memberi contoh lebih dulu, baru aku sebagai tamu mengikutinya!”
“Wah, kiranya yang lihai bukan hanya ilmu silatmu, enci. Han Li. Engkau lihai sekali berdebat dan bicara. Baiklah, aku sebagai nona rumah harus mengalah. Akan tetapi berjanjilah bahwa kalian berdua tidak mentertawakan ilmu pedangku “
“Mana mungkin kami menertawakanmu? Kami percaya bahwa ilmu pedangmu tentu hebat sekali. Hayolah, adik Hong, perlihatkan kehebatan pedangmu!”
“Hong-moi, aku tadi sudah mengalah bermain pedang lebih dulu, maka kini engkau tidak dapat menolak lagi.” Cia Kun juga membujuk.
“Baiklah, boleh lihat baik-baik ilmu pedangku yang jelek dan dangkal.”
Kwi Hong lalu meloncat ke tempat dekat kolam tadi sambil mencabut pedangnya. Cepat sekali gerakan mencabut pedang itu sehingga seperti bermain sulap saja tahu-tahu pedang sudah berada di tangan kanannya. Ia memberi hormat dengan kedua tangan di dada terhadap dua orang penontonnya dan mulailah ia bermain silat pedang Ngo-heng Sin-kiam (Pedang Sakti Lima Unsur), yaitu ilmu yang secara kebetulan dia temukan bukunya di perpustakaan Istana kaisar.
Dan kedua orang penontonnya tertegun. Hebat memang ilmu pedang itu, mengandung tenaga keras, kadang lembut, kadang cepat dan kadang lambat. Dan Kwi Hong memainkannya dengan gerakan yang indah sekali. Kini Yo Han Li yang merasa kagum. belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti itu, akan tetapi kalau dipasangkan dengan ilmu pedang yang dimainkan Cia Kun tadi, jelas bahwa ilmu pedang yang dimainkan Kwi Hong lebih lihai. Juga Cia Kun kagum bukan main. Ilmu pedang itu tidak pernah dilihatnya, namun gerakannya demikian kuat dan cepat.
Setelah Kwi Hong menghentikan permainan pedangnya, Cia Kun dan Han Li menyambutnya dengan tepuk tangan.
“Kiam-hoat itu sungguh hebat sekali!” kata Han Li.
“Wah, Hong-moi, kalau aku tahu bahwa ilmu pedangmu demikian hebat, aku tadi tidak berani memperlihatkan kebodohanku. Aku mengaku kalah!” kata Cia Kun sambil menghampiri adik misannya itu.
“Kalian terlalu memujiku!” kata Kwi Hong sambil menyapu dahi dan lehernya yang berkeringat itu dengan saputangan. “Sekarang aku minta enci Han Li yang memperlihatkan kepandaiannya.”
“Karena kalian tadi bermain pedang, biarlah saya pun menggunakan pedang”.kata Han Li sambil mencabut pedangnya.
Pedang itu tidak begitu panjang dan tipis. Setelah memberi hormat kepada dua orang penontonnya, Han Li mulai menggerakkan pedangnya. Mula-mula gerakannya lambat saja, akan tetapi makin lama semakin cepat sehingga tubuhnya lenyap tergulung sinar pedang. Pedang itu mengeluarkan angin dan kadang sinarnya membubung ke atas, lalu mencuat ke kanan kiri. Kalau sinar pedang itu mencuat ke atas, maka jatuhlah daun-daun pohon berhamburan! baru sinar pedangnya saja mampu membuat daun-daun itu berjatuhan!
Cia Kun dan Kwi Hong menjadi bengong menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Han Li. Mereka tidak tahu bahwa itu adalah ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman), sebuah ilmu pedang dari keluarga Lembah Naga. Mata mereka menjadi silau dan seolah mereka menahan napas saking kagumnya.
Baru setelah gulungan itu lenyap dan nampak Han Li berdiri di situ dengan pedang bersembunyi di lengan kanarnya, mereka bertepuk tangan. Han Li menyimpan pedangnya dan menghampiri mereka dengan senyum simpul.
“Hebat! Hebat sekali ilmu pedangmu tadi, enci Han Li!” seru Kwi Hong.
“Memang hebat, akan tetapi ilmu pedangmu juga tidak kalah hebatnya, Hong-moi kata Cia Kun.
“Ah, engkau bisa saja memuji orang, Kun-koi”.
“Aku tidak asal memuji. Memang ilmu pedangmu tadi bagus sekali. Tanyakan kepada nona Yo kalau tidak percaya!”
Yo Han Li mengangguk.
“Memang hebat ilmu pedangmu tadi aku tidak pernah melihat ilmu pedang seperti itu. Apa namanya ilmu pedangmu itu, adik Kwi Hong?”
“Ilmu pedang itu kudapatkan secara kebetulan sekali. Ketika aku mencari-cari buku bacaan di kamar perpustakaan istana, aku menemukan sebuah kitab lama yang sukar dibaca. Aku minta tolong para sastrawan di istana dan akhirnya mengetahui bahwa isinya adalah ilmu pedang yang namanya Ngo-heng-kiam-sut. Nah, aku lalu mampelajarinya.”
“Hebat sekali. Ilmu itu tentu peninggalan orang sakti dan engkau beruntung menemukannya, adik Kwi Hong.”
“Jangan terlalu memujiku, enci Han Li. Ilmu pedangmu tadilah yang hebat. Apa sih namanya?”
“Itu adalah Koai-liong Kiam-sut yang kupelajari dari ibuku.”
“Dari kitab kuno dapat mempelajari ilmu pedang yang demikian kuat dan indah? Engkau sungguh seorang gadis yang cerdik dan tekun Hong-moi. Aku sungguh merasa kagum sekali!” tiba-tiba Cia Kun berkata sambil memandang wajah gadis itu. Wajah Kwi Hong menjadi kemerahan.
“Ah, Kun-ko. Sudahlah, jangan memuji-muji aku terlalu tinggi. Jangan-jangan kepala ini membesar dan meledak karena bangga!” kata Kwi-Hong sambil tersenyum.
Cia Kun juga tertawa dan dia beradu pandang dengan Kwi Hong, keduanya saling tertarik. Han Li melihat gelagat ini. Tadinya Cia Kun menyatakan suka padanya, bahkan ayah ibunya sudah datang meminangnya. Akan tetapi karena ayah ibunya tidak menyetujui pinangan itu, agaknya Cia Kun tidak lagi mengharapkannya dan pindah perhatian kepada Kwi Hong. Mereka memang pasangan yang sangat cocok, keduanya anak pangeran, berdarah bangsawan. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin hadir terus di situ yang hanya akan merupakan gangguan bagi mereka.
“Ah, kepalaku agak pening rasanya. Maafkan aku, adik Kwi Hong, aku permisi dulu untuk rebahan di kamarku.”
“Ah, tentu saja, Enci Han Li. Apakah engkau sakit? Jangan-jangan masuk angin. “ Kwi Hong mendekatinya dan meraba dahi Han Li, “Perlukah kupanggilkan tabib?”'
“Ah, tidak usah, adik Kwi Hong, terima kasih. Aku hanya merasa pening dan lelah. Ingin mengaso.”
”Kalau begitu baiklah, enci Han Li, aku akan bercakap-cakap dengan Kun-ko di sini.”
Han Li lalu pergi dari situ dan setelah agak jauh ia mendengar Kwi Hong dan Cia Kun keduanya tertawa-tawa dengan gembira.
“Semoga mereka berbahagia.” katanya dalam hati sambil memasuki gedung istana itu untuk menuju ke kamar yang disediakan untuknya.
“Nah, kebetulan sekali, Hong-moi. Kini kita ditinggal berdua saja. Aku memang ingin menyampaikan perasaan hatiku setelah bertemu denganmu. Sudah agak lama tidak saling bertemu dan tadi begitu melihatmu, jantungku berdebar tidak karuan. Engkau telah menjadi gadis dewasa yang cantik seperti bidadari dan juga tangguh seperti seorang pendekar wanita. Aku merasa kagum sekali, Hong-moi.”
“Wah, pujianmu terlalu muluk, Kun-ko. Aku hanya seorang gadis biasa, mana mungkin disamakan dengan bidadari?”
Kwi Hong lalu tertawa dan Cia Kun juga tertawa. Inilah yang didengarnya oleh Han Li sebelum ia masuk ke dalam istana.
“Sungguh, Hong-moi. Aku tidak main-main. Di dalam istana ayahku terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im, dan kulihat engkau mirip patung itu, lebih elok malah.”
“Aku kau samakan dengan Kwan Im Pousat? Ngaco! Engkau terlalu memujiku, padahal engkau sendiri seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali. Tentu banyak gadis puteri istana yang tergila-gila padamu.”
“Entahlah, aku tidak memperhatikan mereka. Tidak ada seorang pun puteri istana yang dapat menyamai engkau, Hong-moi. Karena itu, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk meminangmu sebagai calon isteriku.”
“Ihhh! Jangan bicara soal perjodohan, Kun-ko.” Kwi Hong membalikkan diri dan mukanya menjadi merah sekali.
Cia Kun mengitarinya dan menghadapinya.
“Engkau marah, Kwi Hong? Maafkanlah kelancanganku kalau begitu. Akan tetapi sebelum ayah bundaku melamarmu, aku ingin lebih dulu mengetahui darimu, apakah hatimu sudah ada yang punya? Kalau engkau tidak setuju, katakan saja sekarang agar orang tuaku tidak usah melamar yang kemudian kau menolak. Maka itu, katakanlah, bagaimana kalau ayah bundaku melamarmu?”
Kwi Hong merasa terharu sekali. Ia memang pernah jatuh cinta kepada seorang pemuda, dan pemuda itu adalah Keng Han. Akan tetapi ternyata bahwa Keng Han adalah kakak sepupunya, satu marga sehingga tidak mungkin sekali mereka menjadi suami isteri. Sekarang Cia Kun menyatakan cintanya. Ditanya seperti itu tentu saja sukar baginya untuk menjawab. Di dalam hatinya, Ia pun kagum dan suka kepada Cia Kun. Seorang pemuda bangsawan, putera pangeran yang terkenal berbudi, seorang pemuda yang juga tidak lemah, karena ibunya seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi. Mau apa lagi?
“Hong-moi, jawablah. Jangan biarkan aku dalam keraguan yang akan menyiksa hatiku. Aku tidak akan merasa sakit hati andaikata engkau menolakku. Aku hanya ingin kepastian dan jawablah selagi kita hanya berdua di sini.”
“Ah,Kun-ko.... urusan begituan.... kuserahkan saja kepada ayah dan ibuku. Mari kita kembali kepada mereka.“
Dan tanpa menanti jawaban Kwi Hong lalu berlari masuk, disusul oleh Cia Kun. Pemuda ini merasa gembira bukan main. Dia tahu bahwa kalau seorang gadis setuju dipinang, ia pasti akan mengatakan seperti yang dikatakan gadis itu, yaitu menyerahkan kepada orang tuanya. Kalau tidak setuju, pasti terus terang dikatakan tidak setuju!
Ketika Cia Kun dan Sim Hui Eng melihat putera mereka kembali dari taman bersama Kwi Hong dan wajah pemuda itu berseri dan matanya bersinar-siinar, mereka sudah dapat menduga. Apalagi melihat Kwi Hong malu-malu duduk sambil menundukkan mukanya!
Mereka berpamit dan diantar oleh Pangeran Tao Kuang dan selirnya sampai ke pintu depan. Dengan hati gembira dan tidak sabar lagi, Cia Kun lalu menceritakan kepada ayah bundanya bahwa dia telah menyatakan cintanya kepada Kwi Hong dan agaknya gadis itu tidak berkeberatan. Maka dia minta kepada ayah ibunya untuk meminang gadis itu.
Cia Sun dan isterinya gembira mendengar berita ini karena mereka tentu setuju sekali kalau mempunyai mantu puteri Pangeran Mahkota. Mereka berjanji akan melakukan pinangan secepat mungkin.
Karena ajakan nona rumah ini, Han Li dan Cia Kun tidak dapat menolak dan pergilah tiga orang muda itu ke taman bunga.
Setelah tiga orang muda itu pergi, bertanyalah Cia Sun kepada Pangeran Tao Kuang,
“Kanda Pangeran, sebetulnya apakah yang telah terjadi? Siapa yang mendalangi pemberontakan itu?”
Pangeran Tao Kuang menghela napas panjang.
“Sungguh memalukan kalau dipikir. Yang menjadi dalangnya adalah Tao Seng dan Tao San.”
“Bukankah mereka dihukum buang ketika hendak membunuhmu dahulu itu, Kanda Pangeran?” tanya Cia Sun.
“Benar, akan tetapi hukuman mereka telah habis. Mereka lalu kembali ke kota raja dan menyamar sebagai orang-orang hartawan. Kita mengetahui akan hal itu akan tetapi mendiamkan saja. Bagaimanapun juga mereka adalah saudara-saudara kita dan hukuman bagi mereka sudah habis. Akan tetapi sungguh tidak disangka sama sekali, diam-diam mereka menghimpun kekuatan, mempergunakan datuk-datuk dan tokoh-tokoh sesat untuk membunuh ayahanda Kaisar dan aku sendiri. Dan engkau tahu siapa yang membongkar rahasia mereka?”
“Kakanda tadi sudah memberitahu bahwa yang membongkar rahasia itu adalah seorang bernama Tao Keng Han dan nona Souw Cu In.”
“Benar dan tahukah engkau siapa Tao Keng Han itu? Dia adalah keponakan kita sendiri, yaitu putera dari kakanda Tao Seng.”
Pangeran Mahkota Tao Kuang lalu menceritakan betapa Keng Han hendak membunuhnya karena pemuda itu dihasut oleh ayahnya sendiri yang menyamar sebagai Hartawan Ji. Akan tetapi akhirnya pemuda itu dapat disadarkan akan kekeliruannya dan bahwa dia terkena hasutan.
Cia Sun mendengarkan dengan bercampur kagum.
“Jadi pemuda itu musuh ayahnya sendiri dan memushi ayahnya sediri dan membongkar rahasia pemberontakannya kepadamu?”
“Benar. Akan tetapi bukan berarti bahwa dia membenci ayah kandungnya. Dia berbuat demikian karena melihat bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar. Sekarang dia hendak mencari ayahnya untuk dibujuk pulang ke Khitan. Ibunya adalah puteri kepala suku Khitan.”
Pangeran Cia Sun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Benar hebat pemuda itu. Dia tentu seorang pendekar yang besar!”
“Dia memang berjiwa pendekar dan menurut keponakanmu Kwi Hong, ilmu silatnya hebat sekali sehingga dia mampu mengalahkan para datuk sesat. Karena itu maka aku minta agar dia dan nona Souw Cu In yang juga lihai sekali untuk melindungi Kaisar dan tarnyata mereka berhasil merobohkan banyak penjahat yang menyamar sebagai perajurit pengawal, akan tetapi sayang, para datuk yang memimpin penyerbuan itu dapat kabur.
Rencana pemberontakan itu keji sekali. Mereka hendak membunuh ayahanda Kaisar dan aku, dan mereka mempersiapkan pasukan di luar dan di dalam kota raja, berhasil pula mempengaruhi seorang panglima. Tujuan mereka, kalau Kaisar dan aku sudah tewas, istana akan dikuasainya dan dengan dalih singgasana kosong dan dia yang berhak duduk sebagai kakakku yang tertua, Pangeran Tao Seng akan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar.”
“Keterlaluan sekali kanda Tao Seng itu. Dan sekarang, apakah dia, sudah tertangkap kembali?”
“Belum, begitu gerakan mereka gagal, dia sudah menghilang entah ke mana. Para penyelidik sedang mencarinya dan kalau tertangkap, sekali ini tentu akan di jatuhi hukuman mati.”
“Aku. dapat menduga siapa datuk-datuk sesat yang dipergunakan para pemberontak itu. Mereka tentu termasuk Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka adalah datuk-datuk yang tersesat, mau melakukan apa saja asalkan pahalanya besar.” kata Kai-ong Lu Tong Ki yang sejak tadi diam saja.
“Hemmm, tiga nama datuk itu sudah terkenal sekali. Kalau hanya menerima upah harta saja tentu mereka tidak mau membantu pemberontakan,” kata isteri Pangeran Cia Sun yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia kang-ouw maka ia mengenal pula tiga orang datuk yang disebutkan tadi. “Kurasa mereka itu mendapatkan janji akan diberi kedudukan tinggi kalau Pangeran Tao Seng berhasil menjadi Kaisar.”
Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk-angguk.
“Dugaan itu tepat sekali. Tidak dapat disangsikan lagi, mereka tentu diberi janji yang muluk-muluk.”
“Akan tetapi masih ada satu hal lagi yang amat mengherankan hatiku, Kanda Tao Kuang.”
“Apa yang kau herankan?”
“Hadirnya Yo Han Li di tempat ini. Kalau Locianpwe Kai-ong tidak aneh berada di sini sebagai tamu karena aku tahu bahwa Kanda Pangeran suka menghargai orang pandai. Akan tetapi Han Li, ia masih terhitung keponakanku sendiri karena ayahnya adalah kakak angkatku. Akan tetapi biarpun demikian, ayahnya itu juga ketua Thian-li-pang yang jelas merupakan perkumpulan para pejuang yang sewaktu-waktu dapat memberontak. Bukankah tersiar berita bahwa para penyerang yang hendak membunuh kaisar itu mengaku orang Thian-li-pang?”
Pangeran Tao Kuang tersenyum.
“Berita itu bohong dan yang membongkar rahasianya adalah nona Yo Han Li. Ia tidak mengenal orang-orang itu sebagai anggauta Thian-li-pang, bahkan kemudian diketahui bahwa para penyerang itu adalah orang-orang Pek-lian-pai dan Patkwa-pai. Tadinya aku pun sangat dan curiga kepada nona Yo, akan tetapi selama ia di sini ia memperlihatkan sikap yang baik sekali, bahkan cocok dengan Kwi Hong. Karena itu, aku sepenuhnya menanggung bahwa nona Yo tidak berpihak kepada pemberontakan, bahkan ia pun ikut turun tangan melawan ketika gerombolan penjahat itu menyerbu ke istana ini.”
Pangeran Cia Sun mengangguk-anggup, dan Liang Siok Cu, selir Pangeran Tao Kuang yang mendampingi mereka bercakap-cakap, menambahkan,
“Menurut penglihatanku, nona Yo sama sekali tidak jahat. Bahkan ia baik sekali, sopan dan ramah. Dengan terus terang ia pernah mengatakan kepada aku dan Kwi Hong, bahwa ayahnya memang pemimpin Thian-li-pang dan berjiwa patriot, akan tetapi sama sekali tidak membenci keluarga Kaisar. Yang dibencinya adalah penjajahan dan sekarang mereka hanya bergerak melindungi rakyat dari penindasan pejabat yang menyeleweng atau gangguan gerombolan perampok. Itulah sebabnya mengapa ia mau tinggal di sini menjadi tamu kami, bahkan telah ikut membantu menyelamatkan kami dari serbuan para pembunuh.”
Kembali Cia Sun mengangguk-angguk.
“Aku sudah mengenal baik siapa itu Yo Han. Pendekar Tangan Sakti itu memang seorang pendekar tulen yang budiman. Hampir tidak pernah dia membunuh orang. Orang-orang jahat hanya dia kalahkan dan dia taklukkan dan diampuni asalkan mau mengubah jalan hidup mereka yang menyeleweng.”
Sementara itu, di taman bunga juga terjadi percakapan yang menarik hati.
“Taman begini indah, hawa begini sejuk, sungguh tepat sekali untuk menulis sajak, meniup suling dan menabuh yangkim, atau karena kita belum mempersiapkan peralatannya, bagaimana kalau kita isi dengan mempertunjukkan ilmu silat kita masing-masing?” kata Kwi Hong dengan gembira.
“Bagus!” Cia Kun memuji. “Sebaiknya engkau yang mengusulkan, engkau yang lebih dulu mulai, Hong-moi!”
“Tidak, sebaiknya kalau enci Han Li yang mulai, mengingat bahwa ilmu silatnya yang paling tinggi di antara kita. Marilah, enci Han Li, bermainlah silat agar membuka mata, kami yang bodoh!” kata pula Kwi Hong sambil menarik-narik tangan Han Li.
Han Li tersenyum.
“Sudah lajim di mana-mana bahwa pria harus mengalah kepada wanita. Karena kita berdua wanita dan yang pria hanya Kun-ko, maka sepantasnyalah kalau dia mangalah dan bermain silat lebih dulu.”
Kwi Hong bertepuk tangan dan bersorak.
“Setuju sekali. Nah, Kun-ko, kalau engkau menolak berarti engkau seorang laki-laki yang tidak bijaksana, tidak mau mengalah terhadap wanita!”
Menghadapi serangan Kwi Hong ini, Cia Kun menyeringai dan tidak mampu membantah lagi.
“Baiklah aku akan mengalah. Aku mainkan ilmu pedang yang kupelajari dari ibuku.”
Kwi Hong bertepuk tangan.
“Wah, tentu hebat sekali!”
Cia Kun, mengeluarkan sebatang pedang dari punggungnya dan mencabut sebuah kipas putih dari pinggangnya, lalu berkata sambil tersenyum.
“Ibuku biasanya memainkan pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri. Karena aku tidak memainkan kebutan seperti seorang pendeta, ibu lalu mengganti kebutan itu dengan kipas. Nah, aku mulai, akan tetapi harap jangan ditertawakan!”
Cia Kun lalu melompat ke bagian yang luas dekat kolam ikan dan mulailah dia bermain pedang dan kipas. Gerakannya cepat dan indah sekali, seperti orang menari-nari dan terdengar suara berdesing dari pedangnya. Kipasnya melakukan totokan-totokan yang cepat dan kuat, kadang dikembangkan untuk menangkis serangan lawan.
Pemuda itu memainkan ilmu pedangnya yang sebanyak tiga puluh enam jurus itu, lalu berhenti. Lehernya sedikit berkeringat akan tetapi pernapasannya biasa saja tanda bahwa dia telah menguasai ilmu itu dengan baik dan dapat mengatur pernapasannya ketika berlatih tadi.
Kwi Hong bertepuk tangan, diikuti Han Li. Dan Han Li berkata,
“Sungguh kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!”
“Aih, Li-moi, jangan memuji di mulut akan tetapi menertawakan di hati!” kata Cia Sun sambil menyimpan kembali pedang dan kipasnya.
“Siapa menertawakan, Kun-ko? Tiga tahun yang lalu, ketika engkau dan orang tuamu datang berkunjung engkau juga memperlihatkan ilmu silatmu, akan tetapi sungguh jauh bedanya dengan yang kau mainkan tadi. Dalam waktu tiga tahun saja ilmu silatmu telah maju pesat sekali.”
“Terima kasih atas pujianmu, Li-moi”
“Haiii, kalian ini agaknya sudah lama berkenalani” kata Kwi Hong sambil memandang wajah kakak misannya.
“Tentu saja!” jawab Cia Kun sambil tersenyum. “Bahkan Han Li ini boleh dibilang adikku sendiri. Ayahku dan ayahnya adalah saudara angkat!”
“Ah, pantas saja kalian demikian akrab. Nah, enci Han Li, sekarang tiba giliranmu untuk menunjukkan kepandaianmu!” kata Kwi Hong gembira. Tadi ia merasa bangga dan kagum sekali melihat ilmu pedang yang dimainkan kakak misannya.
“Ih, apakah engkau tidak mengenal lagi sopan santun, adik Kwi Hong. Engkau adalah nona rumah dan aku hanya tamu, maka sudah selayaknya kalau nona rumah memberi contoh lebih dulu, baru aku sebagai tamu mengikutinya!”
“Wah, kiranya yang lihai bukan hanya ilmu silatmu, enci. Han Li. Engkau lihai sekali berdebat dan bicara. Baiklah, aku sebagai nona rumah harus mengalah. Akan tetapi berjanjilah bahwa kalian berdua tidak mentertawakan ilmu pedangku “
“Mana mungkin kami menertawakanmu? Kami percaya bahwa ilmu pedangmu tentu hebat sekali. Hayolah, adik Hong, perlihatkan kehebatan pedangmu!”
“Hong-moi, aku tadi sudah mengalah bermain pedang lebih dulu, maka kini engkau tidak dapat menolak lagi.” Cia Kun juga membujuk.
“Baiklah, boleh lihat baik-baik ilmu pedangku yang jelek dan dangkal.”
Kwi Hong lalu meloncat ke tempat dekat kolam tadi sambil mencabut pedangnya. Cepat sekali gerakan mencabut pedang itu sehingga seperti bermain sulap saja tahu-tahu pedang sudah berada di tangan kanannya. Ia memberi hormat dengan kedua tangan di dada terhadap dua orang penontonnya dan mulailah ia bermain silat pedang Ngo-heng Sin-kiam (Pedang Sakti Lima Unsur), yaitu ilmu yang secara kebetulan dia temukan bukunya di perpustakaan Istana kaisar.
Dan kedua orang penontonnya tertegun. Hebat memang ilmu pedang itu, mengandung tenaga keras, kadang lembut, kadang cepat dan kadang lambat. Dan Kwi Hong memainkannya dengan gerakan yang indah sekali. Kini Yo Han Li yang merasa kagum. belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti itu, akan tetapi kalau dipasangkan dengan ilmu pedang yang dimainkan Cia Kun tadi, jelas bahwa ilmu pedang yang dimainkan Kwi Hong lebih lihai. Juga Cia Kun kagum bukan main. Ilmu pedang itu tidak pernah dilihatnya, namun gerakannya demikian kuat dan cepat.
Setelah Kwi Hong menghentikan permainan pedangnya, Cia Kun dan Han Li menyambutnya dengan tepuk tangan.
“Kiam-hoat itu sungguh hebat sekali!” kata Han Li.
“Wah, Hong-moi, kalau aku tahu bahwa ilmu pedangmu demikian hebat, aku tadi tidak berani memperlihatkan kebodohanku. Aku mengaku kalah!” kata Cia Kun sambil menghampiri adik misannya itu.
“Kalian terlalu memujiku!” kata Kwi Hong sambil menyapu dahi dan lehernya yang berkeringat itu dengan saputangan. “Sekarang aku minta enci Han Li yang memperlihatkan kepandaiannya.”
“Karena kalian tadi bermain pedang, biarlah saya pun menggunakan pedang”.kata Han Li sambil mencabut pedangnya.
Pedang itu tidak begitu panjang dan tipis. Setelah memberi hormat kepada dua orang penontonnya, Han Li mulai menggerakkan pedangnya. Mula-mula gerakannya lambat saja, akan tetapi makin lama semakin cepat sehingga tubuhnya lenyap tergulung sinar pedang. Pedang itu mengeluarkan angin dan kadang sinarnya membubung ke atas, lalu mencuat ke kanan kiri. Kalau sinar pedang itu mencuat ke atas, maka jatuhlah daun-daun pohon berhamburan! baru sinar pedangnya saja mampu membuat daun-daun itu berjatuhan!
Cia Kun dan Kwi Hong menjadi bengong menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Han Li. Mereka tidak tahu bahwa itu adalah ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman), sebuah ilmu pedang dari keluarga Lembah Naga. Mata mereka menjadi silau dan seolah mereka menahan napas saking kagumnya.
Baru setelah gulungan itu lenyap dan nampak Han Li berdiri di situ dengan pedang bersembunyi di lengan kanarnya, mereka bertepuk tangan. Han Li menyimpan pedangnya dan menghampiri mereka dengan senyum simpul.
“Hebat! Hebat sekali ilmu pedangmu tadi, enci Han Li!” seru Kwi Hong.
“Memang hebat, akan tetapi ilmu pedangmu juga tidak kalah hebatnya, Hong-moi kata Cia Kun.
“Ah, engkau bisa saja memuji orang, Kun-koi”.
“Aku tidak asal memuji. Memang ilmu pedangmu tadi bagus sekali. Tanyakan kepada nona Yo kalau tidak percaya!”
Yo Han Li mengangguk.
“Memang hebat ilmu pedangmu tadi aku tidak pernah melihat ilmu pedang seperti itu. Apa namanya ilmu pedangmu itu, adik Kwi Hong?”
“Ilmu pedang itu kudapatkan secara kebetulan sekali. Ketika aku mencari-cari buku bacaan di kamar perpustakaan istana, aku menemukan sebuah kitab lama yang sukar dibaca. Aku minta tolong para sastrawan di istana dan akhirnya mengetahui bahwa isinya adalah ilmu pedang yang namanya Ngo-heng-kiam-sut. Nah, aku lalu mampelajarinya.”
“Hebat sekali. Ilmu itu tentu peninggalan orang sakti dan engkau beruntung menemukannya, adik Kwi Hong.”
“Jangan terlalu memujiku, enci Han Li. Ilmu pedangmu tadilah yang hebat. Apa sih namanya?”
“Itu adalah Koai-liong Kiam-sut yang kupelajari dari ibuku.”
“Dari kitab kuno dapat mempelajari ilmu pedang yang demikian kuat dan indah? Engkau sungguh seorang gadis yang cerdik dan tekun Hong-moi. Aku sungguh merasa kagum sekali!” tiba-tiba Cia Kun berkata sambil memandang wajah gadis itu. Wajah Kwi Hong menjadi kemerahan.
“Ah, Kun-ko. Sudahlah, jangan memuji-muji aku terlalu tinggi. Jangan-jangan kepala ini membesar dan meledak karena bangga!” kata Kwi-Hong sambil tersenyum.
Cia Kun juga tertawa dan dia beradu pandang dengan Kwi Hong, keduanya saling tertarik. Han Li melihat gelagat ini. Tadinya Cia Kun menyatakan suka padanya, bahkan ayah ibunya sudah datang meminangnya. Akan tetapi karena ayah ibunya tidak menyetujui pinangan itu, agaknya Cia Kun tidak lagi mengharapkannya dan pindah perhatian kepada Kwi Hong. Mereka memang pasangan yang sangat cocok, keduanya anak pangeran, berdarah bangsawan. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin hadir terus di situ yang hanya akan merupakan gangguan bagi mereka.
“Ah, kepalaku agak pening rasanya. Maafkan aku, adik Kwi Hong, aku permisi dulu untuk rebahan di kamarku.”
“Ah, tentu saja, Enci Han Li. Apakah engkau sakit? Jangan-jangan masuk angin. “ Kwi Hong mendekatinya dan meraba dahi Han Li, “Perlukah kupanggilkan tabib?”'
“Ah, tidak usah, adik Kwi Hong, terima kasih. Aku hanya merasa pening dan lelah. Ingin mengaso.”
”Kalau begitu baiklah, enci Han Li, aku akan bercakap-cakap dengan Kun-ko di sini.”
Han Li lalu pergi dari situ dan setelah agak jauh ia mendengar Kwi Hong dan Cia Kun keduanya tertawa-tawa dengan gembira.
“Semoga mereka berbahagia.” katanya dalam hati sambil memasuki gedung istana itu untuk menuju ke kamar yang disediakan untuknya.
“Nah, kebetulan sekali, Hong-moi. Kini kita ditinggal berdua saja. Aku memang ingin menyampaikan perasaan hatiku setelah bertemu denganmu. Sudah agak lama tidak saling bertemu dan tadi begitu melihatmu, jantungku berdebar tidak karuan. Engkau telah menjadi gadis dewasa yang cantik seperti bidadari dan juga tangguh seperti seorang pendekar wanita. Aku merasa kagum sekali, Hong-moi.”
“Wah, pujianmu terlalu muluk, Kun-ko. Aku hanya seorang gadis biasa, mana mungkin disamakan dengan bidadari?”
Kwi Hong lalu tertawa dan Cia Kun juga tertawa. Inilah yang didengarnya oleh Han Li sebelum ia masuk ke dalam istana.
“Sungguh, Hong-moi. Aku tidak main-main. Di dalam istana ayahku terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im, dan kulihat engkau mirip patung itu, lebih elok malah.”
“Aku kau samakan dengan Kwan Im Pousat? Ngaco! Engkau terlalu memujiku, padahal engkau sendiri seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali. Tentu banyak gadis puteri istana yang tergila-gila padamu.”
“Entahlah, aku tidak memperhatikan mereka. Tidak ada seorang pun puteri istana yang dapat menyamai engkau, Hong-moi. Karena itu, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk meminangmu sebagai calon isteriku.”
“Ihhh! Jangan bicara soal perjodohan, Kun-ko.” Kwi Hong membalikkan diri dan mukanya menjadi merah sekali.
Cia Kun mengitarinya dan menghadapinya.
“Engkau marah, Kwi Hong? Maafkanlah kelancanganku kalau begitu. Akan tetapi sebelum ayah bundaku melamarmu, aku ingin lebih dulu mengetahui darimu, apakah hatimu sudah ada yang punya? Kalau engkau tidak setuju, katakan saja sekarang agar orang tuaku tidak usah melamar yang kemudian kau menolak. Maka itu, katakanlah, bagaimana kalau ayah bundaku melamarmu?”
Kwi Hong merasa terharu sekali. Ia memang pernah jatuh cinta kepada seorang pemuda, dan pemuda itu adalah Keng Han. Akan tetapi ternyata bahwa Keng Han adalah kakak sepupunya, satu marga sehingga tidak mungkin sekali mereka menjadi suami isteri. Sekarang Cia Kun menyatakan cintanya. Ditanya seperti itu tentu saja sukar baginya untuk menjawab. Di dalam hatinya, Ia pun kagum dan suka kepada Cia Kun. Seorang pemuda bangsawan, putera pangeran yang terkenal berbudi, seorang pemuda yang juga tidak lemah, karena ibunya seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi. Mau apa lagi?
“Hong-moi, jawablah. Jangan biarkan aku dalam keraguan yang akan menyiksa hatiku. Aku tidak akan merasa sakit hati andaikata engkau menolakku. Aku hanya ingin kepastian dan jawablah selagi kita hanya berdua di sini.”
“Ah,Kun-ko.... urusan begituan.... kuserahkan saja kepada ayah dan ibuku. Mari kita kembali kepada mereka.“
Dan tanpa menanti jawaban Kwi Hong lalu berlari masuk, disusul oleh Cia Kun. Pemuda ini merasa gembira bukan main. Dia tahu bahwa kalau seorang gadis setuju dipinang, ia pasti akan mengatakan seperti yang dikatakan gadis itu, yaitu menyerahkan kepada orang tuanya. Kalau tidak setuju, pasti terus terang dikatakan tidak setuju!
Ketika Cia Kun dan Sim Hui Eng melihat putera mereka kembali dari taman bersama Kwi Hong dan wajah pemuda itu berseri dan matanya bersinar-siinar, mereka sudah dapat menduga. Apalagi melihat Kwi Hong malu-malu duduk sambil menundukkan mukanya!
Mereka berpamit dan diantar oleh Pangeran Tao Kuang dan selirnya sampai ke pintu depan. Dengan hati gembira dan tidak sabar lagi, Cia Kun lalu menceritakan kepada ayah bundanya bahwa dia telah menyatakan cintanya kepada Kwi Hong dan agaknya gadis itu tidak berkeberatan. Maka dia minta kepada ayah ibunya untuk meminang gadis itu.
Cia Sun dan isterinya gembira mendengar berita ini karena mereka tentu setuju sekali kalau mempunyai mantu puteri Pangeran Mahkota. Mereka berjanji akan melakukan pinangan secepat mungkin.
**** 39 ****