“Niocu, kuharap engkau jangan mencampuri urusan ini, atau bantulah aku membunuh Thian It Tosu yang palsu ini!”
“Engkaulah yang palsu, Gu Lam Sang!” bentak Bi-kiam. Nio-cu.
Akan tetapi dara ini terkejut ketika pedangnya yang menangkis pedang Pek-coa-kiam itu terpental dan tangannya tergetar hebat. Pemuda Tibet itu ternyata memiliki tenaga sinkang yang luar biasa.
Keng Han meloncat ke depan Niocu dan berkata,
“Mundurlah, Niocu. Jahanam ini musuhku biarkan aku yang menghadapinya! Nah, Gulam Sang, sebaiknya engkau melepas kedokmu itu!”
Gu Lam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu memandang Keng Han dengan mata mencorong penuh kebencian.
“Engkau pengacau sinting, biar kubunuh engkau lebih dulu!”
Dengan bentakan ini, Gu Lam Sang menyerang Keng Han dengan Pedang Ular Putih. Serangan itu hebat sekali dan Pek-coa-kiam itu menyambar ke arah leher Keng Han. Akan tetapi Keng Han yang sudah tahu betapa lihainya Gu Lam Sang, sudah mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi, Gu Lam Sang mendesak terus dengan Pek-coa-kiam yang ampuh itu sehingga Keng Han harus berloncatan dan mengelak ke sana sini dan nampak terdesak dan tidak mampu balas menyerang.
Saat itu Bi-kiam Nio-cu berteriak,
“Keng Han, pakailah pedangku ini!”
Ia melontarkan pedangnya ke arah Keng Han yang menyambutnya dengan tangan. Sekarang dia juga memegang sebatang pedang dan ketika Gu Lam Sang menyerang lagi dengan bacokan dahsyat, Keng Han malah maju menangkis sambil mengerahkan sinkangnya.
“Tranggggg....!!”
Sepasang pedang itu bertemu dengan hebatnya dan Gu Lam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu terdorong mundur ke belakang. Akan tetapi ketika Keng Han melihat pedangnya, ternyata pedang itu telah putus bagian ujungnya! Jelaslah bahwa Pek-coa-kiam di tangan Gu Lam Sang itu sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang amat ampuh.
Namun dari pertemuan tenaga itu dapat diketahui bahwa dalam hal sinkang, ternyata Gu Lam Sang masih belum mampu menandingi Keng Han. Keng Han lalu balas menyerang dengan pedang buntungnya dan dia memainkan ilmu Hong-in-bun-hoat, pedang buntungnya seperti menulis dan membuat corat-coret di udara, akan tetapi semua itu merupakan serangan yang dahsyat.
Menghadapi ilmu pedang yang aneh ini, Gu Lam Sang terkejut dan kini dia yang terdesak mundur. Beberapa kali dia mencoba untuk memanfaatkan keunggulan pedangnya untuk menangkis dan membabat pedang buntung lawan, akan tetapi usahanya itu tidak pernah berhasil karena Keng Han selalu mengelak kalau diajak beradu pedang.
Di antara para penonton terdapat Yo Han, Tan Sian Li, dan juga Yo Han Li yang menonton pertandingan itu. Yo Han sendiri juga kaget dan tidak mengerti mengapa muncul dua orang Thian It Tosu. Dia masih ragu-ragu siapa di antara kedua orang itu yang asli dan mana pula yang palsu.
Maka ketika Keng Han bertanding dengan Thian It Tosu, Yo Han, isterinya dan puterinya tidak tahu harus memihak yang mana. Akan tetapi ketika Keng Han mainkan ilmu Hongin-bun-hoat, mereka bertiga memandang heran. Pemuda itu mainkan Hong-in Bun-hoat yang mereka kenal sedemikian hebatnya. Bahkan biarpun pedangnya sudah buntung, dia kini mampu mendesak Thian It Tosu yang menjadi kewalahan dan main mundur terus.
Pertandingan itu memang hebat bukan main. Gu Lam Sang yang didesak terus itu mengeluarkan semua ilmunya, bahkan beberapa kali dia membentak dengan kekuatan sihirnya untuk merobohkan Keng Han. Akan tetapi, ilmu sihirnya tidak mempan terhadap Keng Han karena pemuda ini telah memiliki tenaga sakti yang hebat.
Dan setelah mereka bertanding sampai seratus jurus lebih, tahulah Yo Han, isteri dan puterinya bahwa Thian It Tosu itu jelas palsu. Hal ini mudah saja diketahui. Kalau Thian It Tosu asli, tentu menggunakan ilmu pedang Bu-tong-pai yang sudah mereka kenal. Akan tetapi Thian It Tosu ini sama sekali tidak menggunakan ilmu silat Bu-tong-pai melainkan menggunakan ilmu silat yang aneh dan belum pernah mereka lihat!
Yo Han yang berpengalaman luas itu berbisik kepada isteri dan puterinya,
“Ilmu silatnya tentu datang dari Barat. Dan lihat, dia menggunakan sihir dalam bentakan-bentakannya itu. Untung bagi Keng Han, dia memiliki sinkang yang cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir itu.”
Tiba-tiba Keng Han mengubah ilmu silatnya. Pedangnya masih membuat gerakan ilmu Hong-in Bun-hoat akan tetapi tangan kirinya memukul dengan jurus pukulan ilmu Toat-beng Bian-kun yang kelihatan lemah lembut namun menyembunyikan kekuatan yang amat dasyat. Dan Gu Lam Sang benar-benar terdesak hebat.
Pada saat itu dari dalam melayang keluar tiga orang kakek yang membentak,
“Bocah lancang. Berani engkau menghina tuan rumah kami, ketua Bu-tong-pai?”
Yo Han melihat bahwa mereka itu adalah para datuk sesat yang terkenal, yaitu Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Tiga orang datuk ini memang sengaja tidak keluar dulu dan hanya mengintai dari dalam, melihat perkembangan keadaan.
Ketika melihat Keng Han datang bersama Thian It Tosu, tahulah mereka bahwa Gu Lam Sang terancam bahaya. Apalagi setelah melihat betapa Gu Lam Sang terdesak hebat oleh Keng Han, mereka tidak dapat tinggal diam saja dan ketiganya lalu keluar dan melompat ke atas panggung, meninggalkan Pangeran Tao Seng yang masih bersembunyi di dalam kamar rahasia.
Karena mereka berada di kamar rahasia, maka tadi Keng Han gagal menemukan ayahnya ketika mencari di seluruh kamar tahanan dalam rumah induk Bu-tong-pai itu.
“Engkaulah yang palsu, Gu Lam Sang!” bentak Bi-kiam. Nio-cu.
Akan tetapi dara ini terkejut ketika pedangnya yang menangkis pedang Pek-coa-kiam itu terpental dan tangannya tergetar hebat. Pemuda Tibet itu ternyata memiliki tenaga sinkang yang luar biasa.
Keng Han meloncat ke depan Niocu dan berkata,
“Mundurlah, Niocu. Jahanam ini musuhku biarkan aku yang menghadapinya! Nah, Gulam Sang, sebaiknya engkau melepas kedokmu itu!”
Gu Lam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu memandang Keng Han dengan mata mencorong penuh kebencian.
“Engkau pengacau sinting, biar kubunuh engkau lebih dulu!”
Dengan bentakan ini, Gu Lam Sang menyerang Keng Han dengan Pedang Ular Putih. Serangan itu hebat sekali dan Pek-coa-kiam itu menyambar ke arah leher Keng Han. Akan tetapi Keng Han yang sudah tahu betapa lihainya Gu Lam Sang, sudah mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi, Gu Lam Sang mendesak terus dengan Pek-coa-kiam yang ampuh itu sehingga Keng Han harus berloncatan dan mengelak ke sana sini dan nampak terdesak dan tidak mampu balas menyerang.
Saat itu Bi-kiam Nio-cu berteriak,
“Keng Han, pakailah pedangku ini!”
Ia melontarkan pedangnya ke arah Keng Han yang menyambutnya dengan tangan. Sekarang dia juga memegang sebatang pedang dan ketika Gu Lam Sang menyerang lagi dengan bacokan dahsyat, Keng Han malah maju menangkis sambil mengerahkan sinkangnya.
“Tranggggg....!!”
Sepasang pedang itu bertemu dengan hebatnya dan Gu Lam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu terdorong mundur ke belakang. Akan tetapi ketika Keng Han melihat pedangnya, ternyata pedang itu telah putus bagian ujungnya! Jelaslah bahwa Pek-coa-kiam di tangan Gu Lam Sang itu sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang amat ampuh.
Namun dari pertemuan tenaga itu dapat diketahui bahwa dalam hal sinkang, ternyata Gu Lam Sang masih belum mampu menandingi Keng Han. Keng Han lalu balas menyerang dengan pedang buntungnya dan dia memainkan ilmu Hong-in-bun-hoat, pedang buntungnya seperti menulis dan membuat corat-coret di udara, akan tetapi semua itu merupakan serangan yang dahsyat.
Menghadapi ilmu pedang yang aneh ini, Gu Lam Sang terkejut dan kini dia yang terdesak mundur. Beberapa kali dia mencoba untuk memanfaatkan keunggulan pedangnya untuk menangkis dan membabat pedang buntung lawan, akan tetapi usahanya itu tidak pernah berhasil karena Keng Han selalu mengelak kalau diajak beradu pedang.
Di antara para penonton terdapat Yo Han, Tan Sian Li, dan juga Yo Han Li yang menonton pertandingan itu. Yo Han sendiri juga kaget dan tidak mengerti mengapa muncul dua orang Thian It Tosu. Dia masih ragu-ragu siapa di antara kedua orang itu yang asli dan mana pula yang palsu.
Maka ketika Keng Han bertanding dengan Thian It Tosu, Yo Han, isterinya dan puterinya tidak tahu harus memihak yang mana. Akan tetapi ketika Keng Han mainkan ilmu Hongin-bun-hoat, mereka bertiga memandang heran. Pemuda itu mainkan Hong-in Bun-hoat yang mereka kenal sedemikian hebatnya. Bahkan biarpun pedangnya sudah buntung, dia kini mampu mendesak Thian It Tosu yang menjadi kewalahan dan main mundur terus.
Pertandingan itu memang hebat bukan main. Gu Lam Sang yang didesak terus itu mengeluarkan semua ilmunya, bahkan beberapa kali dia membentak dengan kekuatan sihirnya untuk merobohkan Keng Han. Akan tetapi, ilmu sihirnya tidak mempan terhadap Keng Han karena pemuda ini telah memiliki tenaga sakti yang hebat.
Dan setelah mereka bertanding sampai seratus jurus lebih, tahulah Yo Han, isteri dan puterinya bahwa Thian It Tosu itu jelas palsu. Hal ini mudah saja diketahui. Kalau Thian It Tosu asli, tentu menggunakan ilmu pedang Bu-tong-pai yang sudah mereka kenal. Akan tetapi Thian It Tosu ini sama sekali tidak menggunakan ilmu silat Bu-tong-pai melainkan menggunakan ilmu silat yang aneh dan belum pernah mereka lihat!
Yo Han yang berpengalaman luas itu berbisik kepada isteri dan puterinya,
“Ilmu silatnya tentu datang dari Barat. Dan lihat, dia menggunakan sihir dalam bentakan-bentakannya itu. Untung bagi Keng Han, dia memiliki sinkang yang cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir itu.”
Tiba-tiba Keng Han mengubah ilmu silatnya. Pedangnya masih membuat gerakan ilmu Hong-in Bun-hoat akan tetapi tangan kirinya memukul dengan jurus pukulan ilmu Toat-beng Bian-kun yang kelihatan lemah lembut namun menyembunyikan kekuatan yang amat dasyat. Dan Gu Lam Sang benar-benar terdesak hebat.
Pada saat itu dari dalam melayang keluar tiga orang kakek yang membentak,
“Bocah lancang. Berani engkau menghina tuan rumah kami, ketua Bu-tong-pai?”
Yo Han melihat bahwa mereka itu adalah para datuk sesat yang terkenal, yaitu Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Tiga orang datuk ini memang sengaja tidak keluar dulu dan hanya mengintai dari dalam, melihat perkembangan keadaan.
Ketika melihat Keng Han datang bersama Thian It Tosu, tahulah mereka bahwa Gu Lam Sang terancam bahaya. Apalagi setelah melihat betapa Gu Lam Sang terdesak hebat oleh Keng Han, mereka tidak dapat tinggal diam saja dan ketiganya lalu keluar dan melompat ke atas panggung, meninggalkan Pangeran Tao Seng yang masih bersembunyi di dalam kamar rahasia.
Karena mereka berada di kamar rahasia, maka tadi Keng Han gagal menemukan ayahnya ketika mencari di seluruh kamar tahanan dalam rumah induk Bu-tong-pai itu.
Melihat tiga orang datuk itu maju, Bi-kiam Nio-cu yang sudah marah sekali melihat Gu Lam Sang menyamar sebagai Thian It Tosu juga melompat ke atas panggung dan berseru,
“Main keroyokan bukan watak orang gagah!”
Dan ia sudah siap untuk melawan siapa saja yang hendak mengeroyok Keng Han, biarpun ia bertangan kosong karena pedangnya sudah dipinjamkan kepada Keng Han.
Han Li tadi melihat betapa gadis itu meminjamkan pedangnya kepada Keng Han, maka tanpa ragu lagi ia mencabut pedangnya dan melemparkannya pada Bi-kiam Nio-cu sambil berseru,
“Enci pakailah pedangku ini!”
Niocu menyambut pedang itu dengan tangan kanannya lalu menghadapi Swat-hai Lo-kwi yang juga memegang sebatang pedang. Pada saat itu, dua bayangan berkelebat ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Yo Han dan isterinya, si Bangau Merah Tan Sian Li!
Tan Sian Li sudah mencabut suling emas yang diselipkan di pinggangnya, sedangkan Yo Han yang tak pernah bersenjata itu hanya berdiri dengan tangan kosong. Tan Sian Li menghadapi Tung-hai Lomo sambil berkata lantang, suaranya mengejek.
“Main keroyokan, ya? Kami juga bisa!”
Dan tanpa banyak komentar lagi wanita berusia empat puluh tahun yang masih cantik itu sudah menggerakkan sulingnya untuk menyerang Tung-hai Lo-mo. Terdengar suara berdesing nyaring dan suling itu menjadi sinar keemasan yang melengking-lengking! Terpaksa Tung-hai Lo-mo menyambut dengan pedangnya dan mereka berdua sudah bertanding dengan hebatnya.
Kini tinggal Lam-hai Koai-jin yang belum mendapat lawan. Maka Yo Han menghadapinya dan berkata,
“Lam-hai Koai-jin, engkau ingin memperlihatkan kepandaianmu? Majulah dan akulah lawanmu!”
Melihat Yo Han, Lam-hai Koai-jin sudah merasa gentar. Dia maklum betapa tinggi ilmu kepandaian Pendekar Tangan Sakti ini. Dan selagi dia meragu untuk menyambut tantangan Yo Han, Thian It Tosu yang sejak tadi hanya menonton saja lalu melangkah maju dan dia berseru lantang,
“Cuwi harap menahan senjata dan berhenti berkelahi!”
Mendengar bentakan nyaring ini semua menahan senjata, Thian It Tosu yang palsu sudah terdesak hebat, mandi peluh dan napasnya terengah-engah. Maka seruan untuk, berhenti bertanding itu telah menyelamatkannya. Thian It Tosu lalu menghampirinya dan berkata,
“Gu Lam Sang, engkau yang menjadi gara-gara keributan ini. Pinto tidak ingin Bu-tong-pai menjadi tempat pertempuran. Harap para saudara yang membela Gu Lam Sang dan membelaku suka mundur semua dan biarkan kami berdua yang menyelesaikan urusan ini!”
Sikap Thian It Tosu berwibawa sekali. Tiga orang datuk itu mundur dan melihat ini, Bi-kiam Nio-cu, Yo Han dan Tan Sian Li juga mengundurkan diri. Kini yang berdiri di atas panggung hanya kedua orang yang sama itu, Thian It Tosu berkata dengan suaranya yang lembut namun berwibawa.
“Gu Lam Sang, untuk membuktikan siapa di antara kita berdua yang asli dan palsu, marilah kita bertanding ilmu disini, disaksikan semua orang. Akan tetapi, yang namanya Thian it Tosu itu selamanya tidak pernah menyerang lawan yang tidak bersenjata. Nah, beranikah engkau melawan pinto?”
”Hemmm, engkaulah yang palsu dan jangan mencoba untuk mengelabui orang lain. Aku Thian It Tosu yang asli. Tentu saja aku siap melawanmu dengan tangan kosong!”
Setelah berkata demikian, Thian It Tosu yang palsu itu lalu melontarkan pedangnya ke bawah dan pedang itu menancap di atas papan, bergoyang-goyang saking kuatnya lontaran itu.
Kedua orang kakek itu kini saling berhadapan dan semua orang menahan napas menyaksikan peristiwa yang aneh itu. Dua orang Thian It Tosu saling berhadapan untuk saling menyerang. Kalau tadi Yo Han, Keng Han dan dua orang wanita itu mentaati permintaan Thian It Tosu adalah karena mereka menghormati Thian It Tosu sebagai tuan rumah.
Mereka ini yakin dan percaya kepada Keng Han bahwa yang muncul belakangan itu adalah ketua Butong-pai yang asli. Juga semua murid Bu-tong-pai yakin dan tahu mana yang asli dan mana yang palsu dengan melihat cara Thian It Tosu tadi bertanding melawan Keng Han.
Gulam Sang adalah murid Dalai Lama yang lebih banyak mempelajari kebatinan. Sebab itu pemuda ini merasa sinkang-nya lebih dapat diandalkan dibandingkan ilmu silatnya. Apalagi dia pun tahu bahwa ketua Bu-tong-pai yang menjadi lawannya ini setiap hari telah diberi racun sehingga sekarang sudah keracunan hebat. Dalam keadaan begini tentu saja Thian It Tosu tidak akan mampu sepenuhnya mengerahkan sinkang-nya.
Selain itu, Gulam Sang juga tahu bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai sungguh lihai dan sulit dicari tandingannya. Karena itu, setelah mengetahui bahwa pertandingannya melawan Thian It Tosu akan dilakukan dengan tangan kosong tanpa senjata, dia merasa yakin bahwa dia akan dapat memenangkan pertandingan ini.
Dia lalu menerjang ke depan dan mulai dengan serangannya. Thian It Tosu mengelak dan bersilat dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Kini Gulam Sang tidak dapat menirukan lagi dan mengeluarkan ilmu silatnya yang dia pelajari dari Dalai Lama.
Melihat kenyataan ini, para murid Bu-tong-pai tidak ragu lagi untuk menentukan siapa di antara dua orang yang sedang bertanding itu mana yang asli mana yang palsu. Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu, dua orang murid kepala di Bu-tong-pai yang selama itu sudah terpaksa menuruti kemauan Gulam Sang karena khawatir bahwa Gulam Sang akan membunuh guru mereka, sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka segera berloncatan ke atas panggung, diikuti oleh belasan orang murid lainnya.
“Dialah yang palsu!” bentak Thian Yang Cu kepada Gulam Sang sehingga para murid itu mengepungnya.
Melihat ini, Gulam Sang menjadi gentar dan Thian It Tosu memanfaatkannya dengan sebuah tendangan yang mengenai dadanya. Gulam Sang roboh dan para murid sudah mengayun pedang untuk membunuhnya.
Akan tetapi Thian It Tosu berseru nyaring,
“Jangan bunuh!”
Gulam Sang tidak dibunuh, akan tetapi ia ditangkap dan banyak senjata menodongnya. Thian Yang Cu lalu menjambak rambutnya dan sekali tarik dengan kuat, terlepaslah kedok yang dipakai oleh Gulam Sang.
Thian Yang Cu mengangkat kedok itu ke atas dan berseru kepada semua tamu.
“Lihat, dia menggunakan kedok menyamar sebagai guru dan ketua kami. Dia adalah Gulam Sang!”
Bukan hanya pendekar yang terheran-heran, bahkan tiga datuk yang tadi membelanya terkejut dan merasa heran. Mereka sama sekali tidak pernah menduga bahwa Thian It Tosu yang selama ini mereka anggap asli itu ternyata palsu.
“Kalau begitu, semua janji itu pun palsu.”
“Bunuh saja keparat itu!” demikian banyak orang berteriak-teriak marah. Akan tetapi Thian Yang Cu melarang para murid membunuhnya.
“Gu Lam Sang, permainanmu sudah berakhir. Semestinya engkau dibunuh oleh banyak senjata murid Bu-tong-pai. Akan tetapi kami akan membebaskan engkau kalau engkau suka memberi obat penawar racun dari tubuh ketua kami.”
Gu Lam Sang menyeringai.
“Bagus kalau kalian mengetahui dan ingat akan keadaan Thian It Tosu!” katanya dan karena dia sudah ditodong dan tak mungkin melawan lagi, dia merogoh saku dalam di bajunya dan mengeluarkan sebuah bungkusan kertas. Kemudian dia berkata kepada Thian It Tosu, “Tubuhmu sudah penuh racun yang berada dalam makanan dan minumanmu selama ini. Telanlah obat ini dan engkau akan sembuh kembali.”
Thian It Tosu menerima bungkusan itu dan seorang murid mengambilkan air teh. Thian It Tosu membuka bungkusan itu dan menuangkan isinya ke dalam mulut, lalu diminumnya air teh itu.
Setelah obat itu memasuki perutnya, di dalam perutnya mengeluarkan bunyi dan dia merasa betapa rasa nyeri di dada dan perut menghilang. Tadi pun dalam keadaan keracunan dia melawan Gulam Sang. Kalau dilanjutkan agaknya dia akan kalah karena kalau mengerahkan tenaga sinkang dadanya terasa nyeri. Kini dia mencoba untuk mengerahkan sinkangnya. Tidak terjadi sesuatu. Itu merupakan bukti bahwa obat itu memang manjur.
“Lepaskan dia!” kata Thian It Tosu kepada para muridnya dan dia sendiri mencabut Pek-coa-kiam yang tadi oleh Gulam Sang ditancapkan ke atas papan.
Biarpun agak enggan, para murid menarik senjata mereka yang ditodongkan kepada Gulam Sang. Dia tertawa menyeringai, lalu menoleh kepada Bi-kiam Nio-cu sambil berkata,
“Niocu, maukah engkau pergi dengan aku?”
”Jahanam busuk! Membunuhmu aku mau, kalau disuruh pergi bersamamu, jangan harap!”
Gulam Sang maklum bahwa dia telah kalah segala-galanya, maka dia sudah melangkah untuk meninggalkan panggung.
“Tahan dulu!!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Semua orang menoleh dan Gulam Sang juga memandang. Ketika melihat bahwa yang datang itu adalah dua orang pendeta Lama berjubah merah, wajahnya menjadi pucat sekali.
"Omitohud....! Dicari ke mana-mana ternyata berada di sini. Gulam Sang, atas perintah Yang Mulia Dalai Lama, kami harus menangkapmu. Menyerahlah engkau agar kami tidak harus menggunakan kekerasan!”
Gulam Sang maklum bahwa kalau dia menyerah, tidak urung dia akan dibunuh. Dia dan ayahnya, Gosang Lama, telah menyebabkan pemberontakan di Tibet. Ayahnya juga sudah terbunuh, dan selama ini dia dapat meloloskan diri dan bersembunyi di Bu-tong-pai. Ternyata pada saat kejatuhannya, dua orang Lama Jubah Merah muncul. Maka, Gulam Sang menjadi nekat.
“Kalian tidak akan dapat menangkapku hidup-hidup!” setelah membentak demikian, dia lalu menyerang kedua pendeta Lama itu dengan amat ganas.
Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu adalah murid-murid Dalai Lama yang lebih tinggi tingkatnya dibandingkan Gulam Sang. Mereka menyambut terjangan itu dengan pukulan telapak tangan secara berbareng.
“Desss....!”
Tubuh Gulam Sang terpental dan bergulingan lalu diam dan tidak bergerak lagi. Ternyata dia telah tewas!
“Omitohud, setiap perbuatan jahat akan berakibat malapetaka bagi dirinya sendiri!” kata pendeta Lama yang perutnya gendut. Kemudian mereka berdua menghadapi Thian It Tosu dan yang kurus berkata dengan sikap hormat.
“Apakah Toyu ketua Bu-tong-pai?”
“Benar.”
”Kalau begitu, kami mohon dengan hormat untuk mengadakan upacara membakar mayat disini. Bolehkah?”
“Tentu saja boleh.”
Thian It Tosu dia kini menghadapi semua orang yang berkumpul di situ.
“Kami harap agar para tamu yang tergolong sesat seperti perkumpulan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, suka meninggalkan tempat ini. Kalian Semua memang diundang, akan tetapi bukan pinto yang mengundang. Dan hendaknya kalian maklumi, bahwa Bu-tong-pai bukan perkumpulan pemberontak terhadap pemerintah. Kami hanya menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Yang tadinya merasa bersekutu dengan Bu-tong-pai di bawah pimpinan ketua palsu, diminta agar juga meninggalkan tempat ini!”
Mendengar ucapan ini, tiga orang datuk segera pergi tanpa banyak cakap lagi. Juga rombongan orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, termasuk mereka yang tadinya disusupkan menjadi anggauta Bu-tong-pai, semua pergi secepatnya dari tempat yang berbahaya bagi keselamatan mereka itu.
Kini yang masih tinggal hanyalah orang-orang kang-ouw yang hidupnya sebagai pendekar dan yang selalu menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Tentu saja termasuk Yo Han, Tan Sian Li dan Yo Han Li yang sudah lama menjadi sahabat baik Thian It Tosu. Juga Bi-kiam Nio-cu masih berada di situ. Keng Han menghampiri Bi-kiam Niocu, mengembalikan pedang yang tadi dipijamkan kepadanya,
“Maaf, Niocu, pedangmu rusak dan patah ujungnya.” kata Keng Han.
“Tidak mengapa engkau telah menyadarkan aku tentang Gulam Sang yang palsu itu.” kata wanita itu sambil menerima kembali pedangnya.
Thian It Tosu menghampiri Yo Han dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada yang segera dibalas oleh Yo Han.
“Terima kasih atas bantuan Yo-taihiap sekeluarga, juga terima kasih kepada Ji-wi yang muda-muda namun berilmu tinggi.” katanya dan ucapan terakhir ditujukan kepada Keng Han dan Bikiam Nio-cu.
“Ah, Totiang. Aku malah minta maaf bahwa aku sama sekali tidak tahu bahwa Totiang telah ditahan dan Thian It Tosu yang memimpin Bu-tong-pai adalah orang palsu! Pantas saja aku merasa heran sekali atas perubahan sikap Bu-tong-pai dan bersekutu dengan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kiranya bukan Totiang orangnya.”
“Totiang, saya ingin mencari orang yang bernama Tao Seng, yang menjadi pimpinan pemberontakan ini. Menurut perhitungan saya, dia pasti bersembunyi di dalam Bu-tong-pai bersama datuk-datuk sesat tadi. Apakah ada murid Totiang yang mengetahui di mana dia bersembunyi?”
Seorang murid Bu-tong-pai cepat maju dan berkata,
“Memang ada seorang yang kemarin dulu diterima oleh ketua palsu sebagai tamu dan dia disebut Ji-wangwe.”
"Ya itulah orangnya!” seru Keng Han. “Tahukah engkau di mana dia bersembunyi?”
“Tadinya mereka semua bersembunyi di kamar rahasia akan tetapi ketika terjadi perkelahian, Ji-wangwe itu keluar dari kamar rahasia dan melarikan diri melalui pintu belakang.”
“Wah, aku harus mengejarnya!” kata Keng Han dan dia sudah meloncat pergi dari situ dan lari ke belakang gedung, melalui taman dan terus melompat pagar tembok di belakang taman.
Dia mengejar dan mencari terus, namun tidak nampak jejak orang yang dicarinya itu. Tugasnya membela keluarga kaisar sudah berhasil dan kini tinggal menemukan ayahnya dan memaksa ayah itu ikut bersama ke Khitan, menghadap ibunya!
Dia tiba di sebuah bukit kecil. Cepat dia mendaki bukit itu dan di puncak bukit itu dia melihat sebuah rumah menyendiri. Mungkin ayahnya itu bersembunyi di sana, pikirnya penuh harapan.
Akan tetapi ketika tiba di pekarangan rumah itu, tiba-tiba terdengar suara tawa dan tiga orang meluncur keluar dari dalam rumah itu. Mereka itu ternyata adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Swat-hai Lo-kwi sudah memegang pedangnya, Tung-hai Lo-mo sudah memegang dayung bajanya dan Lam-hai Koai-jin memegang ruyungnya. Jelas bahwa kedatangannya itu telah diketahui mereka dan mereka telah siap untuk menghadapinya.
“Ha-ha-ha, orang muda. Beberapa kali engkau menggagalkan usaha kami, sekarang tiba saatnya kami melakukan pembalasan dan membunuhmu di sini!” kata Swat-hai Lo-kwi sambil tertawa.
“Lo-kwi, ingat! Ketika kita berada di Pulau Hantu itu engkau pun berniat membunuhku, akan tetapi sampai sekarang aku masih hidup! Aku tidak takut biarpun kalian bersikap curang hendak mengeroyokku. Aku hanya ingin bertanya, apakah Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji itu berada di dalam? Kalau betul, suruh dia keluar dan aku akan membawanya pergi. Aku tidak ada alasan untuk bertanding dengan kalian!”
Melihat sikap pemuda itu demikian tabah menghadapi mereka bertiga, Tung-hai Lo-mo yang wataknya angkuh itu membentak,
“Dia memang berada di sini. Akan tetapi kami melindunginya. Kalau engkau dapat mengalahkan kami bertiga, barulah engkau boleh menemuinya!”
"Tung-hai Lo-mo, sudah kukatakan bahwa aku tidak butuh bertanding denganmu. Aku hanya menghendaki orang itu. Ketahuilah bahwa Pangeran Tao Seng itu adalah ayah kandungku!”
”Ha-ha-ha, jangan engkau membual!” kata Lam-hai Koai-jin. “Kalau dia memang ayah kandungmu, mengapa engkau malah menentangnya sehingga gerakannya gagal?”
“Karena dia berada di pihak yang bersalah. Dia berbuat jahat dan aku tidak ingin melihat dia berbuat jahat!” jawab Keng Han.
“Sudahlah, kawan-kawan, tidak perlu berdebat dengan bocah ini. Mari kita bereskan saja dia!”
Setelah berkata demikian Swat-hai Lo-kwi sudah menggerakkan pedangnya menyerang Keng Han. Keng Han menghindarkan diri dengan mengelak ke kiri. Akan tetapi dari sebelah kiri, dayung baja Tung-hai Lo-mo sudah menyapu ke arah pinggangnya!
Keng Han meloncat tinggi ke atas sehingga dayung baja itu menyambar di bawah kakinya. Keng Han menginjak dayung itu dan meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali sebelum turun ke atas tanah. Baru saja dia hinggap di tanah, ruyung Lam-hai Koai-jin sudah menyerangnya, memukulkan ruyung yang besar dan berat ke arah kepalanya!
Hebat serangan ini, tapi Keng Han tidak menjadi gentar. Kembali dia mengelak ke kanan dan kini kakinya menendang ke arah Swat-hai Lo-kwi. Lo-kwi mengelak dan Keng Han segera dikeroyok tiga orang datuk itu.
Keng Han telah memiliki tenaga sinkang yang dahsyat dan ilmu silatnya juga ilmu silat tinggi dan sakti dari Pulau Es. Akan tetapi kini dia menghadapi pengeroyokan tiga orang datuk besar di dunia persilatan. Apalagi dia tidak bersenjata, sedangkan tiga orang datuk yang menyerangnya itu menggunakan tiga macam senjata yang berbeda gerakannya. Tubuhnya berkelebatan di antara tiga gulungan sinar dari senjata musuh-musuhnya.
Tiga orang datuk itu mengeroyok sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring, namun Keng Han bukan saja mengelak, bahkan terhadap dayung baja dan ruyung itu beberapa kali dia menangkis dengan tangannya. Setiap kali ditangkis, pemegang senjata itu merasa tangannya tergetar oleh hawa yang dingin sekali kalau yang menangkis itu tangan kiri Keng Han, sedangkan kalau tangan kanan yang menangkis, lawannya merasa hawa yang amat panas menyerang dirinya.
Tiba-tiba seorang muncul di depan pintu. Dia itu bukan lain adalah Tao Seng. Melihat betapa puteranya dikeroyok oleh tiga orang datuk itu, tiba-tiba Tao Seng teringat kepada Silani, isterinya yang ditinggalkan di Khitan. Maka dia pun tidak ingin melihat puteranya terbunuh.
“Sam-wi Locianpwe, jangan bunuh dia! Dia itu anakku, jangan bunuh dia!”
Swat-hai Lo-kwi menjadi jengkel mendengar ucapan Tao Seng itu. Baginya, orang itu adalah Hartawan Ji yang membiayai semua usaha pemberontakan itu. Kini, melihat hartawan itu malah melindungi Keng Han, dia menjadi marah.
“Kami harus membunuhnya! Dialah yang menggagalkan semua usaha!”
Dan dia menyerang semakin gencar kepada Keng Han yang masih terus melakukan perlawanan dengan gigih.
Tao Seng melihat betapa Keng Han terdesak hebat dan kalau perkelahian itu dilanjutkan, tentu akhirnya Keng Han akan tewas! Mati terbunuh di depan matanya. Anaknya! Tiba-tiba dia menghunus pedang dan meloncat ke dalam pertandingan itu, sama sekali bukan untuk mengeroyok Keng Han, melainkan dia menggunakan pedangnya menyerang Swat-hai Lo-kwi!
“Heiii! Apa yang kau lakukan ini, Ji-wangwe!” bentak Swat-hai Lo-kwi sambil menangkis.
“Jangan bunuh dia! Jangan bunuh dia!” Tao Seng berteriak-teriak sambil terus untuk membantu Keng Han.
“Keparat!”
Swat-hai Lo-kwi berteriak marah sambil membalik dan menyerang Tao Seng. Baru diserang sebanyak lima jurus saja pedang di tangan Swat-hai Lokwi telah menembus dada Tao Seng. Tao Seng berteriak dan roboh terguling.
“Ayahhh....!”
Keng Han berseru keras melihat ayahnya roboh dengan mandi darah dia lalu mengamuk. Akan tetapi dia dikeroyok tiga orang datuk yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan semua bersenjata, sedangkan dia sendiri bertangan kosong.
Swat-hai Lo-kwi menusukkan pedangnya ke arah lambung Keng Han dan pada saat itu dayung baja Tung-hai Lo-mo menghantam ke arah kepalanya dan ruyung Lam-hai Koai-jin menghantam punggungnya!
Diserang secara serentak seperti itu, Keng Han cepat meloncat tinggi untuk menghindarkan semua serangan dan kedua kakinya menendang dan menangkis dayung baja dan ruyung, kemudian sambil menjejakkan kedua kaki pada dua senjata itu tubuhnya berjungkir balik ke belakang dan selamatlah dia dari tiga serangan yang dilakukan serentak itu.
Akan tetapi jantungnya berdebar juga karena serangan berbareng itu sungguh amat berbahaya. Kalau saja tidak melihat tiga orang datuk itu membunuh ayahnya, tentu dia sudah meninggalkan tiga orang lawannya. Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi telah membunuh ayahnya dan dia tidak dapat tinggal diam begitu saja. Dia meloncat ke dekat tubuh ayahnya.
“Ayah, engkau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.
“Keng Han, larilah selagi ada kesempatan....aku.... aku tidak apa-apa....!”
“Main keroyokan bukan watak orang gagah!”
Dan ia sudah siap untuk melawan siapa saja yang hendak mengeroyok Keng Han, biarpun ia bertangan kosong karena pedangnya sudah dipinjamkan kepada Keng Han.
Han Li tadi melihat betapa gadis itu meminjamkan pedangnya kepada Keng Han, maka tanpa ragu lagi ia mencabut pedangnya dan melemparkannya pada Bi-kiam Nio-cu sambil berseru,
“Enci pakailah pedangku ini!”
Niocu menyambut pedang itu dengan tangan kanannya lalu menghadapi Swat-hai Lo-kwi yang juga memegang sebatang pedang. Pada saat itu, dua bayangan berkelebat ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Yo Han dan isterinya, si Bangau Merah Tan Sian Li!
Tan Sian Li sudah mencabut suling emas yang diselipkan di pinggangnya, sedangkan Yo Han yang tak pernah bersenjata itu hanya berdiri dengan tangan kosong. Tan Sian Li menghadapi Tung-hai Lomo sambil berkata lantang, suaranya mengejek.
“Main keroyokan, ya? Kami juga bisa!”
Dan tanpa banyak komentar lagi wanita berusia empat puluh tahun yang masih cantik itu sudah menggerakkan sulingnya untuk menyerang Tung-hai Lo-mo. Terdengar suara berdesing nyaring dan suling itu menjadi sinar keemasan yang melengking-lengking! Terpaksa Tung-hai Lo-mo menyambut dengan pedangnya dan mereka berdua sudah bertanding dengan hebatnya.
Kini tinggal Lam-hai Koai-jin yang belum mendapat lawan. Maka Yo Han menghadapinya dan berkata,
“Lam-hai Koai-jin, engkau ingin memperlihatkan kepandaianmu? Majulah dan akulah lawanmu!”
Melihat Yo Han, Lam-hai Koai-jin sudah merasa gentar. Dia maklum betapa tinggi ilmu kepandaian Pendekar Tangan Sakti ini. Dan selagi dia meragu untuk menyambut tantangan Yo Han, Thian It Tosu yang sejak tadi hanya menonton saja lalu melangkah maju dan dia berseru lantang,
“Cuwi harap menahan senjata dan berhenti berkelahi!”
Mendengar bentakan nyaring ini semua menahan senjata, Thian It Tosu yang palsu sudah terdesak hebat, mandi peluh dan napasnya terengah-engah. Maka seruan untuk, berhenti bertanding itu telah menyelamatkannya. Thian It Tosu lalu menghampirinya dan berkata,
“Gu Lam Sang, engkau yang menjadi gara-gara keributan ini. Pinto tidak ingin Bu-tong-pai menjadi tempat pertempuran. Harap para saudara yang membela Gu Lam Sang dan membelaku suka mundur semua dan biarkan kami berdua yang menyelesaikan urusan ini!”
Sikap Thian It Tosu berwibawa sekali. Tiga orang datuk itu mundur dan melihat ini, Bi-kiam Nio-cu, Yo Han dan Tan Sian Li juga mengundurkan diri. Kini yang berdiri di atas panggung hanya kedua orang yang sama itu, Thian It Tosu berkata dengan suaranya yang lembut namun berwibawa.
“Gu Lam Sang, untuk membuktikan siapa di antara kita berdua yang asli dan palsu, marilah kita bertanding ilmu disini, disaksikan semua orang. Akan tetapi, yang namanya Thian it Tosu itu selamanya tidak pernah menyerang lawan yang tidak bersenjata. Nah, beranikah engkau melawan pinto?”
”Hemmm, engkaulah yang palsu dan jangan mencoba untuk mengelabui orang lain. Aku Thian It Tosu yang asli. Tentu saja aku siap melawanmu dengan tangan kosong!”
Setelah berkata demikian, Thian It Tosu yang palsu itu lalu melontarkan pedangnya ke bawah dan pedang itu menancap di atas papan, bergoyang-goyang saking kuatnya lontaran itu.
Kedua orang kakek itu kini saling berhadapan dan semua orang menahan napas menyaksikan peristiwa yang aneh itu. Dua orang Thian It Tosu saling berhadapan untuk saling menyerang. Kalau tadi Yo Han, Keng Han dan dua orang wanita itu mentaati permintaan Thian It Tosu adalah karena mereka menghormati Thian It Tosu sebagai tuan rumah.
Mereka ini yakin dan percaya kepada Keng Han bahwa yang muncul belakangan itu adalah ketua Butong-pai yang asli. Juga semua murid Bu-tong-pai yakin dan tahu mana yang asli dan mana yang palsu dengan melihat cara Thian It Tosu tadi bertanding melawan Keng Han.
Gulam Sang adalah murid Dalai Lama yang lebih banyak mempelajari kebatinan. Sebab itu pemuda ini merasa sinkang-nya lebih dapat diandalkan dibandingkan ilmu silatnya. Apalagi dia pun tahu bahwa ketua Bu-tong-pai yang menjadi lawannya ini setiap hari telah diberi racun sehingga sekarang sudah keracunan hebat. Dalam keadaan begini tentu saja Thian It Tosu tidak akan mampu sepenuhnya mengerahkan sinkang-nya.
Selain itu, Gulam Sang juga tahu bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai sungguh lihai dan sulit dicari tandingannya. Karena itu, setelah mengetahui bahwa pertandingannya melawan Thian It Tosu akan dilakukan dengan tangan kosong tanpa senjata, dia merasa yakin bahwa dia akan dapat memenangkan pertandingan ini.
Dia lalu menerjang ke depan dan mulai dengan serangannya. Thian It Tosu mengelak dan bersilat dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Kini Gulam Sang tidak dapat menirukan lagi dan mengeluarkan ilmu silatnya yang dia pelajari dari Dalai Lama.
Melihat kenyataan ini, para murid Bu-tong-pai tidak ragu lagi untuk menentukan siapa di antara dua orang yang sedang bertanding itu mana yang asli mana yang palsu. Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu, dua orang murid kepala di Bu-tong-pai yang selama itu sudah terpaksa menuruti kemauan Gulam Sang karena khawatir bahwa Gulam Sang akan membunuh guru mereka, sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka segera berloncatan ke atas panggung, diikuti oleh belasan orang murid lainnya.
“Dialah yang palsu!” bentak Thian Yang Cu kepada Gulam Sang sehingga para murid itu mengepungnya.
Melihat ini, Gulam Sang menjadi gentar dan Thian It Tosu memanfaatkannya dengan sebuah tendangan yang mengenai dadanya. Gulam Sang roboh dan para murid sudah mengayun pedang untuk membunuhnya.
Akan tetapi Thian It Tosu berseru nyaring,
“Jangan bunuh!”
Gulam Sang tidak dibunuh, akan tetapi ia ditangkap dan banyak senjata menodongnya. Thian Yang Cu lalu menjambak rambutnya dan sekali tarik dengan kuat, terlepaslah kedok yang dipakai oleh Gulam Sang.
Thian Yang Cu mengangkat kedok itu ke atas dan berseru kepada semua tamu.
“Lihat, dia menggunakan kedok menyamar sebagai guru dan ketua kami. Dia adalah Gulam Sang!”
Bukan hanya pendekar yang terheran-heran, bahkan tiga datuk yang tadi membelanya terkejut dan merasa heran. Mereka sama sekali tidak pernah menduga bahwa Thian It Tosu yang selama ini mereka anggap asli itu ternyata palsu.
“Kalau begitu, semua janji itu pun palsu.”
“Bunuh saja keparat itu!” demikian banyak orang berteriak-teriak marah. Akan tetapi Thian Yang Cu melarang para murid membunuhnya.
“Gu Lam Sang, permainanmu sudah berakhir. Semestinya engkau dibunuh oleh banyak senjata murid Bu-tong-pai. Akan tetapi kami akan membebaskan engkau kalau engkau suka memberi obat penawar racun dari tubuh ketua kami.”
Gu Lam Sang menyeringai.
“Bagus kalau kalian mengetahui dan ingat akan keadaan Thian It Tosu!” katanya dan karena dia sudah ditodong dan tak mungkin melawan lagi, dia merogoh saku dalam di bajunya dan mengeluarkan sebuah bungkusan kertas. Kemudian dia berkata kepada Thian It Tosu, “Tubuhmu sudah penuh racun yang berada dalam makanan dan minumanmu selama ini. Telanlah obat ini dan engkau akan sembuh kembali.”
Thian It Tosu menerima bungkusan itu dan seorang murid mengambilkan air teh. Thian It Tosu membuka bungkusan itu dan menuangkan isinya ke dalam mulut, lalu diminumnya air teh itu.
Setelah obat itu memasuki perutnya, di dalam perutnya mengeluarkan bunyi dan dia merasa betapa rasa nyeri di dada dan perut menghilang. Tadi pun dalam keadaan keracunan dia melawan Gulam Sang. Kalau dilanjutkan agaknya dia akan kalah karena kalau mengerahkan tenaga sinkang dadanya terasa nyeri. Kini dia mencoba untuk mengerahkan sinkangnya. Tidak terjadi sesuatu. Itu merupakan bukti bahwa obat itu memang manjur.
“Lepaskan dia!” kata Thian It Tosu kepada para muridnya dan dia sendiri mencabut Pek-coa-kiam yang tadi oleh Gulam Sang ditancapkan ke atas papan.
Biarpun agak enggan, para murid menarik senjata mereka yang ditodongkan kepada Gulam Sang. Dia tertawa menyeringai, lalu menoleh kepada Bi-kiam Nio-cu sambil berkata,
“Niocu, maukah engkau pergi dengan aku?”
”Jahanam busuk! Membunuhmu aku mau, kalau disuruh pergi bersamamu, jangan harap!”
Gulam Sang maklum bahwa dia telah kalah segala-galanya, maka dia sudah melangkah untuk meninggalkan panggung.
“Tahan dulu!!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Semua orang menoleh dan Gulam Sang juga memandang. Ketika melihat bahwa yang datang itu adalah dua orang pendeta Lama berjubah merah, wajahnya menjadi pucat sekali.
"Omitohud....! Dicari ke mana-mana ternyata berada di sini. Gulam Sang, atas perintah Yang Mulia Dalai Lama, kami harus menangkapmu. Menyerahlah engkau agar kami tidak harus menggunakan kekerasan!”
Gulam Sang maklum bahwa kalau dia menyerah, tidak urung dia akan dibunuh. Dia dan ayahnya, Gosang Lama, telah menyebabkan pemberontakan di Tibet. Ayahnya juga sudah terbunuh, dan selama ini dia dapat meloloskan diri dan bersembunyi di Bu-tong-pai. Ternyata pada saat kejatuhannya, dua orang Lama Jubah Merah muncul. Maka, Gulam Sang menjadi nekat.
“Kalian tidak akan dapat menangkapku hidup-hidup!” setelah membentak demikian, dia lalu menyerang kedua pendeta Lama itu dengan amat ganas.
Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu adalah murid-murid Dalai Lama yang lebih tinggi tingkatnya dibandingkan Gulam Sang. Mereka menyambut terjangan itu dengan pukulan telapak tangan secara berbareng.
“Desss....!”
Tubuh Gulam Sang terpental dan bergulingan lalu diam dan tidak bergerak lagi. Ternyata dia telah tewas!
“Omitohud, setiap perbuatan jahat akan berakibat malapetaka bagi dirinya sendiri!” kata pendeta Lama yang perutnya gendut. Kemudian mereka berdua menghadapi Thian It Tosu dan yang kurus berkata dengan sikap hormat.
“Apakah Toyu ketua Bu-tong-pai?”
“Benar.”
”Kalau begitu, kami mohon dengan hormat untuk mengadakan upacara membakar mayat disini. Bolehkah?”
“Tentu saja boleh.”
Thian It Tosu dia kini menghadapi semua orang yang berkumpul di situ.
“Kami harap agar para tamu yang tergolong sesat seperti perkumpulan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, suka meninggalkan tempat ini. Kalian Semua memang diundang, akan tetapi bukan pinto yang mengundang. Dan hendaknya kalian maklumi, bahwa Bu-tong-pai bukan perkumpulan pemberontak terhadap pemerintah. Kami hanya menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Yang tadinya merasa bersekutu dengan Bu-tong-pai di bawah pimpinan ketua palsu, diminta agar juga meninggalkan tempat ini!”
Mendengar ucapan ini, tiga orang datuk segera pergi tanpa banyak cakap lagi. Juga rombongan orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, termasuk mereka yang tadinya disusupkan menjadi anggauta Bu-tong-pai, semua pergi secepatnya dari tempat yang berbahaya bagi keselamatan mereka itu.
Kini yang masih tinggal hanyalah orang-orang kang-ouw yang hidupnya sebagai pendekar dan yang selalu menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Tentu saja termasuk Yo Han, Tan Sian Li dan Yo Han Li yang sudah lama menjadi sahabat baik Thian It Tosu. Juga Bi-kiam Nio-cu masih berada di situ. Keng Han menghampiri Bi-kiam Niocu, mengembalikan pedang yang tadi dipijamkan kepadanya,
“Maaf, Niocu, pedangmu rusak dan patah ujungnya.” kata Keng Han.
“Tidak mengapa engkau telah menyadarkan aku tentang Gulam Sang yang palsu itu.” kata wanita itu sambil menerima kembali pedangnya.
Thian It Tosu menghampiri Yo Han dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada yang segera dibalas oleh Yo Han.
“Terima kasih atas bantuan Yo-taihiap sekeluarga, juga terima kasih kepada Ji-wi yang muda-muda namun berilmu tinggi.” katanya dan ucapan terakhir ditujukan kepada Keng Han dan Bikiam Nio-cu.
“Ah, Totiang. Aku malah minta maaf bahwa aku sama sekali tidak tahu bahwa Totiang telah ditahan dan Thian It Tosu yang memimpin Bu-tong-pai adalah orang palsu! Pantas saja aku merasa heran sekali atas perubahan sikap Bu-tong-pai dan bersekutu dengan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kiranya bukan Totiang orangnya.”
“Totiang, saya ingin mencari orang yang bernama Tao Seng, yang menjadi pimpinan pemberontakan ini. Menurut perhitungan saya, dia pasti bersembunyi di dalam Bu-tong-pai bersama datuk-datuk sesat tadi. Apakah ada murid Totiang yang mengetahui di mana dia bersembunyi?”
Seorang murid Bu-tong-pai cepat maju dan berkata,
“Memang ada seorang yang kemarin dulu diterima oleh ketua palsu sebagai tamu dan dia disebut Ji-wangwe.”
"Ya itulah orangnya!” seru Keng Han. “Tahukah engkau di mana dia bersembunyi?”
“Tadinya mereka semua bersembunyi di kamar rahasia akan tetapi ketika terjadi perkelahian, Ji-wangwe itu keluar dari kamar rahasia dan melarikan diri melalui pintu belakang.”
“Wah, aku harus mengejarnya!” kata Keng Han dan dia sudah meloncat pergi dari situ dan lari ke belakang gedung, melalui taman dan terus melompat pagar tembok di belakang taman.
Dia mengejar dan mencari terus, namun tidak nampak jejak orang yang dicarinya itu. Tugasnya membela keluarga kaisar sudah berhasil dan kini tinggal menemukan ayahnya dan memaksa ayah itu ikut bersama ke Khitan, menghadap ibunya!
Dia tiba di sebuah bukit kecil. Cepat dia mendaki bukit itu dan di puncak bukit itu dia melihat sebuah rumah menyendiri. Mungkin ayahnya itu bersembunyi di sana, pikirnya penuh harapan.
Akan tetapi ketika tiba di pekarangan rumah itu, tiba-tiba terdengar suara tawa dan tiga orang meluncur keluar dari dalam rumah itu. Mereka itu ternyata adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Swat-hai Lo-kwi sudah memegang pedangnya, Tung-hai Lo-mo sudah memegang dayung bajanya dan Lam-hai Koai-jin memegang ruyungnya. Jelas bahwa kedatangannya itu telah diketahui mereka dan mereka telah siap untuk menghadapinya.
“Ha-ha-ha, orang muda. Beberapa kali engkau menggagalkan usaha kami, sekarang tiba saatnya kami melakukan pembalasan dan membunuhmu di sini!” kata Swat-hai Lo-kwi sambil tertawa.
“Lo-kwi, ingat! Ketika kita berada di Pulau Hantu itu engkau pun berniat membunuhku, akan tetapi sampai sekarang aku masih hidup! Aku tidak takut biarpun kalian bersikap curang hendak mengeroyokku. Aku hanya ingin bertanya, apakah Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji itu berada di dalam? Kalau betul, suruh dia keluar dan aku akan membawanya pergi. Aku tidak ada alasan untuk bertanding dengan kalian!”
Melihat sikap pemuda itu demikian tabah menghadapi mereka bertiga, Tung-hai Lo-mo yang wataknya angkuh itu membentak,
“Dia memang berada di sini. Akan tetapi kami melindunginya. Kalau engkau dapat mengalahkan kami bertiga, barulah engkau boleh menemuinya!”
"Tung-hai Lo-mo, sudah kukatakan bahwa aku tidak butuh bertanding denganmu. Aku hanya menghendaki orang itu. Ketahuilah bahwa Pangeran Tao Seng itu adalah ayah kandungku!”
”Ha-ha-ha, jangan engkau membual!” kata Lam-hai Koai-jin. “Kalau dia memang ayah kandungmu, mengapa engkau malah menentangnya sehingga gerakannya gagal?”
“Karena dia berada di pihak yang bersalah. Dia berbuat jahat dan aku tidak ingin melihat dia berbuat jahat!” jawab Keng Han.
“Sudahlah, kawan-kawan, tidak perlu berdebat dengan bocah ini. Mari kita bereskan saja dia!”
Setelah berkata demikian Swat-hai Lo-kwi sudah menggerakkan pedangnya menyerang Keng Han. Keng Han menghindarkan diri dengan mengelak ke kiri. Akan tetapi dari sebelah kiri, dayung baja Tung-hai Lo-mo sudah menyapu ke arah pinggangnya!
Keng Han meloncat tinggi ke atas sehingga dayung baja itu menyambar di bawah kakinya. Keng Han menginjak dayung itu dan meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali sebelum turun ke atas tanah. Baru saja dia hinggap di tanah, ruyung Lam-hai Koai-jin sudah menyerangnya, memukulkan ruyung yang besar dan berat ke arah kepalanya!
Hebat serangan ini, tapi Keng Han tidak menjadi gentar. Kembali dia mengelak ke kanan dan kini kakinya menendang ke arah Swat-hai Lo-kwi. Lo-kwi mengelak dan Keng Han segera dikeroyok tiga orang datuk itu.
Keng Han telah memiliki tenaga sinkang yang dahsyat dan ilmu silatnya juga ilmu silat tinggi dan sakti dari Pulau Es. Akan tetapi kini dia menghadapi pengeroyokan tiga orang datuk besar di dunia persilatan. Apalagi dia tidak bersenjata, sedangkan tiga orang datuk yang menyerangnya itu menggunakan tiga macam senjata yang berbeda gerakannya. Tubuhnya berkelebatan di antara tiga gulungan sinar dari senjata musuh-musuhnya.
Tiga orang datuk itu mengeroyok sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring, namun Keng Han bukan saja mengelak, bahkan terhadap dayung baja dan ruyung itu beberapa kali dia menangkis dengan tangannya. Setiap kali ditangkis, pemegang senjata itu merasa tangannya tergetar oleh hawa yang dingin sekali kalau yang menangkis itu tangan kiri Keng Han, sedangkan kalau tangan kanan yang menangkis, lawannya merasa hawa yang amat panas menyerang dirinya.
Tiba-tiba seorang muncul di depan pintu. Dia itu bukan lain adalah Tao Seng. Melihat betapa puteranya dikeroyok oleh tiga orang datuk itu, tiba-tiba Tao Seng teringat kepada Silani, isterinya yang ditinggalkan di Khitan. Maka dia pun tidak ingin melihat puteranya terbunuh.
“Sam-wi Locianpwe, jangan bunuh dia! Dia itu anakku, jangan bunuh dia!”
Swat-hai Lo-kwi menjadi jengkel mendengar ucapan Tao Seng itu. Baginya, orang itu adalah Hartawan Ji yang membiayai semua usaha pemberontakan itu. Kini, melihat hartawan itu malah melindungi Keng Han, dia menjadi marah.
“Kami harus membunuhnya! Dialah yang menggagalkan semua usaha!”
Dan dia menyerang semakin gencar kepada Keng Han yang masih terus melakukan perlawanan dengan gigih.
Tao Seng melihat betapa Keng Han terdesak hebat dan kalau perkelahian itu dilanjutkan, tentu akhirnya Keng Han akan tewas! Mati terbunuh di depan matanya. Anaknya! Tiba-tiba dia menghunus pedang dan meloncat ke dalam pertandingan itu, sama sekali bukan untuk mengeroyok Keng Han, melainkan dia menggunakan pedangnya menyerang Swat-hai Lo-kwi!
“Heiii! Apa yang kau lakukan ini, Ji-wangwe!” bentak Swat-hai Lo-kwi sambil menangkis.
“Jangan bunuh dia! Jangan bunuh dia!” Tao Seng berteriak-teriak sambil terus untuk membantu Keng Han.
“Keparat!”
Swat-hai Lo-kwi berteriak marah sambil membalik dan menyerang Tao Seng. Baru diserang sebanyak lima jurus saja pedang di tangan Swat-hai Lokwi telah menembus dada Tao Seng. Tao Seng berteriak dan roboh terguling.
“Ayahhh....!”
Keng Han berseru keras melihat ayahnya roboh dengan mandi darah dia lalu mengamuk. Akan tetapi dia dikeroyok tiga orang datuk yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan semua bersenjata, sedangkan dia sendiri bertangan kosong.
Swat-hai Lo-kwi menusukkan pedangnya ke arah lambung Keng Han dan pada saat itu dayung baja Tung-hai Lo-mo menghantam ke arah kepalanya dan ruyung Lam-hai Koai-jin menghantam punggungnya!
Diserang secara serentak seperti itu, Keng Han cepat meloncat tinggi untuk menghindarkan semua serangan dan kedua kakinya menendang dan menangkis dayung baja dan ruyung, kemudian sambil menjejakkan kedua kaki pada dua senjata itu tubuhnya berjungkir balik ke belakang dan selamatlah dia dari tiga serangan yang dilakukan serentak itu.
Akan tetapi jantungnya berdebar juga karena serangan berbareng itu sungguh amat berbahaya. Kalau saja tidak melihat tiga orang datuk itu membunuh ayahnya, tentu dia sudah meninggalkan tiga orang lawannya. Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi telah membunuh ayahnya dan dia tidak dapat tinggal diam begitu saja. Dia meloncat ke dekat tubuh ayahnya.
“Ayah, engkau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.
“Keng Han, larilah selagi ada kesempatan....aku.... aku tidak apa-apa....!”