Ads

Sabtu, 27 Juli 2019

Mutiara Hitam Jilid 002

Gurunya dahulu pernah hidup sebagai seorang jembel. Malah jembel yang gila! Berpikir sampai disini, senyum pahit menghias mulutnya dan ia membuka sedikit matanya. Kebetulan sekali ia melihat dua orang pengemis tua yang tadi duduk melenggut di sudut luar, kini keduanya saling berbisik dan menoleh kepadanya. Kemudian, aneh sekali, dua orang pengemis tua itu menghampirinya dan keduanya membuat gerakan aneh, yaitu tangan kiri menekan dada kiri arah tempat jantung, dan tangan kanan diangkat ke atas membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah.

Apa artinya itu? Mengapa mereka memberi salam seaneh itu? Suling Emas tidak mengenal siapa mereka, juga yakin bahwa tidak mungkin mereka mengenalnya. Akan tetapi mereka itu sudah menyalamnya, biarpun salam yang lucu dan aneh. Agaknya mereka itu memberi salam karena mengira dia pun seorang pengemis, jadi segolongan.

Dan agaknya para pengemis di daerah ini sudah lajim menyalam seorang “rekan” secara itu. Untuk menjaga jangan sampai dua orang itu tersinggung Suling Emas lalu meniru gerakan mereka, membalas salam itu dengan gerakan yang sama, lalu ia meramkan mata dan melenggut pula, tidak memperhatikan lagi dua orang itu yang wajahnya sejenak berubah girang sekali ketika melihat balasan salamnya.

Agaknya seorang diantara dua pengemis tua itu hendak bicara dan Suling Emas diam-diam merasa geli hatinya, akan tetapi mendadak mereka berdua itu sudah meloncat dan di lain saat sudah mendengkur lagi sambil duduk bersandar tembok.

Gerakan mereka begitu cepat sehingga diam-diam Suling Emas tercengang, maklum bahwa dua orang pengemis itu bukanlah pengemis sembarangan, melainkan pengemis kang-ouw yang berilmu tinggi! Selagi ia terheran mengapa mereka tidak jadi bicara dan bersikap seaneh itu, tiba-tiba di luar terdengar suara langkah kaki orang disusul suara dalam bahasa Khitan yang dimengerti pula oleh Suling Emas.

“Tidak salah lagi. Dia tentu berada di dalam kuil ini. Lihat itu kudanya, aku mengenal kuda kurus ini!”

Demikian suara itu dan diam-diam Suling Emas terkejut. Ia teringat bahwa kemarin ia melihat tiga orang laki-laki bangsa Khitan yang berpakaian seperti perwira, menunggang kuda dengan membalap. Mereka itu ketika bersimpang jalan, memandang penuh perhatian kepadanya.

Melihat perwira-perwira Khitan ini, Suling Emas teringat kepada kekasihnya, Ratu Yalina. Akan tetapi karena pada masa itu Kerajaan Sung bersahabat dengan Kerajaan Khitan dan adanya orang-orang Khitan di wilayah Kerajaan Sung bukanlah hal aneh lagi, maka Suling Emas tidak menaruh perhatian lagi. Siapa kira, tiga orang itu agaknya menyusul dan mencarinya sampai disini!

Sedikit pun Suling Emas tak dapat menduga mengapa ada perwira-perwira Khitan mencarinya dan mulai timbul dugaan bahwa tentu mereka itu salah lihat, mengira dia orang lain, maka ia tetap saja duduk dengan sikap tenang.

Tiga orang Khitan itu segera muncul di ruangan dalam kuil itu. Seorang diantara mereka, yang menjadi pemimpin, bertubuh gemuk dengan kumis melintang tebal. Si Kumis Tebal inilah yang sekarang berdiri dan menjura kepadanya, memandang tajam, penuh selidik kearah wajah di bawah topi sambil berkata,

“Taihiap (Pendekar Besar), kami menjalankan perintah Ratu kami yang minta dengan hormat agar Taihiap suka pergi berkunjung sekarang juga bersama kami ke Khitan.”

Jantung Suling Emas berdebar keras. Baru sekali ini setelah belasan tahun ia mengalami ketegangan batin. Ratu Khitan Yalina mengundangnya? Apa yang dikehendaki oleh Lin Lin? Mengapa ingin bertemu? Pertemuan yang tentu hanya akan membuat luka di hatinya menjadi makin parah saja. Di saat itu juga, ia sudah mengambil keputusan untuk menolak undangan ini. Akan tetapi ia tidak ingin pula lain orang mengetahui bahwa dia Suling Emas. Bagaimana perwira Khitan ini dapat mengenalnya?

“Apa.... apa yang kau maksudkan? Aku tidak mengerti omonganmu!” Ia menjawab lirih, pura-pura tidak mengerti kata-kata tadi yang diucapkan dalam bahasa Khitan.

Si Kumis Tebal itu saling lirik dengan dua orang temannya, pada wajahnya terbayang keheranan dan keraguan. Ia segera berkata dalam bahasa Han.

“Kami diutus junjungan kami untuk mengundang Taihiap berkunjung ke Khitan sekarang juga bersama kami.”

Tentu saja Suling Emas maklum bahwa Lin Lin atau Sang Ratu Yalina yang mengundangnya, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu. Diam-diam ia kagum dan heran sekali akan kecerdikan orang-orang Khitan sehingga berhasil mengenal dan mendapatkannya.

“Ah, apa artinya ini? Aku sama sekali bukan Taihiap, dan aku tidak mengenal siapa itu junjunganmu di Khitan.”

Kembali wajah gemuk itu dibayangi keraguan.
“Harap Taihiap jangan berpura-pura lagi. Junjungan kami adalah Sang Ratu yang mulia di Khitan. Menurut petunjuk yang saya terima, tidak salah lagi Taihiap orangnya. Kuda kurus itu.... dan bentuk tubuh Taihiap. Perintah junjungan kami merupakan perintah besar yang harus dilaksanakan sampai berhasil, dan kami sudah bertahun-tahun dalam usaha mencari Taihiap!”

Diam-diam Suling Emas merasa terharu. Kembali terbayang wajah Lin Lin, terbayang semua peristiwa yang lalu. Lin Lin adalah puteri angkat ayahnya yang ternyata kemudian sebagai Puteri Mahkota Khitan. Mereka saling mencinta, namun tak mungkin menjadi suami isteri.

Ia telah memenuhi hasrat hatinya, memenuhi permohonan Lin Lin sebelum berpisah sampai kini dari wanita yang tercinta itu. Ia telah secara diam-diam dan rahasia berkunjung di istana Sang Ratu Yalina, berdiam sampai satu bulan di dalam kamar Sang Ratu, hidup sebagai suami isteri penuh cinta kasih, penuh kemesraan selama sebulan, suami isteri di luar pernikahan yang tak mungkin dilakukan!

Mereka berdua runtuh oleh gelora cinta dan nafsu. Namun hal itu tak dapat dipertahankan terus. Demi menjaga nama baik Yalina sebagai Ratu, dan demi untuk menjaga nama baik keluarga. Terpaksa Suling Emas harus meninggalkan Khitan meninggalkan dengan keputusan hati takkan kembali lagi, takkan bertemu lagi dengan wanita yang dikasihinya, hanya dengan hiburan bahwa wanita yang dicintanya itu juga mencintanya sepenuh jiwa raga. Mereka bersumpah takkan menikah dengan orang lain.






Belasan tahun hal itu terjadi dan telah lalu. Hampir dua puluh tahun. Dan sekarang tiba-tiba Sang Ratu Yalina mengutus perwira-perwiranya untuk mencarinya sampai dapat, untuk mengundangnya ke Khitan. Apa perlunya? Bukankah kesemuanya itu sudah musnah habis?

“Aku yakin bahwa kalian tentu salah kira dan menganggap aku orang lain. Kalian mengira aku ini siapakah?” Suling Emas masih berusaha mempertebal keraguan orang.

“Siapa lagi Taihiap ini kalau bukan Kim-siauw-eng?”

“Aiiihhh....!“

Teriakan tertahan ini terdengar dari sudut ruangan dimana dua orang kakek pengemis tadi duduk bersandar.

Berdebar keras jantung Suling Emas. Celaka, benar-benar orang-orang Khitan ini bermata tajam.

“Ah, apa-apaan ini?” teriaknya. “Kalian benar-benar salah melihat orang! Aku bukan Taihiap, bukan pula Kim-siauw-eng, kalian lekas pergi saja jangan menggangguku.”

“Taihiap, salah atau tidak, kami harus melakukan kewajiban kami! Petunjuk yang baru kami terima kemarin dari atasan kami tak salah lagi. Berpakaian sebagai pengemis, bertopi lebar butut, menunggang kuda kurus. Tidak salah lagi, Harap Taihiap tidak membikin repot kami dan suka kami antar ke Khitan sekarang juga.”

“Hemmm.... kalau aku tidak mau?”

“Kami mendapat perintah untuk mengawal Taihiap ke Khitan, mau atau tidak, karena kami sudah mendapat wewenang, kalau perlu kami akan memaksa Taihiap.”

Sambil berkata demikian, Si Kumis Tebal itu mengepal tinju dan melangkah dekat. Akan tetapi jelas bahwa ia gelisah sehingga dahinya penuh keringat.

“Waahh...., jangan menghina kaum jembel....!”

Kiranya dua orang pengemis tua itu sudah berdiri menghadang di depan tiga orang perwira Khitan dengan sikap melindungi Suling Emas. Di tangan kanan mereka tampak tongkat pengemis.

Perwira Khitan yang gemuk itu memandang dengan mata melotot, lalu membentak.
“Jembel-jembel tua bangka, kalian mau apa mencampuri urusan kami?”

Kakek pengemis yang punggungnya bongkok tersenyum lebar, lalu berkata.
“Melihat sekaum dihina orang, bagaimana kami dapat tinggal diam? Apalagi kalau yang kalian hina adalah saudara tua kami yang terhormat.” Kemudian kakek bongkok itu menoleh ke arah Suling Emas lalu menjura. “Tianglo yang mulia silakan beristirahat yang enak, biarlah kami berdua mewakili Tianglo memberi hajaran kepada anjing-anjing Khitan ini!”

Setelah berkata demikian, kembali ia menghadapi para perwita Khitan dan berkata mengejek,

“Saudara tua kami tidak suka menerima undangan Ratu Khitan, mengapa memaksa? Sungguh Ratu kalian tak tahu malu!”

“Keparat, berani menghina....?”

Perwira gemuk itu segera menghantam ke arah dada pengemis bongkok. Hantaman yang amat kuat sehingga mengeluarkan hawa pukulan yang menyambar keras. Si Pengemis Bongkok maklum akan kekuatan lawan, maka ia cepat mengelak. Dua orang perwira lain yang memegang toya juga segera menyerbu dan terjadilah perkelahian seru di dalam kuil tua ini.

Ketika Suling Emas menyaksikan sikap kedua orang pengemis tua itu terhadapnya, menjadi makin terheran-heran. Kalau para perwira Khitan itu dengan tepat dapat mengenal atau setidaknya menyangkanya Suling Emas, adalah para pengemis ini mengira dia orang lain dan menyebutnya Tianglo! Tentu dia dianggap seorang tokoh pengemis yang mereka hormati. Tidak beres kalau begini, pikirnya.

Namun, masih mending dianggap seorang tokoh pengemis daripada dikenal sebagai Suling Emas! Ia merasa kesal melihat dirinya dijadikan sebab perkelahian, maka melihat lima orang itu bertanding seru, ia lalu menggunakan kepandaiannya, sekali berkelebat ia sudah lenyap dari tempat itu, meloncat keluar kuil dan dilain saat ia sudah menunggang kudanya yang kurus.

Akan tetapi sekali ini, kuda kurus itu memperlihatkan keasliannya ketika Suling Emas menarik kendali dan menendang perutnya, karena kuda kurus itu berlari amat cepatnya dan melihat gerakan kakinya jelas bahwa kuda kurus itu adalah seekor kuda pilihan!

Biarpun para perwira Khitan itu tiga orang mengeroyok dua orang pengemis tua yang tubuhnya kurus kering malah seorang diantaranya bongkok, namun mereka itu segera mendapat kenyataan bahwa dua orang jembel tua itu benar-benar amat lihai!

Untung bagi orang-orang Khitan itu bahwa dua orang jembel tua itu agaknya memang hanya ingin mempermainkan mereka. Seperti telah disebutkan tadi, pada masa itu, diantara Kerajaan Sung dan Kerajaan Khitan terdapat persahabatan. Orang-orang Khitan tentu saja masih dianggap bangsa yang “liar” akan tetapi karena orang-orang Khitan itu selalu membuktikan disiplin yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan di wilayah Sung, maka rakyat pun tidak membenci mereka.

Hal ini terjadi setelah suku bangsa Khitan dipimpin oleh Ratu Yalina yang mengeluarkan peraturan-peraturan keras untuk rakyatnya. Karena inilah, agaknya dua orang pengemis yang terang bukan orang-orang sembarangan itu juga enggan untuk mencelakai tiga orang perwira Khitan itu, melainkan hanya ingin mencegah mereka memaksa pengemis aneh yang mereka sangka seorang “saudara tua” tadi.

“Eh, kemana perginya Tianglo....?”

Tiba-tiba Si Bongkok berseru kaget dan keduanya segera menghentikan pertempuran, bahkan tanpa berkata sesuatu dua orang pengemis itu sudah meloncat keluar dan sebentar saja lenyap dari situ.

Perwira gemuk itu mengejar bersama dua orang temannya, namun setiba mereka diluar kuil, keadaan sepi saja. Tak nampak seorang pun manusia. Juga kuda kurus tidak berada pula di depan kuil. Perwira gemuk berkumis tebal itu mengerutkan keningnya, meraba-raba dagu lalu berkata,

“Sungguh meragukan apakah benar dia tadi Suling Emas. Terang dia menolak, dan dua orang jembel tua bangka tadi sungguh menjemukan, membikin sukar pelaksanaan tugas kita yang tidak mudah. Kalian lekas beri laporan kepada pusat markas penyelidik di Tai-goan, katakan betapa lihainya dua orang pengemis tua bangka tadi. Kalau dia tadi betul Suling Emas dan sampai lolos, tentu kita semua akan menerima hukuman berat! Lekas berangkat, aku akan mencoba mengikuti jejaknya....“

Dua orang perwira bawahan itu cepat pergi menunggang kuda mereka menuju ke Tai-goan, sedangkan Si Perwira Gemuk juga membalapkan kuda melakukan pengejaran ke arah timur setelah meneliti jejak kaki kuda yang ditunggangi Suling Emas. Betapa heran hatinya ketika melihat jejak kaki kuda itu tak pernah berhenti biarpun ia mengikutinya sampai matahari condong ke barat.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar