Jalan kecil itu menuju ke kota Tai-goan. Jalan yang buruk dan becek, apalagi karena waktu itu musim hujan telah mulai. Udara selalu diliputi awan mendung, kadang-kadang turun hujan rintik-rintik, sambung menyambung menciptakan hawa dingin.
Seperti biasa, segala keadaan di dunia ini selalu mendatangkan untung dan rugi, dipandang dari sudut kepentingan masing-masing. Para petani menyambut hari-hari hujan dengan penuh kegembiraan dan harapan, karena banyak air berarti berkah bagi mereka. Akan tetapi di lain fihak, para pedagang dan pelancong mengomel dan mengeluh karena pekerjaan atau perjalanan mereka terganggu oleh jatuhnya hujan rintik-rintik yang tak kunjung henti.
Hujan rintik-rintik membuat jalan kecil itu sunyi. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang yang melakukan perjalanan melalui jalan kecil itu lebih suka menunda perjalanan, beristirahat di warung-warung sambil minum arak hangat, di kuil-kuil atau setidaknya di bawah pohon rindang, pendeknya asal mereka dapat terlindung dari hujan.
Kalaupun ada yang melakukan perjalanan melalui jalan kecil itu di waktu hujan rintik-rintik menambah dingin hawa udara pagi itu, mereka tentu bergesa-gesa agar cepat tiba di tempat tujuan. Beberapa ekor kuda dibalapkan lewat, juga serombongan kereta lewat dengan cepatnya melalui jalan kecil, sejenak memecahkan kesunyian dengan suara roda kereta, derap kaki kuda dan cambuk, diseling suara pengendara yang menyumpahi jalan buruk dan hawa dingin.
Akan tetapi pada pagi hari itu, seekor kuda kurus berjalan perlahan melalui jalan kecil itu. Kuda yang kurus dan buruk, berjalan seenaknya seakan-akan menikmati air hujan yang berjatuhan jarang di atas kepalanya. Warna kulit kuda ini agaknya dahulunya merah, kini penuh debu basah sehingga warnanya menjadi coklat dan kotor.
Penunggangnya sama dengan kudanya dalam menghadapi gangguan hujan. Tidak merasa terganggu sama sekali. Duduk di atas punggung kuda sambil meniup suling! Aneh, mana ada orang lain berhujan-hujan meniup suling?
Laki-laki itu tinggi tegap, usianya tentu mendekati lima puluh tahun. Raut wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya sayu namun bersinar tajam. Kepalanya terlindung sebuah topi lebar, terbuat dari anyaman rumput dan sudah butut, robek-robek pinggirnya. Pakaiannya longgar dan amat bersih, akan tetapi sudah terhias tambalan di beberapa tempat.
Biarpun keadaan orang dan kudanya membayangkan kemelaratan dan sama sekali tidak menarik, namun suara sulingnya luar biasa sekali. Sayang bahwa tiupan suling seindah itu tidak pernah terdengar orang karena setiap kali bertemu orang, laki-laki di atas kuda kurus ini selalu menghentikan tiupan sulingnya. Agaknya ia tidak suka kalau tiupan sulingnya didengar orang.
Setelah keluar dari sebuah hutan kecil yang gelap, laki-laki itu menghentikan kudanya. Sepasang mata yang terlindung topi lebar itu memandang ke kanan kiri. Hutan terganti kebun dan sawah. Beberapa orang petani sibuk bekerja di ladang, agak jauh dari jalan kecil itu.
Laki-laki itu tampak tertarik dan sejenak wajah yang tampan itu berseri. Kemudian ia menarik perlahan kendali kudanya. Binatang kurus itu berjalan lagi, seenaknya. Hujan gerimis sudah mereda, tinggal kecil dan jarang, sebentar lagi juga berhenti. Di timur, sinar matahari mulai menerobos awan tipis mengusir dingin. Laki-laki itu sejenak memandang ke arah matahari yang belum menyilaukan mata, lalu mulutnya bernyanyi!
"Syarat memimpin negara dan dunia
adalah sembilan kebenaran
memperbaiki diri sendiri
menghargai orang bijak dan pandai
mencinta sanak keluarga
menghormat pembesar tinggi
mengasihi pembesar rendah
mencinta rakyat seperti anak
mengundang ahli-ahli bangunan
menghibur pengunjung dari jauh
mengikat persahabatan dengan negara lain!”
Sambil bernyanyi, laki-laki itu melakukan gerakan-gerakan aneh dengan sulingnya. Setiap kata-kata ia barengi dengan gerakan suling yang kalau diperhatikan merupakan gerakan menulis kata-kata itu, menulis di udara dan sungguh aneh, setiap gerakan menulis ini mengakibatkan suara angin melengking yang berbeda-beda!
Andaikata pada waktu itu terdapat seorang ahli silat tinggi yang menyaksikan gerakan-gerakan ini, tentu dia akan terheran-heran dan merasa kagum karena selain melihat gerakan luar biasa, juga akan merasa betapa dari gerakan ini keluar hawa pukulan mujijat! Akan tetapi, kalau gerakan-gerakan sambil bernyanyi itu terlihat oleh orang biasa, tentu ia akan mengira bahwa laki-laki berkuda itu seorang yang miring otaknya.
Melihat keadaannya yang melarat, tak seorang pun akan mengira bahwa laki-laki ini sesungguhnya adalah seorang pendekar besar, seorang pendekar sakti yang pada belasan tahun yang lalu amat terkenal dan sukar dicari tandingnya. Jarang ada orang yang mengetahui namanya, dan para tokoh dunia persilatan hanya mengenalnya sehagai SULING EMAS.
Telah belasan tahun dunia persilatan kehilangan tokoh ini dan tidak seorang pun tahu kemana perginya. Dahulu orang mengenal Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) sebagai seorang laki-laki yang tinggi tegap dan tampan gagah, pakaiannya terbuat daripada sutera halus berwarna hitam, dengan sulaman benang emas menggambarkan bulan dan sebatang suling di bagian dadanya.
Dahulu, belasan tahun yang lalu, sepak terjangnya amat mengagumkan kawan maupun lawan. Mulia seperti malaikat bagi yang tertolong, hebat mengerikan seperti iblis bagi penjahat yang dibasminya. Itulah dia Suling Emas!
Akan tetapi laki-laki setengah tua yang menunggang kuda kurus itu, yang pakaiannya membuat ia lebih patut disebut jembel, sama sekali tidak memperlihatkan bekas bahwa dialah sesungguhnya Suling Emas. Jauh bedanya bagaikan bumi dengan langit. Suling yang tadi ditiupnya kini berselubung tembaga di luarnya, merupakan suling biasa.
Hanya seorang ahli kalau melihat gerakan-gerakannya sambil bernyanyi tadi, akan mendapat kenyataan bahwa selama belasan tahun bersembunyi ini, kepandaian Suling Emas tidaklah mundur, bahkan makin hebat.
Gerakan-gerakannya tadi sama sekali bukan gerakan seorang gila hendak menari, melainkan gerakan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu Ilmu Silat Sastra Awan dan Angin yang berdasarkan gerakan penulisan huruf-huruf dari kitab Tiong-yong! Nyanyiannya tadi adalah ayat-ayat dari kitab Tiong-yong. Jangan dikira bahwa gerakan-gerakan itu hanyalah gerakan sembarangan, karena setiap huruf yang ditulis, merupakan gerakan lihai sekali, baik dalam bentuk serangan maupun dalam bentuk tangkisan.
Kuda kurus itu berjalan terus. Sinar matahari pagi kini mencipta suasana cerah dan indah. Burung-burung berkicau menambah keindahan suasana. Lalu lintas mulai ramai setelah kini hujan berhenti dan tembok kota Tai-goan sudah tampak dari jauh,
Suling Emas tidak bernyanyi lagi, tidak pula meniup sulingnya. Bahkan sulingnya, kini tersembunyi di balik bajunya yang penuh tambalan. Ia menunduk, tidak memperhatikan orang-orang yang lewat dan bersimpang jalan dengannya. Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri, perhatiannya terhadap manusia dan dunia menipis. Kadang-kadang ketenangannya terganggu oleh batuk. Apabila serangkaian batuk menyerangnya, mulutnya membayangkan rasa nyeri yang ditahan-tahan. Dan rangkaian batuk yang menyesakkan dada ini membuat ia kecewa.
Suling Emas kecewa akan dirinya sendiri. Percuma saja belasan tahun ia menyembunyikan diri. Ia dapat bersembunyi daripada dunia ramai, namun ia tidak dapat bersembunyi daripada pikiran dan hatinya sendiri! Kemanapun juga ia pergi, ke puncak-puncak gunung yang sunyi, ke dalam guha-guha yang sepi dimana tidak nampak bayangan manusia lain, pikiran dan perasaan hatinya selalu mengejarnya.
Bayangan wajah wanita-wanita yang pernah merampas hatinya, selalu menggodanya. Ia mempergunakan kekuatan dan kekerasan hati, menekan semua itu, namun hasilnya merusak jantungnya sendiri. Suling Emas selama belasan tahun hidup bersengsara, hidup nelangsa, hidup menyiksa batin sendiri, korban asmara!
Ketika kudanya berjalan perlahan, bermacam kenangan memenuhi kepalanya, kenangan yang timbul dari serangkaian batuk yang menyerangnya tadi. Karena serangan batuk ini mengingatkannya kembali akan keadaan dirinya. Teringatlah ia akan nasib ayah bundanya, nasib gurunya.
Mereka itu, orang-orang tua yang tidak sempat ia balas dengan kebaktian itu, yang telah lama meninggalkannya seorang diri di dunia ini, juga mengalami nasib buruk dalam cinta kasih. Ayah bundanya gagal dalam cinta kasih sehingga bercerai sampai mati. Kemudian gurunya yang tercinta, gurunya yang menjadi pula pengganti ayah bundanya, mengalami kegagalan asmara yang lebih pahit pula. Kasihan gurunya Kim-mo-Taisu, pendekar sakti yang patah hati!
Suling Emas kembali menarik napas panjang, tangan kirinya membenamkan topinya makin dalam. Matahari di sebelah kanannya mulai menyilaukan mata dan topinya amat baik untuk melindungi matanya dari sinar matahari. Ia termenung kembali, tampaknya melenggut ngantuk di atas punggung kudanya.
Betapapun sengsara orang tua dan gurunya menjadi korban asmara gagal, jika dibandingkan dengan apa yang ia alami, mereka itu masih mendingan! Terbayang wajah wanita yang menjadi cinta pertamanya, gadis yang terjungkal ke dalam jurang dan tewas pada saat mereka berdua sedang bertunangan!
Kemudian wajah cintanya yang kedua, yang kini menjadi nyonya pangeran, hidup mewah dan mulia bersama suami dan anak-anaknya! Akhirnya terbayang pula wajah cintanya yang ketiga, atau yang terakhir, wajah Kam Lin Lin, atau lebih tepat sekarang disebut Ratu Yalina, ratu suku bangsa Khitan di utara!
“Ahh, bodoh!” Suling Emas menyendal kendali kudanya merasa gemas kepada dirinya sendiri yang ia anggap amat lemah. “Engkau sudah tua bangka berpikir yang bukan-bukan!”
Di dalam hatinya ia menyumpahi diri sendiri. Lamunan-lamunan, kenangan-kenangan, dan pikiran macam itulah yang selalu mengejar dan menggodanya, kemanapun juga ia pergi, sehingga akhirnya timbul batuk yang menggeroti dadanya. Kalau sudah terganggu oleh kenang-kenangan seperti itu hatinya serasa diremas, terasa sakit dan perih, semangatnya melemah dan seluruh tubuhnya lelah, membuat ia malas dan satu-satunya keinginan hanya tidur, kalau mungkin tidur selamanya tanpa sadar lagi!
Sebuah kuil tua di pinggir jalan, di luar kota Tai-goan menarik hatinya karena ia melihat tempat mengaso yang enak dalam kuil tua itu, dimana ia dapat mengaso dan tidur memenuhi keinginan hatinya.
Dibelokkannya kuda kurus itu ke kiri memasuki pekarangan kuil tua yang penuh rumput, seperti juga kuilnya sendiri yang sudah kosong dan tidak terpelihara, pekarangan itupun kotor penuh rumput. Akan tetapi hal ini menguntungkan bagi kuda kurus yang terus saja melahap rumput hijau di depan kuil.
Kuda itu dilepas begitu saja oleh Suling Emas yang memasuki kuil dengan mata setengah tidur! Tanpa menoleh ke kanan kiri tanpa mempedulikan beberapa orang pengemis yang duduk di sudut ruangan depan, ia terus melangkah ke dalam, mengebut-ngebutkan ujung baju membersihkan lantai di sudut yang kosong, lalu duduk bersandar dinding, terus melenggut tidur! Hanya dengan istirahat beginilah batuk yang menyerangnya menjadi berkurang.
Mengapa pendekar sakti seperti Suling Emas sampai menjadi begini? Padahal, kalau ia menghendaki kedudukan, Kerajaan Sung akan membuka kesempatan sebesarnya kepada Suling Emas, tokoh yang sudah banyak dikenal, bahkan Kaisar sendiri memberi penghargaan kepada Suling Emas, memberi izin istimewa kepada Suling Emas, untuk memasuki istana setiap saat sesuka hatinya!
Selain ini, juga para pimpinan Beng-kauw yang menjadi orang-orang paling berpengaruh di samping Kaisar Nan-cao, juga akan menerimanya dengan tangan terbuka. Betapa tidak? Suling Emas adalah cucu keponakan dari ketua Beng-kauw! Mengapa ia menolak semua kemuliaan ini dan memilih penghidupan miskin, terlantar, patah hati dan terserang penyakit?
Para pembaca cerita “SULING EMAS” dan cerita “CINTA BERNODA DARAH” tentu masih ingat betapa parah cinta kasih yang gagal merobek hati Suling Emas. Cintanya yang terakhir lebih-lebih lagi menghancurkan hatinya. Ikatan cinta kasih antara dia dan Ratu Yalina, amatlah erat. Masing-masing telah saling mencinta, bahkan Ratu Yalina tadinya rela mengorbankan kedudukannya untuk menjadi isterinya. Namun, Suling Emas terpaksa menolaknya. Menolak karena pertama, Suling Emas sebagai seorang tokoh besar di dunia kang-ouw tentu saja dimusuhi banyak orang, apalagi karena mendiang ibunya sewaktu hidupnya telah mengakibatkan banyak permusuhan dengan orang-orang dunia persilatan.
Ia tidak mau menyeret Yalina dalam hidup penuh bahaya dan permusuhan. Kedua, Yalina adalah puteri angkat ayahnya, jadi masih adik angkatnya sendiri, sehingga kalau mereka berdua berjodoh, tentu akan menjadi bahan ejekan dan cemoohan, mencemarkan nama baik keluarganya. Ketiga, suku bangsa Khitan amat membutuhkan bimbingan Ratu Yalina untuk memperkuat kembali suku bangsa itu. Inilah sebabnya mengapa ia rela berpisah dari kekasihnya itu, rela hidup merana dan menderita tekanan batin.
Hampir dua puluh tahun ia menyembunyikan diri semenjak berpisah dari Ratu Yalina. Musuh-musuh ibunya akhirnya merasa bosan mencari-carinya untuk dimintai pertanggungan jawab akan sepak terjang ibunya puluhan tahun yang lalu. Akhirnya ia, Suling Emas, dilupakan orang!
Benarkah itu? Benarkah Suling Emas dilupakan orang? Mudah-mudahan demikian, pikir Suling Emas sambil melenggut. Mudah-mudahan dunia sudah lupa kepada Suling Emas! Lebih dilupakan lebih baik! Siapa yang akan mengenal Suling Emas yang sekarang telah menjadi seorang jembel setengah tua?
Seperti biasa, segala keadaan di dunia ini selalu mendatangkan untung dan rugi, dipandang dari sudut kepentingan masing-masing. Para petani menyambut hari-hari hujan dengan penuh kegembiraan dan harapan, karena banyak air berarti berkah bagi mereka. Akan tetapi di lain fihak, para pedagang dan pelancong mengomel dan mengeluh karena pekerjaan atau perjalanan mereka terganggu oleh jatuhnya hujan rintik-rintik yang tak kunjung henti.
Hujan rintik-rintik membuat jalan kecil itu sunyi. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang yang melakukan perjalanan melalui jalan kecil itu lebih suka menunda perjalanan, beristirahat di warung-warung sambil minum arak hangat, di kuil-kuil atau setidaknya di bawah pohon rindang, pendeknya asal mereka dapat terlindung dari hujan.
Kalaupun ada yang melakukan perjalanan melalui jalan kecil itu di waktu hujan rintik-rintik menambah dingin hawa udara pagi itu, mereka tentu bergesa-gesa agar cepat tiba di tempat tujuan. Beberapa ekor kuda dibalapkan lewat, juga serombongan kereta lewat dengan cepatnya melalui jalan kecil, sejenak memecahkan kesunyian dengan suara roda kereta, derap kaki kuda dan cambuk, diseling suara pengendara yang menyumpahi jalan buruk dan hawa dingin.
Akan tetapi pada pagi hari itu, seekor kuda kurus berjalan perlahan melalui jalan kecil itu. Kuda yang kurus dan buruk, berjalan seenaknya seakan-akan menikmati air hujan yang berjatuhan jarang di atas kepalanya. Warna kulit kuda ini agaknya dahulunya merah, kini penuh debu basah sehingga warnanya menjadi coklat dan kotor.
Penunggangnya sama dengan kudanya dalam menghadapi gangguan hujan. Tidak merasa terganggu sama sekali. Duduk di atas punggung kuda sambil meniup suling! Aneh, mana ada orang lain berhujan-hujan meniup suling?
Laki-laki itu tinggi tegap, usianya tentu mendekati lima puluh tahun. Raut wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya sayu namun bersinar tajam. Kepalanya terlindung sebuah topi lebar, terbuat dari anyaman rumput dan sudah butut, robek-robek pinggirnya. Pakaiannya longgar dan amat bersih, akan tetapi sudah terhias tambalan di beberapa tempat.
Biarpun keadaan orang dan kudanya membayangkan kemelaratan dan sama sekali tidak menarik, namun suara sulingnya luar biasa sekali. Sayang bahwa tiupan suling seindah itu tidak pernah terdengar orang karena setiap kali bertemu orang, laki-laki di atas kuda kurus ini selalu menghentikan tiupan sulingnya. Agaknya ia tidak suka kalau tiupan sulingnya didengar orang.
Setelah keluar dari sebuah hutan kecil yang gelap, laki-laki itu menghentikan kudanya. Sepasang mata yang terlindung topi lebar itu memandang ke kanan kiri. Hutan terganti kebun dan sawah. Beberapa orang petani sibuk bekerja di ladang, agak jauh dari jalan kecil itu.
Laki-laki itu tampak tertarik dan sejenak wajah yang tampan itu berseri. Kemudian ia menarik perlahan kendali kudanya. Binatang kurus itu berjalan lagi, seenaknya. Hujan gerimis sudah mereda, tinggal kecil dan jarang, sebentar lagi juga berhenti. Di timur, sinar matahari mulai menerobos awan tipis mengusir dingin. Laki-laki itu sejenak memandang ke arah matahari yang belum menyilaukan mata, lalu mulutnya bernyanyi!
"Syarat memimpin negara dan dunia
adalah sembilan kebenaran
memperbaiki diri sendiri
menghargai orang bijak dan pandai
mencinta sanak keluarga
menghormat pembesar tinggi
mengasihi pembesar rendah
mencinta rakyat seperti anak
mengundang ahli-ahli bangunan
menghibur pengunjung dari jauh
mengikat persahabatan dengan negara lain!”
Sambil bernyanyi, laki-laki itu melakukan gerakan-gerakan aneh dengan sulingnya. Setiap kata-kata ia barengi dengan gerakan suling yang kalau diperhatikan merupakan gerakan menulis kata-kata itu, menulis di udara dan sungguh aneh, setiap gerakan menulis ini mengakibatkan suara angin melengking yang berbeda-beda!
Andaikata pada waktu itu terdapat seorang ahli silat tinggi yang menyaksikan gerakan-gerakan ini, tentu dia akan terheran-heran dan merasa kagum karena selain melihat gerakan luar biasa, juga akan merasa betapa dari gerakan ini keluar hawa pukulan mujijat! Akan tetapi, kalau gerakan-gerakan sambil bernyanyi itu terlihat oleh orang biasa, tentu ia akan mengira bahwa laki-laki berkuda itu seorang yang miring otaknya.
Melihat keadaannya yang melarat, tak seorang pun akan mengira bahwa laki-laki ini sesungguhnya adalah seorang pendekar besar, seorang pendekar sakti yang pada belasan tahun yang lalu amat terkenal dan sukar dicari tandingnya. Jarang ada orang yang mengetahui namanya, dan para tokoh dunia persilatan hanya mengenalnya sehagai SULING EMAS.
Telah belasan tahun dunia persilatan kehilangan tokoh ini dan tidak seorang pun tahu kemana perginya. Dahulu orang mengenal Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) sebagai seorang laki-laki yang tinggi tegap dan tampan gagah, pakaiannya terbuat daripada sutera halus berwarna hitam, dengan sulaman benang emas menggambarkan bulan dan sebatang suling di bagian dadanya.
Dahulu, belasan tahun yang lalu, sepak terjangnya amat mengagumkan kawan maupun lawan. Mulia seperti malaikat bagi yang tertolong, hebat mengerikan seperti iblis bagi penjahat yang dibasminya. Itulah dia Suling Emas!
Akan tetapi laki-laki setengah tua yang menunggang kuda kurus itu, yang pakaiannya membuat ia lebih patut disebut jembel, sama sekali tidak memperlihatkan bekas bahwa dialah sesungguhnya Suling Emas. Jauh bedanya bagaikan bumi dengan langit. Suling yang tadi ditiupnya kini berselubung tembaga di luarnya, merupakan suling biasa.
Hanya seorang ahli kalau melihat gerakan-gerakannya sambil bernyanyi tadi, akan mendapat kenyataan bahwa selama belasan tahun bersembunyi ini, kepandaian Suling Emas tidaklah mundur, bahkan makin hebat.
Gerakan-gerakannya tadi sama sekali bukan gerakan seorang gila hendak menari, melainkan gerakan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu Ilmu Silat Sastra Awan dan Angin yang berdasarkan gerakan penulisan huruf-huruf dari kitab Tiong-yong! Nyanyiannya tadi adalah ayat-ayat dari kitab Tiong-yong. Jangan dikira bahwa gerakan-gerakan itu hanyalah gerakan sembarangan, karena setiap huruf yang ditulis, merupakan gerakan lihai sekali, baik dalam bentuk serangan maupun dalam bentuk tangkisan.
Kuda kurus itu berjalan terus. Sinar matahari pagi kini mencipta suasana cerah dan indah. Burung-burung berkicau menambah keindahan suasana. Lalu lintas mulai ramai setelah kini hujan berhenti dan tembok kota Tai-goan sudah tampak dari jauh,
Suling Emas tidak bernyanyi lagi, tidak pula meniup sulingnya. Bahkan sulingnya, kini tersembunyi di balik bajunya yang penuh tambalan. Ia menunduk, tidak memperhatikan orang-orang yang lewat dan bersimpang jalan dengannya. Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri, perhatiannya terhadap manusia dan dunia menipis. Kadang-kadang ketenangannya terganggu oleh batuk. Apabila serangkaian batuk menyerangnya, mulutnya membayangkan rasa nyeri yang ditahan-tahan. Dan rangkaian batuk yang menyesakkan dada ini membuat ia kecewa.
Suling Emas kecewa akan dirinya sendiri. Percuma saja belasan tahun ia menyembunyikan diri. Ia dapat bersembunyi daripada dunia ramai, namun ia tidak dapat bersembunyi daripada pikiran dan hatinya sendiri! Kemanapun juga ia pergi, ke puncak-puncak gunung yang sunyi, ke dalam guha-guha yang sepi dimana tidak nampak bayangan manusia lain, pikiran dan perasaan hatinya selalu mengejarnya.
Bayangan wajah wanita-wanita yang pernah merampas hatinya, selalu menggodanya. Ia mempergunakan kekuatan dan kekerasan hati, menekan semua itu, namun hasilnya merusak jantungnya sendiri. Suling Emas selama belasan tahun hidup bersengsara, hidup nelangsa, hidup menyiksa batin sendiri, korban asmara!
Ketika kudanya berjalan perlahan, bermacam kenangan memenuhi kepalanya, kenangan yang timbul dari serangkaian batuk yang menyerangnya tadi. Karena serangan batuk ini mengingatkannya kembali akan keadaan dirinya. Teringatlah ia akan nasib ayah bundanya, nasib gurunya.
Mereka itu, orang-orang tua yang tidak sempat ia balas dengan kebaktian itu, yang telah lama meninggalkannya seorang diri di dunia ini, juga mengalami nasib buruk dalam cinta kasih. Ayah bundanya gagal dalam cinta kasih sehingga bercerai sampai mati. Kemudian gurunya yang tercinta, gurunya yang menjadi pula pengganti ayah bundanya, mengalami kegagalan asmara yang lebih pahit pula. Kasihan gurunya Kim-mo-Taisu, pendekar sakti yang patah hati!
Suling Emas kembali menarik napas panjang, tangan kirinya membenamkan topinya makin dalam. Matahari di sebelah kanannya mulai menyilaukan mata dan topinya amat baik untuk melindungi matanya dari sinar matahari. Ia termenung kembali, tampaknya melenggut ngantuk di atas punggung kudanya.
Betapapun sengsara orang tua dan gurunya menjadi korban asmara gagal, jika dibandingkan dengan apa yang ia alami, mereka itu masih mendingan! Terbayang wajah wanita yang menjadi cinta pertamanya, gadis yang terjungkal ke dalam jurang dan tewas pada saat mereka berdua sedang bertunangan!
Kemudian wajah cintanya yang kedua, yang kini menjadi nyonya pangeran, hidup mewah dan mulia bersama suami dan anak-anaknya! Akhirnya terbayang pula wajah cintanya yang ketiga, atau yang terakhir, wajah Kam Lin Lin, atau lebih tepat sekarang disebut Ratu Yalina, ratu suku bangsa Khitan di utara!
“Ahh, bodoh!” Suling Emas menyendal kendali kudanya merasa gemas kepada dirinya sendiri yang ia anggap amat lemah. “Engkau sudah tua bangka berpikir yang bukan-bukan!”
Di dalam hatinya ia menyumpahi diri sendiri. Lamunan-lamunan, kenangan-kenangan, dan pikiran macam itulah yang selalu mengejar dan menggodanya, kemanapun juga ia pergi, sehingga akhirnya timbul batuk yang menggeroti dadanya. Kalau sudah terganggu oleh kenang-kenangan seperti itu hatinya serasa diremas, terasa sakit dan perih, semangatnya melemah dan seluruh tubuhnya lelah, membuat ia malas dan satu-satunya keinginan hanya tidur, kalau mungkin tidur selamanya tanpa sadar lagi!
Sebuah kuil tua di pinggir jalan, di luar kota Tai-goan menarik hatinya karena ia melihat tempat mengaso yang enak dalam kuil tua itu, dimana ia dapat mengaso dan tidur memenuhi keinginan hatinya.
Dibelokkannya kuda kurus itu ke kiri memasuki pekarangan kuil tua yang penuh rumput, seperti juga kuilnya sendiri yang sudah kosong dan tidak terpelihara, pekarangan itupun kotor penuh rumput. Akan tetapi hal ini menguntungkan bagi kuda kurus yang terus saja melahap rumput hijau di depan kuil.
Kuda itu dilepas begitu saja oleh Suling Emas yang memasuki kuil dengan mata setengah tidur! Tanpa menoleh ke kanan kiri tanpa mempedulikan beberapa orang pengemis yang duduk di sudut ruangan depan, ia terus melangkah ke dalam, mengebut-ngebutkan ujung baju membersihkan lantai di sudut yang kosong, lalu duduk bersandar dinding, terus melenggut tidur! Hanya dengan istirahat beginilah batuk yang menyerangnya menjadi berkurang.
Mengapa pendekar sakti seperti Suling Emas sampai menjadi begini? Padahal, kalau ia menghendaki kedudukan, Kerajaan Sung akan membuka kesempatan sebesarnya kepada Suling Emas, tokoh yang sudah banyak dikenal, bahkan Kaisar sendiri memberi penghargaan kepada Suling Emas, memberi izin istimewa kepada Suling Emas, untuk memasuki istana setiap saat sesuka hatinya!
Selain ini, juga para pimpinan Beng-kauw yang menjadi orang-orang paling berpengaruh di samping Kaisar Nan-cao, juga akan menerimanya dengan tangan terbuka. Betapa tidak? Suling Emas adalah cucu keponakan dari ketua Beng-kauw! Mengapa ia menolak semua kemuliaan ini dan memilih penghidupan miskin, terlantar, patah hati dan terserang penyakit?
Para pembaca cerita “SULING EMAS” dan cerita “CINTA BERNODA DARAH” tentu masih ingat betapa parah cinta kasih yang gagal merobek hati Suling Emas. Cintanya yang terakhir lebih-lebih lagi menghancurkan hatinya. Ikatan cinta kasih antara dia dan Ratu Yalina, amatlah erat. Masing-masing telah saling mencinta, bahkan Ratu Yalina tadinya rela mengorbankan kedudukannya untuk menjadi isterinya. Namun, Suling Emas terpaksa menolaknya. Menolak karena pertama, Suling Emas sebagai seorang tokoh besar di dunia kang-ouw tentu saja dimusuhi banyak orang, apalagi karena mendiang ibunya sewaktu hidupnya telah mengakibatkan banyak permusuhan dengan orang-orang dunia persilatan.
Ia tidak mau menyeret Yalina dalam hidup penuh bahaya dan permusuhan. Kedua, Yalina adalah puteri angkat ayahnya, jadi masih adik angkatnya sendiri, sehingga kalau mereka berdua berjodoh, tentu akan menjadi bahan ejekan dan cemoohan, mencemarkan nama baik keluarganya. Ketiga, suku bangsa Khitan amat membutuhkan bimbingan Ratu Yalina untuk memperkuat kembali suku bangsa itu. Inilah sebabnya mengapa ia rela berpisah dari kekasihnya itu, rela hidup merana dan menderita tekanan batin.
Hampir dua puluh tahun ia menyembunyikan diri semenjak berpisah dari Ratu Yalina. Musuh-musuh ibunya akhirnya merasa bosan mencari-carinya untuk dimintai pertanggungan jawab akan sepak terjang ibunya puluhan tahun yang lalu. Akhirnya ia, Suling Emas, dilupakan orang!
Benarkah itu? Benarkah Suling Emas dilupakan orang? Mudah-mudahan demikian, pikir Suling Emas sambil melenggut. Mudah-mudahan dunia sudah lupa kepada Suling Emas! Lebih dilupakan lebih baik! Siapa yang akan mengenal Suling Emas yang sekarang telah menjadi seorang jembel setengah tua?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar