Ads

Selasa, 08 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 010

"Jahanam sialan engkau!"

Nila Dewi memaki gemas, akan tetapi hatinya lega juga karena ia tahu bahwa Mahendra tidak akan membunuh Maya.

Dapat dibayangkan betapa ngerinya hati Maya mendengar percakapan yang dilakukan dalam bahasa Khitan itu. Ia meronta-ronta seperti seekor kelinci, namun tak dapat melepaskan kedua tangannya.

"Heh-heh. merontalah kuat-kuat Anak manis. Agar darahmu lebih cepat alirannya dan lebih hangat!"

Mahendra melangkah mendekati Maya dengan sikap seorang yang hendak menyembelih! Maya sudah memejamkan kedua matanya, maklum bahwa menjerit-jerit dan meronta-ronta tiada gunanya lagi. Siapa yang akan dapat menolongnya di dalam hutan ini? Tadi ia sudah menyaksikan kehebatan kedua orang manusia iblis itu, bahkan dia tadi bengong dan diam-diam kagum sekali melihat betapa laki-laki hitam itu memondong dia dan mengempit tubuh Nila Dewi lalu berlari terbang meninggalkan dusun memasuki hutan itu. Biarlah aku mati, keluhnya dalam hati karena tidak melihat harapan lagi.

"Siluman jahat, apa yang kau lakukan?"

Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tahu-tahu berkelebat bayangan putih dan tak jauh dari situ berdiri seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti seorang sastrawan. Gerakannya demikian ringan sehingga ia muncul seperti setan! Seruannya itu disusul menyambarnya dua buah benda, yang sebuah menyambar ke arah kening Mahendra di antara kedua mata, yang sebuah lagi menyambar tali yang menggantung tubuh Maya.

"Harrggghhh....!"

Mahendra menggereng, marah dan cepat ia melempar tubuh ke belakang. Tali yang menggantung Maya putus disambar benda yang ternyata hanyalah sebuah batu kerikil, dan tubuhnya jatuh ke bawah. Anak yang sudah pandai ilmu silat ini tentu saja dapat menyelamatkan diri dengan cara berjungkir balik dan menjatuhkan diri dengan bahu lebih dulu kemudian bergulingan. Kedua tangan dan kakinya masih terikat dan ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan kaki tangannya.

Sementara itu, Mahendra menyerang pendatang itu dengan pisau di tangan kanan dan mangkok tanah di tangan kiri. Gerakan-gerakan Mahendra ketika menyerang amat aneh dan cepat, juga mendatangkan angin keras yang menandakan bahwa tenaga dalam orang ini hebat sekali.

Namun berkali-kali Mahendra mengeluarkan seruan kaget dan karena laki-laki itu dapat menandinginya dengan baik sekali, bahkan membalas dengan serangan pukulan ujung lengan baju yang mendatangkan hawa panas tanda sin-kang yang amat kuat!

Siapa pria setengah tua yang perkasa dan sanggup menandingi iblis dari Nepal itu? Dia bukan lain adalah Menteri Kam Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Menteri Kam Liong pergi seorang diri menyelidiki keadaan di Khitan. Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika mendapat berita bahwa Khitan telah hancur, dan bahwa kini Khitan telah diduduki oleh bangsa Yucen yang berhasil menghalau bangsa Mongol. Betapa adik tirinya, Raja Talibu dan isterinya telah gugur dalam perang dan bahwa puteri mereka lenyap, melarikan diri, kabarnya menuju ke Go-bi-san mencari kakek dan neneknya.

Kalau saja waktunya tidak terbatas dan dia tidak terikat kewajiban pekerjaannya, tentu dia akan menyusul ke Go-bi-san mengunjungi ayahnya, pendekar sakti Suling Emas. Akan tetapi Go-bi-san terlalu jauh dan dia harus segera kembali ke selatan berhubung dengan gawatnya keadaan sebagai akibat pergolakan di utara ini.

Maka dengan hati tertekan kedukaan, Menteri Kam Liong melakukan perjalanan pulang ke selatan. Kebetulan sekali di dalam hutan itu ia melihat Mahendra yang hendak menyembelih seorang anak perempuan secara kejam sekali. Kam Liong tidak mengenal Maya, karena memang anak Raja Khitan itu tidak pernah dilihatnya. Disangkanya bahwa anak itu tentulah anak pelarian para pengungsi yang dusunnya dilanda perang.

Diam-diam Kam Liong terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa laki-laki hitam itu lihai bukan main. Terpaksa ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan barulah ia dapat mendesak lawannya. Pertandingan antara mereka berjalan seru dan cepat sekali dan karena Mahendra berkali-kali mundur dan berloncatan menjauh, makin lama dua orang yang bertanding ini makin menjauhi tempat dimana Maya berusaha melepaskan ikatan kaki tangannya.






"Maya kekasihku, jangan pergi. Aku akan melindungimu."

Nila Dewi berkata lembut sambil berusaha pula membebaskan ikatan kedua tangannya. Akan tetapi totokan tadi masih membuat tubuhnya lemas dan jalan darahnya tidak lancar maka diam-diam ia memaki Mahendra dan kemudian memejamkan mata untuk memulihkan jalan darahnya. Kalau jalan darahnya sudah pulih, sekali renggut saja tentu akan putus tali pengikat tangannya. Maya agaknya mengerti pula akan hal ini, maka ia pun meronta-ronta dan berusaha mendahului nenek itu untuk melepaskan diri dan lari.

Kalau di sebelah sana tampak berkelebatnya dua bayangan orang bertanding dengan seru, disini terjadi pula perlombaan yang tidak kalah menegangkan, yaitu Maya berlumba melawan Nila Dewi untuk lebih dulu membebaskan diri dari ikatan.

Maya mengerti bahwa kalau dia kalah dalam perlumbaan ini, lenyaplah satu-satunya harapan dan kesempatan untuk melarikan, karena Mahendra yang sakti itu sedang bertanding dengan orang gagah yang menolongnya, maka tentu Nila Dewi akan membawanya lari!

Untung bagi Maya bahwa Mahendra yang tentu saja memandang rendah padanya dan memastikan bahwa anak ini tidak mungkin terlepas dari tangannya tadi tidak mengikat terlalu kuat, berbeda dengan ikatan pada kedua lengan Nila Dewi. Kini Maya dengan mata terbelalak memandang ke arah Nila Dewi yang masih menghimpun tenaga untuk memulihkan jalan darah berusaha keras untuk melepaskan ikatan kedua kakinya. Akhirnya ia berhasil melepaskan kakinya dari ikatan. Ia meloncat bangun dan dengan kedua tangan masih terikat di belakang ia melarikan diri.

"Robohlah....!"

Tiba-tiba terdengar suara Nila Dewi nyaring dan bagaikan didorong tenaga mujijat Maya terguling roboh! Ia cepat menengok dan melihat Nila Dewi sudah melompat berdiri. Kiranya wanita ini tadi telah menggunakan sin-kang untuk menendangnya dari jarak jauh, akan tetapi penggunaan sin-kang ini melenyapkan tenaga yang sudah mulai terkumpul, ia menjadi lemas kembali dan roboh bersandar batang pohon. Melihat ini, Maya tidak mempedulikan tubuhnya yang babak-belur, terus meloncat bangun dan lari lagi sekuatnya dengan kedua tangan masih terikat!

"Berhenti.... ahhhh, kekasihku, tega engkau meninggalkan aku....?" Nila Dewi berkata, akan tetapi tanpa menengok Maya terus lari secepatnya.

Sementara itu, pertandingan antara Kam Liong dan Mahendra masih berjalan seru. Berkali-kali pisau belati dan mangkok tanah menyambar, namun selalu Kam Liong dapat mengelak atau menangkis dengan kepretan ujung lengan bajunya. Tiba-tiba Mahendra berseru marah sekali dan menyambitkan mangkok tanah pada Kam Liong. Pendekar ini memukul kearah mangkok dengan jari tangan kiri terbuka.

"Brakkk!" Mangkok itu pecah berkeping-keping.

"Mampuslah!"

Mahendra berseru dan segulung sinar kuning yang lemas menyambar ke arah kepala Kam Liong. Pendekar ini terkejut melihat betapa lawannya telah melepaskan kain yang melilit tubuh atasnya dan menggunakan kain kuning itu untuk menyerangnya dengan gerakan seperti seorang nelayan melempar jaring ikan!

Cepat ia mengelak, namun kain itu digerakkan secara lihai sehingga kembali telah melayang untuk "menjaringnya"! Kam Liong terkejut. Kiranya lawannya ini benar-benar lihai sekali menggunakan kedua tangannya. Tampak sinar kuning emas berkelebat disusul sinar putih dan dia telah memegang suling emas dan kipasnya.

"Suling Emas....!"

Mahendra terkejut, meloncat ke belakang dan.... melarikan diri seperti orang ketakutan melihat setan.

Kam Liong tidak mengejar, sejenak memandang suling di tangannya dan menarik napas panjang penuh kagum. Nama ayahnya, Pendekar sakti Suling Emas, agaknya sedemikian hebatnya sehingga orang hitam aneh tadi pun mengenal senjata itu dan lari ketakutan!

Ia cepat meloncat ke tempat dimana anak tadi digantung dan tidak melihat lagi bocah itu, kecuali wanita India yang masih duduk bersandar pohon dan menghimpun kekuatan dalam. Ia merasa lega. Kiranya bocah tadi cukup cerdik dan agaknya berhasil melarikan diri sewaktu penculiknya bertanding melawannya. Dia tidak mengenal dua orang India itu, tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Niatnya hanya menolong anak perempuan itu dan setelah anak perempuan itu berhasil menyelamatkan diri, dia pun tidak mau mengganggu wanita India yang sedang menghimpun tenaga. Kam Liong menyimpan kedua senjatanya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanannya pulang ke kota raja di selatan.

Di dalam perjalanan pulang ini, selain berduka atas hancurnya Kerajaan Khitan dan tewasnya adik tirinya Raja Talibu, berprihatin menyaksikan perkembangan bangsa Yucen yang makin kuat juga Kam Liong merasa gelisah memikirkan hal yang selama ini selalu menjadi duri dalam daging baginya.

Perjalanannya ke utara telah menghasilkan pendengaran-pendengaran yang makin menggelisahkan hatinya, yaitu tentang desas-desus bahwa diantara para pembesar yang membujuk-bujuk Kaisar untuk memusuhi Khitan, termasuk pula saudara misannya yang bernama Suma Kiat.

Suma Kiat adalah putera tunggal mendiang bibinya, yaitu Kam Sian Eng, adik tiri ayahnya Suling Emas. Namun semenjak mudanya, Suma Kiat memiliki watak yang jahat dan palsu (baca cerita MUTIARA HITAM) sehingga ia seringkali bentrok, bahkan terasing dari keluarga keturunan Suling Emas yang terdiri dari para pendekar perkasa yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.

Akan tetapi, mengingat bahwa Suma Kiat masih saudara misannya, Kam Liong yang berwatak budiman merasa kasihan dan berkat usahanya, akhirnya Suma Kiat dapat diterima oleh Kaisar dan menjabat pangkat panglima dalam pasukan pertahanan pemerintah.

Memang Suma Kiat bukan seorang sembarangan, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi mewarisi ilmu-ilmu mendiang ibunya yang dahulu tergolong seorang di antara datuk-datuk persilatan yang disegani. Setelah memiliki kedudukan sebagai panglima, Suma Kiat yang memang berdarah keturunan keluarga Pangeran Suma, menjadi seorang bangsawan terhormat dan disegani pula, hidup mulia dan bahagia dalam gedungnya di kota raja, Selama dia memangku jabatannya, ia bekerja dengan baik dan hal ini sebagian besar adalah karena Suma Kiat merasa takut dan segan terhadap kakak misannya, Menteri Kam Liong yang selain memiliki kedudukan lebih tinggi daripadanya, juga memiliki ilmu kepandaian lebih lihai pula. Kini Suma Kiat telah menjadi seorang setengah tua dan hidup sebagai seorang bangsawan dalam gedungnya yang indah.

Ia telah menikah dengan seorang wanita bangsawan yang cantik dan mempunyai seorang putera. Puteranya ini bernama Suma Hoat, tampan seperti Ibunya, wataknya juga halus dan lemah-lembut seperti Ibunya.

Karena semenjak kecil oleh Ibunya ia dijejali pelajaran sastra dan filsafat, diingatkan bahwa dia adalah keluarga dari pendekar besar Suling Emas, maka sifat-sifat pendekar tertanam di jiwa anak ini. Dia digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri dan karena bakatnya, dia dapat mewarisi ilmu silat tinggi dari ayahnya. Namun ada satu sifat dari nenek moyangnya, yaitu keluarga Suma, yang agaknya menurun dan mengalir dalam darahnya, yaitu dia dikuasai nafsu berahi dan berwatak mata keranjang!

Selain puteranya sendiri, Suma Kiat juga mempunyai seorang murid lain yang sebetulnya adalah pelayan keluarganya, seorang pemuda yang sebaya dengan puteranya, bernama Siangkoan Lee. Anak ini mukanya buruk seperti muka kuda, pendiam dan rajin. Biarpun bakatnya tidak sebaik Suma Hoat dalam ilmu silat dan sastra namun berkat kerajinannya, dia pun memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali dalam ilmu silat karena Siangkoan Lee ini diam-diam mempunyai cita-cita tinggi dan selalu mengumpulkan ilmu-ilmu silat tinggi untuk dipelajarinya. Berkat kerajinan dan keuletannya, akhirnya ia pun diberi pekerjaan di kantor menjadi seorang "bangsawan" kecil, tidak lagi menjadi seorang pelayan.

Banyak hal terjadi sebagai akibat perbuatan keluarga Suma ini yang memaksa Menteri Kam Liong turun tangan dan membuatnya gelisah, dan beberapa hal di antaranya terjadi beberapa tahun yang lalu ketika Suma Hoat dan Siangkoan Lee dua orang murid Suma itu, baru berusia kurang lebih dua puluh tahun.

Pada suatu hari, Suma Hoat diantar oleh Siangkoan Lee pergi berburu ke hutan. Berburu binatang merupakan sebuah diantara kesukaan pemuda bangsawan ini, di samping kesukaannya mengujungi tempat-tempat hiburan untuk mendengar wanita-wanita cantik bernyanyi dan menari kemudian memilih yang tercantik di antara mereka untuk diajak bersenang-senang.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar