Ads

Sabtu, 09 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 132

Ketika tiba di sebuah tikungan, dengan kaget Yu Goan melihat pemandangan mengerikan di bawah anak tangga, belasan meter di bawah tempat itu berdiri, Ouw-pangcu berdiri bersandar tiang, kedua tangannya dibelenggu rantai baja yang panjang dan yang tergantung pada tiang itu. Kayu-kayu kering ditumpuk di sekitar tubuhnya dan beberapa orang penderita kusta telah memegang obor, agaknya mereka sudah siap untuk membakar kayu-kayu kering itu, membakar Ouw-pangcu hidup-hidup!

Cepat tangan Yu Goan bergerak dan tawanan itu berteriak, roboh dengan tulang pundak putus terbabat pedang. Yu Goan tidak mau melanggar janjinya. Dia tidak membunuh orang itu, hanya merobohkannya saja dengan mematahkan tulang pundaknya. Andaikata orang itu tidak menunjukkan tempat ini, dan andaikata tadi dia tidak berjanji tentu dia dan kawan-kawannya telah mendatangkan kekacauan di tempat yang tenteram seperti di atas tebing dan di lembah ini.

"Lepaskan Ouw-pangcu!"

Dengan suara nyaring Yu Goan membentak sambil melangkah turun melalui anak tangga.

Enam orang penderita kusta itu menengok dan menjadi kaget. Juga Ouw-pangcu menengok dan melihat Yu Goan, dia berteriak,

"Yu-sicu.... pergilah tinggalkan tempat berbahaya ini. Jangan memikirkan diriku!"

"Tenanglah, Gi-hu. Aku dan Bwee-moi, juga Supek Coa Leng Bu telah turun ke lembah untuk menolongmu dan menghajar pemberontak-pemberontak laknat ini!"

Mendengar bahwa suhengnya dan kedua orang anak angkatnya datang dan mereka telah tahu akan pemberontakan yang terjadi pula di lembah, wajah Ouw-pangcu menjadi girang sekali. Ia berteriak keras, kakinya bergerak dan tumpukan kayu bakar di depannya itu terlempar ke kanan kiri.

Tiga orang penderita kusta yang memegang obor di tangan menyerang Ouw-pangcu yang masih terbelenggu. Akan tetapi pada saat itu Yu Goan telah meloncat maju dan pedangnya berkelebat cepat membuat tiga orang itu terpaksa meloncat mundur dan membatalkan niatnya menyerang Ouw-pangcu dengan api obor.

Yu Goam kembali memutar pedangnya, mendesak orang-orang mengerikan itu mundur, kemudian secepat kilat pedangnya membacok rantai panjang yang membelenggu kedua tangan Ouw Teng. Terdengar suara nyaring dan belenggu itu putus, rantai panjang ini tergantung dari kedua tangan kakek itu yang segera meloncat ke depan dan membantu anak angkatnya menghadapi pengeroyokan enam orang penderita kusta,

Kakek itu mengamuk dan memutar-mutar rantai yang tergantung dari kedua tangannya, sedangkan Yu Goan menggerakkan pedangnya menghadapi enam orang yang bersenjata golok.

Biarpun enam orang penderita kusta itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya, namun mereka itu tidak dapat lagi mengerahkan sin-kang terlalu kuat karena tulang-tulang mereka sudah rusak dan rapuh. Maka amukan Ouw-pangcu dan Yu Goan membuat dua diantara mereka roboh, sedangkan empat orang lain terdesak hebat.

"Gi-hu, kita harus cepat keluar dari sini membantu Supek dan Bwee-moi!"

"Baik, akan tetapi kita robohkan dulu empat orang pengkhianat ini. Mereka ini termasuk orang-orangnya Sastrawan Ang, yang berhasil mempengaruhi lembah dan mengobarkan pemberontakan," kata Ouw-pangcu.

Akan tetapi sebelum mereka berhasil merobohkan empat orang itu, dari atas muncul belasan orang lain, terdiri dari penderita kusta, beberapa orang bekas anak buah Ouw-pangcu sendiri dan tiga orang Han. Mereka itu datang dengan cepat lalu langsung mengeroyok Yu Goan dan Ouw Teng.

Kakek ketua tebing itu menjadi marah sekali melihat bekas anak buahnya, sambil memaki-maki dia lalu mengarahkan dua potong rantai itu ke arah bekas-bekas anak buahnya sehingga biarpun dia dikeroyok banyak lawan, dia berhasil merobohkan dua orang bekas anak buah dan juga muridnya itu dengan sambaran dua potong rantai baja, membikin pecah kepala mereka!

Namun pengeroyokan itu benar-benar membuat Yu Goan dan Ouw-pangcu terdesak hebat. Kepandaian orang-orang penderita kusta itu tinggi, gerakan mereka cepat, dan tiga orang Han itu pun lihai sekali ilmu pedangnya. Mereka berdua dikeroyok di tempat yang sempit oleh belasan orang dan betapapun mereka mengamuk, dan berhasil merobohkan tiga orang lain, namun Yu Goan terkena tusukan pedang di paha kirinya sedangkan Ouw-pangcu juga terluka oleh bacokan pedang yang dilawan dengan sin-kangnya, namun tetap saja membuat kulit punggungnya terluka dan mengeluarkan darah.






"Gi-hu, kita keluar!"

Yu Goan berteriak sambil merobohkan seorang pengeroyok lagi dengan sebuah tendangan yang mengenai pusar.

"Tidak sudi lari sebelum membunuh iblis-iblis ini!" Ouw-pangcu menjawab dan mengamuk lebih hebat.

"Bukan melarikan diri, melainkan mencari tempat luas!"

"Hemm, baiklah!"

Sambil berkata demikian, Ouw-pangcu mencontoh perbuatan anak angkatnya, membuka jalan sambil memutar kedua rantai baja yang sudah berlepotan darah lawan, kemudian bersama Yu Goan dia lari menaiki anak tangga itu, dikejar oleh sebelas orang lawan, sisa para pengeroyok tadi.

Akan tetapi, baru tiba di tengah-tengah, dari atas muncul pula banyak orang musuh! Kini mereka berada di tengah-tengah, dikepung dari atas dan bawah sehingga keadaan Ouw-pangcu dan Yu Goan menjadi repot!

Sementara itu, Siauw Bwee yang pergi lebih dulu mencari Ouw-pangcu, dimana-mana bertemu dengan orang-orang penderita kusta yang mengeroyoknya. Diam-diam Siauw Bwee terkejut juga karena tidak mengira bahwa hampir semua anggauta lembah itu agaknya telah dikuasai oleh Ang-siucai dan kawan-kawannya.

Dia tidak tahu bahwa diantara mereka ada yang belum dapat dibujuk oleh Ang-siucai, akan tetapi mereka yang masih setia kepada ketuanya juga mengeroyoknya karena kedatangannya sebagai orang luar ternyata merupakan pelanggaran bagi para penghuni tempat itu, pelanggaran yang harus dihukum dengan kematian.

Akhirnya Siauw Bwee yang selalu dapat menghindarkan para pengeroyok itu tiba di depan sebuah pondok terbesar. Dia menduga bahwa tentu itu pondok ketua orang lembah. Ia pikir lebih baik menemui ketuanya untuk bicara secara terbuka mengenai hal ini dan minta kepada Si Ketua untuk membebaskan Ouw-pangcu yang dia masih belum temukan ditawan dimana. Kalau ketua lembah menolak, dia akan memaksanya! Ia pikir bahwa jika dia dapat menawan ketua lembah, tentu dia akan memaksanya menghentikan perlawanan anak buahnya, memaksanya membebaskan Ouw-pangcu.

Akan tetapi, ketika ia tiba di depan pondok, dia segera dikepung oleh belasan orang penderita kusta. Siauw Bwee merasa ngeri sekali dan jijik bukan main menyaksikan keadaan para pengeroyoknya. Juga dia tidak sampai hati kalau harus membunuh orang yang tidak karuan bentuk tubuhnya ini, maka dia hanya mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dan hanya kalau terpaksa saja dia menggunakan pedangnya mendesak mundur mereka. Dia takut kalau-kalau dia akan bersentuhan dengan mereka dan takut kalau ketularan!

Karena rasa jijik, rasa kasihan dan keraguannya ini maka Siauw Bwee tidak dapat segera membebaskan diri dari kepungan. Kiranya yang mengepungnya kali ini adalah pembantu-pembantu ketua yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada anggauta biasa.

"Lihiap, tahan mereka!"

Tiba-tiba terdengar suara bentakan dan kiranya Coa Leng Bu sudah muncul di tempat itu.

Dia pun disambut serangan oleh empat orang penderita kusta. Seorang diantara mereka menggerakkan sebatang cambuk panjang. Cambuk itu mengeluarkan suara meledak, bagaikan seekor ular hitam yang panjang tahu-tahu telah melibat leher kakek itu.

"Kalian manusia-manusia gila!"

Coa Leng Bu membentak, menangkap cambuk dan mengerahkan tenaga membetot. Orang yang memegang cambuk berteriak kaget, tubuhnya terbawa oleh sentakan itu dan terbanting ke atas tanah. Begitu terbanting, tulang-tulangnya yang rapuh tak dapat bertahan maka dengan mengeluarkan suara berkeretek mengerikan, lengan kanannya putus, sambungan pundaknya terlepas dan lengan itu terpisah dari tubuhnya, tangan kanannya masih mencengkeram gagang cambuk! Coa Leng Bu menendang lengan itu dan kini cambuk itu berada di tangannya. Dia memutar cambuk, merobohkan tiga pengeroyok lain lalu ia berlari memasuki pondok.

Siauw Bwee merasa ngeri dan jijik sekali menyaksikan peristiwa itu. Ia lalu meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyoknya dan berlari cepat memasuki pondok mengejar Coa Leng Bu.

Ketika dia dapat menyusul kakek tukang obat itu, mereka menuruni anak-anak tangga di sebelah dalam pondok dan tampaklah oleh mereka pemandangan yang amat aneh. Ketua orang lembah berbaring di atas dipan, memegangi sebatang bambu berbentuk suling dengan tempat tembakau di ujungnya. Kiranya kakek ketua lembah yang keadaannya mengerikan itu sedang menghisap madat!

Bau yang tidak enak menyambut hidung Siauw Bwee, membuat dara ini berbangkis, muak dan hendak muntah. Ketua lembah itu sudah tua sekali, rambutnya jarang dan kepalanya botak, matanya cacat karena pelupuk matanya habis dimakan kusta. Hidungnya tidak berdaging lagi, hanya tampak dua lubang hitam, bibirnya pletat-pletot. Tubuhnya yang tidak berbaju, hanya bercelana hitam itu kelihatan kurus kering dan tangan kirinya yang membantu lengan kanan memegangi pipa madat itu hanya tinggal dua buah jarinya!

Di dekat dipan berdiri seorang laki-laki yang bukan lain adalah Si Sastrawan Ang Hok Ci! Ang-siucai yang menjadi biang keladi segala kekacauan di atas tebing dan di lembah itu. Ang Hok Ci memegang sebatang golok dan dia membalik cepat ketika mendengar suara Siauw Bwee berbangkis tadi.

"Tarr....!"

Cambuk di tangan Coa Leng Bu meledak dan cambuk itu meluncur ke depan, ujungnya membelit tangan Ang-siucai yang berteriak kaget dan goloknya terlepas dari pegangan.

"Keparat she Ang, mampuslah!" Coa Leng Bu membentak.

"Sute, jangan kurang ajar!"

Kakek yang mengisap madat itu berseru, mulutnya menyemburkan asap putih ke arah muka Coa Leng Bu. Jarak antara dia berbaring dan tempat Coa Leng Bu berdiri cukup jauh, ada lima meter, akan tetapi asap itu bergulung-gulung cepat sekali menyambar muka Coa Leng Bu yang menjadi gelagapan dan terbatuk. Saat itu dipergunakan oleh Ang-siucai untuk menyambar goloknya karena tangannya yang terbelit ujung cambuk sudah terlepas ketika Coa Leng Bu diserang asap madat yang baunya memuakkan itu.

"Setan tua, kau melindungi pengacau?"

Siauw Bwee marah sekali dan sudah akan meloncat maju menghadapi ketua lembah yang amat lihai itu.

"Lihiap, jangan!" Coa Leng Bu berseru sehingga Siauw Bwee menahan gerakan kakinya. "Dia.... Suheng.... telah terbujuk penjahat...." Ia lalu berpaling kepada suhengnya yang masih rebah di atas dipan. "Suheng, insyaflah. Dia ini bukan manusia baik-baik. Dia telah mengacau tebing, kini dia mengacau lembah bahkan tentu dia yang membujukmu untuk mengisap racun itu!"

"Coa Leng Bu, pergilah sebelum kubunuh engkau!" Kakek itu berseru. "Jangan kurang ajar terhadap tamu dan sahabat baikku. Hayo pergi!"

"Supek, kau hadapi manusia she Ang itu, biar aku yang menundukkan ketua lembah...." bisik Siauw Bwee.

"Coa Leng Bu, tidak pergi juga engkau?"

Kakek itu kini bangkit duduk dan tangannya memegang sebuah bendera hitam kecil, bendera yang dahulu dilihat oleh Siauw Bwee dipegang penderita kusta untuk menundukkan Ouw-pangcu. Melihat bendera itu, tiba-tiba Coa Leng Bu menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu tidak berani membantah....!"

Tiba-tiba Ang-siucai yang melihat kakek tukang obat itu berlutut dan sama sekali lenyap sikapnya melawan, menggerakkan goloknya membacok sambil melompat ke depan.

"Trangggg!"

Pedang Siauw Bwee menangkis dan golok itu terpental, sedangkan tubuh siucai itu terhuyung.

"Tolong, Lie-pangcu.... perempuan siluman itu lihai sekali!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar