Ads

Kamis, 26 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 103

Di Hutan Cemara telah berkumpul banyak sekali orang. Ada seratus orang lebih yang sudah datang berkumpul. Mereka itu rata-rata nampak gagah perkasa dan penuh semangat. Hutan di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu nampak ramai walaupun hal ini agaknya tidak diketahui oleh para penduduk dusun yang berada di sekitar Tai-hang-san namun cukup jauh dari tempat pertemuan yang sepi itu.

Pada waktu itu, sudah terdapat beberapa buah perkumpulan yang anti pemerintah, di antaranya yang paling terkenal pada waktu itu adalah Pek-lian-pai atau Pek-lian-pang yang intinya adalah Agama Pek-lian-kauw. Kemudian Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang juga merupakan perkumpulan rahasia yang selalu dikejar-kejar pemerintah karena mereka itu terang-terangan menentang pemerintah Mancu yang berkuasa.

Pada mulanya memang cita-cita menentang penjajah ini digerakkan oleh orang-orang yang berjiwa patriot di antara para tokoh mereka. Akan tetapi sungguh sayang, cita-cita ini kemudian dicampuri dengan cita-cita pribadi atau cita-cita kelompok yang lain lagi, yang hanya mementingkan keuntungan diri pribadi atau kelompok, ambisi untuk mencari kedudukan atau keuntungan. Bahkan lebih buruk lagi, di antara para anak buah perkumpulan-perkumpulan rahasia itu ada yang terlalu mengandalkan kekuatan dan kekuasaan atau pengaruh perkumpulannya sehingga seringkali mereka bertindak sewenang-wenang.

Bahkan ada pula orang-orang yang memang berwatak jahat menyelundup masuk dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengotorkan nama perkumpulan.

Ketika Ceng Liong tiba di Hutan Cemara, banyak orang sudah berkumpul. Yang amat menyolok adalah tiga buah perkumpulan itu. Mereka datang dengan anggauta yang puluhan orang banyaknya dan nampaklah bendera-bendera mereka berkibar dan pasukan mereka berada di belakang bendera perkumpulan masing-masing.

Di depan bendera Pek-lian-pai berdiri seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat akan tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menunjukkan bahwa tosu yang tua ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Di kanan kirinya berdiri dua orang tosu tua yang tadi ribut dengan Bi Eng. Sikap tiga orang tosu ini angkuh dengan muka ditegakkan menghadap ke depan, kedua tangan di belakang tubuh dan kedua kaki dipentang lebar. Akan tetapi sikap para anak buah Pek-lian-pai tidak teratur dan mereka itu nampak berbisik-bisik dan ada yang tersenyum-senyum dengan mata melirik ke kanan kiri.

Pat-kwa-pai dengan benderanya yang angker, bentuk segi delapan dengan garis-garis pat-kwa, dipimpin oleh seorang kakek pula yang bertubuh sedang, berpakaian putih dan kuning seperti pakaian pertapa, dengan rambut, jenggot dan kumis awut-awutan panjang tak terpelihara, diiringkan dua puluh lebih anak buah Pat-kwa-pai yang kesemuanya mengenakan pakaian seragam dengan gambar pat-kwa di bagian dada. Sikap mereka ini lebih serius dan pendiam daripada para anak buah Pek-lian-pai yang berbendera gambar bunga teratai itu.

Berbeda dengan dua perkumpulan terdahulu, Thian-li-pai yang datang dengan anak buah sebanyak lima puluh orang itu dipimpin oleh seorang pria berusia empat puluh tahun, berpakaian ringkas serba hitam dengan sepasang pedang tergantung di punggung. Sikapnya pendiam dan gagah, juga anak buahnya kelihatan gagah dengan pakaian yang serba hitam dan ringkas.

Karena saat pertemuan yang ditentukan telah tiba, maka di dataran tinggi yang dikelilingi para peserta itu muncul seorang pria yang gagah perkasa, yang memakai baju kulit harimau. Pria ini berusia kurang lebih empat puluh tahun dan begitu muncul di dataran tinggi itu pria itu menjura dengan sikap gagah dan hormat ke empat penjuru sambil berseru dengan nada suara yang lantang.

“Cu-wi (saudara sekalian) yang terhormat, mohon perhatian!”

Suaranya yang mengandung getaran khi-kang yang kuat itu mengatasi suara berbisik para pendatang yang memenuhi tengah hutan cemara itu dan suasana lalu menjadi tenang dan sunyi karena semua orang menghentikan percakapan masing-masing, dan kini semua mata ditujukan kepada pria itu.

Melihat pria itu Ceng Liong merasa betapa jantungnya berdebar. Andaikata tidak terjadi pertemuan antara dia dan Bi Eng, maka melihat pria ini tentu akan mendatangkan rasa girang, tidak bercampur tegang seperti sekarang ini. Pria itu adalah Sim Hong Bu, pendekar yang mewarisi Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) dengan ilmunya itu. Pendekar yang menjadi guru Bi Eng, juga menjadi calon mertua!

Setelah memberi hormat ke empat penjuru, Sim Hong Bu berkata, nada suaranya masih lantang dan gagah.

“Cu-wi yang terhormat, harap maafkan kelancangan saya mewakili para locianpwe dan para sahabat untuk sementara memimpin rapat ini sebelum kita semua memilih pimpinan. Bagi cu-wi yang belum mengenal saya, saya memperkenalkan diri bahwa nama saya Sim Hong Bu. Bagaimana pendapat cu-wi, setujukah kalau saya untuk sementara memimpin pertemuan ini?”

Terdengar teriakan
“setuju!” dari mereka yang sudah mengenal pendekar ini, sedangkan mereka yang belum mengenalnya dan masih ragu-ragu pun diam saja, hanya mendengarkan.

Agaknya para pimpinan tiga perkumpulan besar yang hadir itupun sudah mengenal pendekar ini karena mereka mengangguk-angguk. Karena sebagian besar di antara yang hadir menyetujuinya, Sim Hong Bu makin bersemangat.

“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi. Saya akan menceritakan sedikit tentang timbulnya gagasan mengadakan pertemuan pada hari ini. Beberapa orang locianpwe dan sahabat baik, yang berjiwa pendekar dan mencinta tanah air dan bangsa, mengadakan pertemuan dan membicarakan tentang tanah air kita yang dijajah Bangsa Mancu puluhan tahun lamanya. Sebagai pendekar dan patriot, tentu saja kita tidak mungkin tinggal diam saja. Maka sayapun diberi tugas untuk menghubungi para sahabat dan pendekar yang sehaluan, mengundang mereka untuk mengadakan pertemuan pada hari ini. Maksud dari pertemuan ini adalah untuk menghimpun tenaga dan mengatur rencana bagaimana kita dapat berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah.”

“Harus lebih dulu dipilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)!” terdengar teriakan-teriakan di antara mereka yang hadir.

Sim Hong Bu tersenyum dan mengangkat kedua tangan minta agar mereka itu tenang. Setelah keadaan menjadi tenang, dia berkata.

“Memang seperti yang cu-wi kehendaki, pertama-tama kita memilih pimpinan. Karena itu maka tadi saya katakan bahwa saya hanya untuk sementara memimpin pertemuan ini, atau sebagai juru bicara. Kita mengangkat seorang pemimpin dan pemimpin itulah yang kemudian menentukan para pembantunya. Setujukah cu-wi?”






Semua orang kembali berisik menyatakan setuju. Tosu gendut, yaitu yang pernah ribut dengan Bi Eng, mengacungkan tangan ke atas dengan suara yang menggeledek dia berkata.

“Kami calonkan ketua kami menjadi bengcu!” Ucapan ini disambut sorak-sorai anak buah Pek-lian-pai.

“Kami usulkan pimpinan kami Giam San-jin menjadi bengcu!” teriak seorang di antara anak buah Pat-kwa-pai dan teriakan inipun disambut sorak-sorai anak buah perkumpulan itu.

“Kami usulkan toako kami Su Ciok menjadi calon bengcu!” teriak anak buah Thian-li-pai disambut sorak-sorai teman-temannya.

Kembali Sim Hong Bu mengangkat kedua tangannya ke atas untuk memberi isyarat agar suasana kembali tenang. Setelah keadaan tenang, diapun berkata.

“Memang untuk memilih bengcu, harus lebih dahulu diajukan calon-calon. Seorang calon yang diajukan harus memenuhi syarat, dan harus dikemukakan kebaikan-kebaikan apa maka dia dipilih menjadi bengcu. Saya mulai dengan locianpwe Ci Hong Tosu pimpinan Pek-lian-pai yang tadi diajukan sebagai calon. Harap dikemukakan alasan-alasan mengapa dia dicalonkan.”

Sim Hong Bu sudah tahu siapa adanya tosu kurus yang memimpin rombongan Pek- lian-pai itu dan dia tahu bahwa biarpun tosu itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi berwatak tinggi hati, bahkan kadang-kadang sombong dan terlalu memandang rendah orang lain.

Tosu gendut yang tadi mengusulkan agar ketuanya dipilih bengcu, berkata.
“Suhu Ci Hong Tosu memiliki pengetahuan yang luas disamping itu kepandaian tinggi, dan terutama sekali disamping itu semua, beliau adalah seorang tokoh Pek-lian-pai dan siapakah yang tidak tahu bahwa sejak dahulu Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang selalu berjuang untuk mengusir penjajah?”

“Susiok kami, Giam San-jin belum tentu kalah dibandingkan dengan tokoh Pek-lian-pai!” tiba-tiba terdengar suara dari rombongan Pat-kwa-pai. “Dan mengenai perjuangan menentang pemerintah penjajah, Pat- kwa-pai juga sudah amat terkenal.”

“Dalam hal perjuangan, Thian-li-pai tidak kalah! Dan dalam hal kepandaian, juga toako kami Su Ciok boleh diandalkan!” teriak orang-orang Thian-li-pai. Kembali keadaan menjadi berisik karena tiga golongan ini bicara sendiri semaunya.

Sementara itu, sejak tadi Ceng Liong tidak memperhatikan mereka yang ribut mengajukan calon-calon bengcu karena dia mencari-cari Bi Eng dengan matanya. Begitu melihat munculnya guru dan calon ayah mertua kekasihnya, dia sudah menoleh dan memandang ke sana-sini, mencari-cari dengan pandang matanya dan merasa gelisah mengapa gadis itu belum juga muncul.

Akhirnya dia melihat berkelebatnya bayangan Bi Eng di antara penonton di sebelah selatan, maka diapun menyusup ke sana menghampiri dan Bi Eng yang juga melihatnya lalu bergerak pula menghampirinya. Seperti telah mereka janjikan dan setujui berdua, mereka lalu berdiri di tempat yang tidak begitu berdesak-desak, berdiri berdampingan dan sama-sama memandang ke arah Sim Hong Bu yang memimpin pertemuan itu.

“Suhumu memang gagah perkasa.” Ceng Liong memuji lirih.

“Ya, dan kalau menurut aku, tidak ada yang lebih baik daripada suhu untuk menjadi calon bengcu. Dia penuh semangat dan berilmu tinggi, juga kegagahan dan kebersihannya tidak perlu diragukan lagi,” jawab Bi Eng lirih.

“Kalau begitu, kenapa tidak kau usulkan agar dia dicalonkan pula?”

“Engkau benar! Orang-orang seperti mereka itu dicalonkan, mengapa suhu tidak?”

Setelah berkata demikian, sekali menggerakkan kakinya, gadis itu sudah meloncat ke depan, ke arah bagian tanah yang agak tinggi walaupun tidak setinggi tanah datar di mana gurunya berada, dan dengan pengerahan khi-kang yang membuat suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan ia berkata.

“Cu-wi, saya juga mengajukan seorang calon bengcu, yaitu bukan lain guru saya sendiri Sim Hong Bu yang cu-wi semua sudah mengenalnya!”

Usul ini disambut sorakan setuju dari sebagian banyak orang, mungkin lebih tertarik karena melihat kecantikan dan keberanian Bi Eng daripada kepercayaan mereka terhadap Sim Hong Bu sendiri.

Melihat ulah muridnya, Sim Hong Bu tertawa dan mengangkat kedua tangan ke atas.
“Cu-wi sekalian, harap maafkan murid saya. Akan tetapi karena ia sudah mengajukan saya sebagai calon, tentu saja terserah kepada cu-wi. Nah, siapa lagi yang akan mengajukan calon?”

Ternyata banyak juga calon yang diajukan oleh para pendekar itu. Di antara mereka bahkan terdapat Bu-taihiap atau pendekar Bu Seng Kin yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti banyak isteri dan kekasihnya itu, yang kini telah berusia enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak ganteng dan gagah!

Bu-taihiap hanya tersenyum-senyum saja mendengar betapa dia dicalonkan sebagai bengcu yang memimpin para pendekar dan patriot untuk berjuang menentang pemerintah penjajah. Agaknya pendekar ini merasa gembira bahwa masih ada orang yang percaya kepadanya dan diam-diam dia merasa bangga karenanya. Jumlah para calon itu ada tujuh belas orang!

“Jumlah calon begini banyak, bagaimana harus diadakan pemilihan di antara yang tujuh belas ini?”

Sim Hong Bu menjadi bingung sendiri melihat demikian banyaknya calon yang diajukan. Apalagi mereka itu nampak demikian bernapsu untuk menang dalam pemilihan ini.

“Mudah saja diatur! Kita adalah orang-orang yang sudah biasa mengandalkan ilmu silat untuk melewati hidup. Karena itu, untuk menentukan pilihan, sebaiknya kalau dipilih di antara kita yang paling tangguh. Nah, aku sebagai seorang di antara calon-calon sudah maju untuk menandingi calon lain yang merasa berkepandaian tinggi!”

Yang bicara ini adalah seorang pria tinggi besar bermuka hitam yang sudah meloncat ke depan, di tempat datar itu, bersikap menantang. Semua orang memandang kepadanya.

Pria ini tadi dipilih oleh kawan-kawannya dan dia terkenal sebagai seorang yang ditakuti di Tai-goan, bahkan di Propinsi Shan-si dia dikenal sebagai jagoan atau tukang pukul yang disegani. Karena dia tidak pernah jahat, walaupun agak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan selalu ingin benar sendiri, maka dia selalu menganggap diri sendiri sebagai seorang pendekar!

Pria ini bernama Tang Gun, dan pria yang tinggi besar bermuka hitam ini berusia empat puluh tahun, terkenal memiliki banyak macam ilmu silat di antaranya ilmu-ilmu silat Siauw-lim-si dan tenaganya amat besar.

Sebelum yang lain-lain mengemukakan pendapatnya dan sebelum Sim Hong Bu sempat mencegahnya, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Su Ciok, tokoh Thian- li-pai, sudah berada di atas tanah datar itu menghadapi Tang Gun!

“Bagus, engkau hendak menantang pibu? Baik sekali, akulah lawanmu. Lihat seranganku!” bentak Su Ciok sambil menerjang dengan pukulannya yang kuat.

Tokoh Thian-li-pai ini memang berwatak keras, tidak banyak cakap namun suka sekali berkelahi. Begitu mendengar usul dan tantangan Tang Gun tadi, dia sudah naik darah dan menyambut tantangan itu tanpa banyak cakap lagi.

“Heh, kau ini tokoh Thian-li-pang tadi?” bentak Tang Gun sambil menangkis dengan pengerahan tangannya yang besar.

“Dukk....!”

Pertemuan dua buah lengan yang sama besar dan sama kuatnya itu membuat keduanya terdorong ke belakang sampai terhuyung. Keduanya terkejut, tidak mengira bahwa lawan memiliki tenaga yang demikian besar. Akan tetapi kini Tang Gun marah dan membalas serangan tadi dengan cengkeraman tangan ke depan, disusul hantaman tangan kiri ke arah kepala lawan.

Karena kini dia tahu bahwa lawannya juga memiliki tenaga besar, maka melihat datangnya serangan yang kuat berbahaya itu, Su Ciok mengelak dan balas menyerang. Serang-menyerangpun terjadilah dengan serunya.

Dan ternyata dua orang yang sama tinggi besar dan sama kuatnya ini memang memiliki kepandaian dan tenaga seimbang. Berkali-kali lengan mereka saling bertemu dan keduanya selalu terdorong ke belakang. Ketika mereka bertanding sampai dua puluh jurus lebih, tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh ke medan perkelahian itu. Kiranya bayangan itu adalah Giam San-jin tokoh Pat-kwa- pai.

“Plakk! Plakk!”

Kakek berpakaian pertapa ini menggerakkan tangannya menyambut pukulan dua orang yang sedang berkelahi itu dan demikian kuat tamparan tangannya ketika mengenai lengan mereka sehingga Tang Gun dan Su Ciok yang bertenaga besar itupun terpelanting dan hampir terbanting roboh! Tentu saja keduanya terkejut bukan main.

“Kalian mundurlah!” kakek itu membentak dengan mata mencorong kepada mereka.

Dua orang kuat itu terbelalak dan sejenak bimbang. Dari pertemuan tenaga tadi saja merekapun maklum bahwa kakek tokoh Pat-kwa-pai ini memang hebat sekali, maka mereka menjadi ragu dan jerih, lalu mundur untuk membiarkan kakek itu bicara.

Giam San-jin memberi hormat ke empat penjuru, lalu berkata dengan suara halus.
“Kami setuju dengan usul untuk menentukan siapa menjadi bengcu melalui ujian kepandaian. Akan tetapi bukan secara kasar dan tak teratur seperti yang diperlihatkan dua saudara tadi. Sebelumnya harus diadakan peraturan agar tidak kacau-balau. Pertama ingin kami mendengar apakah cu-wi yang hadir di sini setuju bahwa untuk menentukan bengcu diadakan ujian kepandaian di antara para calon dan yang paling pandai berhak menjadi bengcu?”

“Siancai....! Itulah yang paling baik. Kami setuju!”

Terdengar Ci Hong Tosu tokoh Pek-lian-pai berseru, suaranya tinggi melengking sehingga terdengar jelas karena memang tosu ini hendak memperlihatkan kekuatan khi-kangnya.

Selain ketua Pek-lian-pai, banyak pula di antara para tokoh yang tadi dicalonkan menyetujui. Kembali suasana menjadi gaduh karena ada pula di antara para pendekar yang nampaknya tidak setuju dengan usul pertandingan adu kepandaian itu.

Ceng Liong sejak tadi merasa tidak setuju dengan sikap para tokoh yang hendak melakukan pemilihan bengcu melalui adu ilmu silat. Dan diapun melihat sesuatu yang menarik hatinya, yaitu ketika ada seorang pemuda gagah perkasa bercakap-cakap dengan Sim Hong Bu. Bahkan pendekar berbaju kulit harimau itu memeluk pemuda itu. Dia lalu bertanya kepada Bi Eng siapa adanya pemuda yang baru muncul itu. Bi Eng menoleh ketika ia memandang pemuda itu, wajahnya menjadi merah sekali.

“Itulah putera suhu....” katanya lirih.

Jantung dalam dada Ceng Liong berdebar keras penuh ketegangan. Jadi pemuda itukah tunangan kekasihnya? Seorang pemuda yang kelihatan gagah sekali! Akan tetapi Bi Eng tidak mencintanya dan memilih dia!

Selagi semua orang berbisik dan bicara sendiri karena mereka terbagi menjadi dua golongan yang mendukung dan menentang usul diadakannya pibu untuk menentukan siapa yang akan menjadi bengcu, tiba-tiba terdengar suara ketawa.

Suara ketawa ini mengatasi semua suara berisik sehingga semua orang lalu menoleh dan memandang kepada kakek yang tertawa-tawa itu. Kakek ini sudah berdiri dan karena suara ketawanya yang luar biasa, maka semua orang dengan mudah dapat menemukannya.

Dia berdiri sambil bertolak pinggang. Seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluhan tahun. Akan tetapi wajahnya masih nampak ganteng, pakaiannya pesolek dan indah. Di dekatnya sendiri empat orang wanita setengah tua yang kesemuanya cantik- cantik.

Mereka yang berada di situ, hanya ada beberapa orang saja yang sudah mengenalnya. Kakek ini bukan lain adalah Bu-taihiap atau nama lengkapnya adalah Bu Seng Kin, seorang pendekar besar yang suka bertualang. Kini Bu-taihiap yang hadir bersama empat orang isterinya itu memandang kepada Ci Hong Tosu, masih tertawa, dengan nada mengejek.

“Pertemuan macam apakah ini? Pertemuan antara orang-orang yang berjiwa patriot, ataukah pertemuan gerombolan tukang pukul yang hendak pamer kepandaian silat? Ha-ha-ha, sungguh lucu!”

Ci Hong Tosu mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak mengenal siapa adanya kakek itu, akan tetapi dia mengenalnya sebagai seorang di antara para calon karena tadi ada orang yang mencalonkan kakek ganteng ini.

“Siancai...., siapa menyetujui cara kami boleh maju memperebutkan kedudukan bengcu, yang tidak setuju boleh mundur!”

“Harap cu-wi pikirkan baik-baik!”

Tiba-tiba Sim Hong Bu maju menghadapi Giam San-jin yang masih berdiri di dataran itu dengan sikap menantang lawan.

“Apa yang harus dipikirkan lagi, Sim-sicu? Bukankah kita berkumpul di sini untuk bicara tentang perjuangan dan sebelum itu harus diangkat dulu seorang bengcu yang akan menjadi pemimpin dan menunjuk orang-orang untuk menjadi pembantu-pembantunya. Nah, calon-calon sudah diambil dan kini tinggal diadakan pemilihan melalui adu kepandaian!”

“Betul! Lebih baik cepat laksanakan pibu!” terdengar beberapa orang berseru.

Sebagai ahli-ahli silat, memang biasanya mereka ini suka sekali nonton orang mengadu ilmu silat, apalagi kalau diingat bahwa yang berkumpul di situ sekarang adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan, maka tentu akan menjadi ramai sekali dan mereka berkesempatan untuk melihat ilmu-ilmu silat hebat yang akan dikeluarkan. Mereka akan memperoleh banyak kemajuan dan pengalaman dalam pibu ini.

Sim Hong Bu mengangkat kedua tangan ke atas minta agar semua orang tenang. Kemudian dia berkata kepada Giam San-jin.

“Maaf, sobat. Akan tetapi saya kira tidaklah tepat kalau diadakan pibu dalam pemilihan bengcu ini. Dalam pibu, mungkin ada yang akan roboh terluka bahkan mungkin saja akan ada yang tewas.”

Giam San-jin tertawa.
“Ha-ha, siapa yang tidak tahu akan hal itu, sicu? Bukankah kita semua ini adalah orang-orang yang sejak kecil sudah berkecimpung dengan dunia persilatan dan sudah biasa dengan kalah menang, luka dan mati? Akan tetapi hal itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang-orang macam kita. Kalau ada orang yang takut terluka atau tewas dalam pibu, mana ada harganya orang itu menjadi bengcu, menjadi pemimpin kita? Karena itu, kami harap agar dapat diputuskan sekarang juga agar pibu segera diadakan untuk menentukan siapa yang patut menjadi bengcu. Ingat, sicu sekarang ini hanya memimpin pertemuan sementara saja sebelum bengcu dipilih, karena itu sicu tidak berhak menentukan sesuatu. Dan banyak saudara yang menyetujui diadakan pibu. Bukankah demikian, cu-wi yang mulia?”

Ucapan ketua Pat-kwa-pai disambut sorak-sorai dan tentu saja dia menang suara karena baru anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai saja sudah hampir separuh jumlah yang hadir. Melihat ini, Sim Hong Bu menjadi bingung dan tidak tahu harus berkata apa lagi.

Pada saat itu, Ceng Liong melompat ke depan Giam San-jin dan tentu saja dia tidak mau bertindak lancang dan terlebih dahulu dia menjura kepada Sim Hong Bu.

“Sim-locianpwe, bolehkah saya bicara kepada para hadirin yang terhormat?”

Sim Hong Bu memandang wajah Ceng Liong dan sejenak dia memandang tajam, kemudian dia mengangguk.

“Silahkan, dan mudah-mudahan kekacauan ini dapat diredakan,” katanya sambil mundur.

Giam San-jin mengerutkan alisnya memandang kepada pemuda remaja yang berani maju dan hendak bicara itu, akan tetapi Ceng Liong sama sekali tidak memperhatikannya. Pemuda ini menjura ke empat penjuru, kemudian suaranya terdengar menggeledek.

“Cu-wi sekalian, perkenankan saya bicara sebentar dan harap cu-wi sudi mempertimbangkan dengan baik-baik.”

Diam-diam Giam San-jin, juga para tokoh yang hadir di situ terkejut. Di dalam suara pemuda ini terkandung getaran yang amat hebat, yang terasa sampai ke jantung mereka, tanda bahwa kekuatan khi-kang pemuda yang bicara ini besar sekali. Karena itu, tentu saja semua orang memandang kepadanya penuh perhatian dan ingin sekali tahu apa yang akan dikatakan oleh pemuda itu.

Ceng Liong sudah mengambil keputusan untuk menghalangi terjadinya kekacauan dalam pertemuan ini, maka dengan sikap tenang namun tegas diapun mulai bicara, suaranya tetap lantang karena memang dia ingin mengatasi semua kegaduhan agar dapat didengar dengan baik oleh mereka semua.

“Cu-wi yang terhormat. Saya mengajak cu-wi untuk merenungkan sejenak dan menjawab pertanyaan yang kita ajukan kepada diri sendiri, yaitu untuk apakah kita semua ini dari jauh datang berkumpul ke sini dan mengadakan pertemuan ini? Jawabannya tentu mudah dan dapat disetujui kita semua, yaitu bahwa kita berkumpul untuk bersatu padu dan berjuang membebaskan negara dari penjajahan. Dan sekarang, dalam pemilihan bengcu, kita akan berhadapan sebagai orang-orang yang hendak memperebutkan kedudukan! Bahkan untuk memperebutkan kedudukan bengcu, kita tidak segan-segan untuk saling serang, saling melukai dan bahkan saling bunuh! Para saudara yang tidak menyetujui pertandingan pibu memperebutkan kedudukan ini tentu orang-orang gagah perkasa yang juga tidak takut terluka atau mati, akan tetapi tidak setuju karena melihat bodohnya keputusan ini. Tidak setuju karena cara yang dipergunakan untuk memilih bengcu ini tidak baik!”

Ucapan pemuda itu membuat semua orang tertegun, bahkan mereka yang tadinya menyetujui diadakannya pibu kini terdiam. Akan tetapi, Giam San-jin yang memelopori cara pibu yang tadi didahului oleh Tang Gun dan Su Ciok, menganggap pemuda ini menjadi penghalang yang menentangnya.

“Cara apapun yang kita adakan, adalah baik karena untuk suatu tujuan yang baik. Tujuan kita memilih bengcu yang benar-benar patut kita jadikan pemimpin. Apa salahnya cara pibu bagi orang-orang yang menganggap diri pendekar?” demikian kepala rombongan Pat-kwa-pai membantah, juga dia mengerahkan tenaga khi-kang dalam suaranya sehingga terdengar lantang.

“Maaf,” kata Ceng Liong, menjura kepada orang tua itu. “Bukan maksud saya untuk semata-mata menentang pendapat itu, melainkan mengajak semua saudara untuk mempertimbangkan dengan penuh kesadaran. Kita berkumpul dengan maksud untuk bersatu. Dalam menghadapi perjuangan besar, kita perlu bersatu padu. Akan tetapi, cara pemilihan bengcu dengan jalan pibu bukanlah hal yang menguntungkan, bahkan amat berbahaya. Dalam pibu, yang terluka apalagi yang tewas tentu menimbulkan dendam dan hal ini akan memecah-belah persatuan antara kita. Pula, harus diingat bahwa seorang bengcu yang akan memimpin perjuangan, tidak cukup kalau hanya mempunyai kepandaian silat tinggi. Perang lebih membutuhkan ilmu perang, walaupun dalam pertempuran dibutuhkan kemahiran ilmu silat bagi para pejuang yang bertempur. Yang penting adalah caranya untuk bersatu, karena caralah yang menentukan sesuatu, yang menciptakan baik buruknya sesuatu, bukan tujuan.”

Semua orang yang mendengarkan menjadi semakin bingung, terutama yang tadi menyetujui diadakannya pibu. Mereka dapat merasakan kebenaran ucapan pemuda itu, akan tetapi sebagai orang-orang yang suka akan ilmu silat, merekapun ingin sekali kalau pibu diadakan agar mereka dapat menikmati pertandingan-pertandingan yang tentu akan hebat sekali itu.

Sementara itu, Giam San-jin sudah marah sekali, merasa bahwa dia disudutkan oleh pemuda remaja yang tidak dikenal itu. Maka diapun melangkah maju menghampiri Ceng Liong dan menegur keras.

“Orang muda, siapakah engkau berani berlagak menggurui kami? Bagaimanapun juga, kami tetap mengambil keputusan untuk memilih bengcu dengan cara pibu! Kalau sudah begitu, engkau mau apa? Kalau kau tidak setuju, boleh angkat kaki dari sini. Dalam urusan penting ini, kami tidak membutuhkan nasihat-nasihat seorang bocah hijau seperti engkau!”

Tentu saja ucapan ini merupakan penghinaan yang memanaskan hati. Akan tetapi Ceng Liong tetap bersikap tenang, bahkan dia tersenyum. Kalau saja dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak tamu para pendekar sakti dan para locianpwe, tentu dia sudah mempermainkan kakek yang sombong ini. Kini dia harus bersikap dan bertindak tegas kalau dia menghendaki agar pertemuan itu tidak sampai berobah menjadi arena pertandingan yang akibatnya tentu akan memecah-belah kekuatan di antara mereka saja.

“Locianpwe,” katanya dengan sikap hormat. “Bagimanapun juga, saya akan menentang pibu yang diadakan untuk pemilihan bengcu.”

Ucapannya itu hormat, akan tetapi tenang dan tegas sekali. Suasana menjadi tegang ketika pemuda itu mengeluarkan ucapan ini. Betapa beraninya pemuda itu, pikir mereka. Atau lancang dan tak tahu diri? Berani menentang seperti itu kepada Giam San-jin, tokoh Pat-kwa-pai yang memiliki ilmu kepandaian hebat. Bahkan Tang Gun dan Su Ciok yang lihai itupun tadi gentar dan mundur berhadapan dengan kakek berpakaian pertapa ini.

Tentu saja Giam San-jin menjadi semakin marah. Pemuda ini menyebutnya locianpwe, berarti mengakui bahwa kedudukan dan kepandaiannya jauh lebih tinggi, akan tetapi berani menentangnya!

“Orang muda, dengan ucapanmu tadi berarti bahwa engkau hendak menentangku, ataukah engkau hendak memasuki pula pertandingan pibu ini melawan aku?”