Ads

Kamis, 26 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 108

Rombongan itu jelas sekali dapat dikenal sebagai rombongan pembesar. Kereta-kereta yang megah itu diberi tanda pangkat dan tiga buah kereta yang tertutup itu dikawal oleh pasukan yang jumlahnya tiga losin.

Biarpun hanya tiga losin orang perajurit yang mengawal tiga buah kereta itu, namun para perajurit itu nampak tegap-tegap dan memang mereka adalah perajurit-perajurit pilihan dari kota raja yang kini bertugas mengawal Louw-ciangkun, pembesar militer yang baru diangkat oleh kaisar dan kini sedang menuju ke tempat dia bertugas, yaitu di kota Shen-yang, jauh di utara.

Louw Tek Ciang, pembesar militer itu, adalah orang amat cerdik. Dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya setelah dia mengkhianati para pendekar di Gunung Cemara. Oleh karena itu, sebelum berangkat ke tempat tugasnya, dia telah membuat persiapan yang dianggapnya cukup matang. Dia mengutus seorang perajurit untuk mengundang keluarga Cu ke kota raja. Sambil menanti kedatangan guru-gurunya, diam-diam dia juga mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh yang pernah menjadi persekutuan untuk mencari kedudukan.

Mereka itu adalah tokoh-tokoh yang pernah bersekutu dengan Yong Ki Pok, gubernur di Sin-kiang yang memberontak. Gerombolan orang ini masih selalu menanti-nanti saat yang baik dan akhirnya mereka dapat berhubungan dengan Louw Tek Ciang yang sudah memperoleh kedudukan baik itu. Pembesar muda ini dapat mereka pergunakan sebagai tangga atau batu loncatan ke arah kedudukan yang lebih menguntungkan.

Di lain pihak, Tek Ciang yang cerdik itu dapat mempergunakan kepandaian mereka untuk melindungi dirinya. Yang berhasil dihubungi oleh Tek Ciang dan sudah menanti di luar kota raja untuk bergabung dengannya adalah Thai-hong Lama, yaitu Lama jubah merah dari Tibet yang lihai sekali itu. Juga Pek-bin Tok-ong, tokoh Go-bi yang tidak kalah lihainya. Bahkan dua orang asing yang merupakan tokoh-tokoh pula dalam persekutuan itu, yakni Siwananda bekas Koksu Nepal, dan Tai-lu-cin raksasa Mongol, juga ikut serta dalam persekutuan bekerja sama dengan Tek Ciang.

Empat orang tokoh lihai ini menyelundup ke dalam pasukan pengawal karena Tek Ciang cukup cerdik untuk menyembunyikan mereka, bukan hanya dari mata orang luar yang akan menaruh curiga, akan tetapi juga dari mata Cu Han Bu, Cu Seng Bu dan juga Cu Pek In yang datang memenuhi undangannya ke kota raja.

Keluarga Cu itu merasa gembira dan bangga sekali melihat kemajuan yang dicapai Louw Tek Ciang. Dua orang tokoh keluarga Cu itu biarpun agak kecewa mendengar bahwa Tek Ciang belum sempat membalaskan kekalahan mereka kepada pendekar Kam Hong, juga merasa menyesal sekali mendengar bahwa murid baru mereka yang ke dua, yaitu Pouw Kui Lok, telah tewas.

Akan tetapi kekecewaan ini terobati ketika Tek Ciang menjanjikan bahwa kelak dia tentu akan dapat membalas kekalahan itu karena dia sedang menyempurnakan ilmu Sin-liong Ho-kang untuk melawan lengkingan suara suling dari keluarga Pendekar Suling Emas itu. Juga hati dua orang kakek ini terhibur ketika mereka diajak oleh Tek Ciang untuk ikut pergi ke Shen-yang, tempat di mana dia akan bertugas sebagai seorang panglima baru.

Tentu saja Cu Pek In juga gembira bukan main dan tanpa malu-malu atau ragu-ragu lagi wanita ini memperlihatkan kemesraannya terhadap Tek Ciang, kini berterang di depan ayah dan pamannya. Di antara kedua orang ini memang sudah ada hubungan cinta ketika Tek Ciang belajar ilmu di Lembah Naga Siluman. Kini, setelah Tek Ciang menjadi seorang panglima, tentu saja Cu Pek In mengharapkan untuk menjadi isteri yang sah dari pria yang sepuluh tahun lebih muda darinya itu.

Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, berangkatlah Louw Tek Ciang bersama rombongannya. Dia duduk di sebuah kereta bersama Cu Pek In dan biarpun hal ini sesungguhnya amat janggal, namun Cu Han Bu yang sudah prihatin melihat hubungan puterinya putus dengan mantunya, dan diam-diam mengharapkan puterinya itu akan dapat menjadi isteri murid barunya yang kini menjadi panglima, pura-pura tidak tahu dan diam saja.

Cu Han Bu sendiri bersama adiknya, Cu Seng Bu, duduk di kereta ke dua sedangkan barang-barang mereka ditaruh di dalam kereta ke tiga. Tiga buah kereta ini dikawal oleh tiga losin pasukan pilihan yang sengaja dipilih oleh Tek Ciang dari pasukan keamanan di kota raja.

Ketika rombongan tiba di luar tembok kota raja muncullah empat orang tokoh petualang itu di tempat yang dijanjikan. Tek Ciang keluar sebentar dari kereta untuk menyambut mereka dan empat orang itu lalu diberi kuda-kuda pilihan yang sudah disediakan, kemudian mereka berempat ikut pula dalam pasukan pengawal, diterima sebagai “pengawal-pengawal pribadi” Louw- ciangkun!

Lewat tengah hari, rombongan ini melalui sebuah bukit yang sunyi. Ketika mereka tiba di tanah datar yang diapit hutan, tiba-tiba mereka dihadang oleh beberapa orang yang berdiri di tengah jalan dan mereka mengangkat tangan ke atas memberi isyarat agar rombongan itu berhenti.

Ketika para pengawal yang berada di depan mengenal seorang di antara mereka yang berdiri menghadang, mereka terkejut, menghentikan kuda dan memberi isyarat ke belakang agar rombongan berhenti. Seorang perwira pasukan pengawal segera turun dari atas kudanya dan memberi hormat kepada orang yang dikenalnya itu.

Orang itu adalah Kao Cin Liong! Biarpun dia kini sudah tidak menjadi panglima lagi, sudah mengundurkan diri dan berpakaian biasa, akan tetapi para perajurit itu mengenalnya dan nama Kao Cin Liong ini amat populer di antara perajurit sebagai seorang panglima yang disegani dan dikagumi. Maka, begitu melihat bahwa yang menghadang dan menyuruh mereka berhenti itu adalah bekas jenderal itu dan beberapa orang tua yang nampak gagah, pasukan pengawal itu segera berhenti.

Ketika kereta terpaksa dihentikan oleh kusirnya karena para pengawal di depan juga menghentikan kuda, Tek Ciang merasa heran dan diapun menjenguk keluar dari jendela.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika dia melihat orang-orang yang menghadang di depan itu. Kao Cin Liong, Suma Hui, Suma Kian Lee dan isterinya, Kao Kok Cu dan isterinya, dan seorang pemuda yang tidak dikenalnya. Pemuda itu adalah Kwee Cin Koan, murid Kong-thong-pai, kekasih Can Kui Eng.

Celaka, pikirnya. Biarpun dia sendiri memiliki kepandaian tinggi, juga dua orang gurunya she Cu yang lihai berada di situ, bersama Cu Pek In, dan masih dibantu oleh empat orang tokoh yang sakti, namun dia merasa gentar juga menghadapi para penghadang itu, terutama sekali Suma Kian Lee bersama isteri dan Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri. Maka dia lalu menoleh ke belakang, memikirkan jalan lari atau kembali ke kota raja untuk melapor dan mengerahkan bala tentara menghadapi mereka itu.

Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat jalan mundur sudah dipotong pula. Di situ berkumpul banyak sekali pendekar, agaknya para pendekar yang lolos dari pengepungan di Hutan Cemara!

“Pemberontakan! Serbu mereka.!” Bentak Tek Ciang kepada pasukan pengawalnya.






Teriakan ini mengejutkan Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang segera berloncatan keluar. Juga Cu Pek In meloncat keluar mencabut sulingnya, sedangkan empat orang kakek yang menyelinap di antara para pengawal sudah siap-siap pula. Akan tetapi, perwira dan para perajurit pengawal itu sendiri diam saja tidak bergerak!

“Pasukan pengawal, serbu para pemberontak yang menghadang di depan!” Tek Ciang mengulangi perintahnya.

Akan tetapi para perajurit itu tidak bergerak, dan perwiranya tidak memberi aba-aba menyerang, bahkan dia yang sudah turun dari kuda itu lari menghampiri Tek Ciang, lalu berkata.

“Ciangkun, mereka itu bukan pemberontak, melainkan Kao-goanswe dan beberapa orang locianpwe yang hendak bicara dengan Louw-ciangkun!”

Dua orang she Cu itu juga sudah menghampiri Tek Ciang dan mendengar pelaporan perwira itu, Cu Han Bu berkata kepada muridnya.

“Kalau mereka ada urusan, lebih baik kita temui saja dan dengarkan apa kehendak mereka menghadang perjalanan kita.”

Tek Ciang merasa serba salah dan karena di situ terdapat keluarga Cu, diapun tidak dapat berbuat lain kecuali menurut, akan tetapi lebih dahulu dia membakar hati kedua orang gurunya.

“Harap suhu ketahui bahwa kita sudah terkurung dari depan dan belakang. Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah dan mereka tentu akan mengganggu teecu yang baru saja diangkat menjadi panglima.”

“Jangan takut, kalau memang mereka pemberontak, kita hancurkan di sini bersama pasukan pengawal!” kata Cu Han Bu.

“Akan tetapi suhu tidak tahu siapa mereka! Mereka adalah komplotan keluarga yang hendak mencelakakan teecu. Seperti pernah teecu ceritakan kepada ji-wi suhu, isteri teecu dirampas oleh Jenderal Kao Cin Liong dan sekarang dialah yang menghadang di sana bersama bekas isteri teecu, bekas kedua mertua teecu dan juga orang tua jenderal itu. Mereka tentu akan mencelakai teecu.”

Cu Han Bu mengerutkan alisnya. Memang pernah Tek Ciang bercerita bahwa dia pernah menikah akan tetapi isterinya itu dirampas oleh seorang jenderal muda. Isterinya, juga kedua orang mertuanya memilih jenderal itu yang berkedudukan tinggi. Karena Tek Ciang sebagai muridnya yang berbakat itu telah menjadi seorang duda, maka diam-diam mengharapkan agar murid ini dapat berjodoh dengan puterinya yang juga dapat dibilang sudah menjadi janda karena sudah berpisah dari suaminya. Maka, kini mendengar bahwa keluarga bekas isteri dan jenderal yang merampas isteri muridnya itu yang menghadang, tentu saja hatinya sudah diliputi rasa tidak senang.

“Jangan takut, aku akan membantumu!” katanya membesarkan hati dan mereka bertiga, diikuti pula oleh Cu Pek In, segera berjalan menuju ke depan di mana tujuh orang itu berdiri di tengah jalan.

Diam-diam, empat orang pembantu Tak Ciang juga sudah mendekati tempat itu, siap untuk membantu kalau diperlukan. Di antara mereka dan Tek Ciang, sudah ada persetujuan bahwa mereka tidak akan sembarangan keluar memperlihatkan diri kalau tidak dimintai bantuan. Hal ini untuk mencegah adanya kecurigaan dari siapapun juga datangnya.

Sejak tadi, Suma Hui hanya memandang kepada Tek Ciang seorang, tidak memperdulikan lain orang yang datang bersama musuh besarnya ini. Dan begitu Tek Ciang dan rombongannya tiba di situ, Suma Hui sudah mencabut keluar sepasang pedangnya dan dengan sikap gagah wanita ini berdiri melintangkan sepasang pedang di depan dada, sambil membentak.

“Louw Tek Ciang, kami datang untuk mengadu nyawa denganmu! Bersiaplah!”

Menghadapi Suma Hui, tentu saja Tek Ciang tidak merasa takut sedikitpun juga. Akan tetapi dia merasa gentar menghadapi yang lain-lain, maka dia berusaha menarik sikap angkuh dan membentak.

“Keluarga pemberontak! Beranikah engkau menghadang perjalananku? Tahukah kalian bahwa aku adalah seorang pembesar pemerintah, seorang pejabat militer yang sedang dalam perjalanan menuju ke tempat tugas?”

“Louw Tek Ciang, tak perlu banyak cerewet. Engkau tahu bahwa urusan antara kita adalah urusan pribadi, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan pemerintah!”

Suma Hui membentak dan kelihatannya wanita ini sudah marah sekali, penuh dendam yang ditahan-tahan sejak bertahun-tahun. Diam-diam keluarga Cu merasa heran sekali. Wanita ini, kalau benar bekas isteri Tek Ciang, telah melakukan perbuatan tidak mengenal malu, lari dari suami untuk menjadi isteri Jenderal Kao Cin Liong, akan tetapi wanita itu kini kelihatannya begitu marah dan penuh dendam kepada Tek Ciang, bekas suaminya yang ditinggalkan!

Tek Ciang merasa tersudut, akan tetapi dia tersenyum mengejek dan memandang wajah Suma Hui yang belum pernah menjadi isteri yang sesungguhnya itu.

“Hemm, Suma Hui, jangan dikira aku takut melawanmu. Akan tetapi apakah hanya engkau yang akan maju menandingiku, ataukah engkau hendak mengandalkan pengeroyokan orang-orang lain?”

“Keparat Louw Tek Ciang! Fitnah yang kau jatuhkan kepada diriku patut kau tebus dengan nyawamu!” bentak Kao Cin Liong sambil mengepal tinjunya dan memandang marah.

“Iblis busuk, akupun sudah terlalu lama menitipkan nyawamu kepadamu, sekarang harus kucabut nyawamu untuk perbuatanmu yang terkutuk terhadap keluarga kami!”

Tiba-tiba Suma Kian Lee membentak pula dan sepasang mata pendekar ini mencorong mengeluarkan sinar berkilat.

“Biarkan aku yang akan menghancur-lumatkan kepala iblis jahanam ini!” Kim Hwee Li membanting kakinya dengan marah.

Melihat betapa semua orang memusuhi dan hendak membunuh muridnya, tentu saja Cu Han Bu, Cu Seng Bu dan juga Cu Pek In menjadi penasaran dan marah. Dua orang kakek Cu sudah melangkah maju dan Cu Han Bu dengan alis berkerut lalu berkata, suaranya lantang berwibawa.

“Bagus! Sudah lama kami mendengar bahwa keluarga Pulau Es adalah orang-orang gagah dan pendekar-pendekar sejati, akan tetapi kiranya hanyalah orang-orang yang mengandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok orang! Sungguh mengherankan sekali!”

“Siapa mau mengeroyok dan siapa mengandalkan jumlah banyak? Cih, tak tahu malu! Lihat saja, siapa yang lebih banyak membawa kawan? Boleh kalian maju satu demi satu, akan kami tandingi satu lawan satu!” Kim Hwee Li sudah membentak dan melangkah maju.

Akan tetapi Suma Kian Lee dapat menduga bahwa dua orang kakek itu tentu bukan orang sembarangan. Dia sudah mengenal kelicikan Tek Ciang dan dia khawatir kalau-kalau Tek Ciang mengelabuhi tokoh sakti untuk diadu domba dengan pihaknya, maka dengan tenang dia meraba lengan isterinya dan memberi isyarat agar isterinya bersabar, kemudian dia sendiri menjura kepada dua orang kakek itu.

“Maaf, saya Suma Kian Lee adalah keturunan Pulau Es. Agar tidak terjadi kesalah pahaman, saya ingin tahu siapakah ji-wi dan hendaknya ji-wi ketahui bahwa antara kami dan iblis busuk Louw Tek Ciang ini terdapat urusan pribadi yang tidak mungkin dapat dicampuri orang lain.”

Mendengar bahwa pria yang gagah dan bersikap tenang itu adalah Suma Kian Lee, putera Pendekar Super Sakti yang terkenal, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu memandang penuh perhatian. Mereka berdua sudah mendengar cerita murid mereka Louw Tek Ciang, bahwa Tek Ciang menjadi murid dan kemudian menjadi mantu pendekar ini, akan tetapi betapa kemudian isterinya itu, dengan persetujuan ayahnya, menyeleweng, bahkan lalu menjadi isteri jenderal Kao Cin Liong. Oleh karena itu, biarpun diam-diam mereka kagum kepada putera Pendekar Super Sakti ini, namun di dalam hati mereka sudah terkandung rasa tidak suka. Karena itu, Cu Han Bu tersenyum pahit.

“Ah, kiranya kami berhadapan dengan pendekar Suma yang terkenal? Maaf, kami berdua hanya orang-orang biasa saja, namaku Cu Han Bu dan ini adikku Cu Seng Bu. Biarpun antara kalian dan Louw Tek Ciang terdapat urusan pribadi, akan tetapi mengingat bahwa Tek Ciang telah menjadi murid kami, maka urusan pribadinya berarti juga urusan kami.”

Suma Kian Lee yang tidak pernah atau jarang sekali merantau, tidak mendengar nama keluarga Cu. Akan tetapi dari sikap mereka dia dapat menduga bahwa dua orang she Cu ini tentu memiliki kepandaian tinggi dan bukan golongan orang jahat. Besar sekali kemungkinannya mereka berdua ini dikelabuhi pula oleh Tek Ciang sehingga mereka sampai mengambil murid seorang jahat macam Tek Ciang.

“Biarkan mereka membantu murid mereka yang jahat, kami tidak takut!”

Kim Hwee Li sudah membentak marah, akan tetapi kembali suaminya menyentuh lengan isterinya agar isterinya bersabar.

“Pendapat ji-wi kami hormati, bahwa urusan pribadi murid berarti juga urusan pribadi gurunya. Akan tetapi kami kira para pendekar bijaksana tidak akan ada yang membela muridnya kalau mengetahui bahwa muridnya itu menyeleweng dan jahat, sebaliknya mereka tentu akan menghukum muridnya. Dan kami percaya bahwa ji-wi termasuk pendekar bijaksana, bukan golongan sesat yang saling membantu dalam kejahatan.”

Dua orang kakek Cu itu saling pandang, kemudian mereka menoleh dan memandang kepada murid mereka dengan alis berkerut dan mata penuh selidik.

“Tek Ciang, katakanlah, urusan pribadi apakah yang terjadi antara engkau dan keluarga Suma? Mengapa mereka menganggap engkau jahat? Hayo ceritakan semua sejujurnya. Kalau engkau benar, sampai matipun akan kami bela.”

Tek Ciang memandang kepada dua orang gurunya dan jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan perobahan dan dia masih merasa yakin bahwa dua orang she Cu itu tentu akan membantu dan membelanya karena selain dia adalah murid mereka yang mereka andalkan, juga dia tahu bahwa Cu Han Bu mengharapkan dia menjadi suami puterinya yang janda itu.

“Ji-wi suhu, tentu saja mereka menjelek-jelekkan teecu, hal itu tidaklah mengherankan sama sekali. Seperti yang pernah teecu beritahukan kepada suhu berdua, teecu pernah diterima menjadi murid Suma Kian Lee, bahkan diambil mantu, dijodohkan dengan Suma Hui, yaitu wanita itu. Akan tetapi, setelah muncul Jenderal Kao Cin Liong yang kini sudah bukan jenderal lagi, tali perjodohan kami diputuskan dan isteri teecu itu dirampas oleh Kao Cin Liong dengan persetujuan isteri dan mertua teecu sendiri. Agaknya mereka hendak membunuh teecu karena tidak ingin rahasia busuk mereka tersiar dan merusak nama besar keluarga para pendekar Pulau Es!”

Dengan senyum mengejek Tek Ciang memandang kepada Suma Hui, Cin Liong dan yang lain-lain, lalu disambungnya.

“Coba kalian bantah kebenaran ceritaku tadi. Bukankah Suma Hui telah dijodohkan dengan aku? Bukankah ia kini malah menjadi isteri Kao Cin Liong?”

Tek Ciang yang cerdik ini merasa yakin bahwa keluarga Suma itu tidak akan mempunyai alasan lagi untuk membantahnya. Alasan satu-satunya hanyalah menceritakan tentang peristiwa memalukan yang terjadi antara Suma Hui dan dia, dan dia yakin bahwa aib itu sampai mati sekalipun pasti tidak akan diceritakan mereka kepada orang lain.

Kini dua orang kakek Cu itu kembali menghadapi Suma Kian Lee. Dengan hati lega mereka melihat betapa keluarga itu nampak diam saja, seolah-olah menandakan bahwa keterangan murid mereka tadi benar.

“Bagaimana sekarang, saudara Suma? Setelah mendengar keterangan murid kami, beranikah kalian menyangkal kebenarannya? Dan kalau keterangannya tadi benar, berarti kalianlah yang jahat, bukan murid kami!” demikian kata Cu Han Bu dengan sikap keren.

Suma Kian Lee sekeluarga saling pandang, juga Kao Kok Cu yang biasanya tenang sekali itupun kini kelihatan merah mukanya. Tiba-tiba Suma Hui melangkah maju dan dengan sikap gagah ia berkata lantang.

“Kalian hanya mendengarkan keterangan sepihak. Dengarlah keteranganku akan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Iblis busuk ini, jahanam keji ini, telah....”

“Hui-ji....!” Suma Kian Lee berseru untuk mencegah puterinya.

“Biarlah, ayah. Tidak tahukah ayah bahwa jahanam ini sengaja menceritakan semua itu karena dia mengira bahwa kita tidak akan berani membuka rahasia itu?”

Setelah berkata demikian Suma Hui melanjutkan sambil memandang dua orang kakek Cu.
“Kalian orang-orang tua yang mudah dikelabuhi jahanam ini, dengarlah baik-baik. Mula-mula jahanam ini mengelabuhi ayah, memikat hati ayah sedemikian rupa sehingga ayah percaya kepadanya, bahkan mengambilnya sebagai murid. Ayah telah mengorbankan semua ilmu dari Pulau Es untuk diberikan kepada jahanam ini. Akan tetapi tahukah kalian apa yang diperbuat jahanam ini? Ayah demikian terpikat dan tertipu sehingga ayah mengikat tali perjodahan antara aku dan dia. Ayah berniat memungut mantu kepadanya! Akan tetapi, aku tidak mencintanya karena aku sudah mencinta Kao Cin Liong. Dan pada suatu malam.... dengan bantuan tokoh sesat Jai-hwa Siauw-ok yang juga menjadi gurunya, jahanam busuk yang menjadi murid kalian ini membiusku dengan asap beracun, kemudian dia.... memperkosa diriku dan sengaja membisikkan nama Kao Cin Liong kepadaku yang berada dalam keadaan setengah sadar.”

“Suhu, jangan percaya obrolan perempuan ini. Seorang isteri yang sudah menyeleweng meninggalkan suami dan menikah dengan pria lain, mana bisa dipercaya omongannya?” Tek Ciang membentak.

“Diam!” Bentak Cu Han Bu kepada muridnya. “Biarkan ia melanjutkan penuturannya, benar maupun tidak!”

“Kami sekeluarga terkena tipunya,” Suma Hui melanjutkan. “Sehingga kami sekeluarga memusuhi Kao Cin Liong dan hampir terjadi kesalah-pahaman antara keluarga kami. Aku sendiri bertahun-tahun memusuhi dan mendendam kepada Kao Cin Liong yang merupakan satu-satunya pria yang kucinta. Baru rahasia kebusukannya terbuka ketika kami dinikahkan. Aku melihat tonjolan daging berambut di punggungnya, sama seperti yang terdapat pada punggung orang yang memperkosa diriku! Dan diapun sudah mengaku, akan tetapi dia dapat melarikan diri karena bantuan Jai-hwa Siauw-ok, gurunya.”

“Suhu, jangan percaya! Mereka ini adalah pemberontak-pemberontak, Jenderal Kao Cin Liong sudah berhenti dari jabatannya karena dia bersekongkol pula dengan pemberontak-pemberontak! Keluarga Pulau Es adalah pemberontak-pemberontak! Perajurit pengawal, tangkap mereka!”

“Para perajurit yang gagah, kalian mundurlah!” Tiba-tiba Kao Cin Liong membentak dengan suara lantang. “Kalian sudah mengenal siapa aku, sebaliknya baru sekarang mengenal manusia jahanam ini. Biarkan kami menyelesaikan urusan pribadi, karena tidak ada sangkut-pautnya dengan pemerintah!”

Mendengar bentakan Kao Cin Liong dan melihat bekas jenderal muda itu, para perajurit pengawal menjadi bimbang. Mereka tidak berani menentang bekas jenderal yang mereka kagumi itu.

“Ji-wi locianpwe,” kata Kao Cin Liong kepada dua orang kakek she Cu. “Kami sekalian bukanlah pemberontak.”

“Kalau bukan pemberontak, mereka itu tentu pengkhianat-pengkhianat yang menyebabkan matinya para pendekar yang mengadakan pertemuan di Gunung Hutan Cemara!” Tek Ciang berseru lantang. “Ji-wi suhu, ketahuilah bahwa ratusan orang pendekar dan patriot yang sedang mengadakan pertemuan di Hutan Cemara, telah dikhianati oleh keluarga Pulau Es yang menentang mereka, sehingga mereka terbasmi oleh pasukan pemerintah.”

“Bohong! Ah, manusia keji, penyebar kejahatan dan kebohongan. Tuhan akan menjatuhkan hukuman kepadamu!”

Tiba-tiba terdengar bentakan dan majulah seorang pemuda gagah perkasa. Pemuda ini adalah Kwee Cin Koan dan dia segera menghampiri kelompok orang yang sedang bersitegang itu. Tek Ciang mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Kwee Cin Koan, pemuda kekasih Can Kui Eng yang menyerahkan surat rahasia kepada mendiang gadis murid Kun-lun-pai itu. Dia mulai merasa khawatir, akan tetapi semua perbuatannya di Kun-lun-pai tidak diketahui pemuda ini, takut apa? Kwee Cin Koan memberi homat kepada mereka semua.

“Cu-wi locianpwe yang terhormat, saya adalah Kwee Cin Koan, murid Kong-thong-pai yang telah menyelidiki dengan seksama dan tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Cu-locianpwe, saya tahu bahwa ji-wi adalah tokoh-tokoh Lembah Naga Siluman di barat, dan agaknya, seperti juga Suma-locianpwe, ji-wi telah dikelabuhi oleh iblis Louw Tek Ciang ini. Diapun dapat pula mengelabuhi para tosu Kun-lun-pai sehingga dia diberi pinjam untuk mempelajari kitab Sin-liong Ho-kang. Cu-wi locianpwe, dengarlah ceritaku.”

“Engkau seorang di antara pemberontak yang dapat melarikan diri. Pengawal, tangkap dia!”

“Diam!” Bentak Cu Han Bu dengan marah, lalu memandang kepada para perajurit.

“Siapa berani mengganggu dia akan berhadapan dengan aku!” Lalu katanya kepada Kwee Cin Koan. “Orang muda, teruskan ceritamu!”

“Saya berterus terang saja bahwa saya adalah seorang di antara para pendekar dan patriot yang berkumpul di Hutan Cemara. Beberapa pekan yang lalu saya membawa sepucuk surat dari kawan-kawan kami yang ditujukan kepada Gan-ciangkun di kota raja, yang maksudnya mohon petunjuk dan kerja sama dengan panglima itu untuk menentang pemerintah penjajah. Surat itu saya serahkan kepada.... kekasih saya yang bernama Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai dengan pesan agar ia yang membawa surat itu ke kota raja dan menyampaikan kepada Gan-ciangkun setelah ia selesai menjaga Louw Tek Ciang, yang sedang mempelajari kitab Kun-lun-pai itu tanpa meninggalkan kuil.”

Pemuda itu berhenti sebentar karena apa yang hendak diceritakan masih amat menyakitkan hatinya. Pemuda ini sudah melakukan penyelidikan ke Kun-lun-pai dan bersama para tosu Kun-lun-pai, akhirnya dia dapat menduga apa yang telah terjadi ketika melihat betapa Louw Tek Ciang membantu pasukan yang menyergap para pendekar.

Mudah saja diduga apa yang telah terjadi dan pemuda itu menjadi marah bukan main, mati-matian dan nekat dia hendak menghadang Louw Tek Ciang untuk membalas dendam. Dan kebetulan dia bertemu dan bergabung dengan rombongan keluarga Pulau Es!

“Tidak ada kabar ceritanya kekasih saya itu sampai terjadinya pertemuan di Hutan Cemara dan penyergapan pasukan pemerintah di mana saya melihat jahanam ini ikut membantu pasukan pemerintah. Saya yang ikut menyerah bersama keluarga Pulau Es lalu mengadakan penyelidikan ke Kun-lun-pai dan.... saya mendengar bahwa kekasih saya itu tewas dan diperkosa oleh paman gurunya sendiri bernama Ponw Kui Lok yang kemudian dibunuh oleh Louw Tek Ciang.”

“Apa? Kui Lok kau bunuh.?”

Cu Han Bu membentak kaget bukan main mendengar ini. Wajah Tek Ciang berobah pucat, lalu merah kembali.

“Suhu, dia memperkosa gadis murid Kun-lun-pai itu, maka teecu menjadi marah dan kami berkelahi sampai dia terbunuh oleh teecu.”

“Bohong....!” bentak Cin Koan. “Jahanam ini memang pandai berbohong sehingga para tosu Kun-lun-pai sendiri juga tertipu olehnya. Setelah dia muncul dengan pasukan pemerintah, barulah kami semua tahu karena dapat menduga apa yang telah terjadi. Surat kepada Gan-ciangkun itu berada pada Kui Eng, bagaimana bisa terjatuh ke tangan jahanam ini dan dipergunakannya untuk mengkhianati para pendekar? Dia membawa surat itu ke kota raja, menghadap kaisar dan melapor. Setelah penyergapan berhasil, dia mendapat anugerah pangkat. Dialah yang memperkosa kekasih saya, dan dia pula yang membunuhnya, merampas surat rahasia itu. Mungkin perbuatannya itu ketahuan oleh Pouw Kui Lok, maka dibunuhnya orang itu, dan kitab pelajaran Sin-liong Ho-kang juga dicurinya!”

Wajah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menjadi pucat, dan wajah Cu Pek In merah sekali bahkan kedua matanya menjadi basah.

“Benarkah semua itu? Louw Tek Ciang, benarkah semua yang kudengar itu? Benarkah cerita keluarga Pulau Es dan benarkah cerita pemuda Kong-thong-pai ini?”

“Tidak, orang ini pembohong besar dan harus kubunuh sekarang juga!”

Tek Ciang sudah menerjang ke depan, menyerang Kwee Cin Koan dengan hebatnya. Terdengar suara mencicit karena dia telah menyerang dengan Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang dahsyat, ilmu yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Agaknya dia ingin membunuh pemuda itu dengan sekali pukul. Serangan in dahsyat bukan main dan agaknya betapapun lihainya, Kwee Cin Koan tentu akan roboh kalau saja Cin Liong tidak cepat bergerak ke depan dan menangkis.

“Dukkk....!” Cin Liong merasa betapa lengannya tergetar hebat.

Dia terkejut. Dia sudah mempergunakan Sin-liong-ciang-hoat yang ampuh untuk menangkis, namun lengannya masih juga tergetar. Memang pada saat itu, kepandaian Tek Ciang sudah mencapai tingkat yang tinggi. Dia pernah digembleng oleh Suma Kian Lee, menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok, kemudian malah digembleng oleh keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, bahkan akhir-akhir ini dia mempelajari ilmu sakti Sin- liong Ho-kang dari Kun-lun-pai.

Melihat majunya Kao Cin Liong, hati Cu Han Bu tidak senang. Muridnya itu, bagaimanapun salahnya, tadi menyerang pemuda yang membeberkan kebusukan, dan majunya Kao Cin Liong dianggapnya sebagai pengeroyokan.

“Mengandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok sungguh tak bisa kudiamkan saja!” katanya dan kakek inipun menggerakkan tangannya menyerang ke arah Cin Liong.